Disclaimers: Shingeki no Kyojin/Attack on Titan belongs to Isayama Hajime. Black Swan is a psychological thriller movie belongs to Fox Searchlight Pictures and directed by Darren Aronofski. "Swan Lake" play created by Tchaikovsky. This is only a work of fanfiction, solely a NOT-FOR-PROFIT fan work.
Summary: Pada sesekat kaca ia melihat dua wajah, hitam dan putih, yang dijembatani retak menganga. /Untuk Meramaikan Event Levi Movie Fest 2015.
Rating: M for adult theme (but nothing explicit)
Genre: Drama, psychological thriller, psychological drama, suspense
[Levi Movie Fest] Tema, Prompt: Drama - Black Swan (untuk tanggal 19 Desember 2015)
Relationships: Levi/Eren, and one-sided romantic pairings (Mikasa/Eren, Jean/Mikasa)
Warnings: Absurdity, obsessive-compulsive disorder and twisted behaviour, implicit slash. Perlu diingat bahwa semua karakter dalam fanfiksi ini bukan penyuka sesama jenis, kecuali Levi yang memiliki kecenderungan pansexual, dan preferensi demikian sudah bukan hal baru di sini. Film Black Swan sendiri mengangkat tema pergaulan sesama jenis yang dalam kisahnya (dan fanfiksi ini) lebih bersifat psikologikal.
Catatan: sesuai prompt, beberapa adegan terinspirasi dari Film Black Swan, walau dengan pendekatan yang berbeda.
.
.
.
The Swan Prince (Part 1)
.
.
.
Seketika lampu sorot menyayat gelapnya panggung. Ia menjelmakan putri balerina bermata tajam, berhelai hitam arang dan kulit secerah mutiara.
Sang putri berputar aktraktif sampai kasutnya tak kasat, pointe, dengan senyum murni lagi damai. Damai yang terlampau singkat.
Alunan adagio melirih. Gesekan biola berderit kecil dan makin cepat. Cepat namun syahdu. Lalu musiknya mengecil seperti berbisik seolah-olah komposer takut bersuara. Ada yang datang. Tak boleh membuat suara.
Sang putri menangkap tanda bahaya. Ia takut. Ia cemas. Ia berputar mencari, ia awas. Tak sesiapapun dapat tampak dalam gelap, tapi semua orang dapat melihatnya dalam terang. Hanya ia yang terang, murni, baik. Gelap, kejahatan dan noda rentan mampir. Ia tahu segera akan ternoda.
Gelap dan jahat, tukang sihir hitam menjelma sebentuk burung. Sayap hitamnya berkelepak memerangkap. Sang putri tertangkap.
Tempo musik menjadi cepat di sini, dari bisikan menanjak naik jadi pekikan. Tukang sihir mengutuk putri dalam rengkuhan. Musik mengikuti gerak stakato pada bibir si penggumam mantra.
Putri balerina berputar gasing, panik, memeluk diri berharap dapat menepis sihir. Sia-sia. Sayap putih menghambur dari ceruk kecil pada punggung. Liuknya gontai dan menghentak. Bisep dan trisep kembang lalu kempis. Tangannya menggeliat naik turun meniru ombak bengis.
Ia menjelma Ratu Angsa Putih.
Kakinya menukik sembari ia berjalan lunglai. Tangan berkelebar meniru sayap, bergelombang dari kiri menuju kanan dan kanan menuju kiri. Ratu Angsa berkitar menjauhi penonton, menghilang di balik pilar di ujung panggung.
.
Tepuk tangan meriah dari seluruh audiens yang berdiri.
Hanya seorang pria yang tidak bertepuk. Ia duduk dengan secangkir teh hitam pada bangku VIP terdepan. Bernama Levi Ackerman, ia direktur pertunjukan sekaligus koreografer kreatif, dan ia memilih duduk di antara penonton ketimbang berdiri di balik panggung. Sebab Levi tak mau melewatkan sedikit pun drama balet garapannya. Sebab tari berbeda dengan benda seni, sastra atau musik. Ia hanya eksis pada satu momen, tidak lekang selamanya di balik sesekat kaca museum.
Sementara penonton tersihir dan menganggap segalanya sempurna, Levi diam, dengan pelipis berurat. Dia duduk dalam gelap tapi terpaku hanya kepada cahaya. Ia mencari di antara sesayap putih setitik noda tercela. Ia mencari ekspresi tak pantas di wajah putri balerina. Ia mencari nada sumbang pada gubahan musik teranyar. Ia mencari ketidaksempurnaan.
Sederet balerina muncul dengan tarian seperti jalinan kurva naik turun. Musik orkes berlantun nada tinggi rendah seperti gelombang. Decak kagum penonton beriringan. Levi hampir meremukkan, lagi, telinga cangkir porselen.
Ratu Angsa muncul kembali dari balik pilar. Ia memulai dengan grand allegro sempurna. Lompatan demi lompatan yang menaikkan ritme napas penonton. Di belakangnya sang pangeran mengejar, tengah memburu dengan busur tembak di tepi danau belantara. Ratu Angsa menghindar, tampak takut sekaligus rindu.
Pangeran berlekuk lentur. Dipeluknya angsa bermahkota bulu putih pada pinggang. Ratu Angsa berputar menghindar, lalu kembali sang pangeran merengkuh dari balik punggung. Mereka gemulai bersama seolah menyatu. Wajah Ratu Angsa berkeriat pedih sementara sang pangeran jatuh cinta. Ratu Angsa menari ingin loloskan diri, tapi mau tak mau membawa serta pangeran yang terlanjur terpikat pesonanya. Mereka berdansa Pas de Deux di bawah cahaya jatuh.
Ratu Angsa Putih menari sempurna sampai pangerannya sulit mengikuti. Mereka saling berkejar lalu menghilang bersama ke sayap panggung. Tepukan riuh penonton beriring.
Sempurna. Levi pun mengucap sempurna.
Namun terlalu sempurna pula bagi Levi sehingga lagi-lagi ia mempersalahkannya.
Orkestra klasik mendayu sayup-sayup, lalu tiba-tiba menanjak naik bergumuruh. Mencekam sekaligus menggoda. Lagi, ada yang datang, dan kali ini kau tak sanggup membuat suara walau ingin. Dalam gelap ia hadir tanpa perlu cahaya menyorot. Perempuan itu melangkah berbalut gaun berlian dan berbulu serba hitam. Kemilaunya yang menjadi magnet bagi cahaya. Ratusan pasang mata audiens terpaku kepadanya.
Perempuan itu berwajah sama dengan Ratu Angsa Putih. Sama tapi berbeda. Angsa Putih yang indah lagi rapuh, tak mungkin bisa mengimbangi kemolekan Angsa Hitam yang sudah menjajah seisi teater dengan kemilaunya. Pangeran terkejut, lalu ikut terjerat. Pangeran melangkah kecil kemudian berlari, gemas memeluk pinggang ramping Angsa Hitam seduktif. Angsa Putih yang ia cinta terlupakan.
Angsa Hitam yang sensual, terlihat begitu angkuh saat menari. Intens, ia tatap pangeran tepat di mata, balik mengejar agresif lalu meliuk menghindar. Pangeran dibuat lupa diri. Ia lepas kendali dan melompat serempak kibasan sesayap hitam. Mereka berkitar di balik properti pepohon kering yang lambat laun mewujud jeruji besi. Pangeran telah jatuh ke tangan kembaran jahat Ratu Angsa.
Penonton terpukau beberapa jeda sebelum bertepuk riuh. Levi ikut berdiri namun tidak bertepuk.
Orkestra musik mencapai klimaks. Angsa Hitam sekali lagi menyihir audiens untuk memilih ia sebagai yang tercantik di belantara dan yang terpantas mendapat hati pangeran. Ia muncul dengan ujung kaki melengkung ke bawah, dengan wajah seduktif namun sangat perkasa. Ia rentangkan kedua sayap sambil tak henti berputar elegan. Angsa Hitam mengakhiri tarian Coda dengan sebuah putaran tajam, dengan langkah yang menggesek panggung begitu kuat sehingga berkemandang di seluruh penjuru teater.
Penonton yang takhluk sudah berdiri sebelum Coda selesai. Angsa Hitam meliuk punggung ke belakang, mengekspos leher jenjang berkeringat dan seringai tanpa ekspresi. Auditorium memburam dan bergetar dengan aplus. Angsa Hitam memberi salut kepada audiens, lagi dan lagi, masih tanpa senyum.
Levi sudah meninggalkan kursi.
.
Rumah produksi mereka terancam bangkrut. Soloist lelaki dan perempuan bergosip setiap hari terkecuali pagi itu. Pagi setelah mereka berhasil mempersembahkan pertunjukan istimewa setelah bertahun-tahun. Mungkin yang terbaik sejak Teater Mitras berdiri pertama kali.
Aula rehearsal diliputi wajah-wajah ceria dan tekun balerina senior, pebalet pria, dan semua penari corps de ballet rumah produksi. Mereka lakukan pemanasan penuh konsentrasi. Dari lutut, tangan hingga ujung kaki. Tungkai-tungkai serempak atraktif.
Di antara mereka ballet mistress berkacamata sedang berkeliling. Ia bernama Hanji Zoe dan orang-orang memanggilnya Miss Zoe. Hanji mengangguk-angguk sesuai lantunan piano, memandu, "Satu dua tiga empat. Lagi. Empat. Empat. Ke belakang, fondu, ke belakang, plié. " Dia menyentil pebalet berbahu kaku. "Kau kurang lentur. Busung sedikit dadamu, Sobat. Yeah. Seperti itu. Kau menari dengan bagus tadi malam! Kalian semua! Bagus!" Saat berseru pun, pandangan Hanji hanya jatuh kepada seseorang.
Seseorang itu melakukan pemanasan sendiri pada tiang terujung. Ia gadis oriental berkulit mutiara, berhelai arang dan bermata tajam staklatit. Dia soloist senior yang musim ini naik level menjadi principal dancer. Audiens pasti mengenal muka dan kekuatan tarinya semalam. Ia pemeran Ratu Angsa Putih yang merapuh pada satu aksi, dan mewujud Angsa Hitam yang memikat pada aksi berikutnya.
"Pertunjukan paling menawan! Cantik sekali, Mikasa Ackerman. Kacamataku sampai miring sebelah semalam," puji Hanji.
Mikasa membalas tanpa ekspresi, "Trims, Miss." Pun matanya tidak tertuju kepada Hanji, melainkan kepada seorang danseur muda, pebalet lelaki yang berseberangan darinya.
Di sana berdiri lelaki yang memerankan pangeran pasangan Mikasa. Bernama Jean Kirstein. Wajah tampan, bergaris rahang lonjong dan sikap jantan apa adanya. Ia sadar Mikasa menatap arahnya, lalu ia salah tingkah dan melambaikan tangan. Mikasa tidak membalas lambaian sang pangeran, karena ia bukan melihat Jean, melainkan kepada pebalet lelaki di sebelah Jean.
Lelaki ini bermata hijau gemilang, bukan cokelat sampanye seperti mata Pangeran Siegfried dalam drama tari Swan Lake mereka semalam. Wajahnya cukup tampan tapi dahinya selalu berkerut-kerut. Posturnya kaku, dan Hanji harus menyentil otot merengkel di pinggul itu berulang-ulang. Namun lelaki ini begitu gigih, giginya menggemeretak dengan gerak tari eksplosif seagresif badai. Akan tetapi dalam balet, mestinya gerakmu semulus gelombang laut pasang, ombak yang tinggi mencekam dan menggulung kapal bahkan tanpa terasa. Badai yang sangar nan elegan.
Sayang, Eren Jaeger belum mencapai level yang ia mau. Ia bisa bersikap predator namun bukan predator sungguhan.
Hanji bertepuk tangan, menyentakkan baik Mikasa, Jean maupun Eren untuk beralih fokus. Fokus ke atas. Ke teras di mana seorang pria penting sedang berdiri, intens mengawasi. Pria ini memiliki tinggi di bawah rata-rata dibanding para pebalet pria, namun bertubuh atletis, dengan mata elang dan fitur magnetis.
Satu per satu pebalet menoleh ke teras yang sama, dan secara serentak gerak pemanasan mereka menjadi lebih berpresisi. Sebagian balerina langsung mencopot pakaian pemanasan mereka, menampakkan tubuh langsing identik dan otot yang melentur gemulai. Mereka berlomba menarik perhatian pria di atas sana, semua terkecuali Mikasa, yang kembali mengalih pandang kepada Eren.
Pun Eren sendiri sedang berusaha menjadi badai ganas nan elegan di hadapan pria itu. Postur ia ubah menjadi lebih rileks dan siaga. Dahinya berkerut, ia tampak berjuang keras menarik perhatian direktur rumah produksi mereka.
Levi Ackerman menuruni tangga dengan langkah senada ketukan piano. Hanji menyambut akrab, menggiring Levi berjalan di antara pebalet.
Mereka antusias menari, senyum, dan curi-curi pandang. Levi berkitar, memperhatikan satu per satu, lekat dan penuh penilaian. Dia menepuk lembut punggung seorang balerina pirang. Kemudian menepuk balerina lain di seberangnya. Pebalet pria di seberang Jean pun mendapat tepukan pada pundak.
Sesuatu sedang terjadi; Sebuah seleksi.
Eren tampak cemas, penuh harap.
"Swan Lake. Kalau ada yang masih belum paham ceritanya, dengar sekarang dan aku tidak akan mengulangi. Tersebutlah Putri Odette, perawan berhati murni, disihir menjadi angsa oleh Penyihir Rothbart. Hanya satu yang dapat membebaskan kutukannya agar ia kembali menjadi manusia–" Levi berhenti di depan Jean dan menepuk bahu lelaki itu. "–yaitu cinta sejati."
Jean agak membungkuk, diam-diam tersenyum.
Levi berjalan melewati Eren, tanpa mengerling atau menepuk.
"Kemudian sang putri bertemu seorang pria. Tampan, pangeran negeri dongeng. Benar sang pangeran jatuh cinta pada sang Angsa Putih, tapi nyatanya Odette berharap terlalu cepat. Apa benar ia telah mendapat cinta sejati?"
Levi berjalan melewati Mikasa, tidak menepuk pundak, melainkan ia berhenti di depan gadis itu dan berbisik pelan.
"Gadis yang malang."
Mikasa hanya menatap.
Levi menepuk beberapa bahu lagi. Mereka yang ditepuk tersenyum bahagia. Mikasa melihat Eren tertunduk kecewa.
"Sebab hidup tak mungkin sesimpel itu. Sang pangeran bertemu dengan kembaran jahat Odette, yaitu Odile si Angsa Hitam yang menggoda. Sialnya, nafsu terbukti lebih kuat dari cinta. Pangeran jatuh ke tangan Angsa Hitam."
Levi menyapa barisan soloist dan danseur di sisi kanan. Ia berjalan melewati Reiner Braun, yang berbadan kokoh, yang mendapat peran penyihir Rothbart. Pundak Reiner tidak ditepuk olehnya, Levi malah memilih pundak Bertholdt Fubar di sebelah Reiner. Bertholdt spontan gugup.
"Kecewa dan frustrasi, Ratu Angsa Putih terjun dari tebing, bunuh diri. Tapi setelah mati ia temukan kebebasan. Selesai. Ini versi drama Swan Lake yang kalian mainkan tadi malam. Tentu nasib teater kita tidak selesai sampai di situ."
Levi berhenti di tengah, menepuk tangan tiga kali. Pianis langsung berhenti main piano. Para penari berhenti pemanasan. Semuanya menoleh kepada Levi harap-harap cemas.
"Pertunjukan sempurna." Levi berkata amat sangat pelan namun seluruh telinga mendengar, "tapi jauh dari apa yang kumau."
Wajah-wajah ceria pebalet menggamang. Jean gigit bibir. Mikasa tanpa ekspresi. Hanji angkat bahu, tahu itu bukan hal baru.
Levi mengarah langkah kepada Mikasa.
Mikasa tertunduk sekilas. Ujung sepatu balet melengkung menghunjam lantai, gerak fondu yang mulus. Mata jauh memandang ke depan namun tak bisa menghalau wajah Levi.
"Kulihat semua audiens berdiri bertepuk untukmu," kata Levi.
"Aku cuma berharap sudah melakukan yang terbaik," balas Mikasa kalem.
"Dan ya, kau memang yang terbaik. Mungkin tak ada Ratu Angsa sebaik dirimu di sini."
Deklarasi Levi menyentakkan kepala-kepala balerina senior; Annie, Ymir, Hitch, Sharle, Historia. Semuanya memandang tak suka. Konflik manajemen; Levi sangat ahli merancangnya.
Mikasa menanggapi tanpa ekspresi.
Levi berbalik. "Kirstein!"
Jean tersentak, berbalik dan nyaris menyenggol Eren. Mereka hampir bertengkar di tempat.
"Kau tarikan Pas de Deux babak kedua dan babak ketiga bersama Mikasa. Sekarang," instruksi Levi.
Jean maju ke depan. "S-Siap!"
Mikasa memutar karet pinggang rok tutu abunya, maju ke depan. Pebalet lain mengambil jarak dan berkumpul membentuk lingkaran.
Pianis memulai intro musik babak kedua Swan Lake.
Jean memulai dengan mengitari aula, memimik seorang pangeran berpanah. Ia berputar dan bertemu pandang dengan angsa tercantik.
Mikasa melangkah masuk. Ia rentangkan kedua tangan untuk mengilustrasi transformasi angsa menjadi manusia. Ia melihat Jean, dan berakting takut. Kedua lengannya berayun, kelebarnya meniru sayap.
Jean yang penasaran mengejar, tangan terentang hendak menangkap. Mikasa sudah memuntir sebelum Jean berhasil memeluknya.
Permainan tangkap-peluk-hindar ini berlangsung beberapa ketukan, lalu pada akhirnya, Jean berhasil menangkap dan memeluk Mikasa. Mereka dekat, saling pandang, berakting saling jatuh cinta. Jean terlihat bahagia lebih dari siapapun.
Levi menepuk tangan satu kali. Jean langsung melepas Mikasa, canggung. Mikasa masih tanpa ekspresi.
"Tidak buruk," komentar Levi datar, tak ada yang yakin ia tulus memuji. "Pianis, mainkan babak ketiga."
Musik lebih menggoda di sini. Babak ketiga adalah pertemuan Pangeran Siegfried dengan Angsa Hitam. Jean mengangkat pinggang Mikasa ke udara, menurunkan dengan lembut. Mikasa melirik Eren sekilas pada deret penonton, kemudian menatap pangerannya lagi. Mereka berakting cumbu, saling merapatkan wajah seolah hendak berciuman. Mikasa meliuk menjauh lagi. Tarik ulur. Senyum agak menggoda pada wajahnya yang terbiasa datar, senyum yang tak mencapai mata. Jean bersemangat mengejar.
"Oke. Stop."
Jean dan Mikasa berhenti berdansa.
"Kalian semua yang ada di sini, apa kalian yakin keduanya benar-benar saling menafsui?" tanya Levi.
Aula sunyi.
Hanji berdeham. "Levi–Yang barusan tidak seserius yang semalam, tentu saja."
Nada dingin. "Menurutmu apa yang kulihat semalam, Kacamata Busuk? Opera sabun lebih meyakinkan."
Sunyi lagi.
Mikasa maju. "Kau mau aku mengulanginya lagi?"
"Permasalahannya adalah, Mikasa, aku tidak dibuat yakin kau jatuh cinta dengan pangeranmu."
"Aku berusaha. Kalau aku memang tak pantas jadi Swan Queen aku siap mun–"
Levi mengangkat jari. Mikasa sontak mengatup mulut.
Kali ini Levi bersuara pelan: "Pebalet pria di sini. Adakah yang kau suka?"
Mikasa diam.
"Seluruh balerina di dunia menginginkan peranmu." Levi berjalan mengitar gadis itu. "Tapi kau, aku tahu, di sini kau hanya menginginkan pangeranmu."
"Sir, tidak perlu sampai seperti itu–"
Levi sudah kembali ke tengah aula. "Rumah produksi kita kembali nomor satu setelah pertunjukan Swan Lake semalam, dan untuk pertunjukan berikutnya, aku akan mengaudisi pemeran baru. Drama yang sama namun lebih modern, surreal, dengan pendekatan yang berbeda."
Bisik-bisik senang dan antusiasme para pebalet.
Eren menyeka keringat di leher, melirik sesal dan meyakini ia tak mungkin dipilih. Levi tidak menepuk bahunya.
"Para penari yang kutepuk pundaknya–"
Mata mereka berbinar, termasuk Bertholdt.
"–Silakan mengikuti kelas kalian seperti biasa."
Wajah-wajah bingung. Jean mendelik terkejut.
Mikasa melirik Eren, melihat lelaki yang ia sukai sedang membulatkan mata.
"Para penari yang tidak kusentuh pundaknya, selamat bergabung dalam tim. Temui aku di ruang studio principal." Levi menaiki tangga. "Selamat pagi."
.
.
Kamar apartemen itu selalu sunyi. Perabot modern warna monokrom dan dapur bersih. Kaca-kaca jendela yang ditutup gorden tipis. Kotak musik yang selalu berbunyi. Terdapat studio balet mungil di sudut ruang dengan tiga buah cermin ukuran badan; dua buah cermin saling menghadap dan sebuah cermin lagi di tengah-tengah yang telah pecah retak.
Saat Levi Ackerman terjaga di pagi hari, ia selalu menatap cermin itu pertama kali, setelahnya mengambil penyedot debu. Konter dapur dilap basah. Karpet digulung dan dikirim ke binatu. Rak sepatu balet digeser untuk dihisap debu di bawahnya. Belasan pasang sepatu balet peninggalan sang ibu, Kuchel Ackerman, dijejer ulang. Ia perhatikan apakah ada kerusakan. Bagian berlapis satin pada tumit ia gunting. Renda pita dijahit ulang sebelum disumpal busa.
Levi tak pernah melewatkan waktu bebersih apartemen sebelum bekerja, termasuk studio mini di sudut kamar. Kaca yang retak digerus pelan dengan lap basah dan cecair Windeex. Ia sebuah kaca retak namun mengkilat terurus.
Levi menatap cermin. Refleksi dirinya sedang menatap balik. Terbelah menjadi dua dipisah retakan. Levi mengangkat sebelah tangan untuk mengelap setitik debu di sudut retakan. Kaca itu sudah mengkilat tapi Levi terus menggosoknya.
Sarapan pagi dengan roti ham, air, dan berbutir-butir pil. Di hadapannya tergeletak sebuah piring kosong dan segelas susu. Tak ada yang menyentuh.
"Aku pergi."
Sang direktur meraih jas dan meninggalkan kediaman.
.
.
"Ide brilian macam apa lagi di kepalamu, Levi?"
"Kuakui tak sebrilian caramu melatih, Kacamata Busuk. Aku baru mendapat ilham setelah melihat pertunjukan Ackerman, dan karena melihat cerminku yang retak pagi ini."
"Abaikan cermin. Keponakanmu itu hebat, kan?"
"Hebat dalam hal dedikasi."
"Sama saja denganmu."
Levi dan Hanji tiba di ujung koridor.
"Tidak. Aku tidak pernah jatuh cinta pada seseorang sampai mengakar sepertinya." Levi membuka pintu studio dansa. "Selamat pagi, Company."
Di dalam studio, pebalet terpilih berdiri. Sebagian berwajah tegang, berkumpul, dan menyahut selamat pagi.
Mikasa masih duduk sambil melakukan perenggangan kaki. Ia menghuni pojokan sendirian tanpa kawan. Levi menatap gadis itu sekilas.
"Annie Leonhart," kata Levi tiba-tiba. "Tarikan dansa variasi Odette babak kedua. Pianis mainkan nadanya."
Annie, si balerina pirang, tampak terkejut. "Maaf, Sir? Kukira kita sudah memiliki seorang Ratu Angsa."
"Ratu Angsa berikutnya mungkin adalah kau jika kau berhasil menarik perhatianku."
Dengan itu wajah Annie mengeras. Ia langsung melangkah dan menari sesuai ketukan nada.
Aura kompetisi mengambang lagi.
Namun sepuluh menit berikutnya Annie menarik tas jinjing dan keluar studio. Wajahnya dingin emosional karena ia merasa dipermainkan. Levi membiarkannya pergi dan memanggil calon Ratu Angsa berikutnya audisi.
Lima belas menit berlalu, pintu studio terbuka dan tertutup. Satu per satu balerina dan danseur tak terpilih pergi. Hingga hanya tersisa Mikasa sebagai balerina paling senior. Pianis tak kenal lelah memainkan Odile's Coda dan gadis itu dengan cepat berdansa menyesuai.
Pintu studio terbuka lagi. Kali ini dengan bunyi gesek keras dan sepatu yang menggelincir lantai kayu.
Terkejut. Untuk pertama kali, Mikasa yang tanpa cela, tersandung.
Seorang pebalet lelaki terengah. Wajahnya penuh ketakutan. "Maaf aku terlambat!" pekik Eren Jaeger.
"Terima kasih sudah bergabung," sahut Levi, sarkastik.
Eren tertunduk segan, memburu langkah ke sudut ruang dan meletakkan ransel. Ia melepas jaket dan menyingkap pakaian latihan. Ia tergesa minum air dari termos.
Mikasa mengatur napas. "Aku ulangi?"
"Dengan pangeranmu," kata Levi. "Eren Jaeger, kau ambil peran Pangeran Siegfried di babak kedua."
Eren menyemburkan air dari mulutnya.
.
.
.
Glossary
Fondu: Teknik balet klasik, yaitu satu kaki dibuat menekuk, dan kaki lainnya di udara
Plié: Teknik balet klasik, yaitu kedua lutut menekuk, mengarah terbuka dengan punggung tegak.
Pointe: Teknik balet klasik, di mana penari balet menumpukan seluruh berat badannya pada ujung kaki.
Danseur: Pebalet pria
Soloist: Pebalet solo dalam sebuah ballet company/rumah produksi. Levelnya adalah di atas Corps de Ballet dan di bawah Principal Dancer
Pas de Deux: Tarian duet yang dibawakan oleh dua penari, biasanya pasangan lelaki dan perempuan.
Principal Dancer: Penari paling senior di sebuah ballet company/rumah produksi
Corps de Ballet: Istilah klasik yang berarti adalah sekumpulan pebalet yang menari dalam grup. Istilah yang sama juga mengacu kepada level penari di sebuah rumah produksi pertunjukan balet
Allegro: Gerakan lincah/bersemangat
Adagio: Tempo/gerak lembut
