Fanfic baru hay hay :D *padahaladayangmasihnumpuk*
Buat readers maaf banget. Otak masih stuck habis ulangan semester nih.
Yah inilah hasil dari otak yang habis diperes baru dibejek-bejek.
KakaTen lagi. Dengan plot yang beda, tentunya. Nyahahahaha~
AU. Karena saya lahir di dunia modern.
Akan ada trilingual using di fic satu ini. Siapkanlah kamus anda, hohoho.

Warning: Mild Geje-ness. Lol.
Pairing: KakaTen, KakaAyame.

Music theme (yang didengerin author sambil nulis) : Avril Lavigne – Smile

Coeur Volés

Chapter 1: Zusammentreffen

.

.

.

.

.

"Ayame-chan...where are we going?"
Ayame-chan…kita mau kemana?

"We're leaving Detroit, honey."
Kita meninggalkan Detroit, sayang.

"What? Why?"
Apa? Kenapa?

"Well...we can't live there anymore."
Well…kita tak bisa tinggal disana lagi.

"But Tou-san is still in our house!"
Tapi Tou-san masih ada dirumah kita!

"Tou-san's not coming."
Tou-san tidak ikut.

"Eh?"
Eh?

"Kaa-san's already on our destination. We'll meet her soon."
Kaa-san sudah sampai di tujuan kita. Kita akan bertemu dengannya sebentar lagi.

"Are we moving? Where are we going to?"
Apa kita pindah? Kita mau kemana?

"Do you know why Kaa-san taught you japanese language? Do you still remember your lessons?"
Apa kamu tahu kenapa Kaa-san mengajarimu bahasa jepang? Masih ingat pelajaran bahasa jepangmu?

"Yes."
Ya.

"That's good. Because we're moving to Konoha, Japan."
Itu bagus. Karena kita pindah ke Konoha, Jepang.

.

.

.

.

.

11 tahun kemudian. Konoha, Jepang.

"Onee-chan...mereka cerai, ya?"

Kulihat ekspresi kakakku menjadi kaku. Tampaknya dia tidak siap akan pertanyaanku itu.

"Eh?"

"Kaa-san dan Tou-san." aku menunduk. "Waktu dulu aku masih kecil jadi belum mengerti benar. Jadi kau merahasiakannya dariku kan?"

"Tenten..." kasur tempat Ayame-chan berada berderik lemah. Mungkin dia bergerak mendekatiku.

"Kau bohong dengan memberitahuku To-san tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Terus begitu sampai dia pensiun baru bisa menyusul kita. Tapi kenyataannya-"

"Tenten."

Aku mengangkat mata coklatku. Ayame-chan tersenyum. "Kaa-san dan Tou-san sudah cerai 11 tahun lalu."

...

Aku mendecak kesal, memegang dahiku sendiri. "How could I be so stupid...you fooled me."

Ayame tertawa renyah mendengarnya. "You're late eleven years to beat me over that. Now it's ancient artifact."

Aku hanya memutar bola mata. Bukan salahku dong, tertipu oleh kebohongan yang begitu meyakinkan. Lagipula aku masih sangat kecil waktu orangtua kami bercerai. Dia? Yang duduk diatas kasur rumah sakit itu? Dia kakakku. Ayame. Sekilas kami akan tampak sama kalau rambut kami diurai. Apa boleh buat, kami kan lahir dari orangtua yang sama. Tapi untuk disebut kembar aku sangat anti. Itulah kenapa rambutku kucepol panda. Aku? Aku Tenten. Aku hanya gadis remaja biasa dengan mata coklat yang lagi-lagi identik dengan milik kakakku. Kenapa aku tidak punya marga dan marga Ayame tidak kusebut, ceritanya panjang. Yang pasti kami berdua sudah jelas sangat tidak mendukung perpecahan orangtua kami. Bila disuruh memilih antara Tou-san dan Kaa-san, sebenarnya aku akan lebih memilih Tou-san. Satu-satunya alasan kenapa kami ikut Kaa-san adalah karena ia perempuan. Dia akan memerlukan sosok laki-laki di hidupnya suatu hari nanti, pasti. Namun kami berdua pun juga perempuan. Tou-san pasti mampu menghidupi dirinya sendiri dengan uangnya yang banyak hasil bisnis kulinernya itu. Kaa-san pun sebenarnya sama, hanya saja akan lebih baik jika kami menemaninya.

Aku tidak pernah tahu apa alasan perceraian mereka. Setiap hari aku berdoa kami akan kembali berkumpul. Sampai saat itu, marga kami tak akan jelas.

"Bagaimana sekolah? Kau naik kelas dua kan?"

Aku menggeleng, mencoba keluar dari lamunanku. "Biasa saja. Aku masuk kelas IPA II."

"Bagus itu."

"Tapi tidak bisa mengalahkanmu yang dulu IPA I. Wahai mahasiswi beasiswa Oxford University."

"Hei." Ayame menurunkan alisnya. "Kau lupa? Aku kan murid drop out Harvard."

Aku mendengus. "Itu karena kau sakit-sakitan seperti sekarang. Makanya cepatlah sembuh."

Ayame memandang ke langit-langit. Matanya menerawang. "Setidaknya sebelum aku pergi lagi aku ingin melihat wajahnya untuk terakhir kali."

Ah. Tentu saja. Pacar lamanya. Siapa namanya? Aku lupa. Tunggu dulu, memang dia pernah memberitahuku siapa namanya? Oh ya. Tidak pernah!

"Kau tahu Kaa-san dan Tou-san melarangmu menemuinya, kan?"

Dia tersenyum. "Since when did that stop me to try?"

"...never, I guess?"

Ia menoleh padaku. "Exactly."

"Aku tidak mau ikutan kalau kau kualat nanti." ucapku acuh tak acuh.

"Kalau begitu aku masuk neraka sendiri, lalu menghantuimu~" ia mengangkat tangannya loyo sambil memasang ekspresi seram.

Aku yang tidak tertarik untuk pura-pura takut menepis tangannya. "Very funny. Aku pulang ya, sudah sore."

"Cepat sekali? Kau takut pulang malam ya?"

Tas messenger punyaku kututup risletingnya cepat, sebelum menghempaskannya ke belakang. "Aku ada peer. Bukan berarti aku ngerti sih...paling besok nyontek Sakura. Sudah, ya."

Aku baru saja beranjak dari kursiku saat Ayame menarik lenganku. Aku heran karenanya. "Apa?"

Dia tersenyum padaku. "Berapa umurmu sekarang?"

"Lima belas."

"Menurutmu salah tidak kalau aku berpendapat gaya rambutmu tidak sesuai umur?"

Mata kiriku nge-twitch. Gaya rambut cepol kembarku ini maksudnya? Tapi gaya ini dibuat oleh Kaa-san saat masih ada Tou-san dulu...

Jemari Ayame yang lentik menyusuri rambutnya yang diikat longgar di bahunya. Sederhana tapi elegan. Dari dulu dia sangat anggun. Pintar dan cantik. Aku iri padanya.

"Beri aku lima belas menit." lalu dia tersenyum penuh makna.

Aku tahu apa arti senyum itu. "Tapi hanya lima belas menit."

Ia mengangguk. "Lima belas menit."

Helaan nafasku terdengar jelas ketika badanku kembali terhempas ke atas kursi.

"Do it fast."

Ayame tertawa kecil. "Will do."

.

.

.

.

.

Aku menggigit bibirku.

"Suit suiiit! Cewek! Cantik banget sih?"

Grrh...

"Yaelah! Jual mahal dia! Haha!"

Aku memejamkan mataku kesal. Ini semua karena ide bodoh Ayame. Bukan hanya menata rambutku, dia bahkan berhasil membujukku untuk ganti baju. Ini sih hobinya dia aja dandan! Cuma karena lagi sakit dia melampiaskannya padaku. Untunglah aku bersikeras mengenakan hot pants selutut dibawah summer dress semiformal yang melambai-lambai ini. Gimana tidak melambai, sudah tipis dan ringan, bertaburan renda dan pita pula. Uuh...dan lagi, kenapa harus-hiperbolis sangat, PINK? Aku paling benci warna irasional kesukaan barbie satu ini! Maaf, Sakura. Tapi aku memang tidak suka.

Untuk rambut lagi-lagi dia berulah ala princess. Ada kepang di dua sisi wajahku, dengan proporsi imbang oleh sang ahli modis, Ayame. Rambutku diurai dan dua kepang tadi diikat ke belakang menggunakan pita atau apalah itu namanya. Last touch, dia menyematkan ornamen himawari di kepalaku sebelah kanan. Hasilnya fantastis! Aku hampir tidak mengenali diriku sendiri di kaca. Hiperbolis? Karena aku bukan gadis biasa.

"Summer chick, hah? Konyol." gerutuku. Mentang-mentang lagi musim panas pake embel-embel summer segala.

...

Tanpa alasan yang jelas aku tersenyum tipis sambil terus berjalan.

"Tou-san! Do I look cute in this summer dress?"
Tou-san! Apa aku terlihat manis mengenakan summer dress ini?

"Whoa, you're not, Tenten! I'm afraid you're not."
Whoa, tidak, Tenten! Sayangnya tidak.

"What? Why?"
Apa? Kenapa?

"You're beautiful, honey. It has a wider extent of meanings than cute or pretty. Remember that."
Kau cantik, sayang. Kata itu punya arti yang lebih banyak dari manis atau lucu. Ingat itu.

"I never knew that."
Aku tidak tahu tentang itu.

"Now you do. Don't you agree with me?"
Sekarang kau tahu. Apa kau setuju denganku?

"Yes! I love you, Tou-san!"
Ya! Aku sayang Tou-san!

Pandanganku mengabur. Kaa-san...apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa cerai dengan Tou-san? Kenapa...

Brets!

"Kyaaa!" jeritku, ada yang mendorongku kasar. Saat mataku terbuka setelah terpejam kaget beberapa detik lalu, kudapati sosok laki-laki tertutup hood jaketnya berlari menjauh, mengenggam sesuatu di tangannya.

Dan tasku...raib!

"Hei...! Kembalikan tasku!" teriakku masih merasa kurang fokus karena flashback. Dengan tenaga seribu kuda aku memasang kuda-kuda berlari untuk mengejar pencopet yang semakin menjauh. "Kubilang..."

Entah bodoh atau apa pencopet itu menoleh ke belakang. He he. He he he he he he...

Dash!

"TUNGGUUU! PENCOPET TAK TAHU DIRI! BIAR KUREMUKKAN BADANMU SINI!"

...dia akan kubunuh. Tidak ada siapapun lolos dari juara nasional kendo Konoha.

Kaget, si pencopet menambah laju larinya. Gila, berantakan banget gayanya. Masa bodo deh, yang penting aku hanya harus mempersempit jarak-

"Berhenti!"

Eh...

Seperti slowmo di film, sebuah siluet kekar melesat cepat melebihi kecepatanku yang dulu juara estafet SD. Sekilas, sosok itu berkilau silver di kepalanya, dan yang kutahu dia lebih besar, lebih tinggi dan...

Clik.

...mata onyx yang malas. Heh?

Tertegun, tanpa sadar kakiku menurun kecepatannya hingga benar-benar berhenti. Peluh mulai membentuk di dahiku karena panasnya terik sinar matahari musim panas. Aku mulai bertanya-tanya apa teriknya juga mempengaruhi pandanganku. Orang yang berteriak tadi pastilah laki-laki. Atletik, kalau melihat bentuk tubuhnya. Kecepatan larinya tak biasa.

"Hei! Tidak sopan memperlakukan wanita seperti itu. Biar kuberi kau pelajaran."

Aku menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas apa yang dilakukan orang tersebut.

Buk! Bak!

Hiyee~ pertarungan unik. Tapi sudah jelas pencopet barusan kalah. Kalau nggak, fanfiction ini nggak bakal jalan.

Pencopet itu pun kabur dengan luka-luka yang harus ditanggung olehnya, meninggalkan tasku ditangan pahlawanku. Clíche banget. Ya sudahlah.

Aku berlari kecil menghampiri pria berambut silver itu. T-shirt polo yang dia kenakan tampak agak basah terembes keringat. Saat kakiku berhenti, punggungnya menghadapku angkuh. Lebar banget. "Anu, makasih..." ucapku ragu.

Dia berbalik. "Sama-sama."

"Wuah!"

"A-ada apa?"

Aku mencoba menenangkan diri. Oke Tenten, tenanglah. Kau kaget hanya karena orang itu mengenakan masker. Yeah...masker. Memangnya musim panas sama seperti musim semi, ya? Kok ada orang yang alergi serbuk bunga di cuaca panas kering begini, sih?

"Maaf. Aku kira kau orang yang kukenal, jadi..." bohongku dengan lancarnya. "Anu...meine tasche?"

"Eh?"

Ups! Aku langsung menutup mulutku. Yang keluar malah bahasa jerman. Jepang, jepaaang...

"Gomen. Maksudku...bisa kuambil tasku?"

Dari gerak-gerik kerutan kain masker putihnya kontraksi otot mirip gerakan orang tersenyum muncul. "Tentu. Ini."

"Arigato. Aku benar-benar berterima kasih." ucapku setelah tasku settled di tangan, menunduk penuh hormat.

"Tidak perlu begitu. Sudah kewajibanku."

Aku mengerutkan alis, menegakkan badan memandangi pria di hadapanku. Apa maksudnya kewajiban?

Senyumannya masih tetap disana. Tanpa memberi peringatan tangannya yang besar menepuk-nepuk kepalaku lembut. "Gentlemen help beautiful girls in distress, don't they?"

Haaah...?

Bahasa inggrisnya fluent sekali. "Kau...dari awal tahu maksudku dong?"

"Hm?"

"Saat kubilang 'meine tasche'."

"Ah, itu sih..."

Mataku berbinar menatap mata onyxnya yang pemalas. Ada ahli bahasa asing selain-ehem-aku dan Ayame di sekitar sini. Mungkin saja dia juga dulu tinggal di luar negeri. Bisa saja dengan bantuannya aku bisa pergi kembali ke detroit untuk menemui Tou-san.

"..."

"..."

Dia menggaruk kepalanya malu. "Tidak tahu, tuh. Hahaha."

Jedeeeeeeer!

"Apa? Tapi kau bisa bicara bahasa inggris dengan lancar!"

"Eh...yah, untuk bahasa inggris aku lancar. Tapi Jerman-ku sama sekali nol."

Yah, kecewa deh. Tapi kan benar juga. Tidak semua orang lancar berbahasa asing trilingual. Lagian apa hubungannya juga bahasa Jerman sama Detroit? Detroit kan di USA, bahasa nasionalnya bahasa inggris. Lah Jerman kan jauh beda. Entah apa yang merasuki pikiranku untuk berspekulasi terlalu jauh. Belum tentu juga dia mau bantu aku mencari Tou-san. Kenal juga nggak.

"Ah. Lupakan saja. Terima kasih banyak. Maaf sudah merepotkan." sambungku asal.

Dia tersenyum dengan mata tertutup, kesannya ramah sekali. "Anytime."

Aku mengepaskan tali tasku di bahu. Sekarang pulang. Saat aku hendak mengucapkan sayonara-bukan berarti aku tidak ingin menemuinya lagi, sih-ekspresi mukanya membiru. "Ada apa?"

"Ah...tidak apa-apa. Kunci rumahku hilang."

Mataku terbelalak."Tidak apa-apa katamu? Memang kau bawa kunci serep?"

Rambut durian yang menentang gravitasi miliknya bergoyang diterpa angin saat dia menoleh menatapi sungai lebar di turunan dekat trotoar tempat kami berdiri. Di pinggir perairan rerumputan tumbuh rapi, menari mengikuti alunan musik supersonik angin. Mata coklatku berkilau takjub menyaksikan pemandangan sunset di ujung sungai. Rasanya seolah sungai itu tak berujung di hilir sana, dan garis titik hilang pandangan mata biasa membuatnya tampak layaknya bentangan horizon. Kilauan pantulan sinar mentari senja yang belum menyentuh garis cakrawala di permukaan air berwarna oranye kekuningan, pemandangan yang jarang kulihat karena biasanya aku pulang larut. Di kala itu, bintang-bintang telah bertaburan di kelamnya langit malam.

"Aku tidak punya. Tapi bisa kucari; tadi sepertinya kunciku jatuh ke bawah sana."

"Eh..."

Sraaaaaak!

Eh! Bujubuneng! Orang itu main loncat aja kebawah!

"Tung-rerumputannya tinggi! Mencarinya bakal susah lho!" teriakku memperingatkan.

Zrak! Ia mendarat kaki duluan dengan gaya ninja. Celana panjang burgundy miliknya lusuh ternoda tanah dan lumatan rumput. "Daripada tidur diluar rumah ini lebih baik, kan?"

Oh ya...dia tidak punya kunci serep dan satu-satunya kunci jatuh ke kasur rumput. Entah aku harus terharu atau apa. Ngenes banget jadi orang ini. "Kok bisa jatuh?" tanyaku sambil memperhatikan bokongnya yang menghadap padaku dari bawah, merangkak-rangkak diantara rerumputan. Apa aku sudah bilang kalau rerimbunan pohon juga eksis di sini?

Woohoo...bokongnya seksi...ehem.

"Dropped and kicked. Wouldn't happen if I didn't try to help."

"Great, now it's my fault."

"Didn't say that."

"Then let me help."

Dia menoleh keatas. "What?"

Sraaaaaak!

"Sebentar lagi gelap. Dua orang mencari akan lebih cepat." kuangkat tanganku meminta dia diam. "Anggap ucapan terima kasih sudah menolongku. Kita impas."

.

.

.

.

.

Mentari sudah separuh tenggelam saat aku sadar menjadi betapa kacaunya dandanan ala Ayame pada diriku. Ohmageee, dia akan sangat cerewet kalau tahu. Buh. Like I care. She's not here anyway.

Aku memutuskan untuk menghela nafas sebentar. Terburu-buru juga tidak akan ketemu. Aku meraih ke belakang, mengikat rambutku jadi pony tail rendah. Tak lama jemariku kembali sibuk mengacak-acak alang-alang dan rumput, kali ini mendekati posisi orang itu. Mataku menangkap kilatan asing di dekat jangkauan pandangku. Jangan-jangan!

"Dapat!"

Greb! Tangan kami bertumpuk satu sama lain.

Deg.

Mukaku memerah. Tangannya sangat besar dan hangat.

"Ah. Wah, kita hebat." ucapnya sembari tersenyum melihat tangan kami. Aku tahu ia tersenyum dari seringnya ia menutup mata. Dia sepertinya orang baik.

"Ah..." aku menunduk malu, menghalangi mataku dengan poni. "Sampai kapan kau akan memegangi tanganku?" kataku agak judes.

Dia spontan melempar tangannya ke udara. "Gomen."

Aku menggerutu tidak jelas, memungut kunci dibawah telapak tanganku. "Nih." kusodorkan kunci mungil itu padanya. Lapisan besi permukaan kunci berkilau di sudut tertentu, tersinar cahaya senja dari segala arah; pantulan matahari itu sendiri dan dari celah dedaunan pohon diatas kami. Seperti permata saja.

Wuuuuush...

Angin semilir berhembus menyapu dari hilir. Peluh ditubuh terasa menghilang begitu saja. Aku memejamkan mataku refleks, takut kemasukan debu dan dedaunan yang tersapu arus angin.

"Arigato."

Eh...

Aku mengintip sedikit dari balik kelopak mataku. Tadi dia bilang apa?

Deg.

Rembesan keringatnya menempel erat pada kain masker. Akibatnya senyuman sejuta wattnya tampak jelas dari kelinan kain, dibantu cahaya matahari senja.

Ih...waooow! Ga...gan...teng...

Mataku terbuka penuh. Entah dia nggak sadar aku dapat melihat wajahnya yang separo nggak keliatan itu atau apa, tapi kayaknya memang gak nyadar dianya!

"Ah...hau...?" gumamku nggak jelas. Dia mengambil kunci dari tanganku, tanpa diduga meraihku. Aku yang geer melihat gerakannya seakan ia mau menciumku memejamkan mata. Ingin sekali rasanya aku memukul diri sendiri dan menulis besar-besar ORANG BODOH di dahiku.

"Ada daun di rambutmu. Oh. Kau tahu daun apa ini?"

Jdeeeng!

"Ng...nggak tahu." jawabku antara menahan malu dan lega dia tak sadar.

"Kuperlihatkan sesuatu." katanya semangat. Kuperhatikan daun di tangannya itu bulat, kecil tapi dapat dipegang. Dia membawanya ke mulut dibawah masker, dan untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi. Kemudian dia mengeluarkan daun itu lagi. "Tak ada suara, daunnya robek."

Aku berkedip menatap dua potongan daun di telapak tangannya. Garis diameter daun tampaknya adalah kunci robeknya daun. Tapi benar-benar robek. Dan tak bersuara. "Kelihatannya mudah."

Dia tertawa kecil, memandangiku dengan tatapan kau-polos-sekali-unyu-deh yang pastinya membuatku ilfil berat. "Dia juga bilang begitu. Nyatanya tidak semua orang bisa."

Deg.

"Dia...siapa?" tanyaku was-was.

Dia tersenyum padaku, tapi kali ini kurang ceria. Bahkan terbilang sedih. "Kau mengingatkanku pada pacarku."

Deg.

"Kau hampir mirip dengannya."

"O-oh..."

Aku meringsek di tempatku duduk. Tubuhku terasa lemas. Aneh. Apa karena belum makan siang, ya?

"Kalau begitu, aku pulang dulu."

"E-eh?" aku sontak mengangkat wajah. "Ah, aku juga." sambungku sambil menepuk-nepuk kotoran dan debu yang menempel di summer dress PINK punya Ayame. Astaga. Aku harus mencucinya segera. Or she's gonna kill me.

Orang itu tersenyum kembali, agak mencondongkan badannya agar tinggi kami sama; kepala kami sejajar. Kedua tangannya ia tumpukan pada lutut. "Arigato atas bantuannya ya, chibi. Aku bersyukur sekali."

Mukaku terasa panas saat jarak wajah kami berdekatan. "Sama-sama. Aku juga berterimakasih kau tadi membantuku. Meskipun sebenarnya aku bisa mengejar copet itu sendiri." aku mengerdikkan bahu.

"Benarkah?" ia tertawa geli. "Kalau begitu tadi sebenarnya aku juga tidak perlu bantuanmu karena saat tangan kita tumpang tindih aku juga melihat kunciku."

"Benar juga." aku nge-sweatdropped.

Tangannya mengusap pipiku lembut. "Kau jadi lusuh begini. Harus dibersihkan." tanpa menyadari suhu wajahku yang terus naik dia merogoh kantong celananya, mengeluarkan sapu tangan abu-abu. Yap, selanjutnya sapu tangan itu ia usapkan di pipiku. "Gadis cantik sepertimu tetap manis dengan corengan noda, ya."

"Apa itu pujian?" tanyaku dengan nada jutek dibuat-buat.

"Pujian." balasnya serius.

Oh wow. Belum pernah ada yang memujiku begitu. Apa seharusnya aku merasa senang?

"Gomen. Biasanya orang memujiku 'cakep', jadi aku agak..."

Alisnya bertaut. "Cakep?"

Aku menghela nafas. Sampai kapan nih dia mau ngelapin mukaku. "Aku wakil kapten klub kendo. Got it?"

"Andai mereka tahu kalau mereka salah besar." gumamnya.

"Tidak masalah buatku. Aku memang tidak secantik kakakku."

.

.

.

.

.

Tanganku meremas-remas tali tas begitu kami sudah kembali ke trotoar di pinggir jalan. "Aku baik saja. Tidak usah diantar."

Dia menatapku bingung sambil memegangi sepedanya. "Aku ikhlas kok. Bahaya kalau sendirian jalan kaki ke stasiun."

Aku mengangkat kedua tanganku, menolak. "Nggak usah. Lagipula arahnya berlawanan. Aku bisa jaga diri, kok."

Ia menutup matanya bijak sambil tersenyum. "Baiklah. Kau punya pulpen?"

Alisku turun. "Ya."

Ia menurunkan standar sepedanya. Menunjuk punggung lengannya yang tidak terbalut kain lengan dia tersenyum padaku melalui masker putihnya sembari berkata. "Tulis nama dan nomor hapemu. Aku ingin membalas budimu lain kali aku ada kesempatan."

"Eh..." pipiku merona. "Ti-tidak perlu sejauh itu. Aku kan ikhlas membantumu."

Tiba-tiba ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, menatap beberapa saat sebelum tersenyum nakal. "I insist."

...

Aku menunduk pasrah. "Baik."

Sret...sret...

"Sudah." aku menutup pulpen yang kupakai untuk menulis di tangannya. "Aneh juga ya, kita dari tadi ngobrol tapi belum berkenalan."

"Kau benar. Mungkin kita sudah pernah bertemu sebelumnya, hanya saja perlu menempuh waktu selama ini untuk saling menemukan satu sama lain."

Maybe we have met before, it's just taken this long to find each other.

"Eh?"

Rasanya seperti Dé ja vu. Dimana ya, aku pernah mendengar kata-kata itu.

"Aku ke arah sana." katanya sambil menunjuk arah punggungku menghadap. "Ah, aku ke arah sana." responku setengah melamun, menunjuk arah berlawanan.

Kakinya menendang standar sepeda, lalu menaikinya. "So I guess this is goodbye." ucapnya tersenyum ramah.

"Ah, ya. Benar." jawabku seadanya.

Ia pun mengayuh sepedanya menjauhiku sementara aku berjalan ke arah berlawanan. Rasanya ada yang kurang. Tapi apa, ya?

"Du bist schön, Tenten. Au revoir, Belle!"

Eh...

Aku menoleh ke belakang. Tepat saat angin kembali berhembus menerpa tubuhku. Kudapati punggung lelaki misterius itu membalas pandanganku. Ia kayuh sepedanya dengan cepat ke ujung jalan, mengambil manuver tajam ke belokan kanan. Dalam adegan yang sepersekian detik itu, dari tempatku melihatnya diatas sepeda, sinar mentari senja lagi-lagi membuat masker di wajahnya nampak transparan. Dan detik itu aku nyaris mati ketika jantungku berhenti melihat wajah tersenyumnya dari samping.

Deg.

Tadi itu...bahasa jerman dan bahasa perancis...? Tapi tadi dia bilang tidak bisa bahasa jerman. Tapi barusan bisa. Dan kenapa coba pake masker segala? Harusnya tadi aku nanya. Padahal kalau dibuka mungkin dia bisa jadi model, artis atau aktor.

Baik hati pula.

Tanganku tak sengaja menyentuh tasku. Ada sensasi lembut yang terasa dibanding permukaan tasku yang dibalut leather jeans. Kulihat, kain sapu tangan abu-abu milik cowok tadi menyembul keluar dari kantong tasku. Bagaimana bisa? Aku tidak pernah melihatnya mendekati tasku. Nggak mungkin kan sapu tangan ini jalan sendiri ke tasku?

Kuambil sapu tangan itu, membentangnya untuk melihat keseluruhan desain dari permukaannya. Di pinggir kain, diujung sapu tangan terdapat coretan pulpen. Aku menyipitkan mata.

Hatake Kakashi.

Deg.

Dia sengaja memberi sapu tangan dengan namanya didalam. Dibaliknya ada coretan nomor handphone.

Dasar aneh, mengaku tidak bisa bahasa jerman sama sekali tapi nyatanya bisa bicara menggunakan bahasa jerman dan perancis sekaligus. Entah harus kusebut sombong atau rendah hati.

Gyut. Kugenggam sapu tangan itu di dadaku. Hangat. Tanpa sadar sebuah senyum menyimpul di bibirku.

Hatake Kakashi…

"Du bist schön, Tenten. Au revoir, Belle!"
Kau cantik, Tenten. Sampa jumpa,cantik!

Is this destiny?

.

.

.

.

.

Kamus ketjil:
Coeur Volés : Stolen heart
Zusammentreffen : Encounter

Review :DD