UPDATE SETIAP HARI JUM'AT MALAM/SABTU DINI HARI


All characters' name of Naruto belong to Masashi Kishimoto

"PEMAKAN HATI YANG MEMAR"

By Kohan44

PERINGATAN

"Mengandung OOC, AU, dan Pair sesuka author. No BL."

PROLOG

"Pendosa"


Air berjatuhan dari langit. Deru benturan ribuan tetes air mencela percakapan kami. Dia melolong di hadapanku mengucapkan banyak kata-kata buruk. Bahunya berguncang, tangannya naik-turun tak menentu, dan matanya berlarian kesana kemari. Dia sangat nampak ingin meledak, tapi sesuatu menghalanginya. Bukan karena hujan yang menghalau niatnya, bukan pula dingin yang mencekam kulit kami.

"Ayo pulang! Aku berjanji tidak akan bicara apapun soal ini!" katanya bernada mengakhiri, tapi aku mendengar sebuah raungan. Emosi yang dipendam, namun lolos menyaingi gaung hujan dan melubur menjadi satu, seolah aku bisa mendengar di tiap hentakan tetes airnya terselip umpatan. itu membuat hatiku resah.

Aku ingin menjawab setiap panggilannya, balas menyerukan bahwa aku ingin berlari ke dalam pelukannya lalu menangis tersedu-sedu dan kami pulang bergandengan tangan untuk menikmati secangkir coklat panas di rumah kami. Tapi, apa kedua tangan ini pantas menerima uluran seseorang?

Tadinya aku kira aku ini kuat, tapi bukan karena kuat aku tak menangis. Aku ini pendosa dan jika menangis membuktikan rasa bersalahku, maka aku telah melanggar larangan paling pertama.

Lintasan merah menggenang di mata kaki yang kemudian merah itu mengalir hanyut dibawa arus yang membentuk bayangan semu, turun ke dataran yang lebih rendah, bergerak lamban membentuk garis-garis tebal dan tipis seperti asap rokok di udara, dan isi kepalaku bersikuku menganggap merah itu adalah asap rokok, memungkiri kenyataan yang membuatku takut tentang warna itu.

Oh, aku melanggar aturan kekdua. Rasa takut.

"Apa dia mati? Apa aku membunuhnya?" kataku serak tak berusaha membuat volume suara yang besar, tidak pula membuat suara yang kecil. Suara itu keluar tidak terdengar seperti rintihan di bawah kami. Aku menahan diri supaya tidak lari tiap kali mataku tak sengaja bertemu tubuh dingin di antara genangan air yang diam-diam menonton kami.

Angin bertiup, hujan pun menderu-deru mengubur bau amis ke dalam duka mencekam. Dengan dosa ini, aku menyimpan namaku di antara serat hatimu yang memar.