Swan Lake
By
Betelgeuse Bellatrix
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Warn: OOC, TYPOs, AU, NOT HAPPY ENDING(again).
Sequel 'THE UGLY DUCKLING'
Enjoy^^
XXXXXX
"Hari ini cukup sampai disini saja."
Perkataan pria bermasker di hadapannya membuatnya menghentikan kegiatannya. Alisnya berkerut tajam seolah-olah menyatakan ketidak setujuannya. Pria bermasker dan berambut perak tersebut menghela nafas, mengerti maksud dari muridnya ini.
"Istirahatlah. Beberapa bulan ini kau membuatku kelelahan."
"Cih, istirahat? Bukan hanya kau yang lelah, Kakashi. Diuji coba 3 bulan yang lalu, aku hanya berada diperingkat 16! Kau sadar! Kalau begini aku tak akan menang!" Sasuke berteriak frustasi pada gurunya tersebut.
"…" Sang guru yang diteriaki oleh muridnya dengan kurang ajar hanya menatap bosan dan tetap diam menunggu Sasuke menyelesaikan umpatannya.
"Kalau kau memang tak niat melatihku, lebih baik carikan aku guru yang lebih berkualitas. Ada apa sebenarnya denganmu!" teriak Sasuke.
"Harusnya aku yang bertanya begitu padamu. Kau kacau, Sasuke," ucap Kakashi dengan nada bosan.
"Apa maksudmu, guru Kakashi?" dari cara bicaranya, sepertinya sang Uchiha bungsu telah mengontrol emosinya.
"Entahlah," jawab Kakashi ringan.
"Apanya yang kacau? Aku baik-baik saja."
"Yah, berlatih sedari pagi, siang, hingga sore bisa kau katakan baik-baik saja, ya, kau baik-baik saja."
"Sejak awal aku sudah begitu. Hal itu sudah biasa kan? Kau bahkan menemaniku sejak awal." Sasuke mendudukan dirinya di lantai kayu sambil meminum air sebanyak yang ia bisa untuk membasahi kerongkongannya.
"Tapi kali ini kau berniat membunuhku," ucap Kakashi sembari mengangkat bahunya ketika ditatap oleh tatapan penuh tanda tanya dari Sasuke. "Emosimu tidak stabil, kau terlihat sangat frustasi dan tidak tenang seperti biasanya. Kau tak akan bisa menang dengan ini. Kalau kau ingin menang, satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu adalah motivasimu." Kakashi tersenyum dibalik maskernya menatap Sasuke yang terduduk di hadapannya.
"Motivasi? Apa motivasiku untuk menang belum cukup?" nada meremehkan keluar dari bibir Sasuke, ia hanya menatap datar dinding kayu di belakang Kakashi.
"Yah, jika dulu mungkin cukup. Aku pernah melihatmu yang benar-benar bersinar dengan indah beberapa waktu lalu. Matamu selalu berbinar-binar ketika kau berhasil mematikan lawanmu, bukan tatapan dingin dan gelap seperti sekarang," Kakashi beranjak keluar untuk setidaknya pulang ke rumahnya yang nyaman. "Apapun motivasimu kala itu, aku berharap kau menemukannya lagi. Hanya kau yang tahu apa yang membuatmu bisa sebahagia dan seringan itu."
Kakashi mengangkat tangannya tanda perpisahan, dan berjalan hingga tak terlihat oleh mata sewarna langit malam milik Sasuke.
"Cih!" Sasuke mendecih dan kemudian menenggelamkan wajahnya di sela lutut yang ia tekuk.
.
.
.
"Tidak ayah, aku tidak butuh apapun,"
"Aku tidak sakit ayah, hanya baru bangun tidur saja."
"Aku sudah makan ayah,"
"Iya, ayah, aku juga sayang ayah, sampaikan salamku pada Hanabi dan Neji-nii ya?"
Sejenak kemudian, suara lemah tersebut tidak terdengar lagi. Digantikan oleh suara perpaduan telapak kaki yang menapak dengan cepat di ubin dingin. Disusul suara keran air yang terbuka deras untuk menyamarkan suara seseorang yang mengeluarkan seluruh isi perutnya.
Gadis bersurai indigo tersebut membersihkan mulutnya dengan handuk yang menggantung di sebelah wastafel. Setelahnya ia menatap pantulan dirinya di cermin. Ia bisa melihat tulang pipinya dengan jelas, seolah-olah hanya terbalut oleh kulit putih miliknya. Bola matanya seakan terlalu besar dan terlihat melotot hendak keluar. Rambut yang dahulu tebal dan halus, kini terasa kasar dan tipis. Ia kemudian menatap tangannya yang tak jauh beda, tulang berbalut kulit.
"Kenapa aku terlihat gemuk lagi?"
Gadis itu menghentakkan kakinya sebal ke lantai.
Sang gadis menatap jam yang menggantung di dinding yang menunjukan pukul 8 pagi. Kemudian dengan cepat ia berlari menuju sebuah ruangan dengan banyak peralatan olahraga di sana. Ia memilih tread mill kali ini. Tak disangka gadis tersebut mengatur kecepatan dengan tingkat maksimal. Ia mulai berlari mengikuti ritme alat olahraga itu. Apartemen kecil dengan 2 kamar yang tadinya sepi, kini terisi dengan suara terengah-engah layaknya pelari di sebuah kejuaraan.
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh, dan gadis tersebut telah bersender di pintu kulkas miliknya sembari meminum air dalam botol dengan rakus. Ia lalu mengambil sebuah apel kemudian mengunyahnya hingga habis. Setelahnya gadis tersebut berlari menuju wastafel. Ia mulai merogoh tenggorokannya dengan jari telunjuknya, hingga kemudian ia memuntahkan apa yang baru saja ia makan. Rasa lemas menghampiri tubuhnya, ia terengah-engah dan menatap sayu pantulan dirinya. Kali ini ia memilih berjalan ke ranjangnya dan menidurkan tubuh ringannya di sana.
Ini sudah hampir 3 bulan Hinata tinggal sendirian di apartemen kecil disebuah kota gersang dan panas, Suna. Setelah Hinata memutuskan untuk keluar dari sekolahnya, ia memilih pergi ke Suna dengan alibi ingin mandiri. Sang ayah memang tak pernah membiarkannya, namun, darah Hyuga yang mengalir ditubuhnya juga membawa kekeras kepalaan yang berhasil membuatnya mendapatkan izin. Hinata bahkan lebih memiih home schooling sebagai alternatif pendidikannya. Ia benar-benar terisolasi, bahkan hanya petugas pengantar dari supermarket langganan Hinata yang tahu bagaimana wajah Hinata, ah dan tentu saja guru home schoolingnya juga.
Hinata hanya berhubungan dengan keluarganya lewat telepon dan pesan singkat. Ia tak pernah menunjukan wajahnya pada keluarganya. Sang ayah yang selalu mengiriminya uang berlebihan menjadi penopang hidupnya. Sebenarnya tak seluruh uang itu ia gunakan untuk makan, nyatanya ia hanya menggunakan tak lebih dari separuhnya untuk berbelanja buah-buahan. Ya, sejak tinggal sendirian di Suna, Hinata mulai berdiet ekstrim. Ia bahkan hanya memakan buah dan berolahraga dengan porsi yang mengerikan. Seringkali Hinata mendengar nasehat dari guru Home schoolingnya yang membuat Hinata terkadang heran dengan kepedulian sang guru.
Mata sewarna perak tersebut terbuka dengan cepat ketika mendengar dering ponselnya yang begitu memekakan telinga. Dengan cepat ia menyambar ponselnya dan mengangkat telepon dari seseorang.
"Maaf, aku ketiduran, sensei." Gadis itu menjawab suara yang terdengar dari ponselnya.
"Sudah kok, aku sudah makan." Suara gadis itu menjadi pelan.
"Untuk apa kemari?" Gadis itu bangkit dari ranjangnya dan melihat jam dinding miliknya.
"Aku tidak bohong, aku sudah makan." Hinata berjalan menuju ruang olahraga.
Hinata kembali mengatur treadmillnya dengan kecepatan tinggi kembali tanpa melepas ponselnya. Suara di ponselnya tak ia hiraukan, Hinata tetap berlari berusaha menyamai ritme kecepatan yang ia buat. Namun tak berselang lama, Hinata merasa udara disekitarnya menipis. Ia berusaha meraup sebanyak-banyaknya oksigen di udara, bahkan ia terpaksa membuka mulutnya untuk membantu paru-parunya agar tetap terisi. Kepalanya entah kenapa terasa berputar dan jantungnya berdetak kencang. Pandangannya kabur, meski ia yakin masih memakai lensa kontak yang dipakainya tadi pagi. Hinata merasa kakinya bergetar, namun ia masih setia menyamakan kecepatan dengan treadmillnya. Namun, bagaimanapun kakinya yang terasa mati rasa tak mampu ia kendalikan, hingga gerakan kakinya tanpa sadar melambat dan...
BRUK
Disana, ditengah siraman cahaya matahari siang yang menembus di dinding kaca hanya terlihat sang gadis kurus yang tergeletak dengan sebuah treadmill yang menyala dan ponsel yang tak jauh darinya yang masih menyuarakan nama gadis itu.
"Hinata! Hinata! Jawab aku! Hinata!..."
.
.
.
"Ino, hari ini temani aku ya?" Sakura mencolek gadis berambut pirang ponytail di depannya. Sang gadis yang merasa terpanggil membalikan tubuhnya menghadap sang gadis gulali.
"Kemana?" tanya Ino dengan semangat.
"Toko buku."
Seketika bahu Ino melemas, wajahnya cemberut menatap Sakura yang masih bersemangat.
"Cih, aku pikir kau sudah berubah. Gadis-gadis seperti kita tidak pergi ke toko buku Sakura, tempat itu membosankan."
"Kenapa? Aku suka kesana," sungut Sakura.
"Tapi aku tidak suka. Jadi berhentilah datang ke tempat yang tak kusuka!" Ino menatap Sakura dengan tajam.
"Waktu kau mengajakku ke bar aku ikut, meski aku tak suka! Kenapa kau tidak mau? Kau harusnya juga menghargai apa yang temanmu suka!" Sakura berteriak pada Ino hingga membuat seluruh perhatian kelas tertuju pada mereka.
"Apa lihat-lihat!" Ino membentak pada teman-teman sekelas yang menatap mereka. Tak ayal, membuat siswa-siswi tersebut melanjutkan aktifitasnya kembali.
"Dengar! Kau sudah menjadi temanku, jadi berhentilah melakukan hal-hal yang tak kusukai!" Ino mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Sakura.
"Bukan itu yang namanya teman!" teriak Sakura frustasi.
"Oh, ya! Lalu seperti apa teman itu? Seperti si sadako gendut bermata empat?" Ino menggunakan nada menantang dan meremehkan.
"Sudah kubilang berapa kali untuk tidak bicara buruk mengenai Hinata! Kau bahkan tak lebih baik dari Hinata!" Sakura meluapkan seluruh emosinya pada Ino.
"Oh, benarkah? Kheh, lalu kenapa kau meninggalkannnya dan memilih berteman denganku? Kau bahkan tak lebih baik dariku! Cih!" Ino yang muak segera berjalan meninggalkan kelas.
Sepeninggal Ino, Sakura hanya tertunduk lesu di bangkunya. Apa yang dikatakan Ino, tanpa sadar menusuk hatinya. Sejujurnya ia tak berniat meninggalkan sahabat sejak masa SMP nya itu. Namun, sejak kejadian surat itu, ada perasaan iri pada diri Sakura. Kenapa seorang Sasuke yang disukainya sejak dulu, lebih memilih membalas surat Hinata. Dan kenapa Hinata lebih beruntung darinya? Kenapa bukan dirinya yang lebih dari segi apapun dibanding Hinata. Dan rasa iri itu membuatnya menjauhi Hinata.
Sebenarnya tak lama setelah itu, Sakura berniat berbaikan dengan Hinata dan menceritakan kejadian ajaib yang didapatnya. Namun, entah kenapa sejak pertama Sakura memiliki rasa iri dan pergi bersama Ino, keesokan harinya Hinata sakit dan izin tak masuk. Sakura saat itu tak peduli dan bersyukur karena tak perlu repot menemuinya. Namun hal itu terus berlangsung hingga Kurenai-sensei mengumumkan kepindahan Hinata. Sakura merasa bersalah, namun ia selalu bisa melupakannya ketika bersama Ino. Namun sekarang, rasa bersalah itu kembali dirasakannya.
Sakura mengambil ponsel di tasnya. Ia mencari nama dikontak ponselnya, yang sebenarnya sudah ia hafal nomornya diluar kepala. Sakura menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu untuk jawaban dari seberang sana. Merasa mendengar suara yang selalu hadir di mimpinya membuat Sakura memamerkan senyum indahnya.
"Ah, hari ini bisa temani aku?" Sakura bertanya dengan semangat. Namun sejenak kemudian ekspresinya berubah sendu.
"Hanya untuk hari ini," Sakura memohon. Air matanya menetes ketika ia mendengar suara indikasi bahwa sambungan diseberang sana telah ditutup secara sepihak. Sakura masih setia menempelkan ponsel ditelinganya meski ia tahu itu hanya sambungan satu arah. Sakura menangis, disela isakannya ia masih mengucapkan sesuatu yang belum sempat disampaikannya.
"Kenapa kau tak pernah ada waktu untukku? Aku ingin kita makan siang bersama, pulang bersama, dan kencan berdua. Aku ingin seperti pasangan kekasih pada umumnya. Aku ingin bisa mengatakan 'aku juga mencintaimu, Sasuke-kun."
.
.
.
Sakura berjalan pelan di antara para pejalan kaki yang berjalan cepat mengejar waktu. Tak ayal hal ini membuat sebagian orang melihatnya aneh. Sakura merasa sepi meski suara bising kesibukan metropolitan Konoha terdengar menderu. Langkahnya terhenti ketika 100 meter dihadapannya berdiri sebuah supermarket kecil yang tak asing baginya. Tempat itu cukup sepi dengan hanya beberapa orang berlalu-lalang melewati pintu kaca tersebut. Tanpa sadar kaki Sakura melangkah menuju kesana.
Sambutan hangat dari pegawai wanita di sana, hanya ditanggapi Sakura dengan senyum manis. Dan kemudian perhatiannya teralihkan pada lemari pendingin di bagian belakang. Ia menatap dengan senyum kecil sebuah produk puding karamel berbentuk kepala beruang berwarna kuning pucat dengan endapan karamel di bawahnya. Sakura mengambil sebanyak yang bisa dengan tangannya tanpa berfikir menggunakan keranjang belanja.
"Ah, ini saja?" ucap sang kasir ramah ketika Sakura meletakkan begitu banyak puding di meja kasir.
"Iya,"
"Tidak dengan coklat juga? Biasanya ia akan membelinya bersama coklat,"
"Ah, benar juga! Tunggu sebentar!" Sakura berlari menuju rak dengan isi coklat beraneka ragam. Sang kasir hanya tersenyum sembari mendata belanjaan Sakura.
.
.
.
Sakura menatap puas hasil karyanya. Ia membenarkan sedikit pita merah yang merekat pada leher sang beruang merah muda. Kemudian ia menyemprotkan sebanyak-banyaknya parfum yang biasa ia pakai ke tubuh sang beruang. Kembali ia menatap hasil karyanya. Sebuah boneka beruang berwarna merah muda yang besar sedang memeluk sebuah kotak pendingin kecil yang telah ia hias dengan kertas bermotif lavender berwarna ungu. Perpaduan ungu dan merah muda, perpaduan lavender dan bunga sakura, Hinata dan Sakura.
Sakura bergegas membawanya keluar kamar, tak lupa sedikit menilik tampilannya di cermin sebelum keluar. Senyum masih bertengger diwajah ayunya ketika tiap langkah menggema di rumah besar yang terlihat sepi. Sakura berjalan menuju mobil mewah miliknya dan meletakkan dengan hati-hati beruangnya di bangku belakang. Sakura menjalankan mobilnya dengan senang keluar dari rumah mewah miliknya.
Senyum Sakura tak pernah pudar sepanjang jalan bahkan ketika ia tiba di sebuah rumah besar dengan aksen tradisional yang kental. Sakura turun dari mobilnya dan berdiri di depan gerbang besar rumah tersebut. Ia menarik nafasnya dan merapikan sedikit rambut pendeknya yang terurai. Kemudian ia memencet bel yang ada disamping gerbang dan menunggu dengan sabar hingga terdengar suara langkah cepat dari dalam gerbang.
Gerbang besar tersebut terbuka menampakan pria dengan rambut coklat dan mata perak khas Hyuga. Pria tersebut tampak terkejut mendapati Sakura yang berdiri dengan senyumanya.
"Haruno-san?" tanya pria tersebut heran.
"Ah, Kou-san, Hinata ada?" Sakura mencoba mengintip kedalam rumah besar tersebut meski tubuh Kou menghalangi pandangan Sakura.
"Eh, Haruno-san tidak tahu?" Kou mengernyit bingung.
"Eh? Tahu apa?" Sakura memiringkan kepalanya tak mengerti dengan maksud sang pelayan kebanggaan Hyuga.
"Nona Hinata sudah jarang kemari." Kou mengatakannya dengan nada sedih.
"Ah, tapi jarang kan? Artinya ia akan datang kemari, jika dia sudah pulang, tolong kabari aku ya Kou-san? Kau masih memiliki nomorku kan? Baiklah aku pergi dulu ya?" Sakura mengatakannya dalam satu kali nafas. Ia sangat kecewa, terpaksa ia menelan kekecewaannya bulat-bulat. Sakura hendak memasuki mobilnya sebelum suara mengiterupsi langkahnya.
"Haruno-san, tunggu sebentar!" Kou berteriak mencegah Sakura yang hampir memasuki mobilnya. Namun kemudian ia kembali masuk gerbang dengan langkah tergesa.
Sakura menatap bingung Kou memasuki gerbang. Ia bertanya-tanya, ada apa? Namun tak lama kemudian, manik hijaunya menangkap sosok Kou yang berlari padanya dan kemudian menyerahkan sebuah kertas kecil pada Sakura. Dengan bingung, Sakura membuka lipatan kertas tersebut dan membacanya. Dahinya yang lebar mengernyit bingung.
"Kenapa kau memberiku alamat sebuah ru.."
"Nona Hinata dirawat sejak kemarin," Kou memotong ucapan Sakura yang langsung membuat Sakura terhenyak.
Tanpa fikir panjang, Sakura memasuki mobil dan menjalankan mobilnya dengan cepat.
.
.
.
Gadis berambut sebahu tersebut berlari sepanjang koridor tanpa menghiraukan protes dari beberapa orang yang merasa terganggu atas kegiatannya. Nafas Sakura naik turun dengan cepat, tangga yang ia lewati membuatnya semakin lelah. Entah atas dasar apa Sakura memilih menaiki tangga darurat daripada menggunakan lift yang bisa lebih cepat membawanya. Sakura merutuk dalam hati atas kebodohannya. Ia menghentikan kakinya ketika ia melihat seorang gadis muda yang tak asing bagi Sakura tengah duduk bersandar di kursi tunggu di koridor berbau obat tersebut. Sakura merapikan sedikit penampilannya dan mengatur nafasnya sejenak. Ia mengulas senyum manis sebelum menghampiri sang gadis berambut coklat panjang di sana.
"Hanabi-chan?"
Sang gadis kecil yang merasa terpanggil tersentak kaget. Ia kemudian menoleh ke arah suara bersemangat tersebut. Dan mata peraknya membelalak melihat siapa yang ada di depannya. Namun kemudian ekspresi gadis bernama Hanabi tersebut berubah. Matanya yang biasanya cerah dan berbinar menatap penuh kilat kemarahan pada gadis berambut merah muda yang masih tersenyum padanya.
"K-kau! Apa yang kau lakukan disini menyebalkan!" teriak Hanabi.
Sakura yang terkejut akan respon Hanabi, reflak memundurkan langkahnya ke belakang. Ia menatap nanar Hanabi yang seakan marah padanya.
"A-apa maksudmu Hanabi?" tanya Sakura gugup.
"Kheh! Masih bisa bertanya. Kau tau kenapa ia ada disini!" Hanabi dengan marah mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Sakura. "Semua salahmu! Teman? Yang benar saja! Kau adalah perempuan sialan! Kau ja…."
"Hanabi," suara tenang dan sebuah tepukan di pundak Hanabi memotong seluruh umpatan Hanabi. Hanabi yang sadar hanya menundukkan kepalanya dalam hingga rambutnya menjuntai menutupi seluruh wajahnya yang memerah marah.
Kemudian pemuda yang mirip Hanabi namun terlihat lebih dewasa yang tadi menepuk Hanabi hanya memandang Sakura yang mendekap kedua tangannya di depan dada dengan gemetar. Mata pemuda tersebut menatap dingin Sakura, namun jauh di hatinya ia merasa kasihan pada gadis kesepian di depannya ini. Ia menghela nafas untuk menenangkan perasaannya sejenak.
"Dia ada di dalam. Jika kau ingin menjenguknya," ucap pemuda itu. Setelahnya ia memapah Hanabi untuk duduk kembali di kursi. Sakura hanya menatap kedua bersaudara tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada perasaan takut dan sedih secara bersamaan. Sakura dengan tubuh bergetarnya meninggalkan dua saudara tersebut.
Sakura menelan ludahnya paksa ketika ia menyentuh kenop pintu bertuliskan 'Hyuga 209'. Ia mencoba menetralkan detakan jantungnya yang berdetak begitu cepat. Perasaan takut mulai merambati fikirannya.
"Masuklah, mungkin akan sedikit mengejutkan." suara tenang tersebut kembali terdengar di telinga Sakura. Setidaknya suara tersebut selalu bisa menenangkannya, suara tenang seorang kakak laki-laki yang sangat di damba Sakura.
"Terima kasih, Neji-nii."
Bersamaan dengan suara Sakura yang bergetar terdengar, gadis tersebut memberanikan diri membuka pintu yang sedari tadi hanya ia tatap. Dengan segala permohonan pada Kami-sama yang ia rapalkan dalam hati.
Suara decitan khas pintu terbuka mengalihkan pandangan seorang gadis yang tengah terbaring lemas di kasurnya. Ia mencoba memutar kepalanya mengarah ke asal suara meski rasanya begitu berat. Dan ia rasa, keputusannya salah, mata perak dengan semburat ungu miliknya membelalak bergetar menatap seseorang yang sangat ingin ia maki-maki.
Mata Sakura membelalak, tubuhnya bergetar, bibirnya berucap namun tak terdengar. Air mata mengalir dari mata hijau indah milik Sakura. Kini, di sana, di depannya seorang gadis yang amat ia kenal. Namun kali ini, Sakura hampir tak mengenalnya. Sekelebat ingatan tentang gadis di depannya lewat begitu saja.
Sakura mendekat dengan perlahan, meski gadis yang terbaring di sana terlihat menatapnya benci. Tak peduli dengan tatapan gadis tersebut yang seolah-olah mengusirnya pergi, Sakura mendekat dengan lelehan air mata yang tak bisa ia bendung. Sakura menatapnya, memperhatikannya.
Tubuh menggemaskan miliknya dahulu telah hilang entah kemana tergantikan oleh tubuh mengenaskan dengan tulang-tulangnya yang tampak membekas. Rambutnya yang dulu tebal dan indah, kini nampak hilang. Wajah lucu dengan rona merah di pipi gembilnya tak lagi terlihat, digantikan wajah tirus yang mencetak rangka wajahnya. Sakura mengenggam tangan gadis tersebut, dingin dan terasa ringan bagai kapas.
Tangis Sakura pecah. Kini ia telah terduduk bersimpuh di samping ranjang tempat gadis itu terbaring. Tangan Sakura masih setia mengenggam tangan ringan milik gadis tersebut. Tangisnya semakin keras. Sakura tak tahan, hatinya sakit, rasa bersalah menjalari seluruh tubuhnya hingga kebas. Hanya kata maaf yang berulang kali terlontar bersamaan dengan suara tangisnya yang semakin menjadi.
"Maafkan aku Hinata….. Aku mohon maafkan aku… Maaf Hinata,"
Gadis berambut indigo tersebut menatap sahabatnya yang bersimpuh di sampingnya dengan tangisan dan ucapan maaf yang tak ada jedanya. Tangannya yang tengah Sakura terasa kebas dan kaku. Tiba-tiba sebuah perasaan aneh menghampiri dadanya. Gadis berambut indigo tersebut meneteskan air mata. Ia menangis tanpa suara. Secepatnya kepala dengan helaian indigo tersebut berbalik menatap jendela besar yang menghantarkan cahaya matahari sore memasuki kamarnya. Ia menangis mendengar kata maaf dan isakan dari gadis yang bersimpuh di sampingnya. Hinata menangis, menangisi gelenyar didadanya, gelenyar yang tak seharusnya ada untuk sahabatnya, sebuah perasaan senang, bangga, dan puas.
TBC aja ya?*plak*
Hai semuanyaaaaa…
Saya kembali ke fandom ini. Kemarin-kemarin, saya tersesat ke fandom sebelah dan terjebak di sana. Saya sulit banget pergi dari fandom kece itu, tapi kemarin saya dapat PM dan review di fic saya yang 'The Ugly Duckling' nambah. Saya terenyuh sampai segitunya kalian minta sequel, hiks, hiks, hiks*lap ingus*. Sebenarnya saya cuma mau bikin OS, tapi kok kalian gitu, kan saya ga tega. Dan demi kalian, akhirnya saya khilap dan sequel ini saya jadikan MC*tebar confeti* tapi tenang, ga panjang kok paling cuma twoshoot atau 3shoot aja, yang chap ini untuk Sakura, karena saya jadi greget sendiri sama Sakura.
Sebenarnya bagi saya fic "The Ugly Duckling" punya sejarah tersendiri, dan saya merasa ga sanggup untuk melanjutkannya*malah curhat*. Tapi ketika liat respon dari kalian semua, saya jdi bernafsu(?) melanjutkannya lagi. So, ini special pake telor buat kalian, dan buat my lovely one mawar(bukan nama sebenarnya)*mawar: itu emang nama gue -_-*, its for you baby, semoga telingamu ga pernah capek untk mendengarkan curhat gajeku^^ aku tau meski kamu ga bakal baca ini dan lebih memilih ngedance gaje yang bikin capek aku tetap mau mencantumkan nama kamu. Itu karena kamulah aku bisa melanjutkan sequel ini meski penuh air mata*apaan sih*, love you so much :* dan untuk semua reader, reviewer, follower, favoriter(?), para penagih fic yang penuh ancaman love you semuanyaaaahhhh...
Terima kasih untuk semua yang telah membaca dan memberikan reviewnya yang sangat berharga untuk fic "The Ugly Duckling" yang amat sangat gaje kemarin T.T Saya terharu, terkejut, dan jantungan lihat review dari kalian semua *peluk cium readers* Untuk yang guest, terima kasih ya, maaf tidak bisa membalas satu-satu…..
Okelah, adios amigos minna….
