© 2015 sehunorita
proudly present
BEAUTIFUL DISASTER
aku tidak bisa untuk tidak mencintaimu
a HunHan fanfiction
Romance | T | Twoshoot
HunHan ; slight–and–broken!HunBaek ; slight–and–broken!KrisHan
Luhan menarik napasnya, baru saja ia menginjakkan kakinya di negri gingseng yang selama tiga tahun ini ditinggalkannya. Tiga tahun pergi ke negara orang di Kanada sana membuatnya merasa menemukan lingkungan familier begitu menatap sekeliling tempatnya berpijak sekarang. Wajah khas asia kini mendominasi di matanya, tidak seperti beberapa jam lalu yang sekelilingnya masih orang–orang dengan wajah yang oriental.
Dengan tenang ia melangkah keluar untuk menemui seseorang yang katanya siap menjemputnya. Ia mengedarkan pandangannya sekali lagi begitu tubuhnya sudah berada di luar bandara. Ada begitu banyak orang yang kehadirannya disambut begitu hangat, ada pula yang sekedar disambut oleh sopir pribadi atau sopir taksi. Luhan tersenyum, ia yakin pasti nanti jika bertemu dengan sahabatnya, Minseok, yang katanya akan menjemputnya, pasti akan menghasilkan keributan–keributan kecil karena antusias mereka.
"Luhan-ssi," suara seseorang yang tiba–tiba menyapa Luhan membuat Luhan terkejut, ia menoleh dan mendapati seorang laki–laki manis dengan senyumannya yang khas ditambah pipi tembam yang putih seperti bakpao. Luhan tertawa melihat sahabatnya yang baru saja menyapanya begitu sopan tadi.
"Minseok-ie!" Luhan melepas genggaman tangannya pada koper lalu memindahkan tangan itu untuk melingkar pada tubuh sahabatnya. "I miss you!"
"Aku juga," Minseok tertawa, ia membalas pelukan Luhan sama eratnya untuk memberi tahu berapa rindunya pada Luhan.
"Oh astaga, lihatlah dirimu!"
"Wae wae?" Luhan terkekeh saat tangan Minseok mendorong bahunya lalu menatap dirinya dari atas ke bawah. "Ada yang salah denganku, Minnie?"
"Kau… oh, ini benar–benar Luhan? Luhannie? Sahabatku?"
"Oh, ayolaaah," Luhan berujar dengan suara yang ditarik–tarik, juga memutar bola matanya karena sahabatnya yang begitu heboh.
"Kau keren sekali!" Minseok mengacungkan satu ibu jarinya dengan gigi–gigi putihnya yang ia pamerkan.
"Sungguh?"
"Ya, tentu! Lihat lah, rambut blonde-mu begitu cocok dengan kulitmu. Kau terlihat bersinar dengan cahaya keemasan."
"Waw, aku tersanjung sekali, Minseok-ie. Tapi bisa kah kita segera ke apartemenmu? Tubuhku sangat merindukan kasur."
Minseok tertawa, "tentu. Ayo kita kembali ke apartemen kita, Luhan-ie~!"
Selama perjalanan menuju apartemen Luhan terlihat begitu bersemangat dengan pekikan yang lucu karena melihat pinggir jalan. Ia terlihat begitu mengagumi kota Seoul di malam hari, padahal Minseok yakin di Kanada sana tidak kalah keren—bahkan kemungkinan besar lebih keren— dibandingkan Seoul.
Luhan bahkan tidak bisa menyembunyikan antusiasnya saat melihat jajanan pinggir jalan—padahal hampir di tiap pinggir jalanan ada saja jajanan. Namun, untuk hal itu, Minseok cukup maklum. Pasti di Kanada sana sulit untuk mendapati jajanan pinggir jalan seperti di Seoul yang jalas Luhan sangat sukai itu.
"Oh iya, besok kita sungguhan berlibur ke villa?"
"Begitulah," Minseok tersenyum simpul. "Kau tidak sabar ya bertemu dengan teman lamamu?"
"Tentu saja! Siapa saja yang ikut?"
"Hm… seingatku ada aku, kau, Chanyeol, Baekhyun, Jongin, Yixing, Kyungsoo, dan Sehun."
"Itu villa milik siapa? Kenapa gratis?"
"Milik Sehun. Katanya itu baru saja dibuat, jadi dia mengajak kita. Sekalian merayakan kepulanganmu ke Korea."
"Wah," Luhan terkekeh mendengar pernyataan Minseok, "begitu?"
"Yap," mobil yang dikendarai Minseok berhenti di depan sebuah apartemen yang masih sangat Luhan kenal. "Ayo, kita sudah sampai."
"Tidak di parkirkan?" Luhan keluar mengikuti sahabatnya, membantu Minseok menarik koper yang berisi barangnya.
"Tidak," Minseok melempar kunci pada orang berseragam yang sudah menunggu di samping mobilnya. "Apartemen ini makin keren, biayanya juga makin mahal. Aku berpikir untuk pindah, tapi karena di tempat kita tinggal waktu itu ada banyak kenangan, aku jadi tidak rela dan menambah jam buka café milikku. Penghasilannya lumayan."
"Sungguh?" Yang tengah menarik koper itu terkekeh. "Wah, kau benar–benar menyayangiku ya? Aigoo, aku terharu."
"Diam atau kau aku suruh tidur di luar, huh?"
.
Luhan terbangun dari tidur saat ponselnya menyerukan seruan bangun pukul enam pagi. Langit sudah mulai bercahaya dengan warnanya yang setengah merah, terlihat dari lubang ventilasi kamar. Dengan segera ia beranjak dari tidurnya lalu berjalan menuju dapur, berniat mengambil air putih untuk menyegarkan tenggorokannya.
Begitu sampai di dapur ia menemukan Minseok sudah berkutat dengan penggorengannya.
"Minseok-ie, sedang apa kau?"
Yang dipanggil itu menoleh sambil tersenyum, "Membuatkanmu sarapan."
"Tanpa membangunkanku dulu?" Luhan meraih satu gelas minum dan menuangkan air putih yang tersedia ke gelasnya.
"Begitulah," Minseok terkekeh, "aku tidak sabar memasakkanmu makanan, jadi begitu aku bangun aku langsung membuat saja. Dan aku pikir membuat ini kejutan tidak ada salahnya."
Luhan menarik satu bangku untuk ia duduki, lalu ia meneguk minumnya. "Kejutan? Aah, sayang sekali aku sudah bangun lebih dulu. Ya sudah, lekas selesaikan makananmu, aku tidak sabar."
Minseok diam, ia kembali fokus pada masakannya. Luhan tertawa ringan menyadari betapa fokusnya Minseok pada makanannya yang Luhan yakini sebenarnya masakan itu sebentar lagi jadi.
Begitu melihat Minseok sudah mematikan kompor dan mulai menumpahkan masakannya ke atas piring, yang sudah tidak sabar menanti itu langsung bersemangat. "Sudah jadi?"
Minseok mengangguk sambil membawa piring yang berisi omelet dengan banyak sayur dan nasi berwarna kekuningan. Itu pasti omelet dan nasi goreng mentega buatan Minseok yang selalu Luhan ridukan. Luhan tersenyum senang saat piring yang dibawa Minseok sudah berada di hadapannya.
"Selamat makan, Luhan-ie!" Dengan semangat Minseok setengah berseru, ia duduk di hadapan Luhan dengan mata penuh binar yang menggemaskan mempersilakan Luhan makan.
Luhan terkekeh kecil, "terima kasih, Minseok-ie. Kau tahu saja aku merindukan masakanmu yang satu ini."
"Sama-sama, Luhan-ie. Cepat selesaikan makananmu lalu bersiap–siap untuk pergi ke villa nanti. Aku mau mandi dulu, kau jangan lupa mandi, Luhan!"
"Iyaaa," Luhan pun mulai memakan makanan yang Minseok buat untuknya.
Saat makanan di piring sudah habis, Luhan langsung membawa piring untuk makannya ke tempat cuci piring untuk mencucinya. Setelah selesai ia pergi ke kamar untuk mengambil handuknya, lalu segera mandi.
Di dalam kamar mandi Luhan sempat memikirkan kegiatannya nanti di villa. Bertemu dengan teman semasa high school tentu bukan hal yang perlu ditakuti, tapi menyadari bahwa ada seseorang yang dulu sangat ia sukai—bahkan ia ragu apa perasaan itu sekarang sudah menyurut atau belum— adalah hal yang sangat ingin Luhan hindari. Rasanya tidak keren jika nanti tiba–tiba jantungnya berdegup cepat saking gugupnya berdekatan dengannya, atau justru nanti matanya tidak bisa teralihkan darinya, tentu terasa aneh untuk seseorang yang sudah bukan siswa sekolah, 'kan?
Luhan menghela napas. Bertanya–tanya apa orang itu sengaja membuat acara ini ada agar bisa mengejek perasaannya padanya yang tidak berubah? Lagi pula Luhan dengar dia sudah punya kekasih, kekasihnya juga salah satu temannya semasa sekolah dulu. Hanya saja, bukannya Luhan juga sudah memberi tahu teman–temannya kalau dirinya sudah memiliki kekasih? Oh, mungkin itu hanya pemikiran konyol Luhan, bukannya dulu orang itu justru mengajaknya untuk melupakan masa–masa senior high school mereka yang dikelilingi perasaan merah jambu itu?
Seketika ingatan Luhan terbawa ke bandara tempatnya kemarin baru tiba di Korea. Kejadian tiga tahun lalu setelah dirinya lulus dan mendapatkan berita bahwa namanya masuk ke dalam siswa beruntung yang dapat sekolah di Kanada sana lewat guru kesiswaannya. Semua temannya senang sekaligus setengah tidak rela melepaskan dirinya, begitu pula seseorang yang sangat Luhan sukai itu.
Hari itu Luhan sudah berada di bandara, semua barang bawaannya yang sekiranya ia perlukan sudah ia taruh di koper dan satu kardus ukuran sedang. Semua temannya berada di hadapannya sambil mengucapkan banyak kalimat yang membuat Luhan berpikir akan sangat merindukan mereka nanti ketika di Kanada. Hanya saja ada satu yang kurang, seseorang yang selalu membuatnya berdebar belum tiba juga meski tadi di pesan mengatakan akan segera ke bandara. Luhan menunggu. Penerbangan masih setengah jam lagi dan itu bukan masalah besar menunggu seseorang, 'kan?
Terlewat lima belas menit yang ia tunggu tidak datang juga, semua temannya ikut penasaran ke mana orang itu. Bertanya–tanya kenapa ia begitu lama untuk datang ke bandara padahal akan tidak bertemu Luhan lagi setelah tiga tahun.
Hingga suara panggilan khas pemuda itu muncul, membuat Luhan dan temannya yang lain menoleh. Luhan memasang ekspresi senangnya, merasa lega pemuda yang ia tunggu itu datang juga. Ia berdiri, menantinya menghampiri diri Luhan yang sudah menunggu sejak tadi.
"Kau lama," Luhan bergumam saat pemuda yang lebih tinggi darinya itu berada di hadapannya.
"Di jalan macet, maaf," pemuda itu menunjukkan cengirannya.
Luhan mengangguk, "semua mengkhawatirkanmu. Kami pikir kau kenapa–kenapa."
"Aku baik. Kapan kau akan terbang, hyung?"
Ia berpikir, lalu mengerling pada jam yang ada di tangannya, "sepuluh menit lagi. Ingin berbicara sesuatu?"
Pemuda itu mengangguk, "Hyung… lupakan hubungan kita. Kupikir mengingat hubungan ini hanya akan membuatmu berantakan nanti," ia bersuara dengan pelan, bermaksud agar hanya Luhan yang bisa mendengarnya.
"A–apa?" Luhan menatap orang dihadapannya bingung, menahan diri agar tidak memekik dan memancing rasa penasaran teman–temannya.
"Kita tidak pernah punya hubungan serius, hyung. Aku tidak suka terikat dan kau sekarang akan pergi ke luar negri. Aku mencintaimu, tapi aku sungguh tidak mau kau jadi sedih di sana. Aku yakin kau akan menemukan yang lebih baik dariku, mau mengikatmu meski tidak kencang, bukan yang sepertiku. Hubungan jarak jauh itu bisa saja hanya memakan hati."
"Yang benar saja. Aku tidak keberatan berhubungan jarak jauh denganmu. Kalau kau berpikir aku mau diikat meski tidak kencang, aku mau itu kau! Kau benar–benar tidak ingin mengikatku? Menjaga diriku agar tetap denganmu? Kita merahasiakan ini semua, tapi aku tidak keberatan jika kau memberi tahu mereka sekarang."
"Hyung," pemuda itu menatap Luhan serius. "Aku sangat menyukaimu—ani, aku sangat mencintaimu. Hanya saja aku ingin kau fokus, ambil yang terbaik di sana. Jika waktu berbaik hati, mungkin nanti kita bisa saling memiliki."
Luhan tersenyum miris mengingat percakapan beberapa menit sebelum penerbangan waktu itu. Semua terdengar dan terlihat lucu. Apa lagi setelah tiga bulan ia pergi kabar pemuda itu memiliki kekasih yang juga teman dekatnya dulu rasanya begitu mengguncangnya. Apa dia memang sudah mengincar seseorang lain, sehingga meminta dirinya berakhir saja? Luhan tertawa lagi untuk hal itu. Berita jadinya orang yang sangat ia cintai dengan teman dekatnya itu membuatnya mati–matian mencari seseorang. Luhan pikir memacari seseorang akan membuat dirinya lupa, sekalian menunjukkan pada orang itu bahwa dirinya juga bisa.
Hanya saja… perasaan tetap saja perasaan. Jika hatinya memang masih menyukai pemuda itu, tentu mungkin saja, 'kan? Luhan menghembuskan napasnya. Mood–nya jadi sedikit aneh karena flashback ke kenangan masa lalunya.
Acara mandi pagi ini jadi sedikit lebih lama karena seorang pemuda yang dari dulu menarik hatinya itu. Ia dengan malas meraih handuknya lalu mengeringkan tubuhnya, melilit handuk pada bagian pinggang dan setelah itu berjalan keluar menuju kamar untuk memakai pakaiannya.
Begitu Luhan selesai memakai pakaiannya, ia langsung meraih tasnya yang memang berisi dengan pakaian dan beberapa barang keperluannya. Ia menemui Minseok yang tengah berada di dapur, menata makanan yang katanya perlu dibawa pergi, berjaga–jaga kalau lapar.
"Kau sudah siap?" Minseok menjinjing tasnya dan yang satunya ia gendong.
Luhan mengangguk, "aku siap!"
"Ayo turun," Minseok meraih tangan Luhan dengan tangannya yang kosong.
.
Begitu sampai di halaman apartemen, sebuah mobil berwarna hitam dengan jendela terbuka lebar dan seorang pemuda yang sangat Luhan kenali wajahnya sudah berada di sana. Luhan melambai pada orang itu begitu mata mereka bertemu pandang, langkahnya ia percepat karena Minseok ternyata sudah dengan semangat menghampiri mobil hitam itu.
"Luhan!" Orang yang wajahnya sangat ia kenali itu memekik senang sambil membukakan pintu untuk Luhan.
"Yixing-ie~!" Luhan tersenyum saat pemuda yang ia panggil Yixing itu menggeser tubuhnya dan mempersilakan Luhan duduk di sampingnya. "Di mana aku harus meletakkan tasku? Aku rasa ini akan menganggu bila kuletakkan di sini."
"Kemarikan, hyung," yang duduk di belakang mengulurkan tangannya. Luhan pun memberikan tasnya pada orang itu sambil tersenyum hingga maniknya tanpa sadar bertemu panjang dengan mata elang yang sangat ia kenal. "Hai, Luhan-hyung," orang itu menarik sudut bibirnya lalu mengambil alih tas Luhan dan setengah melemparnya ke belakang.
"Terima kasih, Sehun-ah."
Sehun, orang yang dulu menjadi bagian dari pewarna harinya. Orang yang mengatakan jika waktu berbaik hati, mungkin mereka bisa saling memiliki. Orang yang akhirnya sudah mendapatkan tambatan hati baru setelah dirinya tiga bulan berpisah karena jarak. Untuk itu, Luhan tertawa dalam hati. Dugaannya akan hatinya yang mungkin saja bergetar, darah yang berdesir lebih cepat, dan jantungnya yang berdegub lebih dari dua kali lipat, itu semua benar. Orang itu masih seseorang yang berbahaya bagi kesehatannya.
"Ya, sama–sama hyung-ie."
Perjalanan menuju villa mereka habiskan dengan bernyanyi dan sesekali bercanda gurau. Baekhyun dan Chanyeol yang memang terkenal sebagai manusia dengan energi tanpa batas bernyanyi paling keras bahkan ketika yang lainnya sudah kelelahan, sampai meminta air minum karena kehausan.
Luhan sesekali melirik ke belakang, mencuri–curi pandang pada pemuda kulit putih yang sibuk tertawa atau ikut bernyanyi ria. Luhan menertawakan dirinya, merasa lucu karena tingkahnya sendiri yang kacau padahal hanya seseorang di masa lalunya.
"Luhan," Minseok menyenggol lengan Luhan sambil berbisik. "Aku melihatmu."
"A–apa?" Luhan mengerling bingung pada sahabatnya.
"Kau," sahabatnya itu menunjuk diri Luhan dengan jarinya yang bulat-bulat. "Dan orang itu," Minseok menunjuk dengan dagunya pada Sehun. "Kau terus memperhatikannya."
Luhan mengedipkan matanya dengan bingung. "Apa sih?"
Minseok tertawa lagi, "Kau terus melirik padanya, kau menyukainya? Jangan, dia sudah milik Baekhyun."
"Yang benar saja," si rusa itu tertawa renyah. "Hei, ganti lagunya, jangan ballad begini!" Ia mencoba untuk tidak menatap Minseok, berganti pada Chanyeol yang memegang remote.
"Okay, Luhan-hyung!" Lagu langsung berubah menjadi lagu pop yang tengah populer akhir-akhir ini.
Mereka semua setengah berteriak mengikuti liriknya sampai sampai Yixing yang tadi tertidur kembali terbangun dengan ekspresi linglung. Ia menatap teman-temannya dengan maklum, kebiasaan mereka memang berteriak kalau mood sudah baik. Yixing pun akhirnya memutuskan untuk mendengarkan saja teman-temannya, karena kalau sudah ribut begini pasti nafsu untuk tidurnya pun hilang.
"Kami membangunkanmu, eh?" Luhan menatap Yixing yang masih memasang ekspresi mengantuknya.
Yixing mengangguk sambil tersenyum, "Tidak apa–apa, kalian pasti senang sekali."
"Memangnya kau tidak senang?"
"Aku senang," Yixing terkekeh, "tapi semalam aku mengerjakan tugas sampai larut, jadi aku mengantuk dan kelelahan."
Luhan mengangguk paham, "Baiklah, sampai sana kau harus lekas tidur!"
Setelah menghabiskan waktu di mobil untuk pergi ke villa selama beberapa jam, mereka semua akhirnya sampai di tujuan. Tempatnya ada di dekat pantai dengan pemandangan luar biasa indah, Baekhyun langsung berteriak kegirangan melihat pemandangan yang menyambutnya.
"Kita bisa lihat sunset yang indah tidak di sini?" Baekhyun bertanya dengan senyum manis pada kekasihnya yang lengannya ia rangkul.
Sehun terkekeh lalu mengacak rambut Baekhyun, "tentu saja. Itu kesukaanmu, 'kan?"
Luhan tertawa dalam hati mendengar obrolan—yang harus Luhan akui— manis itu, ia melirik sebentar pada sejoli yang saling merangkul mesra lalu segera menfokuskan dirinya pada kegiatannya. Ia menggendong tasnya serta membantu membawakan satu ikat kayu bakar yang katanya untuk api unggun nanti malam.
"Bisa kalian lanjutkan kegiatan kalian nanti?" Jongin setengah berteriak pada Sehun dan Baekhyun. "Aku pikir kita perlu tahu di mana kita bisa meletakkan barang, Sehun-ah!"
Sekali lagi kekehan keluar dari diri Luhan, bedanya kali ini jelas nyata karena semua juga tertawa pada pernyataan lucu dari Jongin itu. Sehun dan Baekhyun langsung melepas rangkulan mereka masing–masing, setelah itu membantu teman–temannya mempersiapkan barang.
"Tidak ada kamar," kata Sehun begitu semua sudah berkumpul di ruang tengah.
"Apa?"
"Yang benar saja!"
"Lalu kita tidur di mana?"
Beberapa pertanyaan muncul dari orang-orang di hadapan Sehun. Sehun yang sepertinya sudah siap mendengar pertanyaan itu terkekeh.
"Kita tidur bersama di ruang tengah, bukankah itu menyenangkan? Aku pikir kita di sini untuk berkumpul, jadi aku ingin tidur pun kita bersama."
"Kau menjijikkan," Kyungsoo mendelik jijik pada pernyataan Sehun.
Semua yang ada di sana menyetujui ucapan Kyungsoo sambil tertawa, Sehun yang ditertawakan hanya memasang ekspresi kesalnya yang lucu.
"Ayo kita bagi tugas," Sehun menatap hyung–hyung-nya satu persatu. "ada yang memasak, membersihkan villa sekaligus mengangkat kasur ke ruang tengah. Siapa yang mau memasak?"
"Aku, Kyungsoo, Yixing, dan Luhan mungkin bisa yang memasak. Atau ada yang lain?"
"Luhan-gege bisa memasak?" Yixing memiringkan kepalanya, menatap Luhan.
Luhan mengangguk gugup, "aku bisa…, tapi mungkin aku membantu beres–beres saja, Minnie."
"Eh, kenapa?"
"Kalau di dapur ada terlalu banyak orang itu pasti bingung, lagi pula aku tidak senang memasak."
"Benar, Luhan-hyung membantu beres–beres saja," Jongin menunjukkan cengirannya, "Luhan-hyung kan orangnya rapi."
"Alasanmu modal dusta sekali, Jongin!"
"Ya sudah," Sehun mendorong Minseok, Kyungsoo, dan Yixing, "sana kalian membuatkan kita makanan. Yang enak ya!"
"Tentu maknae~~"
Mereka—Minseok, Kyungsoo, dan Yixing— semua sudah berada di dapur dengan bahan makanan yang sudah mereka siapkan sejak berangkat. Mereka masih sibuk dengan memotong–potong sayur.
Sementara itu yang lainnya sudah memegang sapu dan kemoceng, hanya Luhan dan Baekhyun duduk di sofa sambil mengobrol, menunggu giliran mereka untuk mengepel lantai.
Baekhyun terlihat sibuk memperhatikan kekasihnya sambil sesekali memotretnya, katanya mengabadikan moment penting—Sehun jarang menyapu. Sesekali ia memperlihatkan hasilnya pada Luhan, mereka akan tertawa dan Sehun memasang ekspresi masa. Bukan hanya Sehun yang dijadikan korban, Chanyeol dan Jongin pun tetap menjadi sasaran karena mereka sama–sama orang yang tidak suka bersih–bersih.
"Baekhyun, berhentilah," Chanyeol dengan kesal menutupi wajahnya menggunakan kemoceng di tangannya.
Baekhyun terkekeh, "tidak mau~ cepat selesaikan pekerjaanmu, aku harus mengepel lantai tahu!"
Sehun mendongak, menatap Luhan yang dari tadi hanya terkekeh–kekeh kecil karena kerjaan Baekhyun. "Hyung, kau ajaklah dia mengobrol, biar kita cepat selesai."
"A–aku?" Luhan mengedipkan matanya bingung. "Kenapa aku?"
"Karena hanya kau yang bisa mengajaknya mengobrol," Jongin menyela gemas, "lihat? Kita perlu bersih–bersih."
"Tidak bisa, tahu!" Baekhyun memekik dengan nada merengek, "Luhan-hyung itu pendiam, mana cocok denganku."
"Kalian kan berteman juga semasa sekolah dulu."
"Kita jarang mengobrol."
"Baekhyun benar, kita sedikit kurang nyambung kalau mengobrol."
"Tuh, kan!" Baekhyun terkekeh, "tapi tidak apa–apa, ayo kita mengobrol, Luhan-hyung! Mereka mau menjadi orang serius kali ini."
Baekhyun dan Luhan saling mengobrol, membicarakan bagaimana Luhan di Kanada sana. Awalnya Luhan bingung harus menceritakan apa, tapi Baekhyun yang ekspresif dan punya rasa penasaran yang tinggi mampu membuat Luhan bisa dengan lancar menjelaskan bagaimana Kanada dan apa saja yang ia lakukan di sana.
Baekhyun bertanya banyak, mulai dari pertemanan Luhan, bagaimana Luhan berkomunikasi, sampai apa saja yang Luhan lakukan di sana. Luhan dengan senang hati menjawab, berbagi pengalaman itu rasanya menyenangkan.
"Giliran kalian!" Jongin berseru senang dari arah pintu setelah kotoran yang ia sapu sudah terbuang semua.
Luhan langsung beranjak dari duduknya, "ayo Baek-ie, kita perlu menyelesaikan semua agar cepat makan."
Baekhyun menyusul Luhan, mengambil kain lap untuk pel serta membawakan cairan pel karena baskom berisi air sudah dibawa oleh Luhan.
.
"Makanan siaaap!" Suara teriakan Kyungsoo membuat lima orang yang tengah duduk–duduk di kasur sambil mengobrol atau bercanda itu menoleh, memberi tatapan lapar yang lalu berlanjut dengan langkah berhamburan mereka menuju dapur.
"Makanan!" Chanyeol berteriak semangat saat dirinya sudah mendapatkan kursi dan memegang sumpit, serta mendapati banyak hidangan yang tersedia di meja makan.
Baekhyun yang duduk di sebelah Chanyeol itu tertawa, "makan lah kau giant!"
"Sudah di sini semua?" Yixing menghitung teman–temannya, memastikan semuanya sudah mendapatkan tempat dan memegang sumpit di tangan kanan masing–masing.
Tujuh yang lainnya mengangguk, "sudah!"
"Baiklah," Yixing tersenyum, "selamat makan semuanya!"
Makan siang—menuju sore— di villa jadi begitu ribut karena semuanya mengobrol dengan suara bersahutan. Ada saja yang mereka bicarakan, bahkan meributkan makanan, meributkan siapa dulu yang mengambilnya karena sumpit yang saling bertabrakan saat mengambil.
"Luhan-hyung tidak mengambil daging?" Sehun bertanya saat menyadari mangkuk nasi Luhan masih kosong, hanya ada nasi dan tahu yang baru saja diletakkan Luhan.
Luhan menggeleng, "Mereka semua berebutan, aku menunggu terakhir saja."
"Oh," Sehun mengangguk paham, "Hey, jangan berebut! Aku mau ambil daging!" Ia memekik pada teman–temannya yang masih saling mendorong sumpit—yang Sehun pikir sangat konyol—, mereka berhenti lalu membiarkan Sehun mengambilnya.
"Untuk Luhan-hyung," Sehun memindahkan beberapa potong daging ke mangkuk di tangan Luhan. "Sudah, lanjutkan saja peperangan kalian."
Bukannya melanjutkan berebut daging, mereka justru menatap Sehun bingung. Luhan juga jadi terdiam dan bertanya–tanya apa maksud Sehun mengambilkannya daging, bukan mempersilakan Baekhyun—yang notabenenya adalah kekasih dari Oh sehun— mengambil daging dan tidak berebut.
"Kau sendiri tidak mengambil daging?" Luhan bertanya heran saat menyadari Sehun tidak mengambil daging padahal tadi sudah membuat keributan antara teman–temannya mereda.
Sehun menggeleng, "aku mengambilkanmu karena kau tamu, acara menginap ini 'kan dibuat karena ada kau, hyung. Jadi aku memberi apa yang terbaik untukmu, aku dan yang lain kan sudah lama tidak melihatmu."
"Apa–apaan?" Baekhyun memekik kesal, "aku 'kan kekasihmu, kenapa kau tidak mengambilkannya juga untukmu? Tidak adil!"
"Memang aku mengambil untukku sendiri? Aku hanya mengambilkan Luhan-hyung, kok."
"Sudah–sudah," Minseok menatap Baekhyun dan Sehun. "Mau bertengkat terus, huh?"
"Tidak hyung," Baekhyun bersunggut dengan lucu, "ya sudah, lanjutkan makanan kalian!"
Sehun terkekeh lalu mengacak rambut Baekhyun, "manisnya. Ambil dagingnya kalau kau mau, Baek-ie."
Luhan tersenyum, beruntung tempatnya ada di sebelah Sehun, jadi tidak perlu melihat kegiatan manis mereka dan lalu memakan hatinya sendiri. "Tsk, kata siapa hubungan jarak jauh akan memakan hati? Berada sedekat ini denganmu saja rasanya hatiku siap habis."
Begitu semua makanan di meja sudah habis mereka semua keluar dan menuju kasur untuk bermalas–malasan. Luhan dan Minseok masih tinggal karena Luhan mengatakan akan mencuci dan Minseok sendiri tidak terima jika sahabatnya itu mencuci sendiri.
"Jadi, kau benar–benar menyukai Sehun, hm?" Minseok bertanya sambil berbisik saat mereka tengah mengambil piring–piring untuk dibersihkan.
Luhan tertawa, "pertanyaan macam apa itu?"
"Kau menikmati perhatiannya tadi. Oh ayolah Luhan, you're so obvious person, kau tahu itu, 'kan?"
"Am I?" Luhan mengerling, "aku senang karena aku teranggap, begitu saja."
"Begini, apa berita kalau kau dan Sehun dulu saat high school memiliki hubungan itu benar?"
"Hubungan? Hubungan macam apa?"
"Kalian saling menyukai," Minseok menjawab dengan ringan sambil membersihkan piring–piring dihadapannya.
"Tidak," Luhan memfokuskan dirinya pada kegiatan mencuci, "Minnie, kau tahu sendiri aku dan Sehun dulu akrab, 'kan? Jadi, selesaikan cucian ini lalu kita beristirahat, oke?"
"Baiklah, Luhan-ie~!"
Luhan dan Minseok mencuci piring dalam diam, hanya sesekali tertawa karena piring yang terpleset atau mengambil benda yang sama untuk dicuci. Setelah sekitar sepuluh menit mencuci akhirnya semua bersih juga. Mereka pun lalu pergi ke ruang tengah untuk bergabung bersama yang lainnya, kembali membuang waktu dengan cara menghabiskan suara mereka.
To be Continued
Waaah! ga nyangkaaa 3.5K! fiksi pesenang neng kose, niatnya mau wansyuttt eeeeh ternyata kepanjangan :3 ga sabar juga buat ngepost XD akhirnya yaaa dibuat twoshoot deh!
ada yang menanti fiksiku hmm? aku kembali ini kawaaan dengan fiksi T rated XD
aku nggak tau harus bilang apa. well, aku sukaaaa posisi ini. Luhan dan Sehun yang jelas sekaliii saling suka tapi pinter banget jaga gengsinya xD
buat lulu dan kose, maafkan aku, aku nggak bisa gambarin diri kalian dengan baik, akhirnya jatuhnya yaaa dengan image sehun dan luhan yang biasa aku buat ~_~
tunggu chap 2 nya yaaa! aku update ASAP!
last,
review pleasee?
