Jongdae mengayuh sepedanya tergesa-gesa. Angin bertiup kencang, langit mendung, tanda sebentar lagi akan turun hujan. Sebenarnya dia tak perlu mengayuh sepedanya selaju itu. Kehujanan bukanlah masalah karena dia bukan seorang yang gampang sakit seperti adiknya tapi kali ini berbeda. Dia membawa laptop super canggih keluaran 3 hari yang lalu yang baru dibelikan ayahnya kemarin. Eh itu juga sebenarnya bukan masalah sih karena ayahnya bisa saja membelikan laptop yang sama sekarang -bahkan ayahnya mampu membelikan pabriknya- karena ayah Jongdae adalah Kim Junmyeon, seorang milyuner yang akan dengan senang hati memberimu koleksi kartu kreditnya.
Jadi apa yang harus Jongdae
khawatirkan?
Tidak ada?
Oke. Tidak ada.
Setelah berpikir bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan, Jongdae mengayuh pelan sepedanya. Hari mulai rintik, Jongdae berhenti sebentar untuk memasangkan jas hujan pada tasnya. Oia, satu yang perlu dicemaskan, buku catatan matematikanya.
Ngomong-ngomong besok ulangan matematika. Bukunya baru saja dikembalikan oleh Baekhyun saat diparkiran tadi. Untung saja Baekhyun tidak lupa membawa bukunya, kalau tidak mungkin Jongdae akan menangis lalu kertas ulangannya besok masihputih bersih saat dikumpulkan kepada pak guru.
Ah, mestinya untuk anak selevel Jongdae yang orang tuanya memiliki harta dalam jumlah mengerikan, dia tak perlu cemas dihari mendung seperti ini. Ayahnya bisa saja membelikan semua mobil yang ada di showroom, dia tak perlu lagi mengayuh sepeda mahalnya. Tapi setiap kali ditawari, Jongdae pasti menjawab
'aku tidak mau menambah polusi udara. Lagipula jarak rumah dan sekolah dekat. Simpan saja uang ayah,'
Ckckck, anak baik.
Ini sudah lewat jam 5 sore dan Jongdae belum makan. Hujan mulai turun, kali ini benar-benar hujan, bukan rintik seperti beberapa waktu lalu. Perutnya terasa aneh karena kelaparan. Tanpa pikir panjang dia memarkirkan sepedanya didepan sebuah kedai yang dia lewati.
Begitu mendapat tempat duduk dan memesan makanan, Jongdae meraba bagian dalam tasnya. Syukurlah masih kering. Berarti buku matematikanya aman aman saja, pikirnya.
Pikirnya.
Hanya pikirnya.
Jongdae lupa bahwa sepulang sekolah tadi setelah Baekhyun mengembalikan bukunya, buku itu dia letakkan di keranjang sepeda, bukan didalam tas dan entah bagaimana dia sampai tidak melihat benda persegi itu ketika masuk ke kedai. Ya, buku catatan itu sebenarnya ada di keranjang sepeda yang sekarang sedang kehujanan di area parkir yang tidak beratap.
.
.
.
Jongdae bergelung didalam selimutnya tanpa peduli pada Yixing -ibunya- yang dari tadi menusuk nusuk punggungnya dengan telunjuk.
"Ibu, apa sih?" ucap Jongdae kesal sambil sesenggukan.
Jongdae menangis di sepanjang jalan pulang dan membuat seluruh penghuni rumah terkejut melihat tuan muda mereka basah kuyup dalam balutan seragam SMP dengan wajah memerah. Tak bisa dibedakan yang mana bekas air hujan dan air mata. Bahkan berjam jam setelah sampai dirumah dia tetap menangis. Suaranya parau membuat si ibu tak tega.
"Kenapa sih? Ikut remedi sesekali juga tidak apa apa. Ibu dan ayah tidak marah kok. Benar kan, ayah?"
Junmyeon mengangguk walaupun dia sadar anaknya tidak akan melihat itu.
"Aku tidak pernah remedi seumur hidup dan tidak pernah mau. Ibu ini kenapa? Ibu senang ya kalau nilaiku jelek?"
"Ey bukannya seperti itu. Sudah sudah, kau bisa demam kalau menangis terus. Ayo menonton tv bersama ibu. Sekali saja menemani ibu menonton tv dan tidak belajar, mau ya?"
Jongdae menggeleng, terlihat dari gundukan selimut yang bergerak.
"Apa ayah harus membeli soal ulangan itu dari guru matematikamu?"
"Jangaaaan! Aku akan kabur dari rumah kalau ayah melakukan itu."
"Lalu maumu apa?"
"Aku ingin belajar tapi- bukuku basah." tangisan Jongdae semakin nyaring. Mungkin dia tambah sedih ketika teringat bukunya yang basah dengan tinta luntur disetiap halamannya.
"Ayah pinjamkan buku milik teman-temanmu mau tidak?"
"Tidak- mereka tidak pernah memperhatikan. Mereka tidak punya catatan,"
"Pinjam punya Baekhyun saja. Kan kau bilang bukunya baru dikembalikan Baekhyun,"
"Baekhyun juga sedang belajar, aku tidak mau mengganggu."
"Tidak akan mengganggu kalau dia ayah beri uang."
"Ayah kenapa mainnya uang terus sih?"
Suara Jongdae di dalam sana terdengar mulai sebal, membuat Yixing tak tahan untuk tidak mencubit pinggang suaminya.
"Ya sudah, tidak usah hadir saja. Kenapa suka mempersulit diri?"
"Mau beralasan apa?"
"Bilang saja pergi ke Paris."
"Itu namanya bohong!"
Junmyeon menghela nafas dalam lalu menyentuh layar smartphone mahalnya beberapa kali.
"Halo Kris, pesankan 4 tiket pesawat ke Paris besok pagi. Siapkan hotel juga. Terima kasih."
Joonmyeon menutup teleponnya lalu menarik selimut Jongdae hingga dia dapat melihat mata anaknya yang bengkak karena terlalu lama menangis. Junmyeon membenahi kasur Jongdae, memaksa anaknya untuk berbaring rapi(?) diatas sana lalu menutupi sebagian tubuh anaknya dengan selimut baru karena yang tadi sudah basah terkena air mata.
"Oke tuan muda, hentikan tangisanmu yang menyedihkan itu. Kita akan ke Paris besok, barang-barangmu akan dikemasi oleh bibi. Jangan lupa buat surat izin tidak hadir untuk sekolah dan minta Baekhyun memfotokopikan catatan matematikanya. Problem solved. Selamat tidur anak tampan."
Junmyeon keluar kamar Jongdae diiringi Yixing yang melambaikan jarinya ke arah sang anak lalu mematikan lampu kamar. Jongdae diam sebentar. Ya tuhan, ayahnya ini benar-benar….
End
Apa ini? Hahahahaduh idenya kepikiran gitu aja pas pulang sekolah liat langit mendung terus mikir 'kalo ujan laptop gimana? Buku gimana? Jongdae gimana? Loh kok jongdae? Bikin ff ah..' Huh mama Yixing disini dibikin mirip kayak mama dirumah. Suka 'remedi gapapa juga' 'ka temenin mama nonton yuk, ga usah belajar' Jangan ditiru yang seperti ini ya kawan kawan T_T Udah curhatnya. Terima kasih udah baca, jangan lupa review. Satu lagi, kalo banyak typo maaf ya, suka ga teliti soalnya T.T
