You Are My...

.

.

.

Disclaimers: Masashi Kishimoto Sensii

Pair: Naru x Saku & Sasu x Hina

Warning: AU, OOC, Typo, Gaje, dan segala hal yang mungkin anda tidak sukai.

Don't like don't read.

.

.

.


Kau adalah musim panasku,

helai rambutmu, mengingatkanku mentari di senja kala,

matamu adalah langit cerah siang hari yang selalu menemaniku,

dan senyummu,

membuatku yakin bahwa kau adalah musim panasku.

hari ini, sampai maut menjemputku...

.

.

.

Chapter 1: You Are My Summer

Langit senja begitu indah. Suara cicit burung dan deru lembut angin sepoi-sepoi mengiringi sang mentari yang akan terbenam. Pemuda itu menerawang pada mega yang semakin lama semakin menipis. Begitu juga gadis disampingnya. Uzumaki Naruto dan... Haruno Sakura.

Mata keduanya memancarkan kebahagiaan. Kebahagiaan saat Sebuah rutinitas yang wajib mereka jalani setiap hari, mereka lakukan di detik itu juga. Ya, menyaksikan matahari terbenam di ufuk sana.

Sampai keheningan dan kedamaian itu terpecah oleh sebuah suara keras namun bernada lembut.

"Aku ingin kita terus seperti ini. Memandangi langit senja sampai mentari benar-benar terbenam." Gadis Haruno itu menatap pemuda Uzumaki di sampingnya. Lalu sang Uzumaki tersenyum.

"Kau bercanda, Sakura-chan... apa kau masih belum sadar, setiap hari kita berdiam diri di tempat ini sembari menatap mega-mega yang indah itu?"

"Aku menyadarinya. Hanya saja..."

"Sssst... diamlah. Sebentar lagi benda bulat bersinar itu akan seluruhnya membenamkan diri ke belahan bumi bagian lain."

"Kalau begitu, ayo kita hitung mundur!" Sakura berseru dengan antusias. Setelah itu, mereka berdiam diri sesaat.

"Baiklah." Naruto menghela nafas dalam.

"3..."

"2..."

"1!" Lalu, gelap menyelimuti keduanya.

.

.

.

"Naruto! Ayo bangun!" Sakura mengguncang tubuh sahabatnya yang masih terbungkus selimut tebal di pagi hari yang cerah itu.

"Hmm... aku masih mengantuk!" Naruto menarik selimutnya tepat ke ubun-ubun kepalanya.

"Bangun, baka!"

"DUAK!"

"Aw..." Urutan suara yang biasa didengar keluarga Namikaze di pagi hari ini terulang lagi. Nyonya Namikaze menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebuah senyum geli ia pasangkan saat dirinya menyiapkan sarapan untuk kedua remaja yang sedang bertengkar di lantai atas.

"Apa suara tadi berasal dari atas, Kushina?" Seorang pria tinggi yang tampan mendekat ke arah istri bersurai merahnya.

"Selalu." Jawab sang istri singkat sembari menyerahkan sepotong roti dengan selai jeruk kesukaan suaminya.

.

.

.

"Kyaaa~ Sasuke-kun~" Suara ribut terdengar dari gerbang sekolah Konoha High School.

Seorang pemuda bersurai gelap nampak malas dengan "rutinitas" pagi-nya di sekolah. Semenjak kakinya menapak keluar dari limousine hitam pribadinya, para gadis centil mengerubunginya. Dan kerubungan itu akan terus bertahan hingga dirinya sudah kembali duduk manis di jok empuk limousine mewahnya.

"Hn." Pemuda itu berjalan santai dengan wajah yang acuh tak acuh. Para gadis genit terus mengekorinya dari belakang.

"Aku mau fotonya~"

"Aku mau tanda tangannya!"

"Kyaa~ aku mau wajahnya!"

.

.

.

"Naruto!" Teriak Sakura dengan sebuah kotak bekal ditangannya.

"Hoi Sakura-chan!" Sahut pemuda bersurai blonde itu seraya mengibas-ngibaskan tangannya tinggi-tinggi.

"Aku bawa-"

"Bento!" Kata Naruto sebelum Sakura sempat menyelesaikan kalimatnya. Pemuda penyuka ramen itu meraih kotak bekal yang diserahkan Sakura padanya.

"Kau menebaknya!" Sakura nyengir manis, membuat jantung Naruto berdegup kencang.

"Ayo kita makan sama-sama!" Tangan kekar sang Uzumaki membuka kotak bekal merah muda sang Haruno.

Istirahat sekolah memang menyenangkan. Kedua sahabat itu selalu beristirahat di atap sekolah mereka. Menikmati cuaca musim panas yang baru saja dimulai.

.

.

.

Seekor tupai kecil meloncat ke arah mereka dari pohon sakura sebelah atap. Tupai itu juga sahabat mereka. Setiap istirahat, binatang bermata bulat itu tak pernah ketinggalan memungut remah bento yang berserakan antara Naruto dan Sakura.

"Mochi! Kau baru kesini rupanya!" Sakura mengulurkan tangannya ke arah binatang yang dinamainya Mochi itu.

"Untung bento-nya belum habis!" Naruto melirik tempat bekal Sakura yang masih terisi tiga buah bento.

"Ini, makan dulu punyaku," Kata Sakura sembari menyodorkan bento-nya yang tinggal sepotong pada Mochi.

Naruto menyukai Mochi. Binatang itu sungguh menggemaskan dan jinak. Lalu, matanya menangkap sang gadis bersurai merah muda sedang tertawa manis. Panas menjalar ke pipi-nya. Ia juga menyukai Sakura. Sahabat perempuannya dari dahulu yang selalu berada di sampingnya. Ia... memang menyukai Sakura!

.

.

.

Lagi-lagi dia. Naruto selalu melihatnya berjalan ke lokernya. Seorang gadis bersurai indigo panjang dengan mata lavender berdiri tepat di depan lokernya. Ya. Siapa lagi orang yang bermata lavender kalau bukan keluarga Hyuuga. Hyuuga Hinata. Gadis itu hampir setiap hari menggenggam sebuah amplop merah muda saat dirinya menemui loker Naruto. Tapi saat jemari lentiknya menyentuh gagang loker, wajahnya yang seputih salju memerah. Lalu dia pergi begitu saja

Dan kali ini Naruto kembali memergokinya saat pulang sekolah. Sontak, wajah adik kelasnya itu menjadi merah padam. Entah karena apa.

"Ummm... maaf, ada perlu apa ya, datang ke lokerku?" Naruto mencoba berbicara sehalus mungkin.

"A-ah, g-gomen, a-aku hanya... i-ingin memberikan i-ini!" Hinata membungkuk dan menyerahkan amplop merah muda itu.

Kedua halis Naruto bertaut. Memancarkan perasaan bingungnya pada gadia aneh ini.

"Oh. Arigatou. Kalau boleh tau, ini ap-" Belum selesai Naruto berbicara, gadis Hyuuga tersebut malah lari pergi entah kemana.

Naruto mengangkat kedua bahunya. Dan ia baru ingat, Sakura menunggunya di gerbang sekolah!

.

.

.

Sakura menengok arloji-nya. Sudah sepuluh menit ia menunggu kedatangan Naruto. Tapi pemuda itu tak muncul juga. Hingga sebuah sosok tinggi tertangkap oleh pandangannya. Itu... Uchiha Sasuke!

Pemuda itu selalu menjadi buah bibir seorang Ino. Yamanaka Ino. Teman satu bangkunya itu selaluuuuu saja membicarakan pemuda bermarga Uchiha tersebut. Saudara Sasuke juga pangeran sekolah. Adik dari Sasuke itu, Uchiha Sai, sangat diperebutkan oleh gadis-gadis kelas 10.

Sedangkan Sasuke? Dia adalah pangeran nomor satu yang dibicarakan hampir seluruh sekolah. Sakura tak mengerti, apa sih yang menarik dari Uchiha Sasuke? Kalau dilihat sih, memang tampan plus keren. Kantongnya juga tebal. Kalau otaknya? Jangan ditanya lagi! Semua orang dengan marga Uchiha adalah orang paling pintar di dunia! Tapi anehnya, tak ada sedikitpun rasa penasaran yang hinggap di otaknya pada sang Mister Perfect itu.

Pemuda itu berjalan tanpa mengucapkan permisi atau apapun pada Sakura. Jelas saja gadis bersurai merah muda itu kesal.

"Cih, dasar tidak sopan!" Gumam Sakura seraya mendeklik pada sang Uchiha itu. Walau pelan, sayang, sang Uchiha mendengarnya. Halis sebelah kanannya terangkat.

.

.

.

Naruto berlari melewati lorong sekolah. Amplop pemberian Hyuuga Hinata tadi ia lipat dan ia masukkan ke kantung celananya. Ia yakin, kalau ia terlambat menemui Haruno Sakura, gadis berwajah cantik itu pasti akan mengamuk.

Lalu larinya terhenti di depan perpustakaan. Dilihatnya dari jauh seorang gadis dan seorang pemuda sedang beradu mulut. Ia kenal keduanya. Gadis itu bersurai mencolok, merah muda. Siapa lagi kalau bukan Haruno Sakura? Dan yang satunya... pangeran sekolah yang sangat dikagumi seluruh gadis. Ah, semua orang pasti tau itu siapa.

Perlu diketahui, Naruto adalah salah satu dari lima pangeran sekolah. Peringkat pertama pangeran sekolah adalah pemuda itu, Uchiha Sasuke. Yang kedua masih bermarga Uchiha. Uchiha Sai. Yang ketiga, ya dirinya. Walau tampangnya konyol begitu, semua orang tau dia sangat pantang menyerah dan keren saat serius. Yang keempat itu bermarga Hyuuga. Hyuuga Neji. Tampangnya yang kalem sangat digilai gadis-gadis. Pangeran sekolah peringkat terakhir Inuzuka Kiba. Pemuda penggila anjing itu juga tak jarang dikerumuni adik-adik kelas.

"Naruto!" Sakura melambaikan tangannya ke arah Naruto. Naruto menoleh ke sumber suara. Ah, Naruto merasa ada pertanda buruk yang ia rasakan ketika melihat Sakura dan Sasuke.

.

.

.

"Dia itu so' perfect, ya!" Sakura menaruh pandangannya pada langit cerah kesukaannya.

"Hmm... lalu kenapa kau ajak dia ngobrol kalau kau kesal dengannya?" Naruto mengantungi lengannya.

"Aku bukan mengajaknya ngobrol! Dia itu tak sopan sekali lewat di depan seseorang tanpa mengucapkan permisi!" Kata Sakura sembari mengembungkan pipinya. Naruto terkikik.

"Semua orang yang bermarga Uchiha memang begitu tingkah lakunya!" Sakura mengangguk saat Naruto bilang begitu.

"Tapi... Mikoto sensei tidak begitu. Dia ramah dan baik hati, kok." Sakura tampak berfikir. Seorang Mikoto bermarga Uchiha? Jelas saja! Mikoto kan menikah dengan ayahnya Sasuke dan Sai yang bernama... ah! Tidak perlu dibicarakan!

"Sudahlah, tak baik menggosipi orang!" Lagi-lagi Naruto berkata bijak. Sakura malah sempat bertanya, sejak kapan sifat kekanakan Naruto hilang?

"Huh! Mau bagaimanapun, aku benci si Uchiha Sasuke itu!" Sakura mengepalkan lengannya keras.

"Sttt! Jangan teralu membenci orang! Nanti kau malah cinta dengannya! Cinta dan benci itu kan setipis kulit ari!" Naruto tersenyum saat Sakura menutup mulutnya. Tapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia tak mau Sakura sampai mencintai Sasuke.

.

.

.

Sakura terdiam di tepi ranjangnya. Ia merasa ada yang aneh pada dirinya. Dan itu berhubungan dengan Naruto.

Semakin hari, sebuah perasaan kecil di dadanya menumbuh pada Naruto. Perasaan yang... sulit dijelaskan. Tiba-tiba saja dadanya selalu berdebar kencang saat pemuda Uzumaki itu tersenyum padanya tadi sore. Ah, Sakura sangat tidak situasi seperti ini. Membuatnya selalu insomnia setiap malam.

Tapi... seorang adik kelasnya yang membuat dirinya khawatir. Hyuuga Hinata. Ia kenal baik dengan Hinata. Bahkan, ia sahabat dekatnya setelah Ino. Ia tau Hinata menyukai Naruto dari sekolah menengah pertama. Tapi hatinya... tak enak. Benar-benar tak enak!

.

.

.

Naruto masih tak percaya dengan apa yang ia baca saat ini. Seseorang bermarga Hyuuga menyukainya? Apa ini mimpi? Hyuuga adalah marga terkenal sekelas Uchiha. Apa-apaan ini?

Ternyata Hyuuga Hinata menyukainya sejak ia menolongnya dari keterpurukkan masa lalu. Masa dimana Uzumaki Karin, sepupunya, selalu menindas gadis pemalu itu. Tapi ia tak menduga Hinata akan menyukainya dengan cinta yang sangat besar.

Dirinya merasa kasihan pada gadis indigo itu. Tapi hatinya berkata lain. Ia akan selalu menyukai sahabatnya selama-lamanya. Ya, sahabatnya –Haruno Sakura.

Walau ia tau, akan sulit mendapatkan gadis merah jambu itu. Tapi semoga saja Kami-Sama berkehendak. Semoga.

.

.

.

Keduanya terdiam dalam hening. Membisu, mengunci rapat-rapat mulut mereka sendiri. Sebuah perasaan yang sama mengisi relung hati mereka berdua. Hanya saja... banyak halangan yang menghantui keduanya. Termasuk Hyuuga Hinata.

.

.

.

Naruto mendengarkan dengan seksama pembicaraan Hinata dan Sakura. Ia tak sengaja mendengar namanya disebut dalam percakapan itu.

"Sebenarnya aku... juga menyukai Naruto..."

DEGH...

Apa telinganya tak salah dengar? Sakura mengatakan menyukai dirinya? Di depan Hinata? Apa-apaan dia? Apa dia ingin membuat Hinata patah hati?

"Tapi..."

"Aku ingin kau menyatakan perasaan sebenarnya pada Naruto hari ini..." Lirih, tapi Naruto bisa mendengar perkataan gadis yang dicintainya itu... untuk menyuruh orang lain menyatakan perasaannya terlebih dahulu padanya.

Naruto tau, Hinata adalah sahabat Sakura juga. Tapi... rasanya begitu dramatis mendengar percakapan seorang gadis yang mengorbankan cintanya untuk sahabatnya secara langsung begini.

Sesak pastinya ada. Tapi mau bagaimana? Mau menghancurkan persahabatan orang yang dikasihinya demi cinta belaka? Ah, Naruto terlalu tak tega untuk melakukan hal seperti itu.

.

.

.

Sakura mengelap beberapa butir air mata yang jatuh ke pipinya. Menangis? Sakura adalah seorang gadis kasar yang jarang menangis, sobat! Tapi karena sahabatnya –atau lebih tepatnya pemuda yang ia cintai –, rasa sesak itu menyeruak tiba-tiba dalam dadanya. Hei, jangan sangka Sakura adalah gadis yang lemah! Walau begitu, ia tak menangis saat menyuruh Hinata untuk mengatakan perasaannya pada Naruto.

Ia menangis hanya saat ini. Saat ia melihat secara langsung Hinata mengatakan kalimat apa yang selalu ia ingin katakan pada Naruto si baka itu!

"Daisuki Naruto-kun!"

Kapan ia akan memanggil Naruto dengan sebutan –kun? Hmm... mungkin saja nanti malam saat ia memimpikan pemuda ceria itu.

"Apa kau mau jadi kekasihku?" Kalimat konyol itu belum Naruto jawab. Kasihan Hinata. Tapi Sakura lebih kasihan pada dirinya yang sekarang.

Ia harus meminta bantuan Sasuke untuk masalah selanjutnya.

.

.

.

Sakura berlari kecil ke arah lapangan basket yang sudah kosong melompong. Ralat, masih ada Sasuke di situ. Melatih agar bolanya selalu masuk ke dalam ring saat ia men-shoot-nya.

Ia perlu berbicara pada pemuda beriris onyx itu. Ya... tentang Hinata dan Naruto tentunya.

"Hoi Sasuke!"

.

.

.

Dan gadis bersurai mencolok itu berhasil mengetahui tentang perasaan Sasuke pada Hinata. Ia menyukai Hinata. Ya, kata yang cukup bagus untuk membuat seorang Yamanaka Ino menjerit histeris.

Setelah itu, Sakura menjelaskan rencananya pada Sasuke. Ia tau Sasuke agak susah merelakan gadis yang ia sukai itu. Tapi Sakura berkata,

"Apa kau tak ingin Hinata bahagia? Apa kau tak ingin Hinata tersenyum tulus? Dan apa kau ingin Hinata terus mengejar bayangan Naruto sampai menderita?"

Dan jelas, pemuda onyx itu menggeleng samar.

Lalu Sakura tersenyum hambar. Ia akan menjalankan siasat selanjutnya, membujuk agar Sasuke menjadi kekasih pura-puranya. Itu ia lakukan agar Naruto tak berharap lebih padanya lagi. Ya... walau ia harus merasakan perih yang sangat terlebih dahulu.

Lalu? Sasuke setuju!

Hinata, kau tak akan tau pengorbanan seorang Haruno Sakura yang sangat besar ini. Kau tak akan tau.

.

.

.

Naruto menengadah, mewadahi tetesan-tetesan hujan di musim panas pada lengannya. Sejak kapan ia dan Sakura mulai menjauh? Sejak kapan Sakura dekat dengan pemuda bermara Uchiha itu? Dan sejak kapan ia menjalin asmara dengan Hyuuga Hinata?

Ah, dunia ini cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin Hinata memintanya untuk menjadi kekasihnya, dan Sakura tersenyum hambar saat dirinya menceritakan bahwa ia sudah menjalin sebuah hubungan dengan Hinata karena paksaan pemuda keren bermarga Uchiha, Uchiha Sasuke. Hei, ternyata Kami-Sama berkehendak lain! Naruto hampir saja putus asa.

Bukannya waktu itu ia mendengar Sakura berbicara pada Hinata kalau dia menyukainya? Tapi kenapa malah Hinata yang sekarang menjadi kekasihnya? Kenapa bukan gadis yang dicintainya?

Dan sekarang sudah setahun ia tak beristirahat bersama dengan Haruno Sakura. Tentunya ada yang ganjil. Tak ada gadis berisik dan suka menggosip di sebelahnya akhir-akhir ini. Hanya ada gadis pemalu yang sulit sekali diajak berkomunikasi. Begitu juga suasananya. Kaku dan sepi.

Bento buatan Hinata memang jauh lebih lezat daripada buatan Sakura. Tapi lidahnya tak cepat akrab dengan rasa baru itu. Mochi juga menjadi jarang mengunjunginya. Ia tak tau apa sebabnya hewan manis itu menjauh dari Hinata yang sama-sama manisnya dengan hewan itu.

Hatinya sakit saat memergoki Sakura dan Sasuke jalan bersama. Pelupuk matanya selalu agak basah saat itu juga. Hei, bagaimana dengan Hinata? Naruto kasihan pada gadis tulus itu. semua yang dijalaninya sekarang hanyalah sebuah kepura-puraan belaka!

Ah, Sakura...

.

.

.

Untuk malam yang kesekian kalinya Naruto naik ke atap rumahnya. Dengan sehelai kertas yang sudah kusam, Naruto selalu terlelap di sana. Tak ada alasan untuk turun. Bahkan Kushina dan Minato sudah angkat tangan dengan perlakuan puteranya itu.

Secarik kertas kusam dengan sebuah puisi yang selalu menostalgiakan ingatannya pada kenangan manis yang dulu ia dan Sakura buat.

Sepenggal puisi yang menjadi tugas bahasanya dan Sakura saat sekolah menenah pertama. Puisi buatannya ia beri pada Sakura. Jadi yang sekarang ia genggam ini, karya murni seorang Haruno Sakura untuknya.

Ia selalu membacanya, bahkan ia hafal setiap kata dari puisi itu. Malam ini, bulan, bintang, dan angin malam adalah pendengar setia puisi itu.

"Kau adalah musim panasku..."

Tentu. Naruto adalah penghangat semua situasi. Semuanya akan ia buat ceria dan tersenyum kala itu.

Tapi tidak untuk saat ini. Naruto ingin hatinya menjerit sekeras-kerasnya pada takdir yang begitu tajam dan runcing. Membiarkan Sakura mendengar kekonyolannya lagi.

Oh ayolah... Naruto tak ingin menjadi musim dingin!

"... helai rambutmu mengingatkanku pada mentari di senja kala..."

Tapi apa sekarang? Bahkan Naruto selalu tak sudi menatap senja indah itu. Berani menatapnya sama dengan berani membuat hatinya sendu kembali.

Seonggok rindu selalu bersarang di perasaannya. Rindu pada mega senja dan senyum manis sang pujaan hati, rindu pada kegelapan sedetik setelah mentari terbenam, dan juga rindu hitungan mundur yang selalu dilakukan dirinya dan Sakura di detik-detik terakhir matahari akan terbenam.

"... matamu adalah langit cerah di siang hari yang selalu menemaniku..."

Cerah katamu? Sejak kapan langit cerah minggu ini? Musim panas tahun ini gagal! Lihat, bahkan bulan, dan bintang yang satu menit tadi masih ada ditempatnya, sudah tertelan gumpalan hitam awan.

Naruto menyesali semuanya! Ia menyesali telah menyukai sahabatnya yang sejak dulu menemaninya suka maupun duka. Naruto menyesal!

"... dan senyummu... membuatku yakin bahwa kau adalah musim panasku..."

Argh! Naruto benci detik-detik terakhir puisi itu habis. Ia benci sekali!

"... hari ini..."

Sedikit lagi Naruto menyelesaikan semuanya.

"... sampai maut menjemputku..."

Dan Sakura melayang di setiap sudut pandangannya.

.

.

.

Tunggu, sejak kapan Naruto ada di teras rumah Sakura? Apa ia berjalan saat tidur?

Pagi ini, Sakura menjerit kaget saat seonggok raga yang mengkhawatirkan berbaring di lantai terasnya. Apa itu Naruto? Pemuda itu tidur memunggungi pintu rumahnya. Hampir saja kedua orang tuanya memanggil polisi karena putri tercintanya menjerit sangat keras karena hal yang tak mereka tau.

Dengan ragu, Sakura menyentuh pipi Naruto. Hangat. Tidak, Naruto panas! Oh, Sakura sudah menduganya. Ia tau pemuda nekad itu selalu tidur di atap rumah karena... entahlah. Sakura tak begitu tau apa yang menjadi beban pikiran Naruto.

"Naruto..." Suara haus Sakura membuat Naruto membuka kedua matanya refleks.

Dengan sigap, Naruto memutar tubuhnya. Dan... ada sedikit rasa nyeri dan ngilu di sendi-sendinya.

"Argh..." Meringis kecil, Naruto mengusap punggungnya.

"Apa kau baik-baik saja?" Terlihat sekali kecemasan muncul di wajah Sakura.

"Aku..."

"Kau demam!"

.

.

.

Hari ini Sakura tak masuk sekolah. Hinata jadi khawatir. Apalagi Naruto ikut-ikutan absen di kelas –kata Mikoto sensei.

Hinata duduk sendiri di kantin. Menunggu seseorang yang sudi untuk duduk di sebelahnya. Segelas jus tomat belum setengahnya habis ia teguk. Pikirannya melayang pergi entah kemana.

Ia bingung soal hubungannya dengan Naruto. Ia merasa ada yang kurang dari ikatannya itu. Kasih sayang.

Ya... ia tau Naruto selalu mengasihi dan menyayangi siapapun. Tapi ia tak yakin kalau Naruto akan menyayanginya sebesar rasa sayang pemuda itu pada Sakura.

Kalau dipikir, hubungannya dengan Naruto tidak membuatnya senang. Ia malah merasa sebagai perusak hubungan Naruto dan sahabatnya Sakura. Ah, Hinata merasa sesak saat ini juga.

"Boleh aku duduk di situ?" Sebuah suara bernada datar membuatnya hampir saja melonjak dari kursi kantin.

"Eh, um... bo-boleh..." Kebiasaannya berkata gugup ia keluarkan secara spontan.

"Hn. Arigatou..." Setelah mengatakan itu, si empunya suara menghempaskan bokongnya tepat di sebelah Hinata.

"Kyaaaa~ gadis aneh itu merebut Sasuke-kun~"

"Kyaaaa~ sialah kau gadis jelek!"

"Sasuke-kun punyaku~"

Beberapa suara manja memekakan telinga ditangkap oleh gendang telinga Hinata.

Hhh... inilah resiko duduk di sebelah pangeran sekolah kelas satu di Jepang!

.

.

.

Naruto menggigil. Tubuhnya panas sekali. Dan itu membuat Sakura menggigit bibir bawahnya pelan. Jemari lentiknya tak berhenti meremas ujung rok sekolah yang belum sempat ia ganti tadi. Cemas, gelisah, dan... entah apalagi yang memenuhi rongga dadanya sekarang.

"K-kenapa kau tak sekolah?" Naruto menelaah langit-langit kamarnya. Sakura terdiam sepi.

Sekitar satu menit mereka tenggelam dalam suasana beku, Sakura mencoba berkata,

"A-aku... aku cemas..." Dan setelah itu, hening kembali menyelimuti keduanya.

"Apa kau tak cemas pada 'Pangeran Tampan'-mu akan dikerumuni para fangirl-nya?" Naruto tampak kesakitan saat itu. Kesakitan fisik maupun psikis.

"Aku tak peduli." Lalu Sakura menunduk.

Kedua halis pirang Naruto bertaut.

"Apa-"

"Aku tak bisa mendiamkan 'sahabatku' yang sedang menderita seperti ini." Sakura memotong kalimat Naruto. Raga dan jiwanya merintih saat dirinya sendiri membohongi sebuah perasaan. Perasaannya pada Naruto.

"Hinata..." Sepatah kata yang membuat Sakura hampir terisak keluar dari mulut Naruto.

"... aku rasa Hinata tak bahagia denganku..." Jantung Sakura berpacu cepat.

"... dia... selalu bungkam. Aku berusaha terbuka padanya, tapi..."

"Itu memang karakternya, baka!" Sakura memaksakan kepalan tangannya mendarat di ubun-ubun pemuda yang sedang lemas itu.

Tak ada rintihan. Naruto menerima dirinya disebut 'baka'. Dan itu membuat Sakura ingin sekali mematahkan tangannya. Buat apa sih memukul Naruto di saat seperti ini?

"Gomen..." Samar, Sakura meminta maaf. Membuat Naruto tersenyum kecil.

.

.

.

Kushina dan Minato tersenyum. Mengintip di lubang kunci pintu kamar putera mereka, rasanya menyenangkan. Sakura dan Naruto memang sahabat sejak masiiiiiih sangat kecil. Bisa dibilang sahabat sejak bayi!

Kushina merasa dirinya ada dalam diri Sakura. Dan dia juga merasa bahwa Naruto dan gadis cantik bersurai merah jambu itu akan bersatu suatu saat nanti. Hanya waktu yang akan mengatur mereka. Dan Kami-Sama tentunya.

.

.

.

Naruto lelah bersabar demi gadis yang sedang terlelap di sampingnya itu. Tapi dirinya tak akan pernah putus asa. Ia yakin semua akan indah pada waktunya. Tunggulah, Sakura!

.

.

.

TBC

.

.

.

Yup! NaruSaku pertama yang pernah Mizu buat. Gomen kalau alur cepat, GaJe, typo, dan segala macem yang bikin mual (?)

Jadi, Mizu minta sesuatu, ya dari para senpai...

R
E

V
I
E
W
?