DISCLAIMER BOBOIBOY HANYA MILIK MONSTA SEORANG

WARNING!: Gaje, alur ga jelas, typo bertebaran, AU, superpower, OOC, mungkin akan ada sedikit bumbu sho-ai tapi tidak akan menjadi dominan, de el el.


Konon, banyak orang yang mengatakan."Jangan pernah pergi ke hutan Rintis sendirian. Kau bisa tersesat ke dunia lain jika melakukannya." Itu adalah rumor yang sangat khas pada musim panas ini. Anak anak saling berbisik, menyebarkan mitos itu dengan tawaan.

Boboiboy Gempa hanya seorang pemuda biasa yang berumur 16 tahun. Malam ini dia di ajak oleh teman temannya untuk mengunjungi festival musim panas. Jujur saja, ia sangat lelah untuk mengikutinya namun sepertinya tidak ada salahnya, disana juga banyak makanan serta permainan yang mungkin menyenangkan.

Baru saja ia sampai di tempat yang penuh kerumunan orang ini, seorang gadis datang dan merangkul lengannya."Gempaaa~ Ternyata kita sama sama sampai ya!" ucapnya dengan nada manja. Gempa hanya tertawa canggung dan mencoba menyingkirkan tangan gadis itu. Namun sepertinya ia tak mau melepaskannya dan tetap memeluk erat.

Oh, inilah salah satu alasan mengapa ia tak mau ikut.

Tiba tiba sekurumunan orang datang menghampiri mereka, Gempa menggunakan kesempatan ini untuk berpisah dengan gadis dari sekolahnya yang kegatalan itu.

"Gempaa-"

Dan suaranya pun tak lagi terdengar, pemuda itu bisa bernafas lega sekarang.

Memang tak bisa disangkal, Gempa adalah murid yang terkenal di sekolahnya. Baik karena ia adalah ketua osis, ramah, baik, tampan, pintar dan lain lain. Dia awalnya adalah orang yang pemalas, berat rasanya untuk bertingkah seperti itu setiap hari. Dia hanya menginginkan hidup yang mudah dan nyaman. Tapi ia sadar, itu nanti akan jadi impian belaka jika ia gagal dalam bersosialisasi di lingkungan masyarakat. Maka dari itu ia mulai bertingkah seperti 'siswa teladan' setiap harinya. Awalnya sungguh memuakkan, namun lama kelamaan ia mulai jadi terbiasa dengan hal ini.

Ia melirik jam di tangannya, sudah tepat pukul 7 dan ia sama sekali tak melihat teman temannya itu. Ingin rasanya berbalik dan pulang lalu menghempaskan diri di atas kasur.

"Kau pikir itu asli?"

Gempa terhenti melihat 2 anak kecil sedang berbisik satu sama lain. Mereka terlihat sangat semangat membicarakan sesuatu."Entahlah! Tapi aku yakin kalau itu asli! Buktinya, paman paman yang berburu disana sudah hilang selama 2 minggu 'kan?" balasnya dengan senyuman polos.

Bocah satunya menyengir pelan."Sekarang malam dan hutan itu berada di belakang festival ini, bukankah ini sangat mendebarkan? Bagaimana kalau ada yang hilang?" bisiknya dengan nada yang riang. Seketika mereka berdua tertawa lebar.

Gempa mengernyitkan dahinya, ia menatap aneh pada kedua anak anak itu. Bagaimana mereka terlihat bahagia tentang pembicaraan itu?

Seketika kedua bocah itu menoleh ke arahnya dengan tatapan polos mereka. Satu dengan iris berwarna hijau dan satu lagi dengan iris berwarna kuning yang ditutupi kacamata bewarna oranye yang sedikit aneh?

Pemuda itu dengan cepat menoleh ke arah lain, kembali berjalan seakan akan tidak mendengar apa apa.

Ia memilih untuk membeli jajanan disana dan duduk di kursi yang tersedia. Selagi memakan makanannya yang masih hangat, Gempa segera mengeluarkan ponsel genggamnya dan menghubungi teman temannya.

'Hei, kalian dimana? Aku sendirian disini.'

Tak lama kemudian, sebuah teks balasan muncul.

'Huh? Kau datang? Bukankah kami sudah mengatakan kalau kami tak jadi pergi?'

Seketika wajah Gempa berubah menjadi masam. Jari jemarinya kembali bergerak di atas layar datar itu.

'Sip. Tak akan kuberi contekan kalian besok.'

Pemuda itu langsung mengantongi ponselnya dan kembali memakan makanannya dengan kesal dan wajah yang bersungut sungut.

Oh sungguh, ia sedang tak beruntung hari ini.

Gempa melahap makanannya dengan cepat dan segera beranjak dari tempatnya. Baru saja berjalan beberapa langkah, seseorang menabraknya dengan cukup keras, tapi untung dia mempunyai keseimbangan yang bagus saat itu.

"Ah, maaf, kau tak apa?" Gempa dengan sopan menawarkan tangan pemuda itu. Orang itu segera mendongakkan kepala, memperlihatkan iris matanya yang berwarna merah menyala dan tajam, mengintimidasi lawannya.

Namun wajahnya dengan cepat berubah menjadi ramah."Tidak, tidak, aku yang seharusnya minta maaf." Ucapnya dengan sopan dan segera berdiri, dan kembali berlari. Ia menatap punggung pemuda itu sejenak. Gempa terdiam saat ia sadar kemana pemuda itu lari.

Hutan terlarang itu.

Kakinya dengan spontan mengikuti jejak orang itu."Hei! Jangan kesana! Disana berbahaya!" teriaknya, namun orang itu tak berhenti berlari dan masuk ke dalam hutan gelap itu.

Entah apa yang dipikirkan Gempa, ia langsung memasukinya tanpa ragu.

Dan disitulah ia membuat kesalahan yang fatal.

Pemuda itu berlari melalui semak semak, ia terus berlari melalui hutan gelap ini sebelum ia tiba tiba membeku di tempat. Gempa baru menyadari ia telah memasuki hutan itu, seorang diri.

Orang yang sempat ia kejar sudah tak terdengar lagi oleh dirinya. Wajahnya menjadi pucat pasi sekarang, keringat mulai menuruni pelipisnya.

Ia pun memutuskan untuk berbalik, mengikuti jalan yang pernah ia lalui sebelumnya.

"A-apa ini..."

Setelah beberapa menit berlari, ia tak menemukan apapun. Justru Gempa merasa ia kembali ke tempat semulanya tadi. Wajahnya kembali pucat.

Tiba tiba terdengar suara semak semak, membuat rasa takut Gempa semakin menjadi jadi. Ia menoleh ke sumber suara dan tak mendapati apapun.

Saat ia menoleh kembali ke depan, ia mendapati sepasang mata yang menyala dan meruncing ke arahnya.

"GWAA-MMPPHH!"

Jeritan Gempa langsung di tutup oleh tangan yang dingin, membuat pemuda itu semakin takut. Ia bisa pingsan sekarang juga, namun sebuah suara menghampirinya.

"Diam." Perintah orang itu dengan nada yang dingin. Sementara orang itu memperhatikan sejenak sekitarnya, Gempa mengamati wajah itu. Muka yang cukup tampan, walau tak begitu jelas, dengan iris mata berwarna biru muda yang terlihat indah. Ia memakai kaus lengan panjang bewarna biru muda dengan lengan berwarna hitam.

Sepertinya ia adalah penduduk di pulau ini juga.

"Sedang apa kau disini? Bukankah kau tahu ini hutan yang tak boleh dimasuki seorang diri?" tanya orang itu dengan nada yang datar. Gempa memperhatikan tatapannya seperti orang yang mengantuk."T-tadi aku mengejar orang yang masuk ke sini, tapi aku tersesat sekarang."jawabnya dengan nada yang pelan dan sedikit terbata.

Pemuda itu menghela nafas berat."Ikut denganku. Aku tahu dimana jalan keluar." Gempa sempat tersentak saat tangannya tiba tiba di genggam oleh pemuda itu. Tangannya sungguh dingin, seperti es batu.

Mereka terus berjalan tanpa henti selang beberapa menit. Gempa sempat tersandung beberapa batu ataupun akar karena orang di depannya ini menariknya dengan langkah yang cepat hingga sulit untuk mengimbanginya.

Gempa merasakan sinar bulan sangat terang tiba tiba, ia menyadari bahwa mereka sudah keluar hutan.

Tapi, ini bukanlah tempat festival yang tadi.

"Pfft.. Aku tak menyangka kau bisa dengan mudah ditipu."

Gempa secepat kilat menoleh ke pemuda sebaya dia itu. Iris biru mudanya langsung menyala, bersamaan dengan seringaian mulai terlukis di wajah itu.

Pakaiannya langsung berubah menjadi jaket berwarna abu abu dengan tudung yang terpasang untuk menutupi topi dengan warna biru muda serta motif garis garis yang menutupi setengah wajahnya. Saat ia mendongak, seringaiannya kembali melebar. Tangannya di angkatnya ke atas, angin kencang berada di sekitarnya. Tangan kanannya perlahan ditutupi oleh kristal es yang itu perlahan berhenti, digantikan dengan butiran salju kecil.

"Namaku Boboiboy Ice, kekuatanku adalah es serta air. Anak ke lima dari keluarga besar Boboiboy." Ucapnya memperkenalkan diri, tatapannya berubah menjadi datar dan kembali terlihat ngantuk.

Gempa masih membatu di tempat, apa dia memang sudah tersesat ke dunia lain? Siapa pemuda itu? Mengapa mereka memiliki nama keluarga yang sama? Muka mereka sungguh sangat mirip, hanya ekspresi yang bisa membedakan mereka berdua.

Ice segera memegang kedua tangan Gempa, iris matanya terlihat berbinar binar."Akhirnya aku dapat berjumpa denganmu, kak."

Pemuda beriris kuning itu spontan melepaskan tangannya, dan segera mundur. Sungguh tangannya benar benar sedingin es batu sekarang.

"K-kak? Ada apa ini? Aku tak mengerti. Kita ada dimana sekarang?!" tanya pemuda surai hitam itu dengan panik dan takut. Ia sungguh berharap ini hanya mimpi dan ia bisa terbangun saat ini juga.

Ice menghelakan nafas."Kita ada di dunia lain. Tempat tersembunyi di dalam hutan Rintis. Tempat dimana kau tak akan bisa selamat jika kau hanya seorang manusia biasa." Jelasnya yang membuat Gempa bergidik. Berarti dia akan mati tak lama lagi?

Pemuda beriris biru muda itu mendekatkan mukanya."Kita satu darah. Jadi kau bukan manusia biasa sekarang kak."

Gempa mengerjapkan matanya dengan keringat yang sudah membasahi kulitnya. Ice menyengir pelan."Ya sudah, ayo kita pulang dulu. Baru kami jelaskan disana." Pemuda bertopi itu menatap ke arah bulan.

"Kak Hali, kau dimana?"

"Disini."

Gempa langsung menjerit dan terjatuh saat mendengar suara yang dingin dan tajam pas di depan telinganya. Saat ia menoleh kebelakang, ia mendapati pemuda dengan jaket bewarna hitam serta motif kilatan listrik merah. Iris merahnya meruncing, menatap tajam ke arah dirinya.

"K-kau.. Bukankah kau orang yang k-kutabrak itu..?" tanya Gempa dengan nada yang terbata bata. Bibirnya tak mau berhenti gemetaran karena melihat pemuda itu sangat menyeramkan.

Pemuda itu mengangguk pelan."Kau memang seperti yang kubayangkan." Ia pun memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya."Namaku Boboiboy Halilintar, namaku itulah kekuatanku. Anak pertama." Ucapnya dengan nada dingin dan datar.

Ice hanya menyengir."Kak Gempa, kau harus berhati hati. Kak Hali bisa melumpuhkanmu kapan saja." Ia langsung terdiam saat Halilintar mendelik ke arahnya.

Pemuda yang dingin itu mengulurkan tangannya pada Gempa."Cepatlah. Aku mulai jenuh berlama lama disini." Gempa terdiam sebentar sebelum akhirnya menerima uluran tangan itu. Ia langsung meringis dan spontan melepaskan tangan Halilintar saat merasakan aliran listrik mengejutkannya.

"Kak, dia adikmu. Jangan terlalu kasar."

"Ah, maaf."

Untuk yang kedua kali, Gempa masih was was untuk menyentuhnya. Halilintar yang muak langsung menggenggam tangan itu dan menariknya berdiri.

'Kasar sekali.' Batin Gempa dengan tatapan yang datar.

Pemuda beriris merah itu menoleh ke Ice.

"Solar dan Thorn dimana?"


TO BE CONTINUED!


Mungkin ff ini bakal terbengkalai, tapi saya usahakan agar tetap lanjut.

Maaf tulisan kurang memuaskan, sudah lupa cara menulis yang baik /digantung

Silakan review~

Terima kasih.