Empat hari yang lalu, saya abis liburan ke Pantai Carita. Abis itu nginep di Lipo Carita (yah apalah itu namanya). Eh, langsung deh nemu ide fic ini. Akhirnya saya ketik di HP, keburu idenya ilang. Tapi, saya agak merinding juga ngetiknya.. Akhirnya sampe rumah, diterusin di komputer.
Saya ga pinter bikin fic horor/misteri kayak gini. Dari judulnya aja udah alay. Jadi, yang minat baca, tolong review juga. Kasih saran buat saya tentang fic ini.
Warning: AU, OOC (maybe?), aneh
Disclaimer: Naruto characters © Kishimoto Masashi. Misteri Kamar Pembantaian © MonickoGeLo.
Chapter 1
Naruto's POV
Saat liburan kenaikan kelas, Konoha Junior High School mengadakan acara tour ke pantai, dan menginap selama 3 hari 2 malam. Hari ini, kami para murid Konoha JHS berangkat bersama menuju ke sebuah apartemen yang akan digunakan untuk tempat kami menginap selama 3 hari itu.
"Hei, ayam! Kita sekamar!" teriak Kiba ketika melihat kertas pembagian kamar yang dibawa Iruka-sensei, guru pendamping di bis yang kami tumpangi sekarang.
"Berhentilah memanggilku ayam! Dasar siluman anjing!" Sasuke pun membalas.
Dan, terjadilah perang kebun binatang diantara mereka berdua. Iruka-sensei yang sibuk melerai, tak sadar kalau kertas pembagian kamar yang ia pegang telah raib dicolong Sai.
"Wah, rupanya kita sekamar, Naruto," kata Sai sambil memasang senyum lebar tanpa ekspresi.
Aku tersenyum mendengarnya, walaupun agak kesal juga. 3 hari sekamar dengan Sai, sepertinya bakal terlewati dengan sangat membosankan. Yah, aku lebih memilih Kiba, yang sama-sama ribut sepertiku. Mungkin bakal lebih seru. Tapi, tak apa lah. Aku terima saja.
Kami semua pun asik mengobrol sampai tak sadar kalau kami sudah sampai di tempat penginapan yang dimaksud. Aku lupa namanya, dan sepertinya aku tidak akan pernah mau mengingat namanya lagi. Yang pasti, ini adalah kedua kalinya aku menginap di apartemen ini. Aku masih ingat betul dengan bangunan ini.
"Sai, kamar kita nomor berapa?" tanyaku pada Sai ketika turun dari Bis. "Sai! Jangan berjalan terlalu cepat! Aku capek!" aku terengah-engah menyeret koperku yang sangat berat ini. Entah benda apa saja yang Ibu masukkan ke koper ini, rasanya seperti membawa batu bata saja. Ibu benar-benar merepotkan! Dia pikir, aku mau daki gunung apa?
"Naruto, kita dapat kamar ini," kata Sai sambil memperlihatkan daftar nomor pembagian kamar. Lagi-lagi ia berhasil mencurinya dari Iruka-sensei.
Aku membaca nomor di kertas itu. Entah kenapa, perasaanku langsung tidak enak.
Kamar 97 63 B, lantai 3.
Itu kamar untukku dan Sai. DEG! Tiba-tiba saja jantungku serasa berhenti. Ketika membaca nomor kamar ini, aku langsung teringat sesuatu di masa laluku, ketika aku masih berusia 5 tahun.
Sesuatu yang mempertemukan aku dan keluargaku kepada kejadian-kejadian aneh.
"Naruto, wajahmu pucat. Kau sakit?" tanya Sai ketika melihat raut wajahku.
"Ti-tidak.." jawabku sambil menggeleng lemah. "Dulu aku pernah menempati kamar ini…"
Sai memperhatikan wajahku yang misterius. "Lalu, kenapa wajahmu pucat?" tanya Sai. Ia tidak mempedulikan Iruka-sensei yang saat ini kelabakan mencari kertas pembagian kamar yang tadi ia pegang. Sai kembali menampakkan senyum palsunya—berusaha mencairkan suasana, "Liburan kali ini pasti akan sangat menyenangkan bukan?"
Aku diam dan mendongakkan kepalaku. Dari sini aku bisa melihat tangga-tangga kayu yang melingkar dan berakhir di lantai 4. "Kurasa tidak…"
-Flashback-
Normal POV
8 tahun yang lalu…
"WHOAAA!! KITA SAMPAI!!" seorang bocah berkepala durian melompat turun dari mobilnya, lalu berteriak persis seperti orang gila dan autis. Ia berdiri menghadap sebuah bangunan—lebih tepatnya sebuah penginapan—dengan perasaan bangga. Maklum, bocah durian ini belum pernah pergi ke pantai sebelumnya. Dari belakang penginapan itu, terdengar deru ombak yang menghantam bibir pantai, disertai suara tawa ceria anak-anak.
"Hei, Naruto! Ayo bantu Ibu mengemasi barang-barang ini!" sang ibu mengomel melihat tingkah anak semata wayang-nya itu.
"Ah, Ibu ini cerewet sekali!" sahut anak yang dipanggil Naruto itu. "Kan masih ada Ayah! Kenapa harus aku yang mengemasi barang-barang ini? Lagipula, aku kan masih kecil!"
Ibu Naruto menghela napas. "Naruto, kau 'kan laki-laki. Kalau sudah besar nanti, kau harus jadi pria yang kuat, seperti ayahmu. Ayo, jangan jadi laki-laki yang lemah! Baru begini saja sudah mengeluh."
Akhirnya Naruto menuruti kata-kata ibunya, walau dalam hati terpaksa.
"Oh iya, Kushina, nanti kita menginap di kamar nomor berapa?" tanya ayah Naruto sambil menyalakan mesin mobilnya.
"Aku belum tahu. Nanti kita tanyakan saja pada pemilik penginapan ini. Mungkin sebentar lagi dia datang," jawab Kushina, ibu Naruto.
Ayah Naruto mengangguk setuju. "Semua barang dari mobil sudah diturunkan, 'kan? Aku ingin memarkirkan mobil ini."
"Minato, tunggu. Naruto masih belum selesai," sahut Kushina. "NARUTO! Cepatlah sedikit!" gertak Kushina, layaknya majikan yang menggertak babu-nya. Oh, terlalu kasar? Oke, 'asisten'nya.
Setelah semua barang-barang bawaan diturunkan dari mobil, Minato memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang tak begitu jauh dari penginapan. Sementara Naruto dan Kushina stand by di tempat untuk menunggu kedatangan si pemilik penginapan.
"Kushina-san, ternyata Anda sudah datang?" sapa seorang wanita yang datang tepat setelah Minato menjalankan mobilnya.
"Konan-san! Kami baru saja menurunkan barang-barang ini dari mobil," kata Kushina.
"Ssstt, Bu!" Naruto menarik baju Kushina dan memberi isyarat untuk mendekatkan telinganya. "Itu pembantu rumah tangga di penginapan ini, ya?"
"Bukan, bodoh!" Kushina memukul kepala Naruto. Untungnya hanya pelan. Coba kalau keras, kepala Naruto pasti udah bocor. "Itu pemilik penginapan ini!"
Wanita yang disebut-sebut sebagai pemilik penginapan itu hanya tertawa kecil melihat ibu-anak itu, meski ia tidak tahu apa yang mereka berdua bicarakan barusan.
'Benarkah dia pemilik penginapan ini…?' Naruto benar-benar tidak yakin dengan penampilan wanita itu. 'Dengan bunga jelek di rambutnya itu, dia bahkan lebih cocok jadi tukang jamu gendong yang sering lewat di depan rumah!'
"Jadi, Konan-san, kamar mana yang kosong?" Kushina langsung ke topik pembicaraan.
"Hari ini banyak sekali yang memesan kamar di penginapan kami. Untung Anda cepat datang, kalau tidak, Anda sekeluarga tidak akan kebagian kamar. Saat ini hanya ada 2 kamar yang kosong. Kamar 97 64 C dan…" Konan tertegun. Tiba-tiba saja ia merasa berat untuk menyebut nomor kamar selanjutnya. "… Kamar 97 63 B."
"Oohh.. Kamar 97 64 C itu ada di lantai berapa, ya?" tanya Kushina.
"Ada di lantai paling akhir, lantai 4. Anda mau pesan kamar itu?"
"Tidak, kalau kamar 97 63 B dimana?"
"Di… Lantai 3."
"Begitu, ya? Kalau begitu saya pesan yang di lantai 3 saja."
Lagi-lagi Konan terdiam.
"Konan-san? Anda sedang tidak enak badan?" tanya Kushina, membuyarkan lamunan Konan.
"Ah! Tidak," jawab Konan. Raut wajahnya berubah. "Kushina-san, boleh aku cerita sesuatu?"
"Ada apa?"
"…Sebenarnya, sudah 6 tahun lamanya kamar itu tidak ditempati. Karena satu hal."
Kata-kata misterius Konan membuat Kushina semakin penasaran. Sementara Naruto hanya ikut mendengarkan kedua ibu-ibu itu.
"Pernah terjadi peristiwa menakutkan di kamar itu…"
Kushina mendengarkan dengan penuh keseriusan.
Naruto mulai ketakutan. "Ibu…, aku takut…" Naruto memeluk erat Kushina.
"Ssshh.." Kushina membelai kepala Naruto.
Konan pun melanjutkan pembicaraannya. "Sebaiknya Anda ambil yang di lantai 4 saja. Karena, kalau Anda memilih lantai 3, kami tidak berani menjamin keamanannya." Konan menghela napas, "Itu adalah kamar pembantaian."
DEG
Suasana ceria yang berasal dari pantai, seketika itu langsung lenyap dari pikiran Naruto. Dan gedung apartemen yang ada di depan Naruto, seakan berubah menjadi bangunan tua yang menyisakan cerita horor. Hawa dingin menyelimuti tubuh mereka bertiga, yang sedang berdiri menatap gedung apartemen itu.
Tanpa respon dari Kushina, Konan melanjutkan ceritanya. "6 tahun yang lalu, ada sebuah keluarga yang menempati kamar itu. Mereka terdiri dari 5 orang. Ketika malam hari, kejadian yang menyeramkan itu pun terjadi. Tanpa alasan yang jelas, sang ayah membunuh seluruh anggota keluarganya. Kabarnya, ia memutilasi anak-anak dan istrinya. Sampai sekarang, mayat istri dan anak-anaknya belum ditemukan. Menurut cerita orang-orang pantai, pria itu menyembunyikan potongan-potongan mayat istri dan anak-anaknya di tempat-tempat tersembunyi di kamar itu. Lalu, pada akhirnya, pria itu bunuh diri setelah membunuh seluruh anggota keluarganya. Ia gantung diri di kamar mandi.."
Kushina masih terdiam, antara percaya atau tidak. Sementara Naruto semakin ketakutan. "Ibu! Kita jangan menginap di sini! Aku takut!" rengek Naruto.
Kushina hanya diam, memikirkan cerita Konan. Kushina bukanlah orang yang mudah percaya pada hal-hal gaib. Tapi jujur, kali ini ia agak merinding.
"Sebaiknya, jangan pilih kamar itu. Ini peringatan terakhirku."
Hening.
"Kushina, Naruto!" dari jauh, Minato melambaikan tangannya.
Kushina menatap Minato dengan tatapan kosong. Konan menatap Minato dengan tatapan horor. Sementara Naruto menatap ayahnya dengan tampang orang abis dikejar setan.
"Ternyata Konan-san sudah datang, ya? Jadi kita menginap di kamar mana, Kushina?" tanya Minato.
Kushina menatap Konan sebentar, lalu beralih pada Minato, "Lantai 3, kamar 97 63 B."
"Ya sudah, ayo pindahkan barang-barang ini!" kata Minato ceria, tapi tidak mendapat respon yang serupa. Mereka bertiga justru terdiam lama. "Kenapa diam? Kushina, Naruto, ayo bantu aku pindahkan barang-barang ini!"
Kushina berusaha membuang jauh-jauh semua pikiran negatif yang ada di benaknya. Ia mencoba berpikiran positif, karena ia juga tidak mau dipandang anaknya sebagai ibu yang tidak memiliki iman yang kuat dan mudah percaya dengan hal-hal berbau mistis. "Naruto, ayo angkat barang-barang ini."
Naruto memberontak, "Aku tidak mau tinggal di kamar itu! Tadi Ibu dengar sendiri 'kan, wanita itu bilang apa!?"
"Sudahlah! Anak kecil tidak tahu apa-apa!" Kushina malah emosi. "Jangan takut, ada Ibu dan Ayah yang menemanimu." Kushina pun mengangkat kopernya, lalu menaiki anak-anak tangga menuju kamar di lantai 3.
Konan yang membawa kunci kamar, mengikutinya dari belakang, dengan perasaan kacau. Minato mengangkat barang-barang bawaannya. Naruto pasrah, dan ikut membantu ayahnya.
***
Naruto's POV
Ruangan ini begitu gelap. Ketika Ayah menyalakan lampu, aku bisa melihat seberapa besar kamar ini. Ukurannya tidak begitu luas. Di dekat pintu masuk ada kamar mandi. Kalau berjalan beberapa meter ke depan, di sebelah kanan ada kulkas dan di sebelahnya ada tempat cuci piring lengkap dengan piring dan cangkirnya. Lalu, di depanku ada tempat tidur kecil yang berhadapan dengan sebuah TV di atas lemari. Di samping tempat tidur, ada balkon yang dibatasi dengan pintu kaca.
Sungguh, kamar ini seperti tidak pernah diurus. Retakan dinding ada dimana-mana. Langit-langit kamar ini berdebu. Cat-nya juga mulai mengelupas di beberapa tempat. Aku belum lihat kamar mandinya. Mudah-mudahan tidak lebih parah dari kamar ini.
Ketika Ayah membuka pintu yang membatasi kamar ini dengan balkon, cahaya matahari masuk menyinari kamar ini. Langsung terdengar suara gelombang air laut dari dalam kamar. Aku pun berlari menyusul Ayah yang sudah berdiri di balkon, melihat pemandangan pantai di bawah.
Mungkin saja, pemandangan dari balkon akan membuat perasaanku jauh lebih tenang. Aku pun menghampiri Ayah, lalu melihat pemandangan pantai.
Dilihat dari atas, memang indah. Aku sedikit terhibur dengan pemandangan ini. Tapi, ketika aku melihat ke samping kanan, aku langsung merinding. Yang aku lihat, hanya lantai kotor dengan daun-daun kering berserakan di atasnya. Pintu kaca-nya juga sudah hancur. Sepertinya, kamar di sebelahku tidak pernah ditempati. Ini membuatku semakin takut melihatnya.
Aku lalu masuk ke kamar, melihat Ibu yang sedang merapikan barang-barang. Wanita pemilik apartemen itu terlihat tegang.
"Konan-san, boleh aku lihat kamar mandinya?" tanya Ibu setelah menempatkan barang-barang bawaan kami.
Wanita itu mempersilahkan Ibu melihat kamar mandinya, tanpa perlu bicara. Aku pun mengikuti langkah Ibu, dan melihat isi kamar mandi itu.
Ketika lampu dinyalakan, aku melihat kloset dengan alat penyiram otomatis yang sepertinya sudah tidak berfungsi lagi. Lalu, di samping kloset ada tirai yang menutupi tempat mandi yang dilengkapi shower (author ga tau namanya). Di depanku ada wastafel. Aku melihat kaca besar yang ada di wastafel itu. Banyak noda coklat yang semakin menambah suasana horor. Aku bersumpah, tidak akan pernah tatap muka dengan kaca itu. Apapun yang terjadi. Waktu aku mandi dan sikat gigi, aku tidak akan pernah mau melihat kaca itu.
"Loh? Pintu ini kenapa tidak bisa dikunci?" Ibu menggerak-gerakkan gagang pintu kamar mandi ini.
"Coba sini, aku lihat!" aku berinisiatif untuk mencobanya.
Tidak bisa. Gagang-nya berkarat dan nyaris terlepas dari tempatnya. Benar-benar membuatku miris melihatnya.
Sebelum wanita pemilik apartemen itu pergi, ia memberikan kunci kamar ini pada Ibu. "Kushina-san, kau yakin dengan kamar ini?"
Ibu berusaha tetap tenang, lalu menjawab, "Tidak akan terjadi apa-apa. Terima kasih kuncinya, kami akan menginap di sini selama 2 hari." Lalu Ibu menutup pintu, membiarkan wanita itu melongo di luar.
"Minato! Bantu aku bersihkan kamar ini!" teriak Ibu pada Ayah.
"Ya, ya! Aku segera datang!" sahut Ayah, lalu ia membantu Ibu membereskan semuanya.
Aku sendiri masih celingak-celinguk melihat pemandangan di kamar ini. Sama sekali tidak ada yang spesial, malah terkesan angker.
Aku duduk di atas ranjang dan meraba permukaannya. Cerita wanita itu terus mengganggu pikiranku.
Aku tidak yakin malam ini bisa tidur dengan nyenyak…
-TBC-
Hhhh.. suasana kamar di atas, persis kayak kamar yang saya tempatin waktu di anyer…
Haduh… gimana? horornya ga kerasa? iyalah, orang baru satu chapter..
saya ga jago bikin fic horor, soalnya ini pertama kalinya. jadi, tolong maklumin kalo aneh dan gak serem.. tapi saya udah usahain yang terbaik (ya ilah!)
Kalo udah baca, REVIEW nya jangan ketinggalan!
