Truk sampah berkeliling didaerah perumahan kota Seoul. Jalanan terlihat sangat sepi tak berpenghuni. Suara mobil dibesarkan agar orang-orang tahu jika hari ini waktunya membuang sampah. Sepasang kekasih yang masih didalam mimpi merasa terusik dengan suara truk, mereka terbangun.
"Ugh, siapa yang membunyikan klakson sepagi ini?!" Kim Jongdae yang masih setengah sadar merasa terganggu.
"Eummm, mungkin itu truk sampah." sahut sang istri yang bernama Kim Minseok—masih dengan mata terpejam.
"Sampah? Dihari selasa?"
"Mungkin mereka merubah jadwal. Sana, buang sampah-sampah di dapur." ucap Minseok, lalu kembali terlelap.
Jongdae yang mau tak mau pun harus membuka mata sepenuhnya. Mengambil beberapa kantong plastik, lalu berjalan keluar menuju truk yang masih berkeliling. "Hei, tunggu!"
Mobil sampah berhenti. Lalu perlahan, berjalan mundur. Mendekat pada sesosok pria dengan piayama yang masih dikenakan. Lelaki itu tersenyum, "Kukira kalian mati tertembak karena sudah beberapa minggu ini tak terlihat." canda lelaki itu.
Dua orang keluar dari dalam truk. Mereka berpakaian petugas sampah, sembari membawa sebuah pistol. Menatap lekat pria yang mengenakan piyama, "Kau lah yang harus mati."
DOR
Peluru menembus jantung Jongdae bertubi-tubi. Petugas sampah menembak tiada ampun, sampah badan itu berlumuran darah. Lelaki itu tewas ditempat. Meninggalkan baju bernoda merah dengan sampah yang berserakan dijalan.
.
.
.
.
COMMANDO
Main cast:
[Park Chanyeol, Byun Baekhyun] Park Jihoon, and other.
Disclaimer:
Remake film 'Commando'
WARN! GS for uke, OOC, TYPO, ParodyAU!
I hope you enjoy this story~
.
.
.
.
.
.
.
.
Udara dekat gunung terasa sangat sejuk, menerpa kulit setiap orang dengan lembut. Pohon-pohon bergoyang mengikuti arah angin. Kapak tajam itu terangkat keatas langit, lalu dihempaskan kebawah. Memotong beberapa kayu pohon untuk persediaan baham bakar menyambut musim dingin.
Kayu jati terbelah menjadi beberapa bagian, lalu dikumpulkan disebelah kanan. Lelaki itu masih setia memegang kapak besar, menatap besi tajam itu lekat. Terpantul bayangan seorang gadis mendekat padanya. Ia waspada, mencengkram kapak keras. Mengambil ancang-ancang untuk menyerang seseorang dibelakang.
Otot-otot bisep serta keringat mengucur deras di kulit. Membuat sesiapapun akan menjerit ketika melihatnya. Bagaimana tubuh nan kekar itu bekerja, bagaimana bisep keras itu terayun-ayun. Bayangkan jika kau bergelayut manja pada bisep tangan keras itu.
Kapak tajam kembali diayunkan keatas langit. Bersiap menyerang seseorang dibelakang, lalu ia menghadap kearah belakang. Melepas besi tajam itu keatas tanah coklat, lalu mengangkat tubuh seorang gadis berumur 10 tahun.
"HAHAHA AYAH, TURUNKAN AKU!" anak gadis itu tertawa lebar, meraung-raung untuk diturunkan. Sang ayah tertawa, ia lalu menurunkan sang buah hati.
Park Chanyeol tertawa, sang anak gadis berusaha menggelitik perut sang ayah. "HOHO JIHOON, AYAH MENYERAH."
Gadis bernama Park Jihoon semakin tertawa, "Weeek, kejar Aku, ayah!"
Jihoon berlari menghindari sang ayah, Chanyeol sedikit tertawa lalu mengejar sang buah hati berlari.
Mungkin kalian akan bertanya-tanya siapa mereka. Lelaki itu bernama Park Chanyeol. Pria dewasa berumur 38 tahun, berstatus sebagai single parents—dikarenakan sang istri yang bernama Luhan sudah meninggal karena mengalami pendarahan ketika melahirkan buah hati mereka. Park Jihoon adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Berstatus mantan komandan pasukan militer.
Kenapa ia memutuskan berhenti menjadi komandan? Karena ia ingin menghabiskan waktu bersama anak gadisnya. Toh, lagipula ia sudah memiliki usaha kafetaria di daerah gunung—Chanyeol memilih tinggal jauh dari keramaian kota setelah Luhan meninggal. Dan lelaki itu tak pernah menyesali keputusan yang ia buat.
Hari-harinya sangat bahagia. Ia bisa melihat pertumbuhan sang anak dengan baik. Lelaki Park selalu menghabiskan waktu bersama Jihoon. Ia memancing, berenang, berlatih bela diri, apapun itu ia lakukan bersama Park Jihoon.
Park Chanyeol adalah ayah idaman.
.
.
.
.
Pagi hari menyambut dunia. Udara sejuk serta pandangan hijau di pegunungan membuat siapapun yang menatap akan terasa rileks. Park Chanyeol meregangkan tangan selebar-lebarnya, menatap gunung yang terlampau besar dari jendela rumah. Ia meregangkan otot beberapa kali. Menatap sang anak gadis yang masih sibuk membuat roti isi untuk sarapan pagi mereka.
Chanyeol berjalan menuju dapur, berniat untuk membuat teh hangat. Mata hitamnya melihat sebuah kertas terpampang di kaca lemari yang bertuliskan 'I love you, dad.'
Lelaki berlesung pipit itu tersenyum menatap sang anak. Ia mendekat kearah Jihoon, lalu mengecup pipi gembulnya lembut, "I love you too, Jihoonie."
Jihoon terkekeh mendengar ucapan sang ayah. Ia segera membawa sarapan pagi ke meja makan. "Sarapan sudah siap."
Gadis manis itu duduk dikursi. Menatap indahnya gunung berhiaskan embun-embun yang mengelilingi. Memakan roti isi daging dengan susu coklat memang sangat nikmat. Chanyeol membaca koran pagi, sembari meminum teh hangat. "Kenapa mereka tidak memanggilnya 'Girl George' saja? Itu pasti akan mengurangi kebingungan."
Jihoon tersenyum, memandang koran lama yang sedang dibaca sang ayah, "Ayah, itu sudah kuno."
Sang ayah hanya terkekeh. Menaruh koran lama diatas meja, "Saat ayah masih kecil dan rock 'n' roll mulai masuk ke Jerman Timur, pihak komunis mengatakan itu subversif. Mungkin mereka ada benarnya juga."
Chanyeol mengambil roti isi diatas piring. Lalu melahapnya tenang. Roti berisikan daging memang sangat sedap dibuat sarapan. Dengan teh hangat, dan udara sejuk.
Mata kehitaman Chanyeol menatap keluar jendela. Melihat sesatu yang besar terbang diawan-awan. Ah, itu helikopter. Tapi, milik siapa? Kenapa benda besar itu seperti ingin mendarat didepan rumahnya?
Jihoon yang menatap wajah bingung sang ayah bertanya, "Ayah, ada apa?"
Pemuda Park tak menjawab. Ia bangkit dari kursi, mendekat kearah jendela untuk melihat lebih jelas helikopter berwarna hijau mendarat dipekarangan rumah.
"Kenapa helikopter militer datang kesini? Ayah bilang, ayah tidak akan pergi lagi, ayah kan sudah pensiun." ucap Jihoon sembari meremas pakaian yang dikenakan Chanyeol.
"Ayah tidak akan pergi kemana-mana, sayang." sahut Chanyeol.
"Janji?" ucap Jihoon, mata bulat itu berbinar-binar menatap sang ayah.
Chanyeol tersenyum, digendongnya sang anak perempuan. Mengusap lembut pipi gembul nan mulus milik Jihoon. "Ayah berjanji."
Mereka berdua menatap helikopter yang semakin dekat. Benda besar itu mengelilingi sekitar rumah Park Chanyeol. Berusaha mencari tempat untuk mendarat diatas tanah tandus dekat gunung. Pohon-pohon bergoyang akibat angin kencang yang berasal dari baling-baling helikopter. Benda milik militer Korea Selatan itu mendarat sempurnah didepan rumah.
Keluarlah sosok berpakaian jenderal. Mesin helikopter dibiarkan menyala. Sang jenderal berjalan dengan tegap bersama dua tentara dibelakang yang siap menjaga. "Kang Daniel, Kim Jaehwan. Amankan daerah sini."
Dua tentara itu berjalan mendekat kearah rumah Chanyeol. Sembari membawa senjata ditangan mereka.
Jenderal itu menatap sekeliling, "Chanyeol? Chanyeol, apa kau didalam?"
Lelaki bertubuh tegap ini semakin mendekat kerumah pemuda Park, "Chanyeol, keluarlah. Ini aku Oh Sehun."
Rumah yang terbuat dari kayu jati itu terlihat tenang. Sepi dan senyap, seperti tak ada sesiapapun yang menghuni. Jenderal bernama Oh Sehun itu mencari sosok tinggi dengan telinga lebar.
Sebuah tangan dengan tiba-tiba mengambil pistol yang terletak di saku Sehun. Pemuda itu terlonjak kaget, ia menghadap kebelang.
"Aku tahu." ucap Chanyeol sembari tersenyum. Memamerkan lesung pipit yang amat dalam.
Sehun tersenyum, lalu menepuk bahu Chanyeol. "Sunyi dan mematikan. Masih sama seperti dulu."
Pemuda Park terkekeh mendengar ucapan sang mantan atasan, "Tidak sebaik Anda. Anda kan yang melatihku."
"Aku sudah mulai berkarat." ucap Sehun, ia kemudian menaruh kembali pistol dalam saku.
Sosok gadis kecil berjalan keluar rumah. Menghampiri dua orang pria dewasa yang masih bercakap-cakap. Sehun tersenyum, "Jihoon, bagaimana kabarmu?"
"Baik." jawab Jihoon tersenyum. Lalu berjalan menghampiri sang ayah.
Jenderal berambut hitam mengusap lembut rambut Jihoon. "Jihoon, aku mau bicara dengan ayahmu, oke?"
Park Jihoon terlihat cemberut. Ia tak ingin sang ayah kembali menjadi komandan militer. Itu berarti pemuda tinggi itu akan meninggalkan dirinya sendirian dirumah. Jihoon tidak mau.
"Jihoon."
Suara berat sang ayah memanggil namanya. Gadis kecil dengan pipi tebal itu menengok keatas, menatap wajah tampan sang ayah yang terpancar sinar matahari. Ia menghembuskan nafas pasrah, "Baiklah."
Jihoon masuk kedalam rumah. Meninggalkan Chanyeol bersama Sehun diluar. Sang jenderal membuka topi kebanggaannya. "Chanyeol, kita sedang punya masalah."
Mereka berjalan menjauh dari rumah. Sehun kembali bercakap, "Seseorang sudah membunuh anak buahmu."
Chanyeol segera menatap wajah sang jenderal, "Kau sudah memberi mereka identitas baru, kan?"
Pemuda berwajah datar kembali mengangguk, "Ya, tapi pasti ada yang membocorkannya. Kim Jongdae, Wu Yifan.. mereka semua telah terbunuh."
Pemuda berlesung pipit tak percaya. Semua kaki tangannya mati secara mendadak, "Kenapa seperti itu?"
"Kau sudah menciptakan banyak musuh diseluruh dunia. Hal itu bisa saja dilakukan oleh orang-orang Korea Utara, Cina, Amerika Selatan, atau bahkan kelompok-kelompok teroris."
Sehun menundukkan kepala. Menatap beberapa kerikil penuh debu berjejeran ditanah. Ia berhenti melangkah, menatap lekat wajah Park Chanyeol, "Mereka pasti memburumu."
Chanyeol menghela nafas panjang, "Tapi aku sudah memulai hidup baru disini."
"Kamu pasti akan menikmatinya, aku janji. Aku akan berkoordinasi dengan orang-orang federal. Kita akan menangkap bajingan-bajingan itu sebelum mereka mendekatimu." ucap Sehun penuh keyakinan.
Mata hitam sang jenderal menatap dua tentara yang masih Setia berdiri didepan rumah, "Sementara itu, biarkan Daniel dan Jaehwan yang berjaga disini."
Chanyeol menatap tentara asuhan sang jenderal, "Apa mereka tangguh?"
"Sangat tangguh, tapi tidak setangguh dirimu." sahut Sehun.
Sang jenderal kembali menepuk pundak Chanyeol. Pemuda berstatus single parents itu tersenyum. Sedangkan dari kejauhan, sang anak perempuan masih melihat interaksi antara sang jenderal dengan mantan kolonel militer—katakanlah gadis berumur 10 tahun itu tak suka.
Oh Sehun kembali memakai topi kebanggaannya. Ia berjalan masuk kedalam helikopter yang masih nyala. Sekilas, ia melambaikan tangan pada Chanyeol. Pemuda Park membalas lambaian tangan sang jenderal.
Helikopter sang jenderal mulai terbang. Meninggalkan rumah ditengah gunung. Hembusan angin mulai mereda ketika benda terbang itu menjauh dari rumah. Chanyeol hanya menatap kepergian sang jenderal. Jihoon datang menghampiri ayah berbadan kekar. Menatap helikopter yang mulai menjauh.
"Apakah berarti buruk?" Jihoon menatap sang ayah yang lebih tinggi.
Chanyeol menatap wajah manis darah dagingnya, "Aku tidak akan meninggalkanmu, kalau itu maksudmu."
Jihoon memeluk pinggang kekar Chanyeol. Merasakan bau maskulin yang menguar dari tubuh sang ayah. "Berarti mereka tidak terlalu buruk."
Mata hitam Park Chanyeol menatap tebing gunung yang berdiri kokoh. Burung-burung berterbangan secara bersama. Ia sangat nyaman tinggal disini. Kepalanya menengok kearah kiri, kesebuah semak-semak belukar yang tumbuh didepan rumah. Tumbuhan liar itu bergoyang, Chanyeol segera menggendong tubuh mungil sang anak. Lalu masuk kedalam rumah secara tergesa-gesa.
Sebuah peluru menghantam rumah Chanyeol. Seseorang menembak secara bertubi-tubi. Kaca rumah pecah seiring banyaknya peluru yang merambah. Kim Jaehwan tertembak, ia tewas di tempat. Daniel segera menembak kearah semak-semak, namun sebuah peluru menghantam lengan kirinya.
Ia tumbang, dengan sisa tenaga yang ada, Daniel merangkak masuk kedalam rumah. Berusaha melindungi diri dari serangan peluru yang semakin brutal. Chanyeol memeluk erat Jihoon, ia tak akan membiarkan sang anak terluka sedikitpun.
Chanyeol menatap Daniel yang menahan sakit, "Seberapa parah lukamu?"
"A-aku bisa bertahan." jawab Daniel—masih memegangi tangan kiri yang terluka.
"Aku akan ambil senjataku digudang. Tetap waspada, mungkin mereka akan segera masuk." ucap sang mantan kolonel.
Daniel mengangguk. Mereka kembali menundukkan kepala, serangan musuh semakin menjadi-jadi. Peluru menghantam pot bunga yang terjejer rapi. Membuat dalam rumah berantakan—ah, itu bukan masalah sekarang. Yang penting dirinya harus bisa membasmi para bajingan itu diluar lalu menyelamatkan semua orang.
"Tetap ikuti arah angin. Dengan tiupan udara kita bisa tahu kedatangan mereka." ucap Chanyeol.
Daniel menatap tajam, "Ikuti arah angin? Kau pikir aku bisa mencium kedatangan mereka?"
"Tapi aku bisa." sahut Chanyeol cepat.
Lelaki itu mengusap lembut punggung sang anak, "Oke Jihoon, pergi ke kamar dan sembunyi disana. Ayah akan kembali."
Jihoon segera bangkit, lalu berlarian menuju kamar. Sedangkan Chanyeol langsung berlari menuju gudang—dimana peralatan senjata semua ada disana. Daniel masih merintih kesakitan, tangannya semakin banyak mengeluarkan darah segar.
Chanyeol membuka gudang kasar, ia segera menekan beberapa tombol lalu membukanya. Mengambil sebuah pistol dan senjata lainnya. Sedangkan Jihoon mengumpat dibawah kasur. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, belum pernah selama hidupnya gadis itu melihat aksi tembak-menembak secara langsung.
Mata itu membulat ketika sebuah sepatu hitam menapakkan kakinya di lantai kamar. Sepatu itu berhenti didepan kasur. Jihoon berteriak dalam hati, ia ketakutan sekarang.
Chanyeol segera melompat memasuki rumah. Dengan senjata ditangan, ia siap menembak siapapun yang berani melukai putri kecilnya. Ia menatap Daniel yang sudah tewas. Matanya menangkap sosok pria yang dengan santainya duduk diatas kursi meja makan sambil memegang sebuah surat—yang Jihoon tempel dilemari makan tadi pagi.
"Dimana dia?" tanya Chanyeol dingin.
"Pria lembut akhirnya datang juga. Kita tidak bisa membicarakan masalah ini kalau kau masih mengacungkan senjata diwajahku." ucap pria dengan pakaian serba coklat.
Chanyeol masih mengacungkan senjata. Ia menatap tajam pria yang dengan asyiknya duduk diatas kursi, "Putrimu aman. Kolonel. Kalau kau ingin dia tetap seperti itu, semua terserah padamu. Orang-orangku punya urusan denganmu."
Mantan kolonel segera menatap jendela, melihat dua mobil hitam melesat pergi dari rumahnya. Sial, ia mengumpat dalam hati. Anaknya telah dibawa pergi. Dan si brengsek ini masih mengoceh tak jelas.
"Kalau kau mau putrimu kembali, sebaiknya kau bekerja sama. Benar kan?" ucap sang pria dengan wajah tenang.
Park Chanyeol kembali menatap pria tersebut, sembari mengacungkan senjata. "Salah."
Satu peluru berhasil menembak otak sang pria. Kursi terjatuh kebelakang, pemuda berpakaian coklat itu tewas dengan keningnya yang bolong. Darah mengalir deras dikulit putih.
Chanyeol segera keluar dari rumah. Ia menatap dua mobil yang berjalan semakin cepat. Kaki panjang melangkah menuju mobil biru miliknya—dan sialnya lagi mesin mobil itu sudah dirusak. Ah, Chanyeol tak peduli. Ia tetap mendorong mobil itu sampai turunan. Dengan sekuat tenaga, sampai urat-urat menyembul dari otot bisep. Ia akan mengejar anaknya.
Mobil itu berjalan kebawah. Menabrak beberapa pohon dan ranting. Chanyeol memutar-mutar stir, berusaha mengendalikan mobil yang sudah mati. Gejolak batu membuatnya terbanting beberapa kali, pemuda Park tetap memaksa. Sampai mobil biru itu terjatuh didasar jurang yang tak terlalu dalam. Berguling membentur beberapa pohon, mobil itu terbakar.
Chanyeol segera keluar dari dalam mobil. Ia tak memperdulikan keadaan mobil tua yang sudah mengenaskan. Pemuda itu hanya ingin anaknya kembali. Dua mobil hitam berhenti, beberapa orang keluar dengan senjata mereka. Bersiap menembak Chanyeol kapanpun.
Beberapa orang mulai menghajar Chanyeol, dan pemuda itu membalas dengan serangan brutal. Memukul wajah serta tubuh orang-orang brengsek yang sudah berani menculik anaknya. Pria tinggi itu terjatuh, seseorang menendang kaki dan punggungnya. Ia tergeletak diatas tanah kotor, satu orang memegangi leher Chanyeol erat. Berusaha menahan serangan si mantan kolonel.
Chanyeol masih berusaha melepaskan diri, namun ia segera diam. Terkejut, seseorang berdiri—dengan tubuh yang tinggi serta senyuman licik menghiasi wajahnya. "Yifan? Aku kira kau sudah—"
"Mati? Kau pasti salah." Wu Yifan berucap tenang. Menatap remeh sang mantan kolonel dengan sebuah pistol.
"Sejak kau mengeluarkanku dari unit kesatuan, aku selalu menanti waktu yang tepat untuk membalasmu."
Chanyeol menatap tajam. Yifan hanya memandang datar, "Kau tahu ini hari apa, Park?"
Pistol segera mengacung didepan Chanyeol, "Hari pembalasan."
Peluru mengenai tubuh Park Chanyeol. Pemuda itu menutup mata.
.
.
.
.
Remang-remang ia rasakan ketika membuka mata. Sebuah lampu bulat yang pertama kali tertangkap oleh pandangannya. Chanyeol merasakan tubuhnya diborgol diatas meja. Beberapa rantai mengikat tubuh kekar sang mantan kolonel.
Empat orang mengelilingi tubuh Chanyeol. Mereka adalah Yifan, Junmyeon, Jongin, dan Seungcheol. Menatap sengit pemuda Park yang terlilit borgol.
"Tranquilizers[1]." ucap Yifan menyeringai.
Seungcheol menghisap rokok kuat. Menatap Yifan yang dengan gegabah menahan tubuh Chanyeol, "Aku mau kau tetap sadar!"
Chanyeol berusaha melepaskan diri, "DIMANA JIHOON?!"
"Apa kau masih ingat denganku, Kolonel?" ucap Junmyeon dengan wajah dingin. Menatap sang kolonel yang masih tergeletak tak berdaya diatas meja.
Chanyeol memicingkan mata, lalu berucap dengan nada dingin. "Aku mengingatmu, bajingan. Terutama orang-orang yang sudah kau siksa dan kau bunuh."
"Kolonel Park, kau tidak paham sebuah negara seperti Val Verde—" ucap Junmyeon.
Pemuda Park berusaha tenang. Ia tak boleh bertindak gegabah sekarang.
"—itu adalah negara yang membutuhkan seorang presiden yang mengerti tentang arti kedisiplinan." lanjut Junmyeon.
"Kenapa kau mengatakannya padaku?" ucap Chanyeol.
Junmyeon berusaha mendudukkan diri diatas meja—samping Chanyeol diborgol dengan rantai. "Karena kau akan kembali ke Val Verde, dan kau akan membunuh presidennya lalu membantuku melakukan kudeta."
"Kau punya Yifan untuk melakukannya. Kedengarannya dia akan pensiun." sahut Chanyeol dingin.
"Karena Presiden Velasquez mempercayaimu, Kolonel. Setelah semua itu, dia akan mengangkatmu jadi pahlawan revolusi." ucap Junmyeon.
Pemuda dengan wajah angkuh kembali berbicara, "Kapten Yifan akan tinggal, bisa kami katakan, sedang mabuk." Junmyeon berbicara sembari tertawa.
"Ya, karena dia terlalu banyak menikmati pembunuhan." sahut Chanyeol dingin.
Yifan hanya menyeringai, "Hasil pelatihanmu, Park Chanyeol."
"Kau akan mendekati Presiden Velasquez, dan kau yang akan membunuhnya. Kami tidak punya banyak kendala untuk mencarimu. Kami sudah membuat berita, bahwa Kapten Yifan mati, jadi Jendral Oh pasti akan melindungimu. Dan itulah yang membawa kami padamu. Sekarang aku sudah mendapatkanmu, dan kau akan melakukan semua yang aku perintahkan." ucap Junmyeon panjang lebar.
Chanyeol semakin menatap sinis bajingan didepannya, "Persetan denganmu."
Semua orang mengeluarkan smirk, Yifan membuka pintu dengan kasar. Seungcheol menahan kepala Chanyeol—agar lelaki Park melihat apa yang terjadi.
Bola mata Chanyeol membulat. Anak perempuannya diikat diatas kursi roda. Mulutnya dibekap, Kim Mingyu dengan santai mendorong kursi roda menuju ruangan sang mantan kolonel berada. Jihoon menangis ketakutan.
"A-ayah.."
"Jihoonie."
"Hiks..." Park Jihoon mengeluarkan air mata. Menangis menatap sang ayah yang dibekap seperti anjing peliharaan.
Yifan menjambak rambut panjang Jihoon, lalu menodongkan sebuah pisau runcing ke leher mulus sang gadis.
"Dasar bajingan kalian!" geram Chanyeol. Ingin ia mengamuk dan mencabik bola mata mereka satu persatu. Namun ia harus menahan diri. Keselamatan anaknya lebih berharga untuk saat ini.
Junmyeon kembali berjalan menuju Chanyeol, "Kalau kau membunuh Presiden Velasquez, aku akan mengembalikannya padamu. Tapi kalau kau berbuat macam-macam, aku janji akan mengirim potongan tubuhnya padamu."
Chanyeol hanya mampu menghembuskan nafas kasar. Ia tak ingin sang anak dicincang seperti daging babi. Jihoon semakin terisak, darah sedikit menetes dileher putihnya. Pisau itu melukai kulit Jihoon. Dan Chanyeol mengepalkan tangan kuat.
.
.
.
.
Beberapa helikopter mendarat didepan rumah Chanyeol. Mengangkat beberapa mayat yang ada didalam. Jenderal Oh Sehun menatap cemas semua orang. Dimana Chanyeol berada? Dan anaknya.. bahkan Sehun ingin mengumpat menatap kerusakan yang terjadi.
"Apa ada tanda keberadaan Chanyeol?" tanya Sehun lantang.
"Tidak ada sir, hanya ada beberapa mayat." sahut salah satu tentara.
Sehun semakin cemas dibuat. Ia menatap tiga mayat yang tergeletak diatas tanah.
"Chanyeol... dimana kau."
.
.
.
.
TBC
A/n:
[1] Tranquilizers; obat penenang.
Halo! Saya kembali dengan fanfiksi Chanbaek—ya walaupun Baekhyun-nya belum muncul disini wkwk. Fanfiksi ini remake dari film COMMANDO—adakah yang pernah nonton? Yang jadi pemeran utamanya Arnold Schwarzenegger.
Mungkin dari kalian ada yang bertanya; "Kok suka banget sih remake film bertema berat kayak perang?"—hehe, saya ini tipe-tipe orang yang suka banget sama film action yang gak jauh-jauh dari pembunuhan berdarah-darah—saya akuin selera saya memang sedikit aneh wkwk. Entahlah, saya kurang suka dengan tema romance picisan—kalo pairnya straight. Kalo untuk yaoi maupun yuri saya suka semua wkwk.
Untuk gambar Baekhyun gs dan Jihoon gs, itu saya boleh nemu di google wkwk.
Yosh, semoga kalian menikmati fanfiksi ini. Terima kasih sudah membaca :)
-levieren225
