Disclaimer:

Naruto © Kishimoto Masashi

Jangan Pernah… © Haruno Aoi

Warning: AU, OOC, TYPO(S)

Saya ucapkan terima kasih banyak kepada para pereview dan pembaca Jangan Pergi—Don't Ever Say Goodbye…

.

.

.

.

.

~oOoOo#0#oOoOo~

.

(1) Jangan Pernah Melihatku Lagi…

.

Perempuan berambut biru tua panjang yang duduk di salah satu bangku shinkansen mengamati seorang pemuda berambut hitam kebiruan yang berlarian di antara kerumunan orang di stasiun. Dari jendela yang terhalangi kaca, samar-samar ia bisa mendengar namanya yang berkali-kali diserukan oleh pemuda tersebut. Perempuan yang mulai meneteskan airmata itu juga bisa menebak apa yang diserukan si pemuda hanya dengan melihat gerak bibir pemuda. Ia tahu kalau namanya disebut-sebut. Hinata.

Pandangan Hinata masih buram karena airmata saat ada seseorang yang menduduki bangku di sebelahnya. Ketika ia menutup mulutnya untuk meredam isak tangis, ia melihat ada saputangan berwarna abu-abu terang yang terangsur padanya. Dengan ragu, Hinata menerima saputangan dari seseorang yang berkulit pucat dan berjari lentik itu. Ia tidak tahu apakah orang tersebut laki-laki atau perempuan. Beberapa tahun menjadi pelayan di kediaman keluarga kaya raya, membuat Hinata terbiasa untuk selalu menunduk.

"Te…terima kasih…" ucap Hinata terbata. Ia tidak langsung menggunakan saputangan tersebut. Orang di sebelahnya hanya bisa melihat cairan bening yang terus menetes membasahi saputangan yang digenggam erat oleh Hinata.

Hinata merasakan pandangannya mengabur ketika kereta mulai berjalan. Namun, ia masih bisa melihat airmata yang mengalir di pipi pemuda yang pernah menjadi tuannya. Saat memperhatikan pakaian yang dikenakan mantan tuannya, muncul penyesalan di hatinya. Seharusnya ia pergi setelah menyiapkan mantel musim dingin dan syal untuk pemuda yang masih memiliki hatinya tersebut.

"Menyerahlah, Tuan Muda…" lirihnya saat pemuda yang lebih muda tiga tahun darinya itu hanya bisa mematung di antara orang-orang sibuk yang berjalan hilir mudik.

Hinata masih memusatkan perhatiannya kepada pemuda itu hingga shinkansen meninggalkan stasiun. Ia hanya bisa berharap agar si pemuda segera pulang ke rumahnya yang hangat sebelum ditemukan mati membeku di stasiun.

.

.

.

Sasuke masuk ke rumahnya dengan langkah gontai. Bibirnya tampak membiru karena terlalu lama berada di bawah guyuran salju. Seharusnya ia menggigil, namun ia tidak tampak kedinginan karena wajahnya masih tanpa ekspresi. Atau lebih tepatnya, ia sudah mirip orang linglung. Untungnya ia masih ingat untuk pulang ke rumahnya.

Belum sepuluh langkah Sasuke melewati pintu rumahnya, muncul beberapa maid yang berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Salah satu maid segera menutupi tubuh Sasuke menggunakan kain tebal semacam selimut yang dibawanya. Sasuke langsung menyingkirkan kain yang menutupi atas tubuhnya hingga teronggok di lantai marmer rumahnya. Ia berjalan menuju kamarnya, mengabaikan para pelayan dan ibunya yang berjalan menghampirinya.

Ada sepasang mata berpupil hitam yang melihat keadaan Sasuke dengan pandangan khawatir. Ia tahu penyebabnya.

.

.

.

Hinata duduk di atas tempat tidurnya yang tidak memiliki jarak dengan jendela kayu yang terbuka lebar. Ia memeluk lututnya dan memandang keluar jendela. Biasanya sinar bulan akan menerangi kamarnya melalui jendela. Sayangnya, saat ini langit sedang mendung. Semendung hatinya yang kehilangan sinar.

Sudah dua hari Hinata menginap di panti asuhan dan tidur di kamarnya yang dulu, yang masih dikosongkan oleh wanita tua yang merawatnya sejak bayi. Ia sangat merindukan kamarnya, merindukan rumahnya yaitu panti asuhan ini, dan seorang wanita tua yang sudah seperti neneknya sendiri. Matanya berkaca-kaca ketika teringat bahwa ia tidak bisa lagi bertemu dengan nenek sekaligus ibu asuhnya.

Hinata sedikit tersentak ketika merasakan tepukan pelan di pundaknya. Setelah menoleh, ia disambut senyuman lembut seorang wanita muda berambut biru pendek. Hinata membalas senyum wanita yang sudah seperti kakak perempuannya tersebut. Lalu, ia menepukkan tangannya pelan di samping tempat yang didudukinya, mempersilahkan wanita tersebut agar duduk di sampingnya. Ia seolah mengetahui bahwa ada hal yang ingin disampaikan kepadanya.

"Panti asuhan memiliki hutang," ujar wanita yang diketahui bernama Konan. "Maaf, tidak seharusnya aku membicarakannya di saat yang tidak tepat seperti ini. Tapi, itu karena aku merasa tidak bisa untuk menghadapinya sendiri. Aku butuh bantuanmu," imbuhnya cepat sebelum Hinata mengeluarkan suaranya.

Hinata mengerti mengapa ia dimintai bantuan. Semua penghuni panti asuhan mengira bahwa Hinata sudah menjadi Nona Muda dari salah satu keluarga kaya di Tokyo, yang dulu mengadopsinya.

"Kalau kita tidak membayarnya, maka tanah panti asuhan dan sekolahnya akan menjadi milik mereka," tambah Konan pelan, khawatir suaranya akan mengganggu anak-anak panti asuhan yang sudah terlelap di kamar sebelah kamar Hinata.

"Mereka? Siapa?" tanya Hinata berbisik.

"Perusahaan Konstruksi Hyuuga," jawab Konan.

Hinata merasa sudah tidak asing lagi dengan kata terakhir yang disebutkan Konan. Ia masih ingat kalau Hyuuga adalah salah satu keluarga kaya raya yang ada di Tokyo.

"Berapa hutangnya?" Hinata terlihat gugup untuk menanyakannya. Ia terlihat belum siap untuk mendengar jawaban yang akan dilontarkan Konan.

"Sepuluh juta yen."

Hinata hanya menggigit bibir bawahnya dan menutup matanya sejenak. Walaupun sudah bekerja selama lima tahun, uang tabungannya tidak lebih dari satu per lima dari sejumlah hutang panti asuhan. Gajinya setiap bulan sebagai pelayan, hanya lima ratus ribu yen. Itu pun Hinata hanya mendapatkan satu per dua puluh dari gaji yang seharusnya didapatkannya, karena ia harus membalas "jasa" kepada yayasan penyalur pembantu rumah tangga dan baby sitter tempatnya bernaung. Dari mana ia akan mendapatkan uang sebanyak itu? Apalagi sekarang Hinata sudah diberhentikan.

"Kenapa bisa berhutang sebanyak itu?" tanya Hinata pelan.

"Waktu gempa beberapa bulan yang lalu, panti asuhan membutuhkan perbaikan. Karena itu, kami meminjam uang dari cabang Perusahaan Hyuuga yang tidak jauh dari sini."

Hinata mengikuti arah pandang Konan. Ia turut mengalihkan pandangannya keluar jendela. Ia bisa melihat gedung pencakar langit yang tampak kelap-kelip di malam hari.

"Kami melakukan itu karena uang dari donatur hanya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak setiap harinya. Apalagi donatur semakin berkurang sejak kematian Obaa-san." Konan menunduk sedih.

"Kenapa pinjam ke mereka? Kenapa tidak ke bank?" lirih Hinata.

"Perusahaan Hyuuga tidak memungut bunga dan mereka bersedia memberikan jangka waktu jatuh tempo yang lebih lama dari bank."

"Kapan jatuh temponya?"

"Enam bulan lagi."

Hinata menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Hal ini malah membuat nafasnya semakin berat, menyesakkan.

.

.

.

Setelah menginap selama seminggu di panti asuhan, dengan berat hati Hinata kembali menginjakkan kakinya di Tokyo. Ia kembali ke rumah orang tua angkatnya sekaligus orang yang menjadikannya sebagai robot penghasil uang, dengan syarat orang tua angkatnya bersedia membantunya melunasi hutang panti asuhan. Dengan syarat itu Hinata harus bekerja tanpa digaji, hingga orang tua angkatnya memutuskan untuk menggajinya kembali.

Belum lama setelah memasuki tempat tinggal pengadopsinya, Hinata sudah ditarik menuju ruangan dimana ada dua orang yang menunggu kepulangannya. Ia harus duduk bersimpuh di hadapan sepasang suami istri yang duduk di atas sofa empuk berwarna hitam. Hinata hanya menunduk, menanti "hadiah" yang akan diberikan kepadanya.

"Angkat tanganmu."

Hinata mematuhi suara datar yang bernada perintah tersebut. Ia menengadahkan kedua telapak tangannya setelah diperintahkan. Seluruh tubuhnya tampak bergetar, terlebih tangannya yang gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin.

"Inikah tangan yang kau gunakan untuk mengambil uang keluarga Uchiha?"

Hinata tersentak saat merasakan pukulan di kedua telapak tangannya. Yang membuatnya lebih terpukul adalah tuduhan yang ditujukan kepadanya.

Itu tidak benar! Seharusnya Hinata bisa meneriakkannya dengan lantang. Namun, tenggorokannya terasa tercekat dan lidahnya seolah bertulang.

"Memalukan!"

Beberapa sabetan rotan kembali dirasakan Hinata di kedua telapak tangannya. Lama-lama, ia tidak bisa merasakan keberadaan tangannya. Keduanya seolah lumpuh, hingga rasa sakitnya tidak terasa lagi. Terlalu menyakitkan sampai tidak bisa dirasakan oleh Hinata. Terlalu sakit hingga membuat Hinata mengeluarkan airmata tanpa sadar.

"Kau tahu akibat dari perbuatanmu?" Suara pria itu terdengar lagi diikuti gerakan tangannya yang kembali mengayunkan rotan. "Keluarga Uchiha tidak mau lagi menggunakan jasa kita!"

"Sudahlah…" Wanita yang duduk di samping pria itu terlihat lebih ramah dan sabar. Setelah ia mengeluarkan suaranya, pria yang merupakan suaminya itu berhenti melakukan kekerasan pada Hinata.

"Maafkan saya, Otou-sanOkaa-san…" ucap Hinata sambil terisak.

"Lusa kau harus kembali bekerja di kediaman keluarga tempat Tenten bekerja." Suara pria yang menjadi ayah angkat Hinata, terdengar lebih lembut dari sebelumnya.

.

.

.

Setelah beberapa hari mengurung diri di dalam kamar dan bolos sekolah, akhirnya Sasuke kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Setidaknya ia tidak melewatkan ujian akhirnya. Ia hanya tinggal menunggu hasilnya, lulus atau tidak lulus. Tapi ia yakin bahwa ia akan lulus. Jadi mungkin ia bisa tersenyum di hari wisudanya, upacara kelulusan pada awal musim semi nanti, tepatnya pada awal bulan Maret.

Keluarga dan para pelayan di kediaman Uchiha tampak khawatir melihat keadaan Sasuke. Ia menjadi lebih pendiam dan jarang bicara. Dalam sehari, bisa dihitung berapa kali ia mengeluarkan suaranya. Mungkin ia berbicara hanya ketika meminta pelayan untuk membawakan sesuatu ke kamarnya.

Suatu malam, Sasuke dipanggil ayah dan ibunya ke ruang keluarga. Mereka yang juga khawatir melihat perubahan sikap Sasuke, ingin mengetahui penyebabnya. Sepertinya ayahnya belum mengetahui penyebabnya, tetapi sebenarnya ibunya sudah sangat mengerti.

"Kau mau dicarikan pembantu pribadi yang baru?" Mikoto membuka percakapan setelah dipersilahkan oleh Fugaku.

Sasuke masih diam. Ia tidak memandang ayah dan ibunya yang duduk berseberangan dengannya. Ia bersikap seolah tidak pernah mendengar pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

"Buat apa kau terus-menerus memikirkan pencuri itu?" Suara Mikoto meninggi.

"Dia bukan pencuri!" pekik Sasuke sambil mengarahkan tatapan tajamnya ke Mikoto. Well, mungkin ia memang seorang pencuri. Pencuri hati Sasuke.

Sasuke berdiri dari duduknya. Ia masih menatap Mikoto dengan pandangan benci. "Pasti kau yang memfitnahnya!" bentaknya sambil menunjuk Mikoto.

PLAK!

Fugaku tampak mengatur nafasnya yang memburu. Ia pasti sudah melayangkan tamparan ke pipi Sasuke lagi bila Mikoto tidak mencegahnya.

Sasuke menyeringai sambil membalas tatapan penuh amarah ayahnya. Ia malah tertawa kecil melihat Mikoto yang mulai menangis. Ia kembali mengalihkan pandangannya ke Fugaku dan memasang tampang tanpa rasa takut.

"Anak durhaka! Anak tidak berguna!" Suara Fugaku terdengar menggelegar di ruangan yang didominasi warna keemasan itu.

Mikoto menenangkan Fugaku yang hampir memukul Sasuke lagi. Ia memandang Sasuke dengan tatapan sayang, namun Sasuke tidak mengartikannya demikian.

"Pergi sana!" bentak Fugaku yang masih dikuasai amarah. "Uchiha tidak membutuhkan orang sepertimu!"

"Fine," balas Sasuke santai seraya keluar dari ruangan luas yang terasa menyesakkan itu.

Mikoto sedikit berlari untuk mengejar langkah lebar Sasuke. Ia mencoba menarik dan membujuk Sasuke agar tetap tinggal, namun Sasuke mengabaikannya dan terus berjalan mendekati pintu keluar. Fugaku ikut mengejar mereka, namun ia hanya menarik dan mencoba menenangkan Mikoto yang terus meneriakkan nama Sasuke.

Sasuke yang hampir keluar dari gerbang kediamannya, ditahan oleh sopir pribadinya yang mencoba menyusul. Sasuke berhenti untuk menunggu sopirnya yang sedang mengatur nafas. Sebelum berkata-kata, sang sopir mengangsurkan mantel hitam dan amplop coklat yang sedikit tebal kepada Sasuke.

"Tolong diterima, Sasuke-sama. Kalau tidak, Itachi-sama akan memecat saya."

Sasuke mengangkat wajahnya hingga sedikit menengadah. Ia memicingkan matanya untuk melihat seseorang yang sedang berdiri di salah satu balkon rumahnya sambil melambaikan tangan padanya.

"Baka," gumam Sasuke tanpa mengalihkan pandangan dari sosok yang tersenyum tipis padanya. Ia memakai mantelnya dan menerima amplop yang ia yakini berisi sejumlah uang dari Itachi, sebelum keluar dari gerbang kediamannya.

.

.

.

Hinata berdiri di depan cermin yang setinggi badannya. Ada yang aneh dengan penampilan Hinata. Rambut biru tuanya yang panjang digantikan dengan rambut hitam sebahu dengan poni menyamping. Mata lavender yang biasanya menampakkan kelembutan, kini tertutupi oleh lensa kontak berwarna hitam. Ungu muda di bola matanya berubah menjadi pupil berwarna hitam kelam, yang mengingatkan Hinata kepada seseorang yang masih mendominasi hatinya.

"Ada yang kusayangkan dari penampilanmu yang baru," kata perempuan berambut coklat seumuran Hinata, Tenten, yang duduk di tepi tempat tidur.

Hinata masih belum mengeluarkan ekspresi apapun. Ia membetulkan letak poninya dan menyisir pelan rambut barunya menggunakan jemari.

"Kau jadi kehilangan kilau rambut dan sinar matamu," komentar Tenten seraya tersenyum hambar.

"Memang itu yang kuinginkan," balas Hinata datar. Pandangannya mendadak terpaku pada cermin yang memantulkan sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Ia mengangkat tangan kirinya dan dengan perlahan melepas cincin mainan yang dibelikan seorang pemuda di toko cindera mata. Ia tersenyum miring, lalu berjalan mendekati laci di samping tempat tidur. Ia berjongkok di depan meja kecilnya dan mengambil sebuah kotak kayu kecil dari dalam laci. Kemudian, dengan hati-hati Hinata memasukkan cincin berwarna silver tersebut ke dalamnya.

Bersamaan dengan tertutupnya kotak kayu itu, Hinata juga menutup pintu hatinya.

"Mungkin sampai kapanpun, aku hanya boleh mencintainya dalam diam," gumam Hinata lirih.

Hinata memasukkan kembali kotak kayunya ke dalam laci, bersebelahan dengan saputangan berwarna abu-abu terang. Saat lacinya tertutup sepenuhnya, Hinata menangis.

Perpisahan, itulah penyebabnya. Perpisahan dengan orang-orang yang dikasihinya. Terlalu banyak perpisahan dalam waktu yang singkat.

Hinata meneteskan airmata yang ia harap akan menjadi tangisan terakhirnya. Akhir-akhir ini ia sudah banyak menumpahkan airmata karena banyak hal yang menimpanya. Ia tidak ingin menjadi lebih cengeng dari ini.

Tenten hanya mendiamkan Hinata. Ia yakin bahwa Hinata membutuhkan ketenangan saat ini. Ia tahu kalau Hinata berusaha menata hatinya kembali. Karena itu, Tenten akan menunggu hingga Hinata bangkit, menghapus airmatanya, dan setelah berbalik Hinata akan tersenyum manis seperti biasanya.

Tenten tersenyum karena Hinata melakukan apa yang semula menjadi harapannya. Sayangnya senyumnya memudar tidak lama kemudian, karena setelah berbalik Hinata hanya menunjukkan wajah tanpa ekspresi.

"Mulai sekarang, panggil aku Sunny."

.

~oOoOo#0#oOoOo~

.

.

.

.

.

.

.

Kenapa Sunny? Setahu saya, Hinata = Sunny Place ^^

Saya tahu fic ini lebay, tapi biarlah. Suka-suka saya… #plak

Jangan pernah menanyakan lanjutannya…

Terima kasih semuanya…