I own nothing here, only the plot.
"Mungkin kita harus tinggal di sini, Harry. Dan bertambah tua,"
Stay Here
The Forrest of Dean
Harry terus memandang Hermione yang terus membaca buku yang ditinggalkan Dumbledore untuknya, Beedle The Bard, untuk kesekian kalinya. Hermione berusaha mencari apa maksud Dumbledore meninggalkan buku itu untuknya, apa yang ada di buku itu yang bisa membantunya dan Harry mengalahkan Voldemort. Sementara Harry tenggelam dalam pikirannya, memikirkan kata-kata Hermione yang baru diucapkannya beberapa saat yang lalu.
"Mungkin kita harus," gumam Harry, memecah kesunyian antara kedua anak muda itu. Hermione mendongak, menatap Harry dengan kedua alis terangkat. "Tentang kata-katamu tadi, kupikir sebaiknya kita tinggal di sini dan—bertambah tua," lanjut Harry.
Hermione menutup bukunya perlahan, menatap buku itu lama-lama, sebelum kembali menatap Harry yang tengah menunggu tanggapannya. "Aku—entah apa yang kupikirkan saat berkata seperti itu—tapi—tapi bagaimana dengan yang lain?"
Harry diam, wajahnya tertunduk, menatap gundukan salju putih yang menutupi hijaunya rerumputan. Pikirannya melayang, pada Remus dan Tonks, teman-temannya di Hogwarts, keluarga Weasley, Ron. Rahang Harry mengeras, entah kenapa ia merasa kesal setiap kali ia mengingat tentang Ron.
"Harry, kita tidak bisa meninggalkan semua orang begitu saja kan? Tidak dengan pengikut Kau-Tau-Siapa yang semakin lama semakin kuat dan banyak, itu—terlalu beresiko,"
Hermione benar. Itu terlalu beresiko dan akan membahayakan semua orang, orang-orang yang disayanginya, orang-orang yang tidak bersalah. Tapi Harry sendiri sudah mulai merasa lelah, ia ingin menjalani hidup seperti orang normal pada umumnya, tanpa perlu khawatir tentang apapun. Ia berpikir seandainya ia bukanlah target utama Voldemort, seandainya Voldemort tidak pernah ada, betapa menyenangkan dunia yang ia tinggali. Mungkin orangtuanya masih hidup, menantinya pulang di rumah setiap musim panas, mungkin Hermione tidak perlu mengikutinya dalam misi berbahaya seperti sekarang. Semua pikiran itu benar-benar mengganggunya akhir-akhir ini, semenjak Ron pergi.
"Aku tau kau sudah mulai lelah dengan semua ini Harry, tapi percayalah, semua ini akan segera berakhir. Dan kau bisa mulai hidup seperti orang-orang pada umumnya," Hermione mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Harry dengan erat, memberikannya kehangatan tidak hanya di tangannya tapi juga di hati Harry. Ya, Harry selalu merasa tenang dan hangat setiap kali Hermione menyentuhnya, memeluknya atau hanya sekedar tersenyum padanya.
Harry mendongak, mendapati mata cokelat itu menatapnya dalam-dalam. Rasa kasih sayang Hermione terpancar jelas di sana, selama ini Harry tidak menyadarinya—atau jarang menyadarinya—tapi Hermione selalu menatapnya dengan tatapan itu. Tatapan yang penuh rasa kasih sayang tanpa cela sedikit pun. Hermione selalu menyayanginya, menyayangi Harry. Seperti Harry menyayanginya.
"Aku kedinginan, kau mau cokelat hangat?" tawar Hermione seraya bangkit dari duduknya dan mulai melangkah menjauhi Harry.
"Bagaimana jika semua ini tidak akan berakhir?"
Pertanyaan itu membuat langkah Hermione terhenti, perlahan ia berbalik, menatap Harry yang tidak beranjak dari posisinya semula. "Harry..."
"Bagaimana jika dia akhirnya mengalahkanku?"
"Harry..."
"Bagaimana jika ternyata dia akhirnya mendapatkan apa yang diingankannya?"
"Harry dengarkan aku—"
Tubuh Harry gemetar hebat, bukan karena dingin yang memang sangat menusuk hari itu. Tapi karena ketakutan yang amat sangat yang tiba-tiba merayapi dirinya, karena bayangan-bayangan mengerikan yang memenuhi pikirannya.
Hermione yang melihat itu bergegas mendekatinya, menggenggam kedua tangan Harry erat. Hermione terkejut melihat sorot mata Harry yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Kombinasi ketakutan, putus asa, trauma dan emosi lain yang tidak bisa Hermione gambarkan. Saat ini, Harry terlihat sangat lemah di matanya.
"Harry, semua itu tidak akan terjadi. Kau akan bisa mengalahkannya, dia akan hancur, kau akan tetap tinggal. Dia tidak akan mendapatkan apa-apa, kau yang akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Dia akan mati dan kau akan hidup, percayalah padaku Harry, percaya pada kemampuanmu sendiri,"
Harry mendongak, menatapnya nanar. Hermione merasa iba, melihat Harry yang biasanya terlihat kuat menjadi selemah itu, serapuh itu. Tapi Harry memang hanya seorang remaja biasa, dengan beban yang terlalu berat di pundaknya.
"Dia terlalu kuat Hermione. Maksudku—lihat aku! aku hanya seorang anak laki-laki kurus berkacamata yang rambutnya selalu berantakan! Aku tidak sepintar kau! Aku tidak sekuat dia! Dia penyihir dewasa dengan kemampuan luar biasa! Sedangkan aku?"
Suara Harry yang naik beberapa oktaf membuat Hermione tersentak kaget, tapi ia tetap berusaha terlihat tenang dan menggenggam kedua tangan Harry lebih erat.
"Dia sangat kuat. Dan terus bertambah kuat setiap harinya. Sedangkan aku?"
Harry tertawa sinis.
"Tongkat saja tidak punya. Apa yang bisa aku banggakan? Apa yang akan aku gunakan untuk melawannya jika tongkat saja aku tidak punya,"
"Kau bisa memakai tongkatku Harry,"
"Dan membiarkan kau berkeliaran tanpa tongkat? Tanpa perlindungan?"
"Kau akan melindungiku, aku yakin itu,"
Harry mendesah kesal, "Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika ternyata aku tega membiarkanmu pergi tanpa tongkat dan tanpa perlindungan dariku?"
Hermione terdiam. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu karena ia selalu yakin Harry akan melindunginya, ia selalu percaya Harry akan melindunginya. Karena selama ini Harry memang selalu melindunginya, selalu ada untuknya, bahkan ketika Ron meninggalkannya atau melukainya, Harry selalu ada di sana, melindunginya.
"Kau akan melindungiku, kau selalu melindungiku. Aku percaya kau tidak mungkin membiarkan pergi sendiri, tanpa perlindungan," Hermione berusaha bicara setenang mungkin, walau hatinya sudah mulai gusar dengan sikap pesimis Harry.
Harry menggeleng perlahan, "Aku bisa saja lengah Hermione dan bisa jadi aku terlalu sibuk melindungi diriku sendiri sampai-sampai aku melupakanmu. Aku—aku hanya orang biasa, aku bisa saja melakukan kesalahan, aku—" Harry mendesah lemah.
Hermione meringsek maju, semakin mendekatkan dirinya dan Harry. "Aku percaya padamu, Harry. Aku selalu percaya padamu," bisiknya lembut.
Harry menarik salah satu tangannya dari genggaman Hermione dengan lembut, tangan itu menyentuh pipi kiri Hermione, membelainya, merasakan dinginnya kulit Hermione. Hermione menahan nafas, sebuah refleks setiap kali Harry menyentuh atau memeluknya.
"Aku tidak ingin kehilanganmu, aku tidak akan pernah sanggup kehilanganmu," bisik Harry.
"Aku ada di sini Harry, aku akan selalu ada di sini, bersamamu,"
Harry menghela nafas, "Aku tidak akan pernah bisa membayangkan hidupku tanpamu,"
"Kau tidak perlu membayangkannya. Aku ada di sini, aku di sini bersamamu,"
"Seandainya kau tidak pernah mengenalku, kau tidak perlu—"
Hermione meletakkan telunjuknya di bibir Harry, memintanya berhenti bicara, "Jangan pernah berpikir seperti itu, Harry James Potter,"
"Tapi itu benar. Seandainya kau tidak pernah mengenalku, mungkin saat ini kau sedang ada di Hogwarts, mungkin kau juga seorang Ketua Murid yang sedang sibuk mempersiapkan NEWT-mu dan berseru kesal karena ada salah satu nilaimu yang dibawah E,"
Hermione mendengus, Harry terkekeh pelan. "Mungkin saat ini kau sedang menikmati liburan natal dengan kedua orangtuamu, kau bisa menikmati hidupmu yang indah. Pergi ke Hogsmaede dengan pria yang kau sukai, dengan Ron mungkin?"
Senyum di wajah Harry menghilang ketika ia menyebut nama Ron. "Hidupmu akan lebih baik jika kau tidak pernah mengenalku, Hermione,"
Hermione bergerak lagi, semakin mendekati Harry. Kali ini kedua tangannya meraih wajah Harry, mengarahkannya agar Harry menatap matanya lurus. "Aku tidak menyesal mengenalmu, aku tidak pernah bisa membayangkan hidupku jika aku tidak pernah mengenalmu. Ya, mungkin saat ini aku ada Hogwarts, sebagai Ketua Murid juga murid dengan nilai tertinggi. Ya, mungkin saat ini aku bisa menikmati liburan natalku dengan kedua orangtuaku,"
"Tapi tidakkah kau ingat Harry? Dulu aku hanyalah seorang gadis yang tidak memiliki teman. Semua orang menganggapku sok tau, kecuali kau. Tidak ada yang mau berteman denganku, kecuali kau. Mungkin jika aku tidak pernah mengenalmu, saat ini aku tidak memiliki siapa pun selain orangtuaku,"
"Itu tidak benar. Kau mengagumkan Hermione, kau bisa berteman dengan semua orang,"
"Itu karenamu Harry. Karena secara tidak langsung kau selalu mengajariku cara bersikap di depan semua orang, rendah hati dan tidak pernah menganggap dirimu lebih hebat dari orang lain. Karenamu, aku bisa menjadi seorang yang lebih baik setiap harinya. Aku bisa seperti ini, karenamu Harry,"
Harry menggeleng, "Itu tidak benar,"
"Itu benar,"
Kedua sahabat itu terdiam, untuk sesaat hanya suara desahan angin yang mengenai dedaunan dan suara nafas mereka yang terdengar. Mata emerald Harry mengunci gerakan Hermione, begitu pula sebaliknya.
"Tinggalah di sini Hermione," kata Harry akhirnya.
Hermione menatap Harry tidak mengerti, "Apa maksudmu? Aku memang di sini,"
Harry menggeleng cepat, "Bukan itu maksudku. Maksudku, kita tinggal di sini, melupakan apa pun yang terjadi di luar sana. Tidak untuk selamanya, tapi untuk sementara saja,"
"Aku—sampai kapan? Sampai dia semakin tidak terkalahkan?"
"Tidak! Tentu tidak. Sampai—emm—sampai semua Horcruxnya kita hancurkan, saat itu kita bisa menghancurkannya dan semua ini akan berakhir," Harry berusaha meyakinkan Hermione untuk tinggal, setidaknya untuk sementara. Sebenarnya Harry tidak punya rencana apa pun, ia tidak pernah punya rencana apa pun. Dia hanya ingin tinggal, dengan Hermione di sisinya, baginya itu sudah cukup.
"Maksudmu—kita baru akan kembali, ketika semua Horcrux dihancurkan?"
Harry mengangguk.
"Bagaimana dengan—yang lain?"
"Jangan beritau mereka, itu akan membahayakan mereka jika mereka tau dimana kita berada,"
Hermione bergerak menjauh, melepas genggaman Harry. "Aku tidak tau Harry, itu terasa tidak benar,"
"Kau sendiri yang pertama mengatakannya padaku, kalau sebaiknya kita tinggal dan bertambah tua di sini," Harry bangkit dan berjalan mendekati Hermione.
"Aku tau! Tapi—"
"Kau tidak ingin tinggal bersamaku," putus Harry, kedua matanya menyipit. Ya, seharusnya Harry sadar, mana mungkin Hermione mau menghabiskan sisa waktunya bersama Harry. Sementara hatinya di tujukan untuk orang lain. Ya, Harry sebenarnya mengerti itu.
Harry berbalik dan berjalan menuju tenda dengan langkah panjang, hatinya gusar, ia merasa seharusnya ia tidak pernah berkata seperti itu, seharusnya ia menjalani skenario yang sudah ada. Menyelesaikan semua ini, membiarkan Hermione kembali pada Ron dan ia akan berakhir dengan Ginny.
Tapi Harry tidak ingin berakhir dengan Ginny, ia ingin berakhir dengan orang yang tidak pernah melihatnya sebagai pahlawan atau Anak-Yang-Bertahan-Hidup, ia ingin berakhir dengan seseorang yang melihatnya sebagai Harry, hanya sebagai Harry.
Hermione meraih lengan Harry, menahannya. "Bukan itu Harry, hanya saja—" Hermione terdiam, ia menggigit bibirnya.
Tiba-tiba Harry seakan tersadar ketika sebuah nama muncul di benaknya, sebuah nama yang membuat Harry merasa semakin gusar dan kesal. "Kau memikirkan Ron, ya kan," kalimat itu terdengar lebih seperti pernyataan di banding pertanyaan. Harry semakin yakin ketika ekspresi Hermione berubah, seakan Harry baru saja menebak isi pikirannya.
Harry menarik lengannya dan berjalan menjauh. "Harry! Bukan itu yang aku maksud!"
"Aku mengerti apa maksudmu Hermione!" bentak Harry, Hermione terpaku di tempatnya. "Aku mengerti. Ini salahku, seharusnya aku tidak perlu memikirkan kata-katamu itu. seharusnya aku tau, kau ingin segera kembali pada pacarmu itu,"
"Ini tidak seperti itu—"
"Tidak apa-apa, aku mengerti. Kita akan segera menyelesaikan ini dan kau bisa kembali pada pacarmu itu,"
"Harry. Ini—"
"Dan kau bisa memulai kehidupan bersamanya, melanjutkan sekolah lalu menikah—"
"Harry—"
"Hidup bahagia bersamanya selamanya, seperti cerita-cerita yang kita dengar semasa kecil. Dan mereka pun hidup bahagia selamanya," Nada bicara Harry terdengar semakin sinis.
"..."
"Ah ya aku melupakan sesuatu. Mungkin beberapa anak kecil berambut merah akan melengkapi kehidupanmu bukan begitu? Setiap hari kau dan anak-anak itu menantinya pulang di sebuah rumah yang sangat mungil, memberinya kecupan selamat datang lalu—"
Hermione menarik leher Harry tiba-tiba, membungkam bibir Harry dengan bibirnya. Harry terkejut dengan tindakan Hermione, tapi tidak butuh waktu lama sampai ia menikmatinya dan membalas ciumannya. Harry membelai sisi tubuh Hermione, sementara Hermione mengalungkan kedua lengannya di leher Harry, menariknya semakin dekat.
Kebutuhan oksigen semakin mendesak, mereka memisahkan diri perlahan. Harry memandang Hermione tidak percaya. Apa yang baru saja mereka lakukan? Pikir Harry. Hermione tersenyum lembut, lalu menghela nafas.
"Aku tidak pernah membayangkan anak-anak berambut merah dalam kehidupanku nanti," tangan Hermione menelusuri riak rambutnya yang selalu berantakan. "Yang kubayangkan adalah seorang anak laki-laki berambut berantakan namun tampan dan seorang anak perempuan manis dengan mata hijau cemerlang, keduanya memiliki kepintaranku juga keberanian dan kebaikan ayahnya,"
Harry terkejut, namun senyum lebar perlahan menghiasi wajahnya, "Anak laki-laki itu memiliki mata cokelat yang indah dan anak perempuan itu memiliki rambut cokelat yang berantakan, namun tetap indah dan sangat pantas untuknya. Ya, kedua anak itu pintar, sangat pintar. Tapi mereka juga keras kepala, seperti ibunya,"
Hermione tertawa pelan, "Anak laki-laki itu sangat pandai bermain Quidditch, dia seorang seeker dan dia selalu membuat ibunya khawatir setiap kali ia bermain Quidditch, takut kalau-kalau ia pulang dengan lengan patah seperti ayahnya dulu,"
Senyum Harry semakin lebar, "Dan anak perempuan itu selalu mendapatkan nilai tidak kurang dari E di sekolahnya. Dan ketika suatu hari ia mendapat nilai A, anak perempuan itu menangis, menyesali kenapa dia tidak belajar lebih banyak,"
Harry merengkuh Hermione ke dalam pelukannya. "Anak laki-laki itu bernama James," bisik Hermione dalam pelukan Harry.
"Dan anak perempuan itu bernama Lily,"
Mereka terdiam lagi.
Harry menghela nafas, "Seandainya aku menyadari ini sejak lama,"
Hermione mendongak, "Menyadari apa?"
"Menyadari bahwa aku mencintaimu Hermione, aku selalu mencintaimu. Aku tidak tau apa yang kupikirkan selama ini, aku kira aku mencintaimu sebagai saudara! Padahal selama ini aku tidak memiliki saudara dan tidak tau apa itu kasih sayang antar saudara," Harry merengkuh Hermione lebih erat.
Hermione juga memeluk Harry sama eratnya. "Aku mencintaimu juga, Harry,"
Cepat-cepat Harry mendorong Hermione menjauh dan menatap matanya dalam-dalam, "Apa kau serius?"
Hermione tertawa, "Tentu aku serius, Harry. Kau pikir kenapa aku selalu memilihmu?"
Harry mendesah lega, "Merlin! Kenapa aku tidak pernah menyadari apa yang ada di hadapanku ini? kau sempurna dan—astaga! Kenapa aku begitu bodoh membiarkan kau dengan Ron selama ini?"
"Itu bukan salahmu Harry, itu bukan salahmu,"
Harry kembali merengkuh Hermione erat. "Dan aku mau bertambah tua, bersamamu di sini Harry,"
Lagi, Harry melepas pelukannya. "Benarkah? Kau yakin?"
Hermione mengangguk, "Tidak untuk selamanya kan? Kita bisa tetap melindungi mereka tanpa terlihat dan kita bisa melanjutkan pencarian Horcrux, hanya kita berdua,"
Harry tersenyum lebar, matanya bersinar bahagia. "Yah, kau benar. Kita tidak akan bersembunyi selamanya,"
"Sampai semua Horcrux dihancurkan dan saat itu kita bisa kembali untuk menghancurkan dia,"
"Setelah itu kita bisa menjalani hidup kita, normal dan bahagia,"
Hermione tersenyum lembut, ia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Harry erat. "Ya, kita hidup bahagia selamanya,"
"Ya, kita akan tinggal di sini dan bertambah tua,"
what do you think?
aku gatau apa ini bakal jadi one-shot atau berkelanjutan. entahlah.
just review this and let me know what you guys wanted xD
