Prolog
Seorang remaja berhenti berjalan saat sampai didepan gerbang yang melindungi gedung didalamnya. Ia memamdang penuh kagum dengan bangunan yang tidak bisa dibilang sederhana yang ada dihadapannya itu.
"Maaf,,,apa kau ada keperluan disini?," dia tersentak saat ada seseorang yang bertanya padanya. Seseorang itu ternyata penjaga gedung tersebut.
"Ah! Nde! Saya mendapatkan surat ini," ujarnya seraya menyerahkan surat yang dimaksudnya. Setelah membaca isi surat tersebut, penjaga langsung membukakan gerbang untuknya.
"Kau pasti sudah ditunggu oleh kepala sekolah. Silahkan lurus saja dari sini, saat ada lorong kau bisa belok ke kanan lalu belok ke kiri kau akan menemui persimpangan kau bisa belok kanan. Setelah itu kau akan memasuki lobi sekolah, kau akan lihat dua anak tangga disebelah kanan dan kiri, kau lurus saja setelah itu belok kiri. Kau belok kiri sekitar 5 meter lalu kau akan mendapati anak tangga, kau naik tangga itu setelah itu belok kanan lalu lurus saja. Setelah itu kau akan menemukan persimpangan, kau tinggal belok kanan disitu ruang kepala sekolah. Kau tidak mungkin salah masuk ruang karena setelah kau belok kanan hanya ada satu ruang, itulah ruang kepala sekolah. Lain cerita kalau kau belok kiri. Kalau begitu, kau sudah mengerti arah jalannya kan? Aku harus kembali bertugas. Selamat datang si PHS, nak," jelas penjaga itu sebelum akhirnya meninggalkan remaja yang saat ini terbengong. Dia menghela nafas kasar. Berbalik untuk mencari penjaga yang ternyata sudah menghilang entah kemana. Setelah itu dia menatap bangunan besar yang ada dihadapannya.
"Apa yang dia bilang? Mengerti arah jalannya?," dia mendecak. "Apa yang dia katakan saja aku tidak mengerti," ucapnya seraya membuang nafas kasar. "Aishh! Molla! Ikuti saja kemana kaki berjalan. Nanti juga pasti akan ketemu orang yang akan membantuku. Lagipula bagaimana bisa orang itu tidak mengantarku saja. Dasar,," gerutunya seraya melangkah memasuki gedung tersebut.
"Bagaimana ini. Aku dengar kemarin saat pertandingan basket ada yang mengacau sampai-sampai hampir membuat sekolah ini kalah," seru seseorang membuat rombongan yang semula akan menaiki tangga itu berhenti. Seorang yang berseru itupun menyeringai saat melihat mereka berbalik menatapnya.
"Wae? Apa gelar 'MVP' itu sudah berpindah tangan? Apa gelar 'hands of God' sekarang pindah ke tangan sahabatmu itu?," ucapya lagi, seringaiannya melebar melihat lawannya sudah memusatkan seluruh perhatiannya padanya.
"Paling tidak, aku tetap membawa sekolah ini ke puncak kejayaan. Tidak seperti kau yang mempermalukan sekolah ini setelah kekalahanmu di pertandingan Judo hanya karena temperamen jelekmu itu," timpal lawan bicaranya yang berbalik menyeringai padanya yang langsung mengepalkan kepalan tangannya.
Kedua kelompok ini saling melemparkan tatapan membunuh satu sama lain. Disekitar mereka sudah berkumpul hampir seluruh warga sekolah. Penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Perseteruan dua kubu ini memang memberi kesan tersendiri bagi mereka. Keduanya sama kuatnya, sama keras kepalanya, dan sama juga tingkat kebrandalannya. Jadi saat mereka sedang berseteru seperti ini merupakan saat yang paling menegangkan sekaligus paling mengesankan disekolah.
"Kau tau aku bersedia saja mengembalikan nama baikmu dengan memberimu gelar 'MVP'ku. Tapi bagaimana ya? Sepertinya kau belum sampai ketahap itu," ucap seorang dengan postur tubuh tinggi berambut gelap itu. Menyeringai mendapati lawan bicaranya mendecak.
"Jangan terlalu sombong. Kau tau betul aku bukan lawan yang mudah meski dalam basket sekalipun. Jangan sampai kau menyesal nantinya. Janganlah terburu-buru mempertaruhkan gelar kebanggaanmu itu. Aku takut aku tergiur dengan tawaran itu dan tak bisa berbuat apa-apa," timpal lawan bicaranya menyeringai senang dengan jawabannya sendiri. Dia memang tidak mengada-ada. Tinggi badanya mungkin tidak setinggi lawan bicaranya, tapi kemampuannya bermain basket tidak bisa diremehkan. Kalau dia mau, bisa saja dia masuk tim basket sekolah. Hanya saja, menurutnya permainan basket itu permainan yang membosankan.
"Kalau begitu apa yang kau tunggu?," tantang namja tinggi itu. Melangkah maju mendekati lawan bicaranya. Begitupun lawan bicaranya hingga akhirnya mereka saling berhadapan. Suasana mencekam pun tak terelakkan. Tak ada yang berani bersuara keras saat itu.
"Aishh,,,,dia bilang akan ada lobi kalau aku lewat sini. Mana? Hufftttt!," kesal namja itu. Dia tidak habis pikir untuk apa sekolah dibuat seluas dan sebesar ini. Ia yakin pasti akan butuh berhari-hari untuk mengelilingi bangunan ini.
"Hm? Ada apa itu? Kenapa banyak sekali orang yang berkumpul disitu?," tanyanya pada diri sendiri saat melihat kerumunan siswa tak jauh dari tempatnya berdiri. "Jangan-jangan ada kepala sekolah atau guru yang sedang mengumumkan sesuatu. Ahh,,,,syukurlah kalau begitu. Aku jadi bisa langsung ketemu kepala sekolah nantinya," ujarnya senang. Diapun melangkah mendekat ke arah kerumunan tersebut.
"Maaf,,,boleh kutanya ada acara apa ya ini?," tanyanya pada salah seorang murid yang berada paling belakang.
"Biasa lah. Dua penguasa PHS sedang berduel. Kudengar kali ini mereka akan berduel basket. Ini pasti akan seru," jawab siswa yang ditanyanya membuat keningnya berkerut.
"Jadi ini bukan sambutan Kepala Sekolah?," tanyanya lagi.
"Untuk apa Kepala Sekolah memberi sambutan disini. Diakan selalu memberi sambutan di aula," jawab murid itu lagi tanpa memandang lawan bicaranya.
"Lalu,,kemana arah ruang kepala sekolah?," tanyanya lagi yang dijawab dengan telunjuk siswa yang mengarah ke arah kerumunan siswa.
"Kau harus melewati kerumunan ini dulu untuk sampai ke lobi. Setelah itu kau tinggal ikuti arahnya saja. Ada petunjuknya disetiap sudut sekolah. Sekarang diamlah! Aku tidak bisa dengar apa-apa," jelasnya.
"Bagaimana aku bisa melewati kerumunan ini?," batin namja itu. Ia pun menghela nafas kasar.
"Maaf,,,permisi,,,permisi,,,maaf,,," ucapnya seraya merengsek masuk kedalam kerumunan yang langsung mendapat pandangan tidak suka dari siswa-siswa itu.
"Apa-apaan sih kau ini!," ujar salah satu siswa seraya mendorongnya. Dan begitu seterusnya dia didorong-dorong dari satu siswa ke siswa lain. Hingga sampai dorongan terakhir mengakibatkan bokong indahnya menyapa lantai keramik kasar. Semua siswa yang melihatnya terkesiap.
"Akk!Yakkk! Aku hanya menumpang lewat! Tidak perlu dorong-dorong! Aissshh,,,sakit sekali," teriaknya emosi. Masih dalam posisi duduknya dia melihat dua pasang kaki di samping kanan kirinya. Saat dia mendongak ke atas dia melihat dua namja yang tidak bisa di bilang jelek sedang menunduk menatapnya dengan pandangan terkejut. Diapun segera beranjak berdiri.
"Ah,,,mian-mian. Aku tadi didorong sampai jatuh. Aku tidak mengenai ataupun menyenggol kalian, kan?," tanyanya membuat semua yang melihatnya menahan napas. Bahkan dua orang di samping kanan kirinya sedikit membulatkan mata mereka mendengar penuturan darinya.
"Hm,,,maaf sekali lagi. Tapi,,bisa kalian tunjukkan arah mana lobi sekolah ini? Ada yang bilang tadi ke arah sini," tanyanya lagi. Dan lagi-lagi dua orang di kanan kirinya hanya diam sambil memandangnya penuh selidik.
"Hallo? Kalian mendengarku tidak sih? Maaf karena tiba-iba muncul didepan kalian. Tapi bisa kalian tolong beritahu dimana lobi sekolah ini?," tanyanya lagi yang kembali tak mendapat jawaban. Dia menghela nafas. Kalau boleh jujur, dia itu bukan tipe orang yang sabar. Jadi saat ini dia benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Sudah tadi jatuh karena didorong kesana-kemari seperti bola ping pong sekarang malah diacuhkan.
"Kalian tidak mau memberitahuku? Oke. Tak masalah. Toh aku sampai disini juga atas insting ku sendiri. Aku tidak butuh bantuan dari orang yang bahkan tidak mau menjawab pertanyaan orang lain. Saranku, kalian kembalilah ke taman kanak-kanak untuk belajar sopan santun dengan benar disana. Terima kasih karena sudah tak mau membantu dan maaf karena mungkin sudah mengganggu waktu kalian," ujarnya sedikit kesal terhadap kedua orang di samping kanan kirinya. Dia pun berbalik untuk melanjutkan perjalanan dan mendapati bahwa sebenarnya dia sudah berada di lobi sekolah.
"OH! Ini lobi sekolahnya! Ada dua tangga disebelah kanan dan kiri! Wah! Akhirnya aku bisa menemukan lobinya. Instingku memang tak bisa dianggap remeh," ujarnya senang. Dia tak tau bahwa suasana tegang tengah berlangsung dibelakangnya. Jika beberapa waktu lalu tak ada yang berani bersuara keras, sekarang sama sekali tak seorang pun yang berani mengeluarkan suara sekecil apapun. Bahkan untuk bernapas pun mereka berhati-hati. Setelah namja yang membuat keheningan itu menghilang dibelokan, dua orang yang semula berhadapan kini baru tersadar dari keterkejutannya.
Sebenarnya apa yang terjadi tadi?
To Be Continued . . .
