「•⭐27⭐あめのうた⭐•」
- 27 Ame no Uta -
By: Ietsuna G. Ventisette
G27
Cast: Giotto (Ieyasu Sawada); Tsunayoshi Sawada
Rated: M
Genre: Drama, Romance
Katekyo Hitman Reborn!
©Akira Amano
[!]
OOC
[G27] ER
Yaoi
Lime
•••
Cuaca hari ini cukup cerah. Giotto memutuskan untuk berbenah di rumahnya. Rumah yang ia tinggali sendiri. Tepat hari ini, Tsuna kekasihnya akan datang ke rumahnya. Dia sudah berjanji jauh-jauh hari.
Dengan kaos oblong dan celana pendeknya, Giotto berbenah dengan semangat. Jika bukan karena Tsuna, mana mau Giotto berbenah di hari liburnya. Yang ada ia ingin bersantai tanpa adanya gangguan.
Tak seperti Tsuna, Giotto tak menyiapkan apa pun. Ia hanya memiliki banyak makanan dan minuman ringan untuk ia sajikan. Selain itu, ia pun tak sabar untuk melihat kekasihnya datang.
Semakin hari, Tsuna terlihat semakin menggemaskan. Suaranya, nada bicaranya, tatapannya, senyumannya, tawanya, semua mewarnai harinya. Terlebih saat ia merasa malu atau sedang marah, wajah merahnya sangat menggemaskan. Ingin sekali Giotto mencubitinya. Jika bisa, ia ingin selalu bersamanya.
Bel rumah berbunyi tepat saat Giotto selesai berbenah. "Pasti dia," gumamnya. Giotto beranjak dan segera membuka pintu. Saat terbuka, sosok mungil langsung tertangkap indera penglihatannya. Manis. "Masuklah."
"A, ah, iya." Tsuna masuk dengan canggung. Tangannya tak kosong. Ada sedikit oleh-oleh yang ia bawa dari rumah. "Apa lama menunggu?" tanya Tsuna waswas.
"Tidak," sahut Giotto. Ia menutup pintu. "Justru aku baru selesai berbenah," kata Giotto sambil tersenyum. "Ayo." Tanpa segan Giotto menarik tangan Tsuna. Membawanya langsung ke kamar.
Dengan wajah bersemu, Tsuna hanya diam mengikuti. Sosok jangkung ini tak pernah berubah meskipun sudah menjalin hubungan. Justru semakin membuat Tsuna ingin terus bersamanya.
"Kau bawa apa?" tanya Giotto. Ia langsung duduk di tepi ranjangnya ketika sampai di kamar.
Giotto tak canggung sedikit pun. Sangat berbeda dengannya. Tsuna mengedarkan pandangan. "Ini kue buatan Kaa-san," sahut Tsuna pelan. Ternyata tatanan kamar Giotto tetap bergaya Eropa.
"Wah, pasti enak," kata Giotto bersemangat. Ia melihat Tsuna berdiri terus, membuat Giotto menahan tawanya. "Duduk di sini," pinta Giotto sambil menepuk tempat yang kosong di sampingnya.
Tsuna bergerak kaku. Ia duduk di samping Giotto dengan gugup setelah menyimpan makanan yang ia bawa di atas meja belajar Giotto. "Anō..."
"Hm?" Giotto langsung melingkarkan satu tangannya di pinggang Tsuna.
Tsuna terkejut. "Giotto..." katanya lirih. Wajah Tsuna merona kembali.
"Aku sangat merindukanmu, Tsunayoshi," kata Giotto setengah berbisik. Tangan lainnya mengelus rambut cokelat Tsuna yang halus.
"Umh, aku juga," kata Tsuna dengan anggukan. Bibirnya melengkung membentuk senyuman. Tsuna memejamkan matanya. Sangat nyaman. Ia pun melingkarkan tangannya di pinggang Giotto. "Aku merindukanmu."
Giotto tersenyum. Tangannya beralih membelai wajah Tsuna. "Aku senang sekali."
Tsuna mengangkat wajahnya. Menatap penuh binaran. "Giotto..." Tsuna tersenyum dan memejamkan matanya.
Wajah yang sangat menggoda. Tentu ia takkan menolak undangan sang kekasih. Giotto mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Tsuna yang manis nan mungil.
Ciuman itu Tsuna terima dengan sepenuh hati. Ia tak tahu sudah berapa kali mereka bertukar ciuman. Tsuna memberi Giotto akses untuk menjelajahinya. Memberinya ruang.
Lidah basah Giotto segera menjelajah rongga mulut Tsuna. Selalu terasa khas. Lidahnya mulai bergerak untuk mengajak lidah Tsuna bermain-main dengannya.
"Ungh." Lenguhan pelan terdengar. Tsuna beralih memeluk leher Giotto ringan. Meski tak sepadan, Tsuna cukup mampu untuk bermain lidah.
Mata Giotto menelusuri setiap lekuk wajah kekasihnya yang bersemu manis. Membuat Giotto tak bisa menahan gejolaknya. Tangan Giotto mulai bergerak. Tangan itu kini tengah mengelus punggung Tsuna dari dalam.
Tsuna menarik diri dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang Giotto. "Giotto..."
"Ya?"
"Apa kau merasa gerah?" kata Tsuna lirih.
"Hm, tidak," gumam Giotto.
Tsuna mengangkat wajahnya dan mengecup bibir Giotto. Membelai bibirnya dan tersenyum.
Giotto menahan tangan Tsuna dan tersenyum. "Aku rasa aku tahu kenapa kau merasa gerah, Tsunayoshi."
"Eh?" Tsuna mengerjap.
Rintik hujan mulai terdengar dan semakin membesar. Ya, di luar sana tengah hujan. Padahal perkiraan cuaca hari ini cerah.
"Hujan," desah Tsuna. "Aku tak membawa payung."
"Kau bisa meminjam punyaku ataupun bermalam di sini," kata Giotto ringan.
Tsuna tertawa kecil. "Sepertinya aku tak boleh keluar dari rumahmu," katanya dengan nada canda.
Giotto mengecup bibir Tsuna. "Mau menghangatkan diri?"
"Un. Aku mau," Tsuna mengangguk.
Tsuna diam menunggu. Sementara Giotto mulai melepas pakaiannya. Wajah Tsuna bersemu kembali. Mengingat hal ini sudah biasa mereka lakukan. Jika ada kesempatan.
"Mau kulepas?" tawar Giotto.
Tsuna menggeleng pelan. "Tidak. Aku bisa sendiri." Tsuna pun melepas pakaiannya. Hanya menyisakan sehelai kain. Sama seperti Giotto.
Giotto menarik Tsuna ke dalam pelukannya seraya berbaring. Dengan tubuh yang saling menghangatkan, mereka kembali saling menautkan lidah. Udara dingin tak membuat mereka merasa demikian. Mereka hanya merasakan kehangatan satu sama lain.
"Uh."
Sebuah tangan tengah mengelus paha mulus dari Sawada Tsunayoshi. Tangan itu terus bergerak hingga menyentuh sebuah benda yang membangkitkan gairah. Ia bisa merasakan benda itu mulai menegang. Perlahan Giotto menurunkan penghalang yang menutupi kejantanan Tsuna. Benda yang sudah mengeras itu segera ia genggam.
"Uh, Giotto..." Tsuna menggelinjang. Giotto telah merangsangnya. Tsuna mulai kehilangan kendali. Ia biarkan Giotto menindihnya.
Lidah basah Giotto mulai mengulum dua tonjolan kembar di dada bidang Tsuna bergantian hingga mengeras. Kejantanan Tsuna ia pompa hingga kaki Tsuna bergerak tak nyaman karena rangsangan.
Tsuna menahannya. Bibirnya tertutup rapat. Kakinya semakin terbuka lebar dan ia menekuknya. Seolah memberikan sebuah godaan pada sang kekasih. Berdenyut. Tsuna merasa ada yang akan segera keluar dari bawah sana.
Tsuna menggigit bibir bawahnya. "Anh... Giotto..." Tsuna melenguh dengan napas pendek.
Giotto tersenyum tipis dan mencumbu leher Tsuna. Tangannya yang mulanya kering kini telah basah. Bau khas dari cairan itu menguar.
"Basah," bisik Giotto pada telinga Tsuna.
"Ungh."Tsuna memalingkan wajahnya. Ia bersemu.
Ia gigit pelan daun telinga Tsuna. Ia kecup, kemudian Giotto menjulurkan lidahnya. Bermain-main di telinga Tsuna.
"Ahh, Giotto..." Tsuna merasa geli. Namun ia menyukai sentuhan itu. "Nhh..."
Giotto berhenti dan mengecupnya. "Kau suka?" tanyanya hampir berbisik.
Tsuna mengangguk. "Un, aku menyukainya," akunya. Tsuna sudah tak perlu lagi malu untuk mengakuinya.
Giotto membelai wajah Tsuna seraya memoloskan bagian bawah tubuhnya sendiri. "Tsunayoshi..." katanya dengan suara berat. Tubuhnya bergerak. Ia menggesekkan kejantanannya pada kejantanan Tsuna.
"Anh... Ahh..." Tsuna mencengkeram kedua lengan Giotto cukup erat. Terasa lebih nikmat dari sebelumnya.
"Aku menyukaimu... Sangat..." Giotto mendesah.
"Ungh... A, ahh..." Tsuna bisa merasakan kedua benda itu mengeras. Mereka berdiri dengan perkasa.
"Suka... Aku sangat menyukaimu, Tsunayoshi..." Giotto tak hentinya mengutarakan rasa cintanya.
"Ahh... Anghh... Ahh..." Tsuna sudah bisa lagi mengontrol dirinya.
Licin dan basah. Tsuna merasakannya dengan sangat jelas. "Uh, Giotto..." Tsuna melingkarkan tangannya di leher Giotto, menariknya, dan memberinya sebuah ciuman.
Giotto menikmatinya. Sangat. Hujan pun menjadi bumbu kehangatan mereka. "Tsunayoshi, kau mau?" tanyanya setelah ciuman terlepas. Tsuna sangat menggairahkan hari ini.
"A, ah... Umh, tidak," Tsuna menggeleng pelan.
"Kenapa? Aku akan melakukannya pelan-pelan," bisik Giotto mencoba merayu Tsuna.
"Uh, ta, tapi..." Tsuna masih merasa ragu.
"Kalau begitu tak sampai masuk, bagaimana?" tawar Giotto pada akhirnya.
"Be, benar?" tanya Tsuna memastikan. Ia memang ingin. Tapi rasanya masih belum siap untuk yang satu itu.
"Ya." Giotto mengecup pipi Tsuna.
"Ba, baiklah..." Tsuna mengangguk pelan. "Benar, ya?"
"Tenang saja, Tsunayoshi." Giotto beranjak agar Tsuna bisa mengubah posisinya. Setelah Tsuna membelakanginya, satu jari Giotto mulai memasuki "Tempat" Tsuna.
"Ugh, i, ini tidak... A, akan apa-apa, kan?" tanya Tsuna waswas. Ia merasakan sebuah sensasi aneh saat jari itu memasukinya.
"Tidak apa-apa," kata Giotto. Ia menarik keluar jarinya dan melumurinya dengan "Pelumas". Jari itu masuk kembali.
Tsuna menenggelamkan wajahnya di bantal. Tubuh bagian bawahnya perlahan mengangkat. Sensasi aneh itu membuat tubuhnya bergerak sendiri.
"Jika sudah tak terasa katakan saja." Jari tengah Giotto bergerak mulus berkat pelumas itu. Ia tak mengalami kesulitan yang berarti saat memasukkannya karena Tsuna menerimanya.
"Un," erang Tsuna teredam. Semakin lama, Tsuna merasa jari itu menyentuhnya. Jika Giotto menambahnya... "Giotto, apa akan lebih terasa jika lebih?" tanya Tsuna penasaran.
"Tentu saja, Tsunayoshi." Giotto sudah merasa tempat itu mulai melonggar. "Mau?"
"Ya," Tsuna mengangguk. Jika hanya sebatas jari, mungkin tak mengapa.
Giotto melumuri jari tengahnya dengan pelumas. Memasukkannya perlahan ke dalam sana.
"Ahh..." Terasa. Tsuna merasakannya.
Dua jarinya bergerak lebih cepat di dalam sana. Jarinya mulai menyentuh titik-titik tertentu. "Kau merasakannya, Tsunayoshi?"
"A, ah... Ya..." Tsuna tak bisa mengatakan apa pun. Perlakuan Giotto kali ini sangat nikmat. Melebihi yang sebelumnya.
Giotto terus bergerak. "Jika kau mau, aku akan masuk," kata Giotto dengan nada canda.
"Uh, aku tidak mau Giotto..." tolak Tsuna halus.
"Kalau begitu... Sampai tiga, ya?"
"Eh?" Tiga? Mungkin bisa ia coba. "Lakukan saja," kata Tsuna yang sebenarnya juga merasa penasaran.
Giotto terkikik pelan. "Baiklah." Seperti yang ia katakan, satu jari lain masuk. Ia menggerakkannya dengan ritme yang ia naikkan satu tingkat.
Penuh. Tsuna merasakan itu. Seketika sesuatu menabraknya. "Ahh!" Ia menjerit. Basah. Ia mengeluarkannya lagi.
"Bagaimana? Kau menyukainya?" tanya Giotto yang mulai menikmati permainan jarinya.
"Uh, ya... Sangat..." kata Tsuna setengah berbisik.
"Akan kulakukan sampai kau merasa puas, Tsunayoshi..." kata Giotto sambil menyeringai tipis.
"Ahh... Ahh!"
Maju-mundur. Itulah pergerakan yang Tsuna rasakan saat ini. Jari-jari itu menabraknya bertubi-tubi. Giotto benar-benar memanjakannya hanya dengan menggunakan jari.
Hingga permainan berakhir, mereka merasakan kepuasan tersendiri. Giotto tersenyum puas dengan hasil pekerjaannya. Dan ia takkan pernah letih membujuk Tsuna untuk melakukannya.
"Coba kalau aku masuk, rasanya pasti akan lebih nikmat," kata Giotto yang tengah mengelus rambut Tsuna dalam pelukannya.
"Tidak, Giotto... Lain kali saja," kata Tsuna pelan. "Tapi, saat itu aku ingin kau melakukannya," akunya. Ia tersenyum. Yah, ia memang masih merasa takut.
"Baiklah. Saat itu..." Giotto mengecup kening Tsuna. Ia akan bersabar sampai hari itu tiba. Ia tak ingin kekasihnya yang manis itu takut padanya.
"Giotto..."
"Ya?" Giotto menaikkan sebelah alisnya.
"Aku sangat menyukaimu."
Giotto mempererat pelukannya. Ia tahu itu.
"Aku tahu."
•••
•Fin•
Thanks for reading minna-san!
Cerita ini adalah bagian kedua dari cerita sebelumnya yang berjudul 「01いちごチョコ」
Ciao!
[Ietsuna G. Ventisette]
