Author's Note: Hola minna… Zuki buat fic lagi… kali ini Zuki ga bakal naikin ratingnya lagi, sudah cukup fic Zuki yang 'Yuuka No Sagasu' Zuki ganti ratingnya jadi M… sekarang Zuki datang mau mencoba membuat fic yang bergenre angst, tertarik setelah membaca beberapa fic yang bergenre Kayaknya di sini FemNaru rada OOC deh…XP *di gamprat*
_
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Angst
Main Chara: SasuxFemNaru
Rating: T
Story by: Mikazuki Chizuka
Summary: Mengapa rajutan sebuah kehampaan bisa menjadi kisah?
Kenapa aku harus harus melakukannya?
Apakah ini memang takdirku?
Hanya satu jalan yang harus aku tempuh, yaitu…
Suatu Pilihan.
OoooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooO
"Seharusnya aku mengambil pilhan lain…"
"Ini takdirmu, mau tidak mau kau harus melakukannya…"
"Yah, kau benar, aku memang harus melakukannya … melakukan perbuatan dosa…"
***
Gadis berambut pirang itu pun memandang hampa ke arah hamparan bunga berwarna-warni yang menghiasi taman mungil tersebut. Di rasakannya embun pagi yang sejuk mengenai kulitnya, terasa dingin. Angin sepoi-sepoi pun berlalu dan menerbangkan helaian bunga dan daun yang terjatuh dari tempat yang seharusnya., beserta helain rambut berwarna kuning keemasan yang melayang menari-nari di bayang-bayang lepas kesunyian di pagi buta.
Hening… kata itulah yang pantas di ucapkan untuk situasi seperti ini. Mata biru langitnya pun menyusuri sesuatu apa pun yang bisa ia lihat. Tak terasa cahaya mentari mulai menembus celah-celah awan yang menutupinya, menambah kesepurnaan sang alam yang begitu menawan.
Namun dalam kenyataannya, hati sang gadis tidak seperti pemandangan yang nampak indah terlihat oleh mata. Apapun dalam hidupnya tidak ada yang berarti, mungkin hal itulah yang membuatnya menjadi membisu.
'Ini takdirmu, mau tidak mau kau harus melakukanya…"
Hanya sebuah kalimat yang di ucapkan seseorang berhasil menguasai pikiran gadis tersebut. Dimana pun dan kapan pun hanya satu kalimat tersebut yang terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Bahkan saat dirinya ingin sendiri, kaliamat itu pun tidak pernah pergi meninggalkannya. Semakin ingin dia melupakannya, semakin itu pula dia malah semakin mengingatnya. Seperti melihat sesuatu yang amat mengerikan akan datang mengampiri hidupnya.
Untuk apa semua itu harus aku lakukan?
Kenapa? Kenapa hal itu harus terjadi kepadaku?
Mengapa alibinya membuat aku harus melakukannya?
Apakah memang langkah ini yang memang harus aku ambil?
Dan mungkinkah dengan keadaan seperti ini aku akan terus hidup?
Beberapa pertanyaan pun mulai mengusai kepalanya, mulai mengusik kehidupannya. Ia selalu mencari jawaban dari pertanyaan tersebut, namun tidak ada satu patah kata pun yang bisa menjawab pertanyaan itu. Kedua tangan mungilnya pun memegangi kepalannya yang terasa pening, kelopak matanya pun menutup seiring dengan perfokusannya di dalam merasakan sesuatu.
Yah, sesuatu yang amat mengganggunya, sesuatu yang merubah kehidupannya, sesuatu yang merenggut kebahagiannya, sesuatu yang mulai menyeretnya kedalam jurang tanpa dasar, sesuatu yang mengenalkan dirinya pada sebuah dunia yang sebelumnya belum pernah ia kunjungi. Takdirlah yang menyeretnnya kedalam dunia tersebut, membuatnya kehilangan cahaya keabadiannya. Satu fakta yang di temukannya… bahwa takdir itu memang kejam.
Ayunan yang di dudukinnya pun lama-kelamaan mulai berhenti, kakinya sudah lelah untuk menggerakan ayunan tersebut, kedua tangannya kini berada di kedua pahanya. Kepalanya tertunduk, rambut pirang bagian depannya yang tergerai menutupi wajahnya.
Dia ingin sekali terbebas dari situasi seperti ini. Namun, apa yang bisa dilakukannya? Dia hanyalah sesosok manusia lemah yang di ciptakan oleh Tuhan. Sesosok manusia yang telah di beri takdir yang amat menyayat hatinya. Tak terasa ada cairan bening yang mengalir mulus melewati kedua pipinya. Ternyata cairan bening tersebut adalah air matanya yang menetes seiring dengan perasaannya yang terasa sakit. Sakit? Kata itu adalah kata yang cocok untuk orang yang lemah, memang dirinya adalah orang yang lemah, karena ia sekarang tidak bisa menentang takdirnya.
Ia pun mulai menghapus air matanya dan berdiri dari dari duduknya, meninggalkan ayunan yang sedikit berayun dengan perlahan. Kedua tangannya pun terkepal erat, kepalanya masih tertunduk. Ia langsung mengadahkan wajahnya ke langit, dengan perlahan di bukanya kedua buah kelopak matanya. Kini ia pun menatap lurus ke depan. Di langkahkan kakinya meninggalkan ayunan tersebut. Sekarang yang di pikirannya hanyalah sebuah kalimat, kalimat yang sebentar lagi akan menentukan hidupnya.
'Akan aku buktikan bahwa aku bukan orang yang lemah…"
*.#.#.#.*
oOo THE STORY OF SNOW oOo
Chap. 1 (Awal pembuktian)
"Anata ga omou koto wo, sameru koto naku temoto ni tsukamitai no ni, hito daru bokutachi wa, sono kimochi wo wakachi aenai mama…"
Secuplik alunan lagu pun menggema di ruang yang sempit itu, mengusik segala sesuatu makluk hidup yang yang masih terlelap di pagi hari. Bahkan seorang gadis yang tertidur pulas di ranjangnya yang nyaman, terbangun dari tidurnya. Mata biru langitnya mulai menyelusuri seluruh pelosok-pelosok kamarnya, dan pada akhirnya matanya terhenti pada satu titik, asal suara yang mengganggu tidurnya.
"Kotoba ga hanatsu imi wo, tatoe no nai omoi wo…"
Di singkirkan sehelehai selimut yang menutupi tubuhnya. Dengan gerakan lambat, ia pun mulai mendudukan dirinya di sisi ranjang tersebut. Matanya masih menatap sesuatu seperti tadi, namun pandangannya kosong. Yah, sekosong pikiran dan hatinya. Tapi ia juga tau, bahwa sebentar lagi selruh kekosonganya akan segera di isi oleh sesuatu yang menyesakkan, yaitu rasa bersalah yang besar.
"Kotaeru koto no nai kanjou wo, mitsumeaeba tsutawaru, koto ga dekitara ii no ni na…"
Tubuhnya sekarang dalam posisi berdiri, perlahan ia melangkahkan kakinya menuju ke salah satu sisi tempat sebuah meja kecil berada tak jauh darinya. Rambut pirang panjangnya yang tergerai sedikit acak-acakan pun melayang terkena angin pagi yang menyejukan, yang tentunya berasal dari jendela kayu kecil yang sedikit terbuka.
"Kono ryoute ni kakaete iru mono, toki no shizuku…"
Di pandanginya sesuatu benda yang menyadarkannya dari mimpinya, sebuah Handphone Nokia E71 miliknya. Ia memandang tepat di layar Handphone, suatu nama muncul dan sangat terlihat di layar tersebut. Haruno Sakura. Mata gadis tersebut yang tadinya sendu nampak terbelalak kaget. Namun, hal itu segera di hapus dari wajahnya, di gantikan dengan wajah tanpa ekspresi. Ia terus memandangi layar Handphonenya, tanpa ada keinginan untuk menjawab panggilan tersebut. Tapi, ternyata alunan lagu yang berbunyi berhasil mengubah keinginannya.
"Sotto nigirishimete wasureta kioku. Nakushita Koto –Ada perlu apa, Haruno?" kata gadis itu dengan suara yang datar. Ia juga dapat mendengar helaan nafas dari lawan bicaranya. "Uzumaki Naruto, kau mendapat tugas lagi."
Gadis pirang tersebut memandang hampa ke dinding di hadapannya. Lalu gadis yang di panggil Naruto itu berkata, "Siapakah sekiranya orang yang akan kuambil nyawanya?"
"Kau akan mengetahuinya nanti. Baiklah, untuk detailnya yang lebih jelas lagi, aku akan menjelasnya langsung denganmu. Dan dalam satu jam kedepan, kau harus berada di hadapanku," kata Sakura di iringi dengan terputusnya pembicaraan mereka.
Naruto masih menggenggam Handphonenya, hingga akhirnya ia melempar Handphone tersebut dan sukses menabrak dinding di salah satu sisi kamar itu. Naruto pun jatuh terduduk, pandangannya tetap seperti tadi, penuh dengan kekosongan dan kehampaan. Sepertinya ia tidak memperdulikan Handphonenya yang sudah hancur berkeping-keping. Yang sekarang ada di pikirannya adalah suatu opini yang akan segera menjadi fakta. Opini bahwa ia akan menambah dosanya lagi.
***
Minggu, pukul 04.45, tepat. Di sinilah Naruto sekarang, berjalan di dalam keheningan. Memang terlalu pagi untuk orang berpergian, biasanya kebanyakan orang yang di saat pagi seperti ini memilih untuk menyeduh teh hangat dan bercanda-tawa dengan keluarga, merasakan kebersamaan yang manis. Bahkan ada yang memilih untuk tidak segera terbangun dari tidurnya, hidup di dalam mimpi yang membayanginya.
Tapi, hal-hal seperti itu tidak pernah di rasakan Naruto. Walaupun ia sangat menginginkannya. Tapi, apa mau di kata? Semua hidupnya hanya tergantung oleh takdir. Takdir yang mengharuskan ia menjadi seseorang pembunuh. Pembunuh bayaran dengan harga yang tinggi. Pembunuh ulung yang selalu berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, rapi, dan teratur. Hingga jejaknya tidak pernah di ketahui oleh pihak mana pun.
Semenjak mendapat panggilan tugas tadi pagi, atau lebih tepatnya pukul 04.00 tepat. Naruto pun segera meninggalkan rumah kecilnya yang terletak di pinggir kota, menuju ke suatu tempat yang menjadi sumber uangnya. Uang dosa.
Angin pagi berhembus kencang, berlawan dengan langkah kaki Naruto yang begitu perlahan, hingga memaksa Naruto untuk sedikit merapatkan jaket yang di gunakannya, beserta membenahi syalnya yang sempat akan melayang di terbangkan oleh angin tersebut. Helaian rambut pirang panjangnya pun kini terlihat di ekor kanan-kiri juga ikut melayang-layang, menari-nari di ruangan tanpa penghalang.
Sepertinya hari ini memang hari yang tidak tepat untuk seorang gadis berpergian. Awan mendung menjadi teman Naruto di atas sana, menutupi sinar mentari yang ingin membagikan sinarnya kepada setiap makluk yang hidup di planet bumi. Ia juga tau kalau sebentar lagi hujan akan turun, membasahi seluruh benda apapun yang terjamah olehnya. Tapi, di dalam dirinya tidak ada keinginan untuk sekedar menghindari air yang jatuh dari langit tersebut. Baginya hujan atau tidak hujan, semuanya adalah sama.
Tik… Tik… Tik…
Setetes, dua tetes, tiga tetes. Ternyata hujan memang akan segera turun membasahi seluruh permukaan bumi. Naruto yang merasakannya nampak tidak peduli dengan itu semua, dengan santainya ia tetap berjalan walau, bertetes-tetes air mulai membasahi baju yang di kenakannya. Kepalanya dalam keadaan tertunduk, tetapi ia terus berjalan. Berjalan kedepan tanpa melihat arah.
Bahkan saat ada batu kecil yang di hadapannya pun ia tidak mengetahuinya. Tidak terlalu mencolok mungkin. Namun, sebuah batu kecil ternyata bisa menimbulkan suatu bencana. Hal itu di buktikan dengan terjatuhnya Naruto yang tanpa sengaja tersandung batu kecil tersebut. Yah, Naruto terjatuh dalam posisi kedua tangannya yang menyangga tubuhnya dari arah depan. Kedua kakinya pun nampak pasrah dengan keadaan tersebut.
Sekarang tidak hanya beberapa tetes air saja yang turun kebumi. Semua air yang terbendung oleh awan pun kini telah tumpah berturut-turut, sekilas seperti jarum yang tertarik oleh gravitasi bumi. Aneh… kata itulah yang sekarang berada di benak Naruto. Kata itulah yang memang paling tepat untuk menggambarkan keadaan dirinya yang sekarang. Hal ini memang aneh, kalau pun hujan turun begitu deras seperti ini, kenapa tubuhnya tidak basah oleh karena air hujan?
Keanehan tersebut mengundang sesuatu yang bernama rasa penasaran. Mata biru langitnya pun kini memandang ke atas. Sekarang ia tau kenapa dirinya tidak basah terkena air hujan. Sebuah payung berwarna biru tua yang terbuka telah melindungi dirinya. Ia pun juga tau, kalau ada payung di atasnya pasti ada orang yang memilikinya. Sekali lagi dengan menggunakan mata biru langitnya, ia mulai mencari-cari sesosok orang tersebut. dan pencariannya pun tidak sia-sia.
Di sampingnya, berdirilah seorang bocah laki-laki tampan. Kalau di lihat dari penampilannya, kira-kira umur anak tersebut sekitar 12 tahunan, tidak jauh beda darinya. Mata onyx-nya pun bertemu dengan mata biru langit Naruto. Sejenak mereka saling berpandangan, di iringi dengan bunyi air yang jatuh menghantam tanah.
Bocah laki-laki tampan tersebut mengulurkan tangan kanannya ke arah Naruto. Mata biru langit Naruto sedikit melebar ketika mendapat perlakuan seperti itu dari seseorang yang bahkan belum ia kenal. Entah bagaimana bisa terjadi, tangan kanan Naruto reflek menerima uluran tangan tersebut. Kulit kecoklatan miliknya pun bersentuhan dengan kulit putih pucat bocah laki-laki tersebut.
Hangat… hal itu yang di rasakan Naruto sekarang, juga rasa nyaman yang menyelimuti hatinya. Naruto agak terlonjak kaget saat di rasakanya bocah laki-laki tersebut menarik tangan kanannya hingga ia sekarang berada dalam posisi berdiri, berhadapan dengan bocah tersebut, di bawah sebuah payung biru tua yang melindungi mereka dari hujan yang turun begitu derasnya.
Tangan kanan Naruto kini masih tetap berada di genggaman tangan bocah tersebut. Naruto juga dapat merasakan dengan perlahan genggaman tangannya yang terkepal mulai di buka oleh jari lentik bocah tersebut. dan sekarang ia mengerti apa maksud dari bocah tersebut. Sekarang payung biru tua yang melindungi mereka telah jatuh di tangan Naruto. Bocah laki-laki tersebut dengan cepat sudah berada di samping kanan Naruto.
"Baru kali ini aku menemukan bocah perempuan yang rela begitu saja terguyur oleh hujan," bisik bocah tersebut kepada Naruto. Naruto hanya mendengus dan berkata, "Karena aku bukan perempuan lemah."
Bocah itu terdiam. Naruto juga ikut terdiam. Sama sekali tidak ada salah satu dari mereka yang ingin membuka pembicaraan. Tidak ada diantara mereka yang ingin segera beranjak dari tempat tersebut. Mereka terlalu terfokus dengan pikiran mereka masing-masing. Entah apa yang sedang mereka pikirkan. Hujan pun semakin deras, berusaha menyadarkan kedua insan yang masih berkutat dengan pikiran mereka.
"Terima kasih…" kata Naruto kemudian tanpa memandang ke arah bocah tersebut. Walaupun ingin tapi hal itu juga akan sulit, karena arah pandang mereka saling membelakangi.
"Simpan perkataanmu itu, gunakan perkataanmu itu di saat kita bertemu di lain waktu," kata bocah tersebut.
"Kenapa kau begitu yakin kalau kita akan bertemu lagi di lain waktu?" tanya Naruto kepada bocah laki-laki yang lebih tinggi darinya.
"Karena aku sangat yakin bahwa ragaku akan segera tertidur," kata bocah tersebut berjalan menembus hujan yang begitu deras tanpa mengindahkan seluruh pakaiannya yang basah, meninggalkan Naruto yang termenung memikirkan perkataan bocah laki-laki tadi.
Naruto memandangi payung yang di berikan bocah laki-laki tersebut, nampak terlihat di gagang payung tersebut ada sebuah ukiran symbol dari klan tertentu. Yang mungkin ukiran symbol dari klan orang tersebut adalah klan dari pemilik payung yang ia bawa saat ini. Kipas, itulah bentuk symbol dari klan seseorang yang terukir cantik di gagang payung tersebut.
***
"Kau telat 5 menit dari perjanjian kita Uzumaki-san,"
Naruto hanya terdiam, ia tidak ingin membantah perkataan orang yang sekarang berada di hadapannya tersebut. Karena semua perkataan orang tersebut adalah fakta. Ia hanya menatap punggung kursi yang membelakanginya, yang tentunya kursi tersebut di duduki oleh seseorang. Perlahan kursi itu pun berputar, kini Naruto bertatapan langsung dengan pemilik kursi tersebut. Orang yang seenaknya mengganggunya di pagi buta.
"Siapa Haruno-san?" tanya Naruto kepada lawan bicaranya.
"Sebentar lagi," kata Sakura yang kira-kira umurnya sekitar 20 tahunan.
10 menit pun berlalu begitu cepat. Lama-kelamaan Naruto merasa bosan dengan keadaan seperti saat ini. Namun kebosanan itu segera menghilang ketika Naruto mendengar pintu ruangan itu di ketuk oleh seseorang dari luar. Sakura mendorong kursinya kebelakang lalu berjalan menuju pintu tersebut, tanpa mengetahui bahwa arah geraknya sedang di lirik oleh mata biru langit seseorang.
Sakura pun memutar kenop pintu dan menariknya perlahan. Entah siapa yang di balik pintu Naruto tidak mengetahuinya, Naruto memutus pandangannya dari Sakura dan memandang ke arah lain. Yang jelas, ia berusaha sebisa mungkin agar matanya tidak bisa melihat sosok Sakura, walaupun itu hanya sesaat.
"Ini dia orang yang bisa membantu anda Hyuuga-sama…"
Terdengar suara Sakura yang mungkin sekarang sedang menunjuk dirinya. Lantas, Naruto pun kembali menatap ke arah dimana Sakura berada. Tidak hanya Sakura yang kini tertangkap oleh matanya, ada pria dewasa berjas hitam yang berdiri di samping Sakura juga terlihat olehnya. Mata putih salah satu pria tersebut bertemu dengan mata Naruto, di belakangnya juga berdiri seseorang pria. Tapi kalau di perhatikan dari penampilannya, berjas hitam dan jeans panjang serupa dan kacamata hitam yang menutupi matanya, sangat kontras bahwa pria tersebut berstatus sebagai 'bodyguard.'
"Yang kuperlukan adalah seorang pembunuh, Haruno. Bukan bocah perempuan seperti dia," kata pria bermata putih tersebut kepada Sakura. Naruto yang mendengar perkataan pria tersebut langsung berdiri dari duduknya, membelakangi ketiga manusia yang sedang membicarakannya.
"Berpikirlah sebelum anda ingin mengatakan sesuatu," kata Sakura di sertai seringai licik.
Pria itu menatap tajam kearah Sakura, ia langsung memandang ke arah lain ketika ia mendengar suara tiga tembakan turut-menurut dari arah Naruto menuju ke arah dirinya, di iringi dengan dua pisau kecil yang melesat melewati samping kiri-kanannya. Ia juga merasakan bahwa bulu kuduknya sedikit berdiri. Tegang… Ya, ia merasakan perasaan itu. Aura kematian yang sangat dahsyat. Tapi rasa itu tidak terukir di wajahnya. Wajah yang selalu tenang tanpa ekspresi.
Bruk…
Pria bermata putih itu pun menengok kebelakang. Sekarang ia benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Kini, di hadapannya langsung, bodyguard yang mungkin selama ini menjaganya kemana pun ia berada, telah mendahuluinya pergi berpulang kepada Yang Maha Kuasa. Dengan tiga buah peluru yang masing-masing bersarang di jantungnya, di kepalanya, dan di paru-paru kirinya. Dua buah pisau kecil yang menembus lehernya dan paru-paru kanannya. Seluruh organ titik vitalnya. Darah pun mengalir begitu derasnya hingga seakan akan menenggelamkan siapa pun yang berada di ruangan itu.
"Bagaimana rasanya jika tiga peluru dan dua pisau kecil tersebut mengenai anda? Hyuuga-sama…" kata Naruto tetap pada posisi semula, membelakangi mereka, dua orang yang masih hidup dan satu orang yang sudah pergi. Naruto dapat merasakan bahwa pria yang meremehkan kemampuannya tadi jatuh terduduk dengan kedua lututnya yang terlebih dahulu menyentuh lantai. Kedua telapak tangannya pun di letakan di lantai, bermaksud untuk menyangga dirinya agar tidak terjatuh yang lebih dari itu.
Syok, kata itulah yang sangat pantas untuk menggambarkan keadaan dirinya. Mungkin baru pertamakali seorang Hyuuga seperti dia merasakan aura mematikan yang berada di sekitarnya sampai sejauh ini. Membuat seorang Hyuuga jatuh tertunduk. Demi menjaga nama baiknya sebagai seorang Hyuuga, pria tersebut langsung bangkit berdiri dan memposisikan dirinya seperti semula, seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Ia pun berbalik kebelakang dan berjalan ke arah pintu dan ketika sudah sampai di pintu, tanpa ada yang pernah menduganya sama sekali, kedua kakinya terhenti.
"Haruno, bawa dia ke hadapanku dalam waktu 3 jam kedepan," kata pria Hyuuga tersebut melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda. Sakura hanya tersenyum simpul dan berkata, "Terima kasih telah menggunakan jasa kami, Hyuuga-sama."
***
"Siapa yang harus saya ambil nyawanya untuk anda, Hyuuga-sama?"
Sang Hyuuga terdiam. Ia bangkit dari singgasananya dan berjalan ke arah jendela, membuka jendela kaca tersebut sampai terbuka sepenuhnya, dan seketika itu juga angin langsung menerbang helaian rambut panjang kecoklatannya yang tidak terikat, dalam arti kata lain adalah tergerai. Rintik-rintik air hujan pun sedikit membasahi jas hitam yang di kenakannya. Mata putihnya menerawang jauh berusaha menembus jarum-jarum air yang terjatuh menghantam apa pun yang berada di bawahnya.
Suasana hening pun menyelimuti mereka. Tidak ada salah satu pun dari mereka yang ingin mengganggu keheningan ini. Terutama Naruto yang tadi sudah berbicara. Tapi, pertanyaannya tidak di jawab oleh tuannya yang baru. Bukan tidak, hanya segera. Yah, segera akan menjawabnya. Butuh waktu yang tepat untuk seorang Hyuuga menjawab pertanyaan Naruto. Hanya masalah waktu.
Sang Hyuuga kembali berjalan menuju ke singgasanannya. Dan ia pun dengan santainya mendudukan dirinya di singgasana miliknya tersebut. Bukan permasalahan besar bagi Naruto melihat sikap tuannya itu. Toh, dia hanya seseorang yang di bayar untuk bekerja dengannya.
"Kalau kulihat, pengalamanmu dalam membunuh sudah melebihi pembunuh-pembunuh yang lebih tua darimu," kata sang Hyuuga. Naruto hanya terdiam, ia tau bahwa tuanya belum selesai berbicara.
"Aku ingin kau membunuh seseorang untukku, tapi caranya sedikit berbeda," katanya melanjutkan. Naruto menatap pria tersebut, ia belum begitu mengerti dengan maksud perkataan keturunan Hyuuga satu ini.
"Apa maksud anda dengan cara yang berbeda, Hyuu –"
"Panggil aku Neji, karena kita akan menjadi rekan bisnis. Bisnis pembunuhan," kata Neji memotong pembicaraan Naruto.
"Baiklah, apa maksud anda dengan cara yang berbeda, Neji-sama?" kata Naruto sedikit merubah perkataannya.
"Karena kau harus bersamanya selama 8 tahun. Setelah itu, kau harus membunuhnya," kata Neji.
'8 tahun? Kenapa aku harus bersama orang yang akan kubunuh selama 8 tahun ke depan? Apa maksudnya ini?' batin Naruto merasa aneh.
"Tenang saja, bayaranmu akan setimpal dengan tugas yang kau laksanakan," kata Neji menambahkan.
'Bayaran? Kalau begitu berarti hidupku selama 8 tahun ke depan akan terjamin 'kan?' batin Naruto lagi.
"Bagaimana? Apakah kau menerimanya?" tanya Neji menatap wajah Naruto.
Naruto nampak berpikir sejenak. Namun, sebenarnya untuk apa dia berpikir mempertimbangkan penawaran itu? Toh, 8 tahun kedepan hidupnya akan terjamin, tanpa harus menghilangkan beberapa nyawa manusia lagi. Hanya satu nyawa manusia yang dia ambil, dan 8 tahun hidupnya akan terjamin.
"Saya terima tawaran anda," kata Naruto yang mendapat seringai simpul dari Neji.
"Jadi, siapa?" tanya Naruto.
"Namanya…
_
_
_
_
_
Tu Bi Kontinyu....
OoooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooO
Maap kalau fic Zuki yang ini gak bermutu, jujur Zuki gak pinter buat yang beginian. Tapi Zuki pengen buat cerita bergenre angst. Ya jadilah fic gak bermutu ini… *di kemplang*
Sekali lagi maaf kalau banyak kesalahan, Zuki memang agak gak ngerti ama yang beginian XDD *di gamprat*
O ya, pasti anda semua sudah tau siapa yang akan di ambil nyawanya oleh Naruto. Fic Zuki yang ini memang gampang di tebak. -.-'''
Ya sudahlah…
Read dan Review/Flame-nya Zuki tunggu.
Ja nee minna-sama…^^
Mikazuki Chizuka.
