Dear Heart
Oleh Owldio
Love Live! Sunshine! © Kimino Sakurako, ASCII Media Works, Klab.
Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari fiksi penggemar ini!
Mata-mata penasaran menatap ke arahku ketika seseorang menciumku ditengah keramaian, sebagian dari pemilik mata itu memalingkan wajahnya dengan cepat—tak peduli dan sebagian lagi malu—secepat aku mengedipkan mata ketika orang itu melepas ciumannya dan memelukku dengan erat.
"Salam hangat dari luar negeri," begitu lah katanya. "Orang-orang di luar sana melakukannya sebagai kebiasaan," tambahnya setelah mengecup kembali bibirku. Tak mempedulikan wajahku yang memerah karena perbuatannya.
Tapi, budaya kita berbeda. Ingin kuucapkan hal itu, namun tanganku diseret [alsa mengikutinya di tengah keramaian ibu kota, Tokyo, kalimat-kalimat sanggahan itu tertelan begitu saja diganti protes-protes yang keluar dari mulutku. "Tidak perlu diseret begini aku akan mengikutimu." Itu salah satunya.
"Oh, sorry." Dia melepaskan genggamannya, mengedipkan matanya sambil tertawa kecil. Logat luar negerinya keluar begitu saja. Dia memang sudah lama memiliki logat itu dan siapa sangka belajar lama di luar negeri membuat logatnya semakin kental.
Kulirik ke arahnya sekilas, rambut pirangnya mengibas diterpa angin kencang yang menerbangkan topiku di tengah kepadatan kota. Kucoba meraih topi yang terus terbang tinggi dihembus angin yang semakin kencang. Menyerah. Kutatap orang itu. Mataku tak bisa lepas dari wajah cantiknya. Jantungku tak bisa berhenti berdegup kencang. Topi yang diterbangkan angin itu terlewat dari pikiranku, aku hanya menatap keindahan yang diciptakan Tuhan di depan mataku.
"Sudah, beli lain saja. Aku yang bayar." Ucapnya membuyarkan lamunanku.
Aku memperbaiki rambutku yang diterpa angin, mencari jejak angin yang menerbangkan topiku. "Tidak usah repot-repot. Aku punya banyak di rumah." Kataku, kuperbaiki ekspresiku.
Orang itu tertawa. "Kenapa dirimu terlihat sedih begitu, Dia-san?"
Aku menyunggingkan senyum tipis. "Itu satu-satunya hadiah dari Kanan yang kuterima selama ini, sekarang aku menghilangkannya." Jujurku. Aku sebenarnya tak ingin menyebut nama orang itu, Matsuura Kanan. Tidap perlu kujelaskan, dia hanyalah sahabat kecilku.
"Oh! Kanan, bagaimana kabarnya? Aku sudah tak sabar ingin berjumpa dengannya." Mari tersenyum.
Iya, aku tidak perlu menjelaskan tentang Matsuura Kanan, karena yang akan menceritakan tentang Matsuura Kanan hanyalah Ohara Mari, dan yang akan menerangkan tentang Mari adalah aku—dan Kanan. Tapi tidak ada yang akan memberitahukan siapa pun tentangku. Tidak ada yang ingin mengetahui siapa aku.
"Kanan baik-baik saja, dia menunggumu di rumah." Ucapku.
"Ah, aku tak sabar ingin segera bertemu dengannya." Mari menarik kembali tanganku, berjalan ke pinggir jalan melambaikan tangannya memanggil taxi yang lewat. Kuperhatikan dirinya dalam diam melakukan semua itu dengan antusias. "Banyak yang ingin kuceritakan pada kalian."
Aku tersenyum.
"Ohara Mari, kau benar-benar mencintai Kanan ya?" tanyaku.
Mari menganggukkan kepalanya tanpa ragu. "Iya." Jawabnya singkat dengan senyum lebar yang memperlihatkan gigi-giginya. Itu senyum terindah yang pernah Mari buat. Aku juga suka. Padamu.
Kepada hati yang mencinta. Bisakah dirimu tenang, tanpa harus berdegup kencang setiap kali orang-orang menyebut namanya? Bisakah dirimu bersikap biasa saja saat dia menatapmu secara tak sengaja? Bisakah dirimu membuatku tak memikirkannya ketika hendak terlelap dengan tenang? Padahal kau tahu mencintainya adalah sebuah kesalahan. Bagi hati yang mencinta, tahukah dirimu bahwa ketika aku terjatuh yang akan merasakan sakit adalah dirimu.
End.
