Matahari bersinar terik dan berniat meninggalkan langit biru di ufuk barat. Cahayanya memancar dari balik gedung-gedung pencakar langit, menerangi mobil yang meraung-raung juga pejalan kaki yang tergesa menapaki trotoar. Hampir semuanya terasa normal, ketika tangannya mengetuk-ketuk daun jendela taksi di sampingnya. Matanya menelisik jam di dasbor taksi, hampir menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Seharusnya matahari sudah tenggelam, tapi hari masih menariknya untuk tetap tersenyum. Setidaknya hujan tidak turun, dan membasahi bumi hingga aspal menjadi dingin membeku.

Lalu lintas tergolong padat, hingga mobil-mobil harus mengantri untuk menunggu lampu berubah hijau. Klakson dinyalakan, seperti senandung melodi yang menyamai alunan musik rock. Dia tidak menyukainya, memberengut hingga alisnya bertekuk di tengah dahinya.

"Rukia, wajahmu jangan memberengut seperti itu, menggelikan," ucap wanita yang duduk di sebelahnya, lebih santai dan tidak memedulikan keadaan di sekitarnya. Tangannya terulur untuk menyentuh dahi gadis yang berkerut masam itu.

"Karena kita harus menunggu lebih lama dari seharusnya." Rukia sedikit menggerutu. "Dan mengapa nii-sama mendapatkan lembur di hari ulang tahun pernikahan kalian?"

"Kupikir mengapa," gumam Hisana, mengetukkan telunjuk di pipi kanannya. "Tentu saja karena posisinya lebih penting sebagai seorang direktur. Dia orang kepercayaan Aizen-san, jadi tanggung jawabnya lebih besar dari karyawan lainnya."

"Tapi, tetap saja ini hari penting kalian."

"Aku tidak mempermasalahkannya, karena Byakuya sudah melakukan segalanya untukku."

"Dan nee-san yang membawakan buket bunganya?" Rukia menunjuk sebuah buket mawar putih di pangkuan Hisana. "Seharusnya pria yang membawakan bunga untuk kekasihnya, bukan sebaliknya."

"Kau tahu kalau kau ini terlalu banyak menggerutu?" Hisana menekan telunjuk dan ibu jarinya, sebelum dilepaskan tepat di depan dahi adiknya.

"Aw! Kau menyentilku!"

"Kau akan merasakannya, saat kau menemukan orang yang tepat untukmu, gadis kecil. Tunggulah hingga hari itu kalian bertemu."

Rukia hanya terdiam sambil mengelus dahinya yang kini memerah. Entah yang dimaksud kakak perempuannya akan menjadi takdirnya atau tidak, yang pasti dia tidak memercayainya—untuk sekarang.

.

.

.

.

.

~White Lie, Black Love~…

By: Morning Eagle

Disclaimer :: Bleach belong to Kubo Tite ::

Just to warn you all :: AU, OOC, Misstypos...for this story


Chapter 1: Fate To Meet You

.

.

.

For "The Story of Destiny"

Ichigo x Rukia Special Event

.

.

Inspired by 'Robin Hood and Lady Marian'

.

.

.

~(…*…)~

Rukia berjalan kikuk menggunakan heels tujuh sentinya. Tidak biasanya dia menggunakan heels, kecuali untuk acara dan pesta keluarga besarnya. Bahkan, rasanya seperti memakai jarum di tumit kakinya. Menjaga keseimbangan seperti pemain sirkus, agar tidak terjatuh dengan wajah mencium lantai. Terlihat bodoh di hadapan orang banyak.

Dia masih mengikuti Hisana, melewati lobi utama perusahaan cabang miliki Sosuke Aizen. Lampu telah diredupkan sebagian dan tidak ada orang yang berlalu-lalang di jam lembur. Hanya menyisakan seorang petugas jaga yang mengantar mereka menuju ruang tunggu. Totalnya lima orang di dalam gedung berlantai sepuluh—termasuk petugas kebersihan.

Rukia mengamati tingginya tiang-tiang penyangga, juga akuarium besar di tengah-tengah hall. Sedikit membuatnya terpana, melihat sesuatu yang bagus untuk dinikmati selain menghitung berkas dan membuat laporan keuangan. Hidungnya mengernyit, ketika kembali mengingat tawaran kakak iparnya untuk bekerja di perusahaan tersebut. Dia tidak tahan dengan layar komputer juga tabel-tabel yang membuat matanya sakit. Gadis itu lebih memilih bekerja di balik buku sketsa ataupun kanvas besar miliknya. Masih selusin tersisa di dalam lemarinya.

Mereka tiba di sebuah ruangan yang tepat berada di sebelah mesin minuman otomatis. Dinding kacanya dilapisi penyekat jendela yang sedikit memerlihatkan isi ruangan pada orang luar. Empat buah sofa yang saling berhadapan, dilengkapi sebuah meja kopi di tengah-tengahnya. Lebih mirip ruang bersantai bila ditambah dengan televisi layar datar.

"Tunggulah di sini sebentar. Saya akan segera menghubungi Kuchiki-san di lantai enam." Si petugas keamanan memberi hormat, sebelum berlalu pergi.

Hisana duduk dengan nyaman, dengan buket bunga di pangkuannya. Menjaganya agar tetap segar dan tidak membiarkan kelopaknya jatuh sehelai pun.

"Nii-sama terlalu serius bekerja," kata Rukia, sedikit mencibir sambil memijit mata kakinya. "Lembur hampir setiap hari bisa membuat pegawai frustasi."

"Ini sudah menjadi konsekuensinya. Lagipula, Aizen-san memercayainya sebagai tangan kanannya di perusahaan ini. Dan jabatan Byakuya bukanlah sesuatu yang mudah untuk diraih bagi beberapa orang terpilih sekalipun."

"Sebagai direktur kepala cabang, aku tahu," jawab Rukia sedikit tidak peduli. "Tapi, ini hari istimewa kalian, bukan?"

"Aku tidak mempermasalahkannya." Hisana tersenyum.

"Kau selalu mengatakan hal itu, nee-san." Rukia tahu, bahwa kakak perempuannya rela melakukan apapun untuk menunggu kepulangan suaminya. Karena dia begitu mencintainya, tanpa syarat.

Tiba-tiba lampu mati mendadak dan seluruh ruangan gelap gulita. Rukia hampir menjerit dan terbangun dari duduknya dalam sekejap. Matanya mencari-cari sosok Hisana, yang sekarang tidak terlihat di depannya. Terlalu gelap.

"Aku di sini, Rukia. Jangan panik," ucap Hisana yang mengerti kepanikan tak terucapkan adiknya. "Mungkin petugas keamanan akan menyalakan listrik daruratnya."

"Mungkin Sosuke Aizen lupa untuk membayar tagihan listriknya—"

"Hush! Jangan mengatakan yang tidak-tidak!"

"Tapi benar, bukan? Dia bisa melakukan apapun yang diinginkannya sebesar rekening bank-nya yang tidak akan pernah habis tapi—"

Suara asing terdengar oleh Rukia, membuat tubuhnya siaga di tempat. Seperti kaleng yang ditendang, atau mungkin benda jatuh ke atas lantai marmer. Dia tidak begitu yakin, tapi ini membuatnya gugup setengah mati.

"Kau mendengarnya, nee-san?" tanya Rukia, sambil merogoh tasnya dan menggunakan ponselnya sebagai penerang.

"Mungkin itu petugas keamanan," jawab Hisana tenang. Matanya menyipit saat sinar ponsel menerangi wajahnya. "Duduk saja dan tunggu sampai Byakuya datang menjemput."

"Mereka terlalu lama untuk menyalakan listriknya."

"Karena sebagian pekerja sudah pulang, jadi mereka kekurangan orang. Rukia, jangan membuatku khawatir."

"Tapi itu yang kurasakan," balasnya sengit dan kembali mendengar sesuatu yang lebih keras, seperti pintu yang dibuka dan ditutup. "Dengar itu! Ada seseorang—"

Pintu terbuka lebar dan membuat gadis itu mengernyit. Ponsel di tangannya diarahkan pada orang yang masuk, menerangi wajahnya yang tertutup penghalang. Dua orang pria tinggi besar dengan topi barret hitam juga kain penutup mulut yang menutupi leher hingga hidung—menyatuh dengah kaos hitam turtleneck. Rukia tidak bisa menebak wajahnya secara jelas, kecuali mata yang memicing tajam karena tertangkap basah.

Gadis itu hampir berteriak, saat seorang pria menutup mulutnya dan menahan tubuhnya yang memberontak. Seorang lagi menangkap Hisana yang masih tertegun diam di duduknya—terkejut bercampur takut.

"Kenapa masih ada orang di dalam sini?! Bukankah gedungnya sudah diamankan?" teriak seorang pria, yang menahan Rukia di depan tubuhnya.

"Aku tidak mengerti! Dia mengatakan area sudah aman, jadi jangan salahkan aku!" balas temannya.

Rukia melihat kesempatan untuk meloloskan diri. Dia menggigit tangan si penangkap dan membuatnya berteriak kesakitan. Sikutnya mendorong tubuh pria itu hingga mundur beberapa langkah ke belakang.

"Lari, Rukia!" Hisana berteriak di dalam sekapan pria satunya.

Rukia spontan berlari ke pintu keluar, melewati hall utama dengan ponsel yang menerangi langkahnya. Kakinya seperti terbakar, berusaha agar tidak terjatuh karena kesalahannya sendiri. Beberapa orang terlihat di depannya—menghalangi pintu keluar yang kini sudah ditutupi teralis besi. Dua orang, ditambah yang tadi menjadi empat orang.

Dia tidak bisa keluar, hanya mendengar beberapa orang berteriak ke arahnya. Namun tekadnya mengalahkan apapun, agar bisa mencari bantuan sebisa mungkin. Sudut matanya menangkap alarm kebakaran, melihat tombol merahnya seperti secercah harapan. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, segera berlari dan hampir menyentuh tombol.

Tidak—saat seseorang menarik pinggangnya ke belakang, menjauhi alarm. Ponselnya terlempar dan terjatuh ke lantai, sementara dirinya tertarik ke belakang hingga menubruk sesuatu yang seperti tembok. Rukia berteriak dan meronta kuat, menyadari seseorang berhasil menangkapnya, melawan pria yang lebih besar dari pria sebelumnya. Sepertinya teman lainnya, menodongkan sesuatu ke arah tubuhnya. Senapan laras panjang.

"Upps! Hampir saja," ucap si pria yang menarik Rukia untuk mengikutinya. "Diam dan jangan meronta! Kalau kau tidak ingin peluru bersarang di kakimu, gadis kecil!"

"Hei, jangan menembaknya!" Temannya menegur, memegang senjata yang sama.

"Aku hanya mengancamnya, kau terlalu serius."

Rukia berusaha mencari identitas para pelaku perampokan—yang ditebaknya. Mereka menutupi wajah dengan begitu cermat, tidak menyisakan sedikitpun ciri-ciri yang bisa dilaporkannya pada polisi.

"Dan sepertinya si baboon menemukan satu orang lagi di atas," ucap pria yang berlagak terlalu santai di depan Rukia. "Sepertinya dia Kuchiki."

"Apa mau kalian?!" Rukia berteriak tak tertahankan, begitu mengetahui mereka akan melakukan sesuatu pada kakak iparnya. "Jangan sakiti nii-sama!"

"Kau—adiknya Kuchiki?" Pria di depannya terkejut, menatapnya tidak percaya. "Dia Kuchiki—hoi, sebaiknya kau membawanya ke tempat ketua."

"Jangan memerintahku! Lagipula, apa urusannya ketua dengan Kuchiki—apalagi gadis kecil ini?"

"Kau terlalu cerewet! Cepat bawa saja!"

Pria di belakang Rukia hanya bisa menggerutu tidak jelas, sebelum menyeret gadis itu mengikuti dirinya. Gadis itu terseret di dalam kegelapan, hanya bisa melihat tubuh besar pria di depannya juga senter di senapannya. Matanya berair karena air mata juga kepalanya yang berputar seperti habis menaiki wahana berputar. Tubuhnya lemas, serapuh boneka kapas. Berjalan tak tentu arah, hingga berhenti di depan sebuah pintu—jauh di belakang gedung utama.

Pria itu membuka pintunya dan mendorong Rukia hingga terjatuh di atas lantai. Lututnya lecet dan sikunya membentur keras. Akan mendapatkan bekas lebam karenanya.

"Hei, dia adik Kuchiki," jelas si pria yang tidak peduli dengan kondisi gadis di bawahnya. "Kupikir kau ingin bicara dengannya?"

Dan pintu tertutup, meninggalkan Rukia di tengah kegelapan ruangan. Dia menyadari, bahwa dia tidak sendirian. Matanya mengerjap saat menemukan beberapa layar menyala dan memberikan gambar di bawah penglihatan malam. Menyisakan warna hitam putih sebagai objek yang bergerak.

"Kau tidak apa-apa?" Suara orang itu menegurnya, yang kini berjongkok di sebelah Rukia. Tangannya terulur untuk membantu gadis itu berdiri. "Dia selalu kasar kepada siapapun, maafkan sikapnya—"

"Siapa kau?" tanya Rukia, napasnya memburu.

Pria itu terdiam, mengamati gadis itu seakan-akan hal teraneh yang pernah dilihatnya. "Aku akan menjelaskannya setelah aku melihat lukamu."

Tiba-tiba tubuhnya terangkat dari lantai dan pria itu membawanya ke sebuah meja kosong. Rukia duduk di atasnya, sementara pria di depannya mengamati luka lecet di lututnya.

"Stocking-mu robek. Kupikir kau tidak perlu menggunakannya lagi setelah keluar dari sini."

"Apa maumu?" Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. Matanya menatap, untuk pertama kalinya wajah pria di depannya. Seperti yang lainnya, dia memakai topi barret juga kain pelapis yang menutupi hidung dan mulutnya. Rukia bisa melihat matanya, bersinar di tengah kegelapan ruangan juga layar CCTV yang menerangi sebagian kontur wajahnya. Pria itu, memiliki mata terindah yang pernah dilihatnya.

"Tenang saja, kami tidak bermaksud menakuti kalian. Hanya ada keperluan dengan Sosuke Aizen." Pria itu tersenyum, terlihat dari penutup mulutnya yang tertarik ke samping.

"Aizen tidak ada di sini. Kalian ini perampok, bukan? Katakan yang sebenarnya!"

"Kau menyebut kami perampok? Kami lebih baik dari itu."

Rukia terlihat gugup, menahan diri agar tidak menghajarnya di tempat—belum saatnya. "Kalau begitu, kalian mencari nii-sama?"

"Hanya kebetulan bertemu dengannya di sini, juga denganmu? Aku tidak ingat kalau Byakuya memiliki adik perempuan?" Kini kedua tangannya bertumpu di samping tubuh Rukia, hingga wajahnya berada terlalu dekat di depannya. Rukia tidak bisa melakukan apapun, ketika merasakan hangat tubuh pria itu menyentuh kulitnya.

"Aku—nee-san menikah dengan Byakuya nii-sama…jadi—"

"Ahh—adik iparnya? Sekaligus anak angkat Kuchiki, bukan? Sekarang aku mengingatnya."

Pria itu menjauh dan merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan ponsel sambil memijit nomor terlalu cepat. Menghubungi seseorang.

Rukia tidak bisa menebak raut wajah apa yang dipasangnya, selama matanya tidak lepas memandangiya. Diam terpaku, dengan sinar mata yang seterang madu jernih. Matanya coklat, seperti topaz.

"Hei, kau bersama Kuchiki?" tanya pria itu pada si penelepon dan mengangguk cepat. "Berikan teleponnya."

Rukia menegang saat speaker teleponnya dinyalakan, mendengar suara berat kakaknya.

"Halo?"

"Kuchiki Byakuya? Maaf atas ketidaknyamanan ini. Kami tidak bermaksud menyakiti keluarga kecilmu." Pria itu berbicara seperti menghapal narasi drama.

"Apa maumu? Dimana adikku?"

"Nii…nii-sama!" Rukia berteriak, berusaha menjangkau kakaknya bahwa dirinya baik-baik saja.

"Apa yang kau lakukan padanya?" Ancaman Byakuya setajam belati, tidak berpengaruh pada si pria misterius.

Pria itu memutar matanya lelah, tidak tertarik dengan basa-basinya. "Aku hanya berbincang dengannya, aku tidak menyakitinya. Dan—langsung saja ke intinya. Aku ingin kau tutup mulut untuk masalah ini? Karena keteledoran orangku, kami terpaksa menahan kalian keluar dari gedung ini. Tapi tenang saja, setelah kami selesai, kalian bisa keluar dari tempat ini dengan selamat."

"Atas dasar apa aku bisa memercayaimu?"

"Karena adikmu berada bersamaku. Bila kau menolak, mungkin saja aku akan mengirimkan dua buah jarinya kepadamu," gertak pria itu, tanpa emosi meledak-ledak. Tapi, berhasil membuat Rukia bergidik takut.

Teriakan perempuan terdengar dari sambungan telepon. Rukia mengetahui suara kakak perempuannya, yang berubah panik mendengar ancaman si perampok.

"Aku hanya ingin kalian tidak terlibat dengan masalah ini. Kalian bisa pulang dalam keadaan selamat atau memilih pilihan satunya." Si pria mengangkat sebelah tangan Rukia dan mengelusnya dengan ibu jarinya. Kekuatan gadis itu seakan lenyap, ketika merasakan sentuhan di tangannya yang dingin. Bahkan, kedua kakinya seperti mati rasa, bergelantung di ujung meja.

"Aku mengerti," jawab Byakuya, setelah hening mencekam menunggu jawaban darinya. "Lepaskan adikku sekarang!"

"Tidak setelah tugas kami selesai." Dan pria itu menutup sambungan teleponnya.

Rukia hampir terbelalak saat melihat pria itu tertawa. Dia menertawainya.

"Jangan takut seperti itu, Kuchiki. Aku hanya menggertak, tidak lebih. Sudah kukatakan sebelumnya, kalau aku tidak akan menyakitimu?"

Rasa kesal juga kemarahan terasa hingga tenggorokannya. Rukia mengigit bibirnya menahan emosi dan melayangkan tangannya ke arah si perampok—menampar. Wajah pria itu berpaling ke samping, juga rasa sakitnya tetap menyengat walaupun terhalang oleh kain penutup wajahnya.

"Kau puas mempermainkan kami? Asal kau tahu, aku tidak akan menyerah begitu saja pada permainan busukmu ini, tuan perampok! Berikan aku pedang, maka akan kutunjukkan cara bertarung padamu!" Rukia berteriak marah, merasakan rasa panas di tenggorokan juga dadanya.

Pria itu tersenyum, memandang Rukia dengan mata menyipit. "Aku ingin merasakannya lagi, bila ini bisa dikatakan sebagai sebuah ciuman. Tanganmu memberikan rasa menyengat yang begitu manis, Rukia."

Rukia terlonjak kaget, begitu mendengar namanya disebut. Pria itu, lebih tahu daripada yang diperkirakannya.

"Tunggu sampai orang-orangku selesai mengerjakan tugasnya. Oh—atau kau ingin merasakan ciuman yang sebenarnya?"

Dan tamparan kedua dilayangkan gadis itu, sekuat amarahnya. "Beraninya kau—"

Pria itu maju begitu dekat dengan sebelah tangan menutupi mata Rukia. Mulutnya menempel di telinganya, dengan napas hangat yang menyapu kulit lehernya. Pria itu, melepas penutup mulutnya.

"Putri, sebaiknya kau redakan emosimu?" Bahkan suaranya terdengar lebih jelas di telinga Rukia, sehalus beledu yang menggodanya. Suara berdering alarm terdengar samar-samar, dari saku celana pria itu. Ponselnya—berbunyi tiga detik lalu hening kembali. "Itu tanda untukku. Tugasku sudah selesai dan sebentar lagi kau bisa bertemu dengan keluargamu."

Berharap dirinya akan menjauh, Rukia merasakan sesuatu menyentuh bibirnya. Lembut dan panas, membuat seluruh tubuhnya merinding layaknya terkena kejut listrik. Pria itu mencium bibirnya, hanya sekejap namun memabukkan. Dan dia tersenyum puas di atas bibir yang kini seranum apel.

"Itu ciuman dariku. Sampai jumpa, Rukia."

Rukia terlepas dari sihirnya, ketika matanya kembali melihat kegelapan ruangan. Pria itu sudah menghilang dari hadapannya, diiringi pintu tertutup rapat. Dia pergi layaknya bayangan malam, meninggalkan gadis itu terpaku dan tidak bisa berpikir jernih, selain merasakan kembali ciuman itu. Tuan perampok—menurut dirinya—berhasil mencuri sesuatu yang berharga baginya. Ciuman pertama yang seharusnya terasa spesial seperti di film romansa picisan, sekarang terasa lebih seperti semanis madu dan selembut kain sutra. Juga sepekat malam. Berbahaya layaknya sepasang mata yang mengintai di balik bayang-bayang. Menegangkan ketika adrenalin berpacu.

Menit-menit berlangsung cepat, ketika listrik kembali menyala. Matanya mengerjap, menyadari dia sudah seorang diri ditinggalkan, sementara lututnya kembali terasa perih. Rukia menatap layar CCTV yang seperti tivi rusak, baru menyadari bahwa sebelumnya layar itu menyala di tengah kegelapan putusnya listrik utama.

Apakah pria itu yang melakukannya, pikir Rukia. Mustahil layar CCTV bisa menyala, bila tidak ada aliran listrik. Semuanya kembali diingatnya, seakan baru tersadar dari mimpinya.

Suara pintu didobrak keras, membuatnya terkejut di tempat. Sosok Hisana yang pertama kali muncul di depan pandangannya, berlari dan memeluk dirinya erat. Kakak perempuannya menangis, sambil mengucapkan kata-kata yang tidak jelas kepadanya. Keprihatinan yang membuatnya takut.

Byakuya mengikuti di belakang, wajahnya terlihat khawatir. Belum pernah Rukia melihat kakak iparya sepanik sekarang. Pria Kuchiki itu terlalu kaku dalam menghadapi orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri.

"CCTV-nya," bisik Rukia, masih terlihat kebingungan.

"Apa? Kau mengatakan apa, Rukia?" Hisana terlihat panik, mengelus kepala adiknya penuh sayang. Air matanya masih keluar membasahi pipi pucatnya.

"CCTV-nya, sebelum ini menyala. Aku…melihat gambarnya."

Byakuya langsung menuju layar CCTV, mencari sesuatu dengan mengetik di atas keyboard. Tidak ada yang muncul, hanya layar rusak di seluruh pemantaunya.

"Tidak ada data, sepertinya dihapus," ucap Byakuya. "Kau yakin melihatnya menyala?"

Rukia mengangguk lemas, separuh tersadar separuh mengingat kembali kejadian sebelumnya. Namun tanpa daya, dia selalu kembali pada memori ketika pria itu berbisik dan mencium bibirnya.

"Dia menghapus datanya. Mungkin menggunakan generator saat listrik mati, atau ada orang lain yang melakukannya," gumam Byakuya, terlihat bingung juga tidak percaya.

Hisana menyandarkan kepalanya di dada Rukia, yang masih terduduk di atas meja. "Siapa sebenarnya mereka?"

Byakuya berjalan ke arah istrinya dan membelai pipi pucatnya, masih bersisakan jejak air mata. Rukia menatapnya khawatir, merasakan tangan kakak iparnya membelai kepalanya.

"Entahlah. Yang pasti kalian baik-baik saja. Mereka tidak melukai keluargaku."

Rukia merasakan sebaliknya, ketika bahaya belum pergi darinya. Tatapan pria itu mengatakan hal lain, bukan sesuatu yang baik. Ini baru saja dimulai, tepat saat pria itu meninggalkannya. Itu bukan salam perpisahan, melainkan harapan untuk perjumpaan kembali di hari mendatang. Pria itu menantikan dirinya.

"Dia…bukan perampok."

*…...(to be continued…)…..*

.

.

.

.

.

.

.

Author's note:

Fic diperuntukkan untuk event The Story of Destiny Ichiruki yang diadakan di FB! Yeaay! Akhirnya selesai untuk chapter 1. Karena panita memberikan batasan words, 2000-5000 kata per chapter jadi fic ini selesai lebih cepat dari yang kuduga. Berharap ceritanya masih berada dalam jalurnya sampai akhir fic. Jadi, mohon dukungan kalian? ;)

Diambil dari kisah Robin Hood dan Lady Marian. Awalnya sempat bingung mau mengambil dari kisah romansa yang mana (karena banyak pilihan) dan akhirnya jatuh di Robin Hood. Salah satu kisah yang aku sukai saat masa kecil! Aku sempat menonton film animasinya yang dimana Robin Hood nya adalah rubah :3 Seingatku kisah romance nya tidak begitu kuat, jadi aku cari lagi kisah dongeng klasiknya khusus untuk mengetik fic ini. Dan akhirnya fic ini diadaptasi dari kisah asli romansanya, sedikit action, separuh crime, separuh drama XD

Ichigo sebagai si 'rubah' Robin Hood, Rukia sebagai si 'rubah' Lady Marian, dan satu lagi antagonis si 'raja singa' (masih dirahasiakan). Semoga fic ini bisa menghibur kalian semua, terutama penggemar Ichiruki. Love you~ 3

Playlist (as always):

Ed Sheeran: Give Me Love

Chris Brown feat Rihanna: Turn Up The Music (remix)

Ellie Goulding: Bittersweet

Luke Bryan: Play It Again

These songs don't belong to me…