Shingeki no Kyojin bukan milik saya.
Author: Kazehaya Shiroe
Brothership: Levi dan Eren.
Warning! Humor garing, Cerita gaje :"(
.
.
.
"Bang?"
Abang yang dipanggil tak menoleh. Kedua katanya masih fokus menatap layar laptop logo apel digigit dikit.
"Bang, Levi!"
"Apaan, sih, Dek?!" respon sang Abang. Kesal. Ia masih sibuk dengan pekerjaan kantor.
Levi Ackerman 25 tahun, Eren Ackerman 17 tahun. Mereka kakak-beradik tidak sedarah. Artinya, Eren adalah adik tiri Levi. Setelah Ibunda Levi meninggal, saat ia dibangku SD, Ayahnya menikah lagi dengan janda beranak satu. Sayangnya, setelah Levi lulus SMA kedua orang tua mereka meninggal karena kecelakaan.
"Jangan ngurusin kerjaan mulu, dong. Ini bantuin aku bikin makalah," Eren menaruh laptopnya di atas meja kerja Levi.
"Ade bego, bikin makalah aja gak bisa. Bikin sendiri sana. Abang sibuk, Dek."
"Besok aku presentasi," Eren mulai merajuk.
"Bodo amat."
Eren manyun. Bisa dimaklum, Levi itu direktur muda pengganti Ayahnya di SnK Corp. Kerjaannya pasti segudang, tapi masa luangin waktu lima menit--lima belas menit buat dedeknya engga bisa?
Dulu Abangnya perhatian, protektif, dan menyebalkan. Sekarang boro-boro, Eren dicuekin mulu. Rasanya Eren rindu saat masih kecil, ingin balik lagi biar disayang-sayang.
"Bang Levi, bantuin!" Eren bersih keras.
Ponsel sang Abang berbunyi. Ocehan Eren tak digubris. Levi mengangkat panggilan.
"Ya?"
"Oh, iya. Sedang saya persiapkan. Jadwal keberangkatan saya ke Arab sudah fix. Ya. Tenang saja."
"Sama-sama." Panggilan diputus sepihak.
Eren mengernyit bingung ucapan sang Abang pada orang disebrang telepon. "Bang Levi mau ke Arab?"
"Hm."
"Ngapa-"
"Ketemu Raja Arab. Mau buat cabang perusahaan di sana." Datar. Muka Abang Levi datar menatap laptop.
"Kenapa engga di Eropa?" tanya Eren.
"Direktur-nya siapa?"
"Yaudah sih, Bang. Bodo amat Abang mau ke Arab kek, Afrika kek, Papua Nugini sekalian. Eren engga peduli! Makan aja itu kerjaan," semburnya dengan nada jengkel. Emosi tak tertahan akhirnya terlontar. Eren membalik badan menuju pintu. "Kalau kayak gini mending aku jadi anak kecil terus!" Eren keluar ruangan kerja membanting pintu.
Levi menghela napas. Memanjakan Adik bukan lagi tugasnya. Burung Eren sekarang sudah besar /lho/. Memanjakannya hanya akan berdampak negatif, pikirnya. Terlalu banyak pekerjaan yang harus diurus.
Eren masuk kamar, menarik kursi dan kembali mengerjakan tugas makalah di laptop. Pikirannya tidak tenang. Materi yang harus dibawakan terlalu berat. Otak Eren tak sanggup menjangkau. Sadar kapasitas otak tak seperti abangnya yang selalu juara umum--sampai menjadi juara umum tingkat nasional.
"Seandainya bisa jadi anak kecil lagi..." gumamnya.
Kedua kaki membawa tubuhnya ambruk di atas ranjang empuk. Lelah, namun tugas belum selesai. Eren dilanda dilema. Dari dulu, ia bergantung pada Levi. Menggantungkan hidupnya sendiri rasanya susah, gusti.
Rasa lelah memaksa Eren melupakan tugas, dan segera menyeret ke alam mimpi. Kelopak mata tak tertahan oleh kantuk yang melanda. Perlahan matanya terpejam. Tertidur.
Dewa Pengabul Harapan yang kebetulan lewat mendengar doa yang dipanjatkan Eren. Dewa Pengabul Harapan melihat sisi lemah Eren, tak sadar ia merasa iba. Menurutnya Eren membutuh kasih sayang.
"Anak Malang..., akan kukabulkan harapanmu. Semoga sepuluh hari yang kuberikan akan memberikan kebahagiaan untukmu." Dewa Pemberi Harapan tersenyum kalem.
Keesokan paginya Levi terbangun, mendapati alarmnya berbunyi. Mata yang tak bergairah, namun memesona. Levi masih telanjang dada di atas ranjang. Seuasi mematikan alarm di nakas, ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Turun dari tangga bercabang, berbelok ke dapur. Levi tidak mendapati Eren di sana. Sarapan mereka masih utuh, dan hanya ada maid part-time yang bertugas.
"Selamat pagi, Tuan." Maid itu membungkuk.
"Pagi. Di mana Eren?" Levi mengambil segelas jus jeruk, lalu meminumnya.
"Belum keluar kamar," jawab wanita itu.
Sebelum ia turun, biasanya Eren sudah lebih dulu duduk manis di meja makan, atau lebih dulu berangat sekolah. Kemana anak itu?
Sembari membawa gelas berisi jus jeruk isi setengah, Levi menghampiri kamar Eren. Mengetuknya. Menunggu jawaban dari si pemilik kamar.
"Eren?" Sekali lagi Levi mengetuk, namun tak ada respon. "Eren! Ini sudah jam delapan. Kau bisa terlambat sekolah. Lupakan makalah itu, aku akan menyuruh Jean atau Hanji untuk membantumu."
Tetap tidak ada respon. Apa jangan-jangan Eren sudah lebih dulu pergi ke sekolah sebelum maid tiba? Tidak mungkin.
Knop pintu diputar. Tidak terkunci. Levi heran. Pintu terbuka menampilkan keadaan kamar Eren bak kapal pecah. Yarob, batin Levi.
Tidak ada si surai cokelat yang dikenal.
Kaki Levi maju selangkah menuju tempat tidur. Ada gumpalan di dalam selimut. Nah, kampret, ketemu juga akhirnya, batin Levi.
Selimut ditarik paksa. Mata Levi membelalak; engga keliatan jelas karena sypyt. Kaget. Levi kaget, serius. Melihat sosok aneh di balik selimut.
WHAT THE HELL, MAN. Sosok bocah mungil tengah tertidur pulas di atas ranjang Eren. Wait. Itu kepala-- eh rambut mirip seperti Eren. Levi pasang wajah 'wtf' beberapa detik.
Merasakan kehadiran Levi membuat tidur pulasnya terganggu. Si bocah kecil, sekiranya berumur tiga tahun membuka mata. Menampilkan iris mata yang tak asing dilihat Levi. Bocah itu merubah posisi menjadi duduk, mengusap matanya.
"E-eren?"
Lanjut?
A/N: Fyuh! Saya engga tau kenapa mau nulis ff receh macam ini :"Terinspirasi dari doujin /plakMaaf ya engga seru :"(Salam hangat,Kazehaya Shiroe
