Author : Hibiki Kurenai
Tittle : Red Tulip of the Stone Garden
Genre : Comedy 20%, Friendship 40%, Romance 40%
Setting : Alternate Universe wheres ninjas doesn't exist
Rate : K-T (its save for children too)
Length : 4 till 5 chapter only, don't have a feel to make a longer story
Cast : main! Naruto x Gaara, slight! SasuSaku, ItaSaso, KibaHaku & ShikaTema
Disclaim : Sir Masashi Kishimoto for the character, but this story is pure from my mind
.
.
.
Warn : OOC! Crack Pair everywhere! SHO-AI!Including M-Preg! Of course, Don't Like Don't Read. You've been warned, ma dear~
.
.
.
.
.
.
.
.
Koko wa Hibiki desu~
.
.
Sebelumnya gue mo menyampaikan rasa terimakasih buat Dark Calamity-san sama Kirin-san yang udah memberi gue inspirasi buat menulis fics ini.
.
.
Ini adalah karya gue yang pertama dalam fandom Naruto dan mungkin bakal jadi yang terakhir.
Karya ini gue buat untuk merayakan hari anniversay couple NaruGaa yang katanya jatuh tanggal 28 Juli.
Crack pair bertebaran dan gue harap kalian ga keberatan, ahahaha~
Keseluruhan fics ini udah hampir kelar gue tulis, tinggal empat scene terakhir. Kira-kira delapan halaman lagi deh. Bagian2 awal udah gue edit berkali-kali untuk mengurangi kemungkinan typo. :3
Semoga karya ini bisa memuaskan fans NaruGaa~
.
.
Selamat menikmati desu~
.
.
.
.
.
.
.
.
There's
CHAPTER I
.
.
.
(=^._.^=)~Happy Reading~(=^._.^=)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Angin semilir membawa aroma bunga-bunga yang mekar dan rerumputan musim semi memenuhi udara. Wanginya menenangkan dan menyegarkan. The Land of Spring adalah sebuah tempat di mana musim semi selalu tinggal dan tidak akan pernah pergi. Earth Thermal Generator project yang dibangun tiga dasawarsa silam oleh penguasa The Land of Spring terdahulu, sepuluh tahun yang lalu berhasil dihidupkan dan mengubah tanah yang awalnya selalu dinaungi musim dingin sepanjang tahun menjadi surga tropis seindah ini.
.
.
Seorang pemuda berkulit pucat dengan rambutnya yang semerah darah dan kanji 'Ai' terukir di keningnya berjalan santai menyusuri sebuah lorong yang dihiasi jajaran sakura gunung yang tengah mekar. Hangatnya sinar matahari yang menembus di sela dedaunan membuat pipi pucatnya sedikit bersemu kemerahan. Sesekali dia menarik nafas dalam, menikmati lembutnya aroma bunga-bunga berwarna putih keunguan itu. Sembari menggigit sebuah apel merah ranum yang baru dibelinya dari convenient store.
.
.
Sungguh, tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada hidup di tengah tanah yang subur dan penuh kehidupan. Pemuda itu tidak menyesal memutuskan pergi dari tempat asalnya yang kering, gersang dan berpasir. Meninggalkan semua kenangan yang menyesakkan dan membuatnya sulit bernafas. Tempatnya yang sekarang jauh lebih damai, tanpa intrik, tanpa bisik-bisik gosip, tanpa tatapan sinis menusuk. Di sini pemuda merah darah itu bisa menjadi dirinya sendiri. Meraih mimpi kecilnya menjadi florist sederhana yang jauh dari gemerlap dunia sosialita.
.
.
Tiba-tiba, sebuah suara isak tangis membuyarkan pikiran muram yang kembali mulai menjalari benaknya. Tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, tampak seorang gadis bersurai indigo duduk bersimpuh di tanah. Penampilannya berantakan dan di sisinya tergeletak dua buah koper besar yang isinya terserak. Dilihat dari bekas lebam merah di pipi kirinya, si pemuda menduga kalau gadis indigo itu baru saja mengalami tindak kekerasan. Mungkin korban perampokan dari jalan pertokoan tetangga. Pemuda itu mendekatinya dan perlahan berjongkok di hadapannya.
.
.
.
" Ne, omae wa daijoubu desu ka? " tanya si pemuda lirih, seakan cemas kalau gadis itu takut padanya.
" Hiks… huweeee… " well, yeah… gadis itu malah semakin histeris, wajah datar plus kantung hitam tebal yang membingkai mata si pemuda menaikkan kadar paranoidnya.
" Kau pendatang baru di sini? " mengabaikan tangisan si gadis, pemuda itu tetap bertanya. Toh di lorong sakura itu hanya ada mereka berdua.
" Penampilanmu kacau sekali, apa kau baru dirampok? " dengan raut datar, pertanyaannya berlanjut.
" Di Yamazakura sini tidak pernah ada perampok atau pencopet. Kalau ada korban sepertimu, kemungkinan berasal dari pusat perbelanjaan Shigure-machi di sebelah timur tempat ini. " usaha bicara satu arah si pemuda tidak sia-sia.
" Hiks… ba… bagaimana kau… hiks… bisa… tahu? " merasa tertarik, gadis itu akhirnya menyahut dengan suara yang amat sangat lirih.
" Para pendeta penjaga kuil di ujung jalan sana memberikan hukuman yang sangat berat pada siapa pun yang berbuat jahat di sekitar sini. Nah, apa kau sudah bisa berbagi cerita denganku sekarang? "
.
.
.
Pemuda merah darah itu mengulurkan tangannya, membantu gadis itu berdiri dan dengan telaten merapikan serta membersihkan penampilan si gadis. Perlakuannya yang gentle itu terang saja membuat si gadis indigo merona. Si pemuda yang mengetahuinya hanya terkekeh geli sambil menuntun gadis malang itu duduk di bangku taman berulir terdekat. Setelah mendapat posisi duduk yang nyaman, pemuda itu memberikan sebutir apel merah besar yang menggiurkan. Lalu cerita pun mulai mengalir…
.
.
.
" Intinya, kau kabur dari rumah karena tidak tahan dengan perlakuan keluargamu. Sayangnya, sampai di sini kau dirampok dan semua uangmu hilang, begitu? " pemuda itu menarik benang merah dari cerita berurai air mata si gadis.
" I… iya… hiks… se… sekarang aku… hiks… tidak tahu… ha… harus… hiks… tinggal di mana… " melupakan statusnya sebagai putri bangsawan, gadis itu membersit ingusnya keras-keras.
" Apa kau bisa memasak? "
" Bisa merawat dan merangkai bunga? "
" Bisa bersih-bersih rumah? "
" Kalau begitu ikutlah denganku. " ketika pertanyaan beruntunnya dijawab dengan anggukan pelan dari si gadis, pemuda itu justru mengajukan sebuah pernyataan.
" He… heeeee? " si gadis membelalakkan mata berirish lavendernya tidak percaya.
" Ku anggap sebagai 'iya'. Maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Sabaku Gaara, tapi sebaiknya kau panggil aku Isshimori Kouki saat di tempat umum. Salam kenal… nona… " semburat merah tipis menghiasi pipi pemuda itu, malu karena sama sekali tidak menanyakan nama gadis itu.
" Hinata desu… Hyuuga Hinata. Yo… yoroshiku onegaishimasu! " seru gadis itu.
.
.
.
.
.
(=^._.^=)
.
.
.
.
.
Hinata merasa sangat bersyukur sudah datang ke Land of Spring. Meski diawali dengan ketidakberuntungan karena peristiwa perampokan itu. Tapi setidaknya dari sana gadis itu jadi mendapatkan teman yang sangat baik. Juga home stay yang sangat indah. Saat ini gadis bersurai indigo itu sedang mengagumi keindahan flat dua tingkat milik Gaara itu. Seperti deretan flat bergaya vintage lainnya di Tsugaru-machi, separuh lantai satu flat itu juga dijadikan toko florist yang sangat asri. Hijau dan wangi di penuhi bunga serta dedaunan segar.
.
.
Tidak cuma itu, bahkan seluruh permukaan tembok rumah yang didapat Gaara dari Karin, sepupunya yang sekarang hijrah ke Konoha, juga dipenuhi sulur dan daun. Menjadikan tanaman merambat itu sebagai pengganti kertas wallpaper. Di langit-langitnya menjalar tanaman lain dari jenis fuschia, bunganya yang keunguan menggantung indah seperti lampion mini. Di setiap sudut ada pot-pot tanaman hias berbagai ukuran. Mulai dari tanaman yang umum seperti mawar, sampai yang jarang ada seperti damascena. Bagian dalam flat itu sudah seperti miniatur hutan negeri dongeng.
.
.
.
" Hinata-san kenapa kau bengong di tengah lorong begitu? " tiba-tiba saja Gaara muncul dan menepuk punggung Hinata.
" A… aaa! Ga… Gaara-san… A… aku kira… hantu. " ucap Hinata tergagap.
" Kau masih percaya pada hantu? " raut wajah Gaara menunjukkan rasa geli.
" Well… uhmm… a… aku se… seperti warna… ra… rambutku… I… indigo… desu. " suara Hinata semakin mengecil.
" Indigo? Lalu, apa salahnya? " Gaara memiringkan kepalanya, merasa tidak mengerti dengan sikap Hinata.
" Ka… kau tidak… takut… pa… padaku? A… aku 'kan… orang… aneh. " gestur tubuh Hinata semakin membungkuk.
" Buat apa? Indigo atau tidak, Hinata ya tetap Hinata. Memangnya akan ada yang berubah? Atau kau mudah kerasukan? " tanya Gaara lugas.
" Ti… tidak sih… tapi… aku bisa… me… melihat hantu. " Hinata masih bertahan dengan rasa ragunya.
" Hm~ kalau begitu, aku beritahu satu hal supaya kita impas. " Gaara menggelengkan kepala.
" A… apa itu? " gadis indigo yang ternyata indigo betulan itu mulai tertarik.
" Aku menderita blood disorder haemophilia type-b minor. "
.
.
.
Setelah mengatakan hal itu, Gaara melenggang masuk ke dalam kamarnya yang terletak tepat di seberang kamar Hinata. Gadis itu sendiri, begitu selesai dari fase setengah bengong-nya langsung mencari apa itu blood disorder haemophilia type-b minor via iPhone-nya. Iris lavendernya melotot tidak percaya saat membaca artikel yang ditemukannya sampai habis. Sejak saat itu, sang gadis indigo mulai bersikap hati-hati untuk menjaga Gaara. Tapi tidak sampai memperlakukan Gaara seperti gelas kaca yang mudah pecah.
.
.
Selama dua minggu tinggal bersama Gaara, sedikit demi sedikit Hinata jadi tahu seperti apa sifat teman serumahnya. Apa saja yang dia suka atau apa saja yang dia benci. Gaara adalah seorang pemalu, itu sudah jelas. Pemuda bersurai merah itu agak kesulitan menghadapi pelanggan baru. Lalu, Gaara itu seorang workaholic. Suka bekerja tapi sering lupa makan. Pemuda baik hati itu juga seperti kucing. Tidak suka berpanas-panas meski berasal dari Suna yang gersang. Tidak terlalu tahan dingin. Dan suka bersandar bermanja pada Hinata seperti anak kucing.
.
.
.
" Hinata-san, kau sudah tidur? " kepala Gaara muncul dari balik pintu kamar Hinata.
" Hmm? Be… belum Gaara-san… kenapa? " meski Gaara sudah menyuruhnya untuk lebih percaya diri saat berbicara, tapi kebiasaan gagap Hinata masih belum sembuh juga.
" Umm… boleh… aku tidur denganmu? " tanya Gaara polos tanpa maksud terselubung.
" EEEEEEH! Ga… Gaara-san! Ta… tapi kita… bukan suami… istri! " jerit Hinata panik sendiri.
" 'Kan hanya tidur… " Gaara masih tidak paham.
" Gaara-san! Kita bukan pasangan kekasih! Apalagi suami istri! " kalau sudah kepepet, baru deh, hilang gagapnya Hinata.
" O… oh… " semburat merah tipis menghiasi pipi Gaara saat menangkap arti ucapan Hinata. " Aku… cuma mau tidur kok. Tidak ada maksud lain. Sumpah! "
" Ta… tapi… " etiket nona besarnya membuat Hinata ragu.
" Itu… aku ingin tidur… sambil… kau mengelus perutku. Boleh? " pinta Gaara dengan orbs jadenya yang berkaca-kaca.
.
.
.
Miapahh! Serangan kitty eyes ala Gaara ditunjang penampilannya yang imut dalam balutan piyama peach bermotif raccoon itu MAUT! Kami-sama, kenapa kau berikan cobaan berat ini padaku?! batin Hinata menjerit. Wow, bahkan pesona Gaara bisa meruntuhkan sisi konservatif seorang Hyuuga. Dengan berat hati, gadis itu menyibak selimut tebalnya, mempersilahkan Gaara masuk ke dalamnya dan berbaring manis. Menghela nafas kalah, Hinata menjalankan permintaan Gaara. Mengelus-elus perut pemuda bersurai merah itu sampai dia jatuh tertidur lelap.
.
.
.
.
.
(=^._.^=)
.
.
.
.
.
" …Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi… "
" …Cobalah beberapa saat lagi… "
.
.
-piiiiip-
.
.
" Sudah ku duga kau menyepi di sini lagi, dobe. " ujar seorang pemuda dengan model rambut seperti bulu ekor bebek.
" Ada perlu apa kau denganku, teme? " sahut pemuda lain berambut pirang yang masih saja gagal menelepon seseorang.
" Tidak ada, hanya heran dengan tingkahmu yang seakan terobsesi dengan bunga tuli merah, Naruto. " balasnya cuek. " Memang apa istimewanya bunga itu? "
" Well, bunga itu mengingatkanku pada seseorang. " jawab si pirang Naruto.
" Bukan pada Sakura, 'kan? " tanya pemuda pertama ingin tahu.
" Kau buta warna, ya? Setahuku sampai sekarang rambut pacar rahasiamu itu masih berwarna pink, Sasuke. " Naruto mendengus.
" Lalu siapa? Setahuku juga, sampai sekarang pun kau masih jomblo. Jadi, siapa yang kau rindukan? Ibumu? " cecar Sasuke tak mau kalah.
.
.
.
Pertanyaan terakhir Sasuke itu mendapat hadiah tatapan yang seolah mengatakan are-your-brain-is-going-rotten-teme dari Naruto. Plus jitakan 'halus' dari sandal selop yang dipakai pemuda pirang itu. Heck! Seabnormal apa pun Naruto, dia masih punya kewarasan untuk tidak menyukai ibunya sendiri. Yah, meski warna rambut mereka sama-sama merah sih. Tapi warna merah Kushina sang ibunda tercinta itu lebih mirip dengan warna merah cabai rawit matang. Ngejreng dan mencolok mata. Tidak lembut dan bernuansa darah seperti warna merah tulip dari jenis Kouki.
.
.
Sasuke ikut memilih diam ketika disadarinya rekan kerjanya itu kembali tenggelam dalam lamunan sambil memandang hamparan bunga tulip merah dengan mata merindu. Pemuda ini sungguh sangat penasaran dengan perubahan Naruto semenjak pemuda pirang itu pulang dari tugas dinas luarnya di kota Suna. Naruto yang sudah dikenalnya dari jaman mereka masih pakai popok adalah seorang yang cerewet, pecicilan, tidak bisa diam dan suka bertindak sebelum berpikir. Pokoknya, Naruto adalah orang yang sangat berisik dan childish.
.
.
Tapi sejak pulang dari Suna, Naruto jadi seorang yang berbeda. Dia jadi jauh lebih tenang. Memikirkan semua tindakan yang akan diambilnya. Juga jadi sedikit lebih dewasa. Bahkan akhir-akhir ini, pemuda pirang itu sudah tidak pernah lagi melakukan hobi mengerjai rekan-rekan kerjanya. Sudah hampir dua bulan pula Naruto tidak mau menyentuh ramen, pasta, mie atau yang sejenisnya sama sekali. Pemuda yang paling anti makan sayur dan buah itu sekarang malah jadi vegetarian. Selain itu, Naruto juga jadi punya hobi baru, mengkoleksi segala hal yang berhubungan dengan bunga tulip merah.
.
.
.
" Where are you, dear? " gumam Naruto setelah gagal lagi menghubungi entah siapa itu.
" Siapa sih yang berusaha kau telepon sejak tadi, dobe? " tanya Sasuke penasaran.
" Bukan siapa-siapa, kepo banget. " gerutu Naruto sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku.
" Kalau bukan siapa-siapa, kenapa kau selalu gelisah setiap kali kau gagal menelepon orang itu? " demi apa, jarang-jarang Sasuke OOC begini.
" Teme, sejak kau pacaran sama Sakura, kau jadi cerewet sekali. Virus tukang gosipnya Sakura dan Ino menular padamu, ya? " cetus Naruto sarkastis.
" Kau… Ugh! Semoga anak-anakmu kelak tidak keras kepala seperti kau, dobe. " yah, keluar sudah kata-kata sakti Sasuke sang dokter bedah anak.
" Mau kuhilangkan ruas-ruas tulang belakangmu itu, teme?! " Naruto yangjengkel pun balas mengancam dengan ancaman khas dokter bedah orthopedi.
" Futari-tachi, berhentilah bertengkar dan makanlah dulu! "
.
.
.
Seorang gadis berambut hijau mint pendek sebahu datang membawa troli berisi jatah makan malam staff rumah sakit. Si gadis memberikan kotak styrofoam pada masing-masing pemuda itu. Tapi belum sempat Naruto menyendok makanannya, baru saja membuka kotaknya. Pemuda pirang itu sudah berlari meninggalkan kotak makan malamnya disertai suara seperti orang yang menahan muntah. Ah, satu lagi, selain menjadi vegetarian, Naruto juga tidak tahan dengan masakan berbahan dasar tepung atau daging. Melihatnya saja sudah mual, apalagi mencium baunya.
.
.
.
" Fuu, menu katering malam ini, pasta lasagna? " Sasuke menusuk-nusuk selembar pasta berbentuk pita dalam kotak styrofoamnya.
" Yap~ lasagna bolognese dengan daging sapi dan keju mozarella yang baaaanyaaak sekali~ " seru gadis itu riang gembira.
" Pantas saja Naruto berlari seperti orang kesetanan. Pasti sekarang dia sedang muntah-muntah di toilet. " Sasuke melahap makanannya dengan cuek.
" Areee~ Ne, Sasuke-san, apa kau tidak berpikir kalau apa yang dialami Naruto-san itu mirip dengan gejala yang dialami wanita hamil? " tanya Fuu retoris.
" Maksudmu, Naruto hamil begitu? Pffft… jangan bercanda Fuu. Sama sepertiku, bocah bodoh itu bukan carrier. Mana mungkin! " Sasuke tertawa histeris, tidak sanggup membayangkan rekan berisiknya itu dengan perut membuncit berisi bayi.
" Kalau itu aku tahu, Sasuke-san. Maksudku, pacarnya mungkin? " Fuu sudah terbiasa melihat tingkah abnormal salah satu atasannya ini.
" Naruto itu jomblo forlone, Fuu. " ucap Sasuke dengan muka lempeng.
" Bisa saja 'kan, Naruto-san punya pacar rahasia. Memangnya cuma Sasuke-san saja yang bisa punya pacar rahasia~ " balas Fuu telak lalu pergi meninggalkan Sasuke yang melongo.
.
.
.
.
.
(=^._.^=)
.
.
.
.
.
Kedatangan Hinata dalam hidup Gaara adalah sebuah anugerah. Gadis itu membuat semuanya jadi lebih mudah. Pemuda itu tidak lagi repot membagi waktu pribadinya dengan tugas mengelola Tasogare Florish kecil yang laris ini, menggantikan Akasuna Karin, sepupu jauhnya yang pindah ke Konoha. Gaara adalah tipe yang kalau sudah bekerja tidak akan berhenti sampai jam tutup. Artinya, kalau pengunjung sedang ramai dia bisa tidak makan sama sekali dari pagi sampai malam. Beruntung tidak perlu waktu lama melatih Hinata untuk menjadi asistennya saat Gaara kelelahan, gadis itu punya modal bakat alami merangkai bunga.
.
.
Bonusnya adalah, Hinata pintar memasak! Terbalik dengan Gaara yang cuma bisa menggoreng telur mata sapi. Berkat Hinata, Gaara bisa berhenti membeli bento cepat saji di toserba sebelah. Selain tidak higienis, juga tidak terlalu bergizi. Padahal tubuh Gaara sedang sangat membutuhkan asupan makanan bergizi tinggi setiap hari. Namun Gaara sudah bisa bernafas lega. Karena seperti yang terlihat, saat ini pemuda bertato 'Ai' itu sedang lahap memakan tsukiyaki oden buatan Hinata sebagai menu makan siang.
.
.
Dalam jumlah besar. Dan cara makan yang sangat out of character. Hinata sampai melongo saat melihatnya.
.
.
.
" Kouki-san, ma… makannya pelan… pelan… Nanti… tersedak… " gumam Hinata panik dan gugup. Well, Gaara memang mengerti kalau Hinata seorang pemalu, tapi tidak sampai se-penggugup ini juga.
" Hmh?... Ugh! Uhukk! " baru juga ditegur, Gaara sudah tersedak betulan.
" I… ini… air minumnya! " sahut Hinata makin panik.
" Ugh!... Tolong, saat sepi begini panggil nama asliku saja. " pelan-pelan Gaara meminum airnya sampai habis. " Jangan gugup. "
" Umh! Anoo… Gaara-san. " suara Hinata terdengar lebih stabil.
" Ne? " Gaara melanjutkan makannya, kali ini lebih tenang.
" Aku penasaran, aku tahu lelaki makannya memang banyak. Tapi, apa perlu lelaki bertubuh normal sepertimu mengkonsumsi makanan sebanyak itu? " hilang sudah gugup dan panik dari ucapan Hinata.
" Maksudmu, aku berlebihan? " tanya Gaara balik.
" Yap. " gadis indigo itu mengangguk.
" Well, tidak juga, kalau kau makan untuk tiga nyawa. " jawab Gaara santai sambil mengelus perutnya.
.
.
.
Perlu waktu sekitar tiga puluh detik bagi Hinata mencerna maksud dari perkataan Gaara. Makan untuk tiga nyawa? Nyawa manusia 'kan ada satu, kok ini ada tiga… Kecuali kalau seseorang sedang hamil, itu lain soal… Lho? Gaara-san, makan untuk tiga nyawa… Ketika sudah paham, Hinata menjerit sekeras yang dia bisa. Ekspresi kaget gadis itu mengundang senyum tulus –tapi tipis– di bibir Gaara. Senyum yang tidak pernah diperlihatkan lagi setelah hari di mana dia membawa pulang Hinata ke Tasogare Florish. Senyuman langka yang sukses membuat pipi Hinata memerah di tengah rasa terkejutnya.
.
.
.
" Ugh… Gaara-san, bercandamu tidak lucu tahu. " Hinata menggelengkan kepalanya sebagai bentuk penyangkalan.
" Aku tidak pernah bercanda, Helianthus*. " kalau Gaara sudah memanggilnya dengan nick-name itu, artinya dia serius. Sangat sangat serius. *bunga matahari, helios.
" Kau yakin? Bukan dokternya yang salah diagnosa? " gadis indigo itu masih sangsi.
" Seratus persen yakin. Aku bahkan punya foto USG-nya kalau kau masih butuh bukti. " Gaara masih berusaha sabar.
" Tapi kau ini lelaki lho, Gaara-san! Lelaki tidak mungkin bisa hamil, kan?! " Hinata masih tetap berkeras dengan logikanya.
" Kami-sama… kemarikan tanganmu. "
.
.
.
Jengkel karena kesulitan meyakinkan Hinata, Gaara pun akhirnya menarik tangan kanan gadis itu. Sebelah tangannya yang lain digunakan untuk menyingkap lapisan turtle-neck sweater dan sleeveless hoodie longgar yang biasa dipakainya dan menurunkan sedikit pinggang elastic celana baggy-nya. Lalu Gaara meletakkan telapak tangan gadis itu di perutnya yang tampak membulat di area bawah pusar. Gerakan-gerakan samar dari dalam perut pemuda itu menyadarkan Hinata kalau apa yang dikatakan pemuda merah darah itu bukan sebuah kebohongan.
.
.
.
" Sekarang percaya? " Gaara membiarkan jemari lentik itu menusuk-nusuk pelan perutnya yang sudah lumayan buncit.
" Be… berapa bulan? " dengan rasa antusia baru yang aneh, Hinata sedikit bereksplorasi dengan perut tuan rumahnya itu.
" Tujuh belas minggu. " cengiran kecil muncul di sudut bibir Gaara.
" Kau mengerjaiku lagi? " alis Hinata yang berkerut kesal membuat pemuda itu ingin tertawa.
" Kau 'kan pintar. " hanya itu komentarnya.
" Fine! Empat bulan lebih! Tapi kenapa terlihat seperti lima bulan? " raut kesal itu berganti dengan bingung.
" Ingatanmu masih bagus, Hinata. " Gaara kembali berteka-teki.
" Astaga! Bayimu kembar! " well, sekarang Hinata jadi tahu kenapa Gaara suka sekali perutnya dielus. :P
.
.
.
.
.
(=^._.^=)
.
.
.
.
.
Pagi yang cerah, Hinata bekerja di rumah kaca kecil yang menjadi halaman belakang florish dengan hari yang ringan. Tugasnya pagi ini adalah menyemai bibit damascena, menyirami rumpun mawar yorkshire, mengatur pengairan sepetak bunga poppy, mengontrol tunas bunga anggrek dari hama dan memanen berbatang-batang golden chrysant yang hampir mekar. Selesai dari rumah kaca, gadis indigo ini masih harus mengecheck stok bunga potong di dalam ruangan freezer dan menata stok bunga yang baru saja dikirimkan dini hari tadi.
.
.
Ditengah kegiatannya memotong batang golden chrysant, tiba-tiba saja bulu kuduk Hinata meremang. Perasaannya seketika gelisah, seperti akan ada peristiwa buruk yang terjadi. Benar saja, ketika Hinata baru selesai mengikat golden chrysant untuk mengisi satu buah ember display…
.
.
.
" KYAAAAAA! KOUKI-SAN! " teriakan panik pelanggan terdengar dari arah toko.
" Ga… Gaara-san… " Hinata menjatuhkan peralatan kerjanya dan bergegas pergi ke depan. " Te… Terumi-san, Ko… Kouki-san… kenapa? "
" A… ah, Hinata-san! Entahlah, tadi dia baik-baik saja, lalu… " wanita muda bernama Terumi itu menjelaskan dengan panik.
" Hiks… Hi… Hinata-san… sakit… perutku sakit… Hinata-san… " Gaara menangis terisak dalam pelukan pelanggannya itu sambil memegang erat perutnya.
" Bagaimana bisa begini?! Apa yang terjadi?! " situasi kritis membuat penyakit gagap Hinata hilang sementara.
" Ti… tidak tahu… hiks… perutku sakit… hiks… anak… anakku… aaargh! " pemuda merah darah itu mengerang di sela tangisnya, wajahnya sudah basah oleh keringat dingin dan air mata. " Tolong… tolong anakku… "
" Kouki-san… tenanglah. Kami akan membawamu ke rumah sakit. Shion-san! " Hinata menoleh ke arah pelanggan lain yang berdiri membeku ketakutan.
" I… iya! Akan kupanggilkan ambulance! " seru gadis berambut lavender pucat itu.
.
.
.
Tidak sampai lima belas menit, ambulance yang ditunggu datang. Cukup cepat mengingat jarak rumah sakitnya yang lumayan dekat dan jalanan sedang lengang tidak ada kemacetan. Tapi tetap saja bagi orang-orang yang menunggu dengan tegang di dalam Tasogare Florish, lima belas menit terasa seperti berjam-jam. Dalam waktu sesingkat itu, Gaara yang sudah berpindah ke dalam pelukan Hinata tidak berhenti merintih dan menangis. Sekarang bukan cuma wajahnya, sekujur tubuhnya pun sudah basah dibanjiri keringat dingin.
.
.
Gadis bersurai indigo itu sempat menyingkap pakaian yang dikenakan Gaara untuk mengetahui kondisinya. Dan yang dilihatnya benar-benar membuat gadis itu panas dingin, berharap boss-nya itu mendapat perawatan medis secepatnya. Hinata melihat bagaimana otot-ototnya berkontraksi dan membuat permukaan kulit perut itu menegang. Tangan gadis manis itu merasakan perut yang biasanya lunak fleksibel itu mengeras. Tanpa terasa Hinata pun ikut menangis. Ketika petugas medis datang mengambilalih Gaara dan memindahkannya ke dalam ambulance, Hinata mengikutinya dengan pikiran blank.
.
.
.
" Down to earth, Hinata-san. Down to earth. Hello? Anybody here? " seorang dokter muda berparas cantik menjentikkan jarinya di depan wajah Hinata.
" Ah… uh, eh?! Ha… Haku-san?! Lho?! Aku dimana?! Kouki-san dimana?! Kondisinya bagaimana?! " seru Hinata panik setelah sembuh dari masa 'trance'-nya.
" Ma… ma… daijoubu desu. Kita ada di ruang rawat VVIP milik Kouki-san. Dan ya, kondisinya sudah stabil. Untung cepat dibawa ke rumah sakit. " Haku, dokter muda nan cantik yang ternyata seorang lelaki itu mendesah lega.
" Ma… maksud anda, Haku-san? " Hinata memiringkan kepalanya tanda tak mengerti.
" Dengan kram otot perut separah itu, kalau terlambat sedikit saja ditangani, bayi Kouki-san bisa terlahir premature. " jelas Haku.
" Jyo… jyodan ja nai… Usia kandungannya saja baru lima bulan, Kami-sama… " wajah Hinata kembali memucat.
" Sayangnya aku tidak bercanda. " pemuda berparas cantik itu menggeleng.
" Uuunghhh… Hina… ta… " gumam Gaara yang kesadarannya perlahan kembali.
" Nah, tolong jagalah Kouki-san. Nanti setelah kondisinya semakin membaik, masalah ini akan kita diskusikan bersama. "
.
.
.
Hinata mengangguk patuh. Gadis bersurai indigo itu buru-buru menghampiri Gaara yang terbaring lemas di atas ranjang rawat. Pemuda manis itu tampak sangat pucat dan kelelahan. Mata berirish jade yang terbuka perlahan-lahan itu terlihat sayu. Meski sakit yang dirasakan tidaklah lama, tapi itu sudah cukup membuat lingkar hitam alami yang membingkai matanya semakin menggelap. Hinata telaten membantu Gaara meminum air dari gelas dengan menggunakan sedotan. Setelahnya gadis itu merapikan selimut Gaara dan mengecup keningnya.
.
.
Digenggamnya lembut tangan pemuda manis yang tengah sakit itu. Sambil bersenandung lirih, Hinata menemani Gaara hingga dia tertidur kembali. Setelah memastikan boss kesayangannya pulas, Hinata pun menyusul berpetualang ke alam mimpi. Gadis indigo itu melewatkan sebuah bisikan lirih yang keluar tanpa sadar dari bibir Gaara. Bisikan yang mengucapkan sebuah nama…
.
.
.
" Naruto… "
.
.
.
.
.
(=^._.^=)
.
.
.
.
.
Suara berdentam terdengar bersamaan dengan satu set pisau scalpel yang terjatuh ke lantai. Membuat ruangan persiapan yang semula ribut menjadi hening. Tidak ada yang berani bicara hingga seorang pemuda berwajah sepucat vampire menghampiri sumber suara. Yang anehnya terlihat sangat shock sampai membatu…
.
.
.
" Anoo… Naruto-san, daijoubu desu ka? " tanya pemuda pucat itu.
" Sai, katakan pada Kimimaro-sensei untuk menggantikan jadwalku hari ini. " kalimat bernada monoton itu diucapkan Naruto dengan wajah yang masih shock.
" Tapi, kenapa mendadak begitu? Memangnya anda mau kemana? " Sai, si pemuda pucat memiringkan kepalanya tak mengerti.
" Ku mohon lakukan saja Sai! " dengan gerakan tidak teratur Naruto mencoba melepaskan pakaian operasi yang dikenakannya.
" Naruto-san! " sentak Sai yang masih membutuhkan alasan logis untuk mendelegasikan semua tugas Naruto hari ini pada senior mereka.
" Ugh! Sial… "
.
.
.
Tak sampai lima detik setelah kata itu terucap, Naruto tumbang. Kepanikan melanda para staff medis yang level rasa tegangnya baru saja turun setelah menyelesaikan sebuah operasi berat. Hanya Sai, dokter bedah spesialis syaraf muda itu saja yang masih tenang. Dia keluar dari ruangan itu dan memanggil siapa pun perawat yang kebetulan lewat dan belum ketularan panik untuk menangani Naruto. Setelah kekacauan di ruang persiapan operasi beres, pemuda pucat itu bergegas mencari Kimimaro untuk menyelesaikan tugasnya yang lain.
.
.
Selang beberapa saat setelah kabar Naruto yang mendadak masuk ICU tersebar di kalangan staff Rumah Sakit Pusat Konoha. Seorang wanita paruh baya berambut merah cabai terlihat berjalan tergesa di selasar depan rumah sakit terkemuka itu. Wanita itu, Kushina, langsung masuk kamar rawat Naruto tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu. Dan para perawat yang melihatnya pun hanya bisa mendesah pasrah. Like mother like son, begitu pikir mereka. Di dalam sana sudah ada Tsunade, sang kepala rumah sakit sekaligus salah satu dari tiga orang godfather… uhumm… godmother Naruto.
.
.
.
" Tsunade-sensei, apa yang terjadi pada Naruto? " tanya Kushina cemas.
" Tidak ada apa-apa. Anak ini sehat-sehat saja, kok. " jawab wanita yang usianya hampir enampuluh tahun tapi masih terlihat muda itu dengan kening berkerut.
" Maksud sensei?! Kalau anak ini sehat, kenapa dia terus merintih begitu? " tunjuk Kushina ke arah puteranya yang sibuk menggelung diri di ranjang sambil merintih.
" Aku juga tidak tahu. Hasil pemeriksaan Naruto menunjukkan kalau dia tidak menderita apa-apa, bahkan bukti dari gejala kram perut yang dia keluhkan pun tidak ada. " Tsunade sendiri terlihat kebingungan.
" Okaa-saaan… sakiiiiit… " rengek Naruto yang merasa isi perutnya seakan dipelintir.
" Tidak ada gastritis? "
" Tidak. "
" Maagnya kumat lagi? "
" Tidak juga. "
" Usus buntu? "
" All clear. Haaah… Mendokusei. Bahkan setelah disuntik penghilang rasa sakit pun dia masih tetap kesakitan. " gerutu Tsunade.
" Aneh sekali… " sahut Kushina.
.
.
.
Perhatian kedua wanita itu teralihkan ketika mendengar Naruto kembali mengerang keras. Pemuda pirang itu menggulung dirinya lebih erat karena gelombang rasa sakit yang sangat kembali menderanya. Miapahh… perasaan dia tidak salah makan, sarapan pun juga sudah. Kata Tsunade-sensei pun sebenarnya dia sehat. Lalu sakit yang dia rasakan ini apa? Selain itu, sejak bangun tidur Naruto sudah merasakan firasat yang tidak menyenangkan. Firasat buruk yang sama seperti yang pernah dialaminya beberapa waktu yang lalu, tapi kapan? Saking sakitnya, Naruto sampai tak mampu mengingatnya.
.
.
Naruto membiarkan saja ketika ibunya memeluk tubuhnya. Dirinya juga tak peduli dengan tatapan aneh yang dilayangkan Fuu serta Sasuke yang melihatnya menangis dan mengerang. Terserah mereka mau apa, toh yang merasakan sakit bukan mereka. Dokter bedah tulang yang masih muda itu menekuk tubuhnya semakin rapat dalam dekapan sang ibu. Mencari sedikit ketenangan yang berusaha diberikan ibunya. Lama kemudian, sakit itu perlahan mereda dengan sendirinya. Naruto sudah sangat lemas dan Kushina sendiri malah sudah tertidur sambil memeluk anak sulungnya itu.
.
.
.
" Ah, sepertinya anda sudah baikan ya, Naruto-san? " tanya Fuu, gadis muda yang menjadi asisten pribadi Naruto dan Sasuke.
" Fuu, kau… masih di sini? " tanya Naruto serak.
" Ne, aku diminta Tsunade-sensei untuk mengawasi anda. Berhubung anda sudah membaik, sebaiknya saya melaporkannya pada sensei. " gadis bersurai hijau mint itu bangkit dari kursinya.
" Maaf sudah merepotkanmu. " gumam Naruto.
" Oh ya, Naruto-san. Mungkin anda harus memastikan kondisi kekasih rahasia anda. Karena siapa yang tahu kalau sakit aneh yang anda derita ini berhubungan dengan kondisi orang itu. Ne? " lagi-lagi Fuu pergi meninggalkan seseorang yang melongo.
" Gaara… "
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
(=^._.^=)~Tsuzuku desu~(=^._.^=)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Before…
.
.
Buat yang berkenan kasih comment, sankyuu for your appreciation nyaw~
Buat yang sekedar SiDer… well… sankyuu udah nyempatin baca fics gue ini nyaw~
Semoga karya gue ini memuaskan n menghibur.
.
.
Then, see ya next chapter~
.
.
Sincerely, Mirai_team pro
Hibiki_Kurenai
Nagisa_Sakurai
Sora_Fujimori
Reina_Mirai
