Mata itu terus memantau dan terus mengikuti setiap gerak dan langkah gadis dihadapannya. Dalam diam, tanpa ada yang tahu karena dia tak ingin siapapun tahu akan hal ini. Mata itu kelam dan tajam tapi mengeluarkan sorot kerinduan dan kelembutan penuh damba akan gadis yang senan tiasa ia jaga dari jauh.

Ingin sekali ia mendekati gadis itu. Menatap wajah cantik itu dari dekat, menyentuh tangan halus gadis itu dalam genggamannya dan mengatakan segala hal yang ia pendam selama ini. Tapi selalu dan selalu niat itu tertahan di ujung langkahnya. Sadar akan apa yang ingin ia lakukan bukanlah hal yang mudah manakala jika apa yang ia lakukan justru membuatnya kehilangan gadis itu.

Yah, itu cukup baginya. Memperhatikan gadis itu dari jauh, mengagumi anggun senyum gadis itu dari balik bayang-bayang yang tak akan pernah di jangkau oleh siapapun. Cukup, itu cukup baginya.

Reaching For You By Rameen

Naruto By Masasi Kisimoto

Romance & Drama

Uchiha Sasuke x Hyuuga Hinata

Note : OOC, Typo, AU, Alur cepat, Threeshot (maybe), SasuHina, DLDR

10 years ago…

Sebuah mobil sedan silver yang begitu mewah memasuki area Konoha High School. Semua mata menatapnya kagum dan iri, mereka jelas tahu siapa pemilik dari mobil itu. Hyuuga. Sebuah klan elit yang menjadi klan terkaya se Jepang dan menjunjung tinggi adat istiadat. Hyuuga Corp telah dikenal dibeberapa Negara tetangga akan kekayaan, ketenangan, kesopanan dan juga kejeniusannya. Bisa di bilang Hyuuga, Uchiha dan Namikaze adalah tiga klan tersohor di Jepang.

Mobil itu berhenti diparkiran membuat orang-orang sempat menghindar ketika mobil itu akan lewat sebelumnya. "Kenapa Nii-chan masih membawa mobil?" suara lembut itu berasal dari seorang gadis yang duduk dibangku penumpang disamping bangku supir.

"Hah, kau kira aku mau? Menjadi tontonan setiap pagi?" melepaskan sealtbeatnya, Neji mengambil tasnya dibangku belakang dan menoleh pada Hinata, adiknya. "Kita tetap memegang nama Hyuuga. Mungkin kita memang lebih nyaman jika segala sesuatunya lebih sederhana, tapi kau tahu kan bagaimana para tetua menyebalkan itu?"

"Hah,," giliran Hinata yang menghela nafas. "Baiklah." Dengan itu, mereka turun dari mobil. Seperti biasa banyak orang menatap mereka dengan senyum dan menyapa mereka dengan ramah. Tapi bagi Neji, semua itu tidaklah tulus.

.

Pukulan yang cukup kuat yang ia rasakan dibahunya membuatnya tersentak dan menatap tajam pelakunya. Naruto hanya nyengir tanpa dosa melihat sahabatnya yang menatapnya tajam. "Kau cari mati?" desisnya.

"Hehe,, santai Teme. Kau tidak ingin memulai harimu dengan sebuah kasus pembunuhankan?"

"Cih,," mendecih kesal atas sikap sahabat pirangnya itu. Sasuke kembali mengarahkan pandangannya kearah parkiran dan fokus pada gadis cantik berambut indigo yang sedang berjalan bersama pemuda berambut coklat di area parkir.

"Sampai kapan kau hanya akan menatapnya?" dia menghela nafas bosan mendengar ejekan Naruto. Dia tahu kalau dia bersikap seperti seorang pengecut yang tidak sesuai dengan nama Uchiha. Tapi bagaimana lagi? Gadis yang sekarang ia tatap sudah menghancurkan segala harga dirinya dan membuatnya menjadi seorang pengecut.

Pertama kali Sasuke bertemu gadis itu –Hinata, Sasuke sudah tahu kalau dia menyukai gadis cantik yang lemah lembut itu. Tapi sikapnya yang dingin dan angkuh menahannya untuk menemui gadis Hyuuga itu sekadar untuk berkenalan. Hell,, biasanya gadis-gadislah yang menghampirinya dan mengajaknya berkenalan.

Pemuda 18 tahun itu terlalu malu, atau terlalu angkuh untuk mengakui kalau dia bisa terpesona kepada seorang gadis. Belum lagi jika kakaknya yang menyebalkan itu tahu, dia pasti akan digoda habis-habisan oleh Itachi, kakaknya.

Untuk Naruto saja sebenarnya Sasuke bingung darimana pemuda berisik itu tahu akan perasaannya pada gadis Hyuuga itu, padahal ia sudah sebisa mungkin bersikap acuh tak acuh pada semua gadis. Tapi mungkin benar kata orang, insting orang bodoh terkadang benar dan sangat mengganggu.

"Sudahlah, dekati saja dia. Tidak perlu takut dengan Neji. Walau Neji itu pengidam sister complex akut tapi dia percaya pada Uchiha. Daripada kau jadi seperti penguntit seperti itu."

Sasuke diam, menghela nafas pelan lalu berbalik menghadap Naruto yang ada di sampingnya.

Bletak..

"Aaawww,,, ittai.. kenapa kau memukulku ttebayo..?!"

"Diam atau kujahit mulutmu." Sasuke berlalu meninggalkan Naruto yang masih meringis kesakitan.

.

"Uchiha?" Sasuke menoleh kala mendengar suara tenang dan dalam itu menyebut namanya. "Guy-sensei menunjukmu jadi kapten untuk pertandingan basket melawan Suna minggu depan."

Sasuke mengangkat alisnya, memandang aneh pemuda berambut coklat yang duduk dihadapannya dengan wajah tenang tapi tak bisa dibaca. "Itu aneh, kau yang paling bisa diandalkan dalam tim. Kau ada keperluan hingga tidak bisa bertanding, eh.. Hyuuga?"

"Seperti yang diharapkan dari seorang Uchiha. Dari itu Guy-sensei menunjukmu dan menyuruhmu memulai latihan sore ini."

Sasuke menatap datar Neji dalam diam, menghela nafas dan akhirnya menyetujui hal tersebut. Sasuke dan Neji teman satu kelas. Tapi bukan berarti mereka berkomunikasi layaknya teman akrab. Hyuuga dan Uchiha sudah tidak asing dengan julukan pangeran es yang irit kata. Jadi mereka hanya akan bicara hal yang penting saja.

"Kami akan pindah ke London." Neji kembali membuka suara saat hening sempat menghinggapi mereka.

Sasuke mengangkat alisnya tidak mengerti. Apa pedulinya jika pemuda Hyuuga itu pergi? Dia sudah tahu akan adat Hyuuga yang selalu mengirim anak-anak mereka untuk melanjutkan SMA di London. Neji bersekolah di Jepang hingga kini ia kelas tiga karena ada sesuatu yang entah dia sendiri tidak tahu. Dan jika kebiasaan itu sudah kembali dan membuat pemuda Hyuuga itu pindah ke London. Itu bukan urusannya. Kecuali…

Neji menyeringai saat wajah bingung Sasuke berubah menjadi wajah… shock? Tidak, kaget? Itu sama. Apalah itu, yang pasti Neji, si jenius Hyuuga itu tidak mungkin memberi kabar secara sia-sia. "Kami." Ulangnya menekankan kata 'kami' kepada Sasuke yang masih diam, kemudian beranjak pergi meninggalkan sang Uchiha sendiri disalah satu meja perpustakaan.

Sasuke bersandar pada sandaran kursinya setelah Neji menghilang dari perpustakaan itu. Dia mengerti arah pembicaraan pemuda bersurai coklat tadi. 'Kami' yang dimaksud Neji itu termasuk… Hinata. Neji dan Hinata akan pindah ke London.

Sial, Sasuke mengumpat kesal dalam hati. Ternyata Neji juga tahu akan perasaannya pada Hinata. Hyuuga tidak bisa dianggap remeh. Dan terlebih itu, dia menjadi kesal akan adat bodoh klan Hyuuga itu. Kalau Hinata pergi, dia tidak akan bisa melihat gadis itu lagi. Dia baru mengenal sepihak gadis itu tiga bulan yang lalu saat Hinata menjadi adik kelasnya. Dan selama tiga bulan itu dia belum mengambil tindakan apa-apa. Dan sekarang, gadis itu akan pergi?

Sret.. Sasuke berdiri dan langsung melangkah cepat keluar dari perpustakaan itu. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat. Kalau Hinata memang harus pergi, setidaknya gadis itu pergi dengan membawa ikatan diantara mereka. Yah, dia harus bertindak.

Sasuke melangkah semakin cepat saat melihat gadisnya sedang tertawa bersama teman-temannya. Jantungnya berdebar leih cepat saat dia menganggap Hinata adalah gadisnya. 30 langkah, dia semakin cepat. 20 langkah, kecepatan itu menurun drastic. 10 langkah, ia terhenti.

Tidak, aaarrrgghh. Dia ingin menjerit saat itu juga. Brengsek, kemana perginya tekatnya tadi? Kenapa dia kembali ragu dan jadi pengecut lagi seperti ini.

Suara tawa lembut gadis itu masuk ke indra pendengarannya. Sangat merdu dan begitu menenangkan. Sasuke terdiam, menatap senyum manis gadisnya yang terarah kepada teman perempuannya. Semua terasa berhenti. Dalam benaknya tak ada yang lain.

Gadis itu sungguh indah, dia ingin sekali menatap gadis itu dari dekat. Memeluk erat tubuh mungil itu dan tidak akan melepasnya. Tapi… tangannya terkepal. Dia mundur. Yah, lebih baik dia mundur daripada maju dan mempermalukan dirinya sendiri karena kegugupan dan keraguan yang seolah mengejeknya.

.

Dia sudah dua hari tidak pulang. Dia menghabiskan waktunya untuk selalu memperhatikan gadis pujaannya dari jauh. Pertandingan basket itu juga akan berlangsung lusa. Dia menghabiskan waktunya untuk bersekolah, berlatih dan menjadi stalker. Dalam pikirannya dia terus memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk sekedar mendekati gadis itu. Untuk sekedar memberi tahu gadis itu kalau dia… ada.

Sungguh, dia tidak pernah berhadapan dengan perasaan dan situasi yang sulit seperti ini. Kalau dipikir, apa yang harus dia takutkan. Dia tampan, kaya, pint –jenius, dia juga bukan berandalan. Dia menyukai seorang gadis kelewat mendalam. Dan tanpa adanya pengalaman, dia bingung harus melakukan apa.

Dia selalu ingat akan kata-kata kakeknya kalau seorang Uchiha selalu mencintai sesuatu dengan sangat mendalam hingga bisa gila jika kehilangannya. Dulu, dia tidak percaya akan hal konyol seperti itu. Tapi kini dia tahu apa yang dimaksud mencintai. Selain bisa membuat gila jika kehilangan. Itu juga bisa membuat gila jika tidak bisa mendapatkan.

Sasuke selalu menguatkan tekatnya setiap kali memandang gadis itu. Tapi tak satupun pergerakkan muncul darinya. Seperti saat ini. Dia lagi-lagi menatap penuh damba akan gadis yang sedang berdiri di pinggir lapangan menunggu kakaknya.

"Uchiha.." suara itu tidak mengalihkan tatapannya dari gadis itu. "..lusa kami berangkat. Temuilah dia sekarang jika kau memang punya nyali."

"Nyali?" Dia mendengus mendengar kata itu. Kalau dia punya nyali, pasti sudah sejak lama gadis itu dia miliki. "Menurutmu?"

"Aku tidak tahu Uchiha lemah terhadap wanita."

"Terserah kau Hyuuga. Itu.." jeda "..mungkin benar. Aku pengecut."

Neji cukup tersentak akan perkataan Sasuke. Dia melihat senyum pahit terlukis dibibir pemuda Uchiha itu. Dia tidak menyangka Sasuke yang angkuh dan egois itu mengakui kelemahannya. Neji tersenyum tipis menyadari bahwa Sasuke serius akan perasaannya pada Hinata.

Baru kali ini dia melihat teman sekelasnya itu tampak kacau dengan lingkar hitam dibawah matanya dan tubuh yang tampak lelah. "Kau makan dan istirahat?"

"Bagaimana kalau aku bilang, aku lupa makan dan menjadi stalker adikmu tanpa henti sejak dua hari lalu?"

"Kau menyedihkan Uchiha." Sasuke hanya terkekeh akan ejekan Neji. Jengah. Neji menarik paksa tangan Sasuke dan menghampiri adiknya.

"Nii-chan?" Hinata menoleh dan menatap heran Neji yang menggandeng tangan Sasuke. "Ka-kalian.." Neji dan Sasuke mengikuti pandangan Hinata kea rah tangan mereka yang masih bergandengan dan langsung menarik lepas.

"Jangan berpikir macam-macam." Ucap Neji seketika takut kalau adiknya salah paham dan mengira dia.. gay. Sungguh, tak pernah terbayangkan olehnya.

Hinata memiringkan kepalanya, "Macam-macam seperti apa?" tanyanya polos. Tak dapat dipungkiri kalau Hinata yang bertanya polos sambil memiringkan kepalanya terlihat lebih manis dan membuat Sasuke semakin kehilangan kata-kata.

"Sudahlah, lupakan." Neji mengalihkan pembicaraan, "Kenalkan, ini temanku." Neji menunjuk Sasuke yang masih menatap Hinata dalam.

Wajah Hinata merona karena Sasuke menatapnya tanpa henti, "A-anoo… sa-salam kenal. A-aku Hinata."

"Sasuke. Uchiha Sasuke."

Sungguh, Sasuke ingin berteriak girang saat dia bisa memperkenalkan dirinya dengan tegas dihadapan gadis pujaannya. Akhirnya dia bisa berkenalan secara langsung dengan Hinata dan gadis itu akhirnya mengetahui keberadaannya.

"Hinata, aku ada urusan. Kau pulang bersamanya tidak apakan?"

"Hah?" Hinata dan Sasuke sukses melotot. Sasuke berhedem singkat saat Neji tersenyum mengejek akan responnya yang sungguh tidak elit. "Nii-chan mau kemana?"

Neji tersenyum dan mengusap rambut Hinata lembut. "Hanya urusan biasa. Tidak apakan? Kau mau kan, Uchiha?" Neji menekankan kata 'Uchiha' bermaksud mengatakan jangan-tolak-atau-kau-menyesal.

"Aku tahu."

.

Apa ada yang berani menantang seorang Uchiha Sasuke balapan? Jika ada, dia sudah pasti kalah. Lalu kenapa sekarang dia mengendarai motor seperti orang yang baru belajar? Karena gadis Hyuuga diboncengannya yang menjadi alasan.

Suasana itu canggung. Sasuke sengaja memelankan laju motornya agar lebih lama dengan Hinata tapi kalau suasana jadi canggung begini, apa iya keputusannya tepat?

"Kau bawa jaket?"

"T-tidak, kenapa?" Sasuke menghela nafas dan menepikan motornya dipinggir jalan. Melepaskan jaketnya dan memberikannya pada Hinata.

"Pakailah. Ini sudah senja dan udaranya dingin. Aku ingin ngebut dan kau bisa kedinginan kalau tidak pakai jaket." Sungguh Sasuke menahan senyumannya saat ini. dia tidak percaya bisa mengatakan kata sebanyak itu pada Hinata.

"Tidak perlu, nanti kau yang kedinginan."

"Kalau kau kedinginan dan sakit, Neji bisa menghajarku. Tidak apa kalau kau tega aku dihajar."

"Uhh,, ba-baiklah." Hinata meraih jaket itu dan memakainya.

"Aku akan ngebut jadi pegangan padaku." Sasuke mengernyit saat tidak ada gerakan dari Hinata. Dengan cepat dia menarik tangan Hinata dan melingkarkannya dipinggangnya.

Wajah Hinata memerah tapi dia tidak menarik tangannya sehingga membuat Sasuke tersenyum dan mulai melajukan motornya. Seperti kebanyakan remaja modus lainnya, terkadang dia ngebut dan ngerem mendadak sehingga Hinata mengeratkan pelukannya dan sukses membuat senyumnya semakin lebar dibalik helm. Jika saja para fans girlnya melihat senyum itu, dipastikan akan timbul suara jeritan yang memekakan telinga.

Namun seperti kata pepatah. Sejauh apapun perjalanan kalau dinikmati pasti akan terasa cepat. Benarkan? Kalau terasa dekat nggak mungkin tapi kalau terasa cepat mungkin.

Sasuke menghentikan motornya didepan gerbang mansion Hyuuga, tapi setelah beberapa detik berlalu, sang gadis tak kunjung melepaskan pelukannya dan turun. Sasuke tersenyum tapi saat merasa tubuh gadis itu gemetar senyumnya menghilang. Saat disentuhnya tangan itu, matanya membulat merasakan tangan Hinata begitu dingin.

"Hinata?" tidak ada jawaban, "Hinata,, sudah tidak apa, kita sudah sampai. Hei.." Sasuke mengusap pelan punggung tangan Hinata dan membuat Hinata yang sebelumnya terpejam erat mulai membuka mata. Dirasakannya motor itu sudah berhenti dan mansion Hyuuga masuk dalam pandangannya, saat itu dia baru melepaskan pelukannya dan turun perlahan.

"Kau tidak apa?" Sasuke sangat khawatir melihat raut pucat Hinata. Digenggamnya tangan Hinata, tidak dipedulikannya lagi kalau hal itu adalah keinginannya sejak lama. Dia sungguh khawatir dengan keadaan Hinata. "Kau kedinginan?" Hinata menggeleng, "Kau takut? Kau.. tidak pernah naik motor?"

Hinata menunduk dan Sasuke mengutuk dirinya yang justru memainkan kecepatan laju motornya tadi demi mendapat pelukan Hinata, "Maaf, sungguh aku tidak tahu. Maaf.."

Hinata mendongak dan menggeleng pelan, jelas raut ketakutan terpancar dari wajahnya, "Ti-tida-k a-apa U-uchi-ha-san.." suaranya lirih dan gemetar membuat Sasuke semakin bersalah. "A-aku ma-masuk dulu." Dia menekan bel dan saat wajah petugas tampil dilayar interekom tersebut dengan segera gerbang terbuka yang disusul dengan security yang menghampiri.

"Nona, Anda tidak apa-apa?" ujar sang security itu khawatir.

Hinata menggeleng dan kembali menghadap Sasuke. Dia memaksakan senyumnya, "Tidak apa, sungguh. Terima kasih Uchiha-san."

"Hinata, aku.." ucapan Sasuke terpotong saat dirasakannya ponselnya bergetar disaku celananya. Nama Itachi muncul dilayarnya. Dia mengernyit. Itachi mempunyai dua nomor dan nomor yang biasa Itachi gunakan dikasih kontak 'Baka Aniki' oleh Sasuke. Tapi kali ini, kakaknya menelpon dengan nomor yang biasa digunakan Itachi jika penting karena dikasih kontak 'Itachi' oleh Sasuke. "Hallo…"

"Kau dimana? Pulanglah. Sekarang."

Seketika perasaan tidak enak dirasakannya mendengar suara tegas dan serius kakaknya, "Aku tahu." Sasuke mematikan panggilan dan kembali menyimpan ponsel itu disakunya.

"Kenapa?" Hinata bertanya khawatir.

"Bukan apa-apa. Aku harus pulang." Hinata mengangguk pelan dan heran akan nada bicara Sasuke. Dengan cepat Sasuke kembali menggenggam tangan Hinata dan membuat wajah gadis itu memerah. "Sekali lagi aku minta maaf dan… aku.." jeda, menelan ludah "…aku… pulang. Permisi."

Sasuke langsung menaiki motornya dan dengan cepat pergi dari situ.

Shit, umpat Sasuke sambil melajukan motornya cepat. Apa tadi? Dia gugup dan hanya berkata 'pulang'? Sasuke akan sangat bersyukur jika ada Naruto saat ini dan membenturkan kepalanya kedinding. 'Bodoh. Itu kesempatan langkah dan kau menghancurkan semuanya.' Batinnya kesal dan menarik gas motornya membelah jalanan.

.

Hening.

Suasana yang biasanya selalu tenang dan ceria dirumah itu berubah jadi suasana canggung dan sepi. Wanita yang biasanya berceloteh riang menggoda anak-anaknya kini duduk sambil memeluk suaminya dengan air mata yang mengalir tanpa suara.

Sang anak sulung yang biasanya mengejek dan bermain dengan adiknya kini menunduk dan mengusap wajahnya kasar.

Sang anak bungsu yang biasa selalu memasang wajah dingin dan cuek kini duduk dengan pandangan kosong.

Apa ini? kenapa? Minggu lalu dia mendengar kabar kalau gadis pujaannya akan pergi jauh. Dua hari ini dia memforsir tubuhnya untuk sekolah, basket dan menjadi stalker. Sedikit kebahagiaan saat dia berhasil mendekati gadis pujaannya walau berakhir dia menghancurkan kesempatan yang ada. Dan sekarang…

"Kita akan pindah kerumah Kakek Izuna di Osaka."

…keluarganya… bangkrut.

Tangannya terkepal. Rahangnya mengeras. Dia masih ingat saat kakaknya menelponnya dan menyuruhnya pulang. Dia masih ingat saat perasaannya semakin memburuk saat mendapati suasana rumah yang sepi dan suram ketika dia sampai.

Dia masih ingat saat ayahnya bilang kalau dia ditipu dan perusahaan rugi hingga ratusan milyar, bahkan rumahnya pun akan disita Bank untuk menutupi hutang. Bukan hanya perusahaan dan rumah, bahkan segala atribut seperti mobil, perhiasan, motor, laptop dan yang lainnya terancam harus dijual demi kehidupan mereka selanjutnya.

Kakeknya di Osaka dari awal lebih memilih hidup sederhana dan tidak ingin terikat akan segala kekayaan Uchiha. Jadi meskipun tinggal disanapun bukan berarti semua akan terasa mudah.

"Sasuke, kemasilah barang-barangmu, kita berangkat besok. Lalu bantu kakakmu untuk membereskan barang Ayah dan Ibu."

"Ya." Itachi lebih dulu menjawab dan beranjak. Dia menepuk bahu adiknya pelan dan mengangguk tanda mengajak adiknya untuk masuk ke kamar dan mulai mengemasi barang. Ayah dan Ibunya mungkin butuh waktu berdua. Sasuke beranjak mengikuti kakaknya dari belakang. Sebelum menaiki tangga dia menoleh dan menatap sendu Ibunya yang masih menangis dipelukan Ayahnya.

Mereka ditipu dan bangkrut tapi tidak ada yang menolong. Namikaze Corp sudah berusaha membantu, hanya saja kerugian terlalu besar dan tidak ada jalan lain kecuali menjual seluruh saham yang sudah jatuh dan menjual perusahaan ke tangan yang lain.

.

Dia terdiam, apa yang ada ditangannya terjatuh begitu saja dan dia tidak peduli akan hal itu. Fikiran dan tatapannya kosong. Dia tidak tahu harus apa dan bagaimana.

Kenapa? Kenapa Tuhan begitu kejam padanya? Apa salahnya hingga semua ini terjadi berturut-turut tanpa henti.

Belum cukupkah keluarganya bangkrut? Belum cukupkah gadis pujaannya pergi? Belum cukupkah semua penderitaannya mendengar tangis Ibunya? Kenapa semuanya benar-benar kejam?

Dia dan keluarganya bersama keluar dari kediaman Uchiha dengan satu-satunya mobil yang tersisa dan segala barang bawaan penting mereka. Mereka pergi dari rumah yang mewah menuju tempat kakeknya yang hidup sederhana.

Belum setengah jam mereka meninggalkan rumah itu dan belum sepuluh menit dia keluar dari mobil itu untuk sekedar membeli minuman. Tapi apa yang dilihatnya. Sebuah truk menabrak mobilnya hingga jatuh kejurang. Dimana masih ada Ibu, Ayah dan Kakaknya disana.

Seketika dia membeku, sulit walau hanya sekedar untuk bernafas, semua terjadi begitu cepat. Jalanan sepi yang tadinya tenang tiba-tiba ricuh, bahkan asap dari truk dan mobil yang terbakar didasar jurang 50 meter darinya pun masih sangat jelas terlihat.

Apa yang harus dia lakukan? Tubuhnya kaku dan terduduk ditempat. Tak dihiraukannya teriakan orang-orang yang mulai ribut untuk memanggil ambulan dan polisi, atau tindakan warga sekitar yang mencoba mencari celah untuk menolong walau nihil. Atau apapun itu, dia tidak peduli.

"Aaaaaarrrrrggggghhhhhh…." Teriakan itu begitu pilu… tidak air mata yang keluar tapi semua orang yang melihat dan mendengar teriakannya tahu seberapa hancurnya dia.

.

Kini Sasuke terduduk di lantai dingin rumah sakit. Pandangannya kosong terarah ke pintu didepannya yang tertutup. Pintu dengan papan bertuliskan kamar mayat diatasnya. Dan pintu yang seolah menyimpan jenazah Ayah dan Ibunya disana. Sementara Kakaknya tidak tahu dimana. Tim pencari masih mencari saat ini walau sudah dua jam berlalu.

Sakit, kepalanya sungguh sakit. Dadanya sesak. Dia tidak bisa bernafas. Wajahnya datar seperti biasa walau sorot matanya kosong. Matanya memerah dan berkunang-kunang.

Sekelebat bayangan Ibunya yang tertawa, Ayahnya yang menasehatinya tegas, dan Kakaknya yang tersenyum jahil berputar dipikirannya. Terus, bagai video yang diputar tanpa henti hingga bayangan tiga orang keluarganya yang sedang duduk dimobil dan seketika secepat kilat terdorong, terjatuh dan terbakar membuat pandangannya gelap seketika.

.

Hinata berbaring diranjangnya sambil menatap langit-langit kamarnya. Besok sore dia akan pergi meninggalkan kamar ini tanpa penghuni. Dia menoleh kesamping dan mendapati dua koper besar yang berisi barang-barangnya seolah berdiri berdampingan disamping lemari. Pandangannya naik dan terhenti dijaket kulit yang tergantung dipintu lemari.

Dia berkedip. Jaket itu adalah jaket milik teman kakaknya. Uchiha Sasuke. Yah, Hinata masih ingat nama itu. Bahkan dia masih ingat tatapan dalam pemuda itu ketika menatapnya.

Deg. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar kala mengingat pemuda itu. Hinata akui, pemuda itu begitu tampan. Tinggi, hidung mancung, mata hitam yang tajam dan bibir tipis yang menggoda. Hinata menggelengkan kepala menepis imajinasinya.

"Hah.." dia menghela nafas lalu berdiri menghampiri jaket itu. "Aku akan menitipkannya saja pada Nii-chan besok." Gumamnya memegang jaket itu.

"Eh..?" dia merasakan ada sesuatu disaku jaket itu. Tangannya meraba dan menemukan selembar kertas disana. Dia membuka kertas itu dan kembali duduk di ranjangnya.

Aku bertanya pada kunang-kunang malam

Tentang apa arti debaran jantung ini

Adakah impian dalam cinta?

Yang bisa meraih angan tertinggi dari sebuah harap

Aku terpejam, hembusan angin memberitahu satu hal

Tentang apa cahaya termanis dalam debaran jantung ini

Hanya satu kata, namamu

- SH -

Hinata tertegun. Tulisan itu begitu indah dan rapi. Terasa terungkap dari hati yang sesungguhnya. Perlahan senyum manis itu muncul, kembali terlintas seseorang yang kemarin membuat detak jantungnya sedikit berpacu.

Hah, Hinata kembali menjatuhkan tubuhnya diranjangnya dan menarik nafas dalam. Entah kenapa hatinya benar-benar terasa ringan saat ini. Menenangkan dan meresahkan dalam waktu bersamaan.

Tok tok tok…

Hinata menatap pintu itu tanpa melakukan apa-apa. Tok tok tok,, "Hinata?"

"Ah iya Nii-chan, masuk saja." Pintu itu terbuka menunjukkan seorang pemuda tampan berambut panjang coklat terurai dan sedikit basah. Kakaknya itu pasti baru saja mandi.

"Mau berjalan-jalan sore?" Neji menghampiri adiknya yang masih terbaring menatapnya. Dia duduk disamping adiknya dan mengangkat alisnya karena tak ada jawaban dari Hinata. "Kenapa?"

"Nii-chan tampan." Hinata berucap pelan namun terdengar oleh Neji dan membuat pemuda itu tersenyum.

"Sudah dari dulu." Jawabnya sambil mengacak poni Hinata. "Hm? Apa itu?" Neji memandang kertas digenggaman Hinata.

Hinata duduk dan memberikan kertas itu pada Neji, "Punya teman Nii-chan kemarin." Neji mengernyit dan menatap Hinata bingung. "Kemarin dia meminjamkan aku jaketnya.." Hinata menunjuk jaket kulit yang tergantung dan diikuti Neji, "Dan kertas itu ada dalam saku jaket itu."

Neji mengangguk mengerti dan membaca isi kertas itu. Sedetik kemudian dia tersenyum membaca inisial diakhir tulisan itu. 'SH huh?' batinnya mengejek.

"Kenapa Nii-chan tersenyum begitu?"

"Tidak ada. Oh iya.." Hinata mengerutkan keningnya akan perkataan gantung Neji, "..Sasuke.." Neji mengangkat kertas ditangannya menunjukkan kalau nama yang tadi dia sebut adalah sang pemilik kertas itu, "..aku mendengar keluarganya bangkrut."

Hinata terbelalak. "Lalu?"

Neji hanya mengangkat bahu. "Hari ini sekolah libur dan aku tidak tahu bagaimana dia, tapi berita yang kudengar dari Naruto. Dia sekeluarga pindah ke Osaka tempat kakeknya."

Neji menatap adiknya sendu. Mungkin akan lebih baik jika Hinata bisa menghibur sahabatnya itu.

"Apa tidak bisa diselamatkan? Tidak adakah yang menolong?"

"Uchiha itu perusahaan yang besar Hinata, setara dengan Namikaze dan Hyuuga. Jikapun bisa menolong paling hanya 35% saja. Sementara kerugian sangat besar. Dan kabar itu baru sampai ditelinga Hyuuga tadi siang. Semua sudah terlambat."

Hinata terdiam. Lalu bagaimana dengan pemuda itu? Bisiknya dalam hati.

"Sudahlah, semoga semua baik-baik saja. Besok kita akan berangkat. Jadi kau mau tidak keluar sekarang?" Hinata menatap kakaknya dan menghela nafas lalu mengangguk menyetujui ajakan Neji.

.

Onyc itu terbuka. Langit-langit berwarna putih tertangkap oleh retina matanya. Apa itu mimpi? Harap batinnya. Tapi ketika dia menoleh dan seketika aroma khas rumah sakit tercium olehnya, dia tahu kalau itu bukanlah mimpi. Dia bangkit dan terduduk diranjang. Apa tadi dia pingsan dan dibawa kesini? Tapi sepertinya dia tidak perduli.

Dia perlahan menapakkan kakinya dilantai dan berjalan gontai keluar kamar rumah sakit. Beberapa orang menatapnya aneh tapi dia masih terus berjalan. Keluar rumah sakit dan terus berjalan.

Pikirannya kosong, dia hanya berjalan tanpa arah. Rumah sakit itu berada disekitar daerah tempat tinggalnya, tentu hal itu masih tertangkap oleh otaknya. Dia berjalan dalam diam. Dia terus melangkah dan merasakan rintik hujan yang mulai berjatuhan.

Dia tidak perlu repot mencari tempat berlindung. Karena baginya, keluarganyalah tempat berlindungnya. Saat keluarganya sudah tidak ada, bagaimana mungkin dia masih merasa perlu tempat berlindung.

Dia terjatuh dipinggir jalan namun perlahan kembali bangkit dan berjalan lagi. Dia lelah dan tubuhnya memaksa minta istirahat. Seolah kebas, kesemutan dikakinyapun tak dihiraukannya.

Pandangannya masih kosong dan lurus ke depan. Dia mengerjap, matanya menangkap tak jelas sosok yang berjalan menuju arahnya. Dia masih melangkah gontai dan terus berusaha memperjelas sosok dihadapannya. Sosok itu membawa payung dan mendekat ke arahnya.

Tep. Langkahnya terhenti ketika sosok itu tepat berada dihadapannya, menatapnya tak percaya dengan tangan yang menutup mulutnya sendiri.

.

"Biar aku saja Nii-chan."

"Kau yakin?" Hinata mengangguk dan membuka pintu lalu dengan cepat melebarkan payungnya. Dia keluar dari mobil dan menutupnya kembali. Selanjutnya dia berjalan, supermarket dihadapannyalah tujuannya.

Tak jauh tapi juga butuh sekitar 30 langkah dari posisinya kini. Kaki jenjang itu melangkah pelan, mencoba agar tak ada cipratan air hujan yang mengenainya. Dia dan kakaknya hanya ingin berjalan-jalan sore untuk menikmati kota kelahirannya ini sebelum pergi ke London. Tapi belum lama mereka keluar rumah, langit sudah menjatuhkan airnya dan sekarang disinilah dia. Berjalan dibawah hujan untuk membeli beberapa camilan sebelum pulang.

Langkahnya terhenti, matanya menyipit. Dilihatnya seseorang yang berjalan gontai dihadapannya. Postur tubuh itu, sepertinya ia kenal. Dia mendekat dan seiring langkahnya, matanya menangkap jelas sosok dihadapannya. Seorang pemuda yang kemarin masih tampak gagah mengendarai motornya sekarang terlihat sangat kacau.

Hinata menghentikan langkahnya didepan pemuda itu dia menutup mulutnya menahan tangis yang entah kenapa mengancam disudut matanya. Pandangan pemuda itu kosong menatapnya dan juga menghentikan langkahnya didepan Hinata.

"U-uchi-ha-san.." suara Hinata lirih teredam hujan.

Bruk..

Hinata diam merasakan dinginnya air hujan membasahi seluruh tubuhnya. Pemuda itu tiba-tiba langsung memeluknya dan membuat payungnya terlepas. Erat. Pelukan itu begitu erat. Dan air mata yang seharusnya turun dari tiga jam sebelumnya akhirnya turun dan bercampur dengan hujan. Pemuda itu memejamkan matanya dan menangis dalam diam.

Sementara didalam mobil, Neji terbelalak melihat adiknya yang tiba-tiba dipeluk oleh orang asing. Dia mengambil payung lain dan segera menyusul adikknya. Rasa kesal yang disebabkan oleh penyakit sister complex-nya hilang seketika saat menyadari pemuda yang memeluk atau lebih tepatnya bersandar pada adiknya itu adalah teman sekelasnya.

"Hinata?" Hinata menoleh dan menatap Neji dengan pandangan yang sulit di artikan.

"Nii-chan.."

"Uchiha… io Uchiha..?" Neji menguncang dan coba menarik Sasuke dari Hinata tapi pelukan itu sangat erat seolah tak mau lepas barang sedetikpun. "Lebih baik kita ke mobil saja Hinata."

"Tapi bagaimana jalannya Nii-chan?"

"Uchiha, kita masuk mobil dulu."

Sasuke menenggelamkan wajahnya diceruk leher Hinata dan sedikit melonggarkan pelukannya. Hinata kembali menatap Neji dan dibalas anggukan oleh kakaknya. Dia mengerti dan mulai menggiring Sasuke ke mobil dengan Sasuke yang masih memeluknya.

"Hah,," Neji menghela nafas melihat Sasuke yang kembali memeluk Hinata erat dari kaca spion. Yah, dia duduk didepan sementara adik dan sahabatnya dibelakang sekarang. Neji mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang, "Naruto.."

.

"Aku tidak pernah melihatnya sekacau itu."

Naruto meneguk minuman kalengnya dan kembali menatap Sasuke yang masih setia memeluk Hinata. Dia dan Neji duduk dimeja makan dengan dua kaleng minuman diatas meja.

Sesaat setelah masuk mobil, Neji langsung menghubungi Naruto. Dia yakin Sasuke sangat membutuhkan Hinata sekarang tapi tidak mungkin mereka hanya dimobil saja dan tidak mungkin juga mereka kembali ke mansion Hyuuga, sedangkan rumah Uchiha sudah tidak jelas. Jadi yang terpikirkan oleh Neji hanya Naruto dan apartemen pemuda pirang itu.

Disinilah ia sekarang, apartemen Naruto. Sementara Hinata sudah tidak bisa beranjak dari sofa. Begitu mereka sampai, Sasuke langsung mengeratkan kembali pelukannya pada Hinata dan berakhir mereka terduduk disofa.

Sasuke tidak ingin melepaskan pelukannya. Matanya terpejam dan mulutnya tertutup rapat. Yang dia inginkan hanya selalu merasakan kehangatan tubuh gadisnya sekarang. Sungguh, otaknya tidak bisa lagi berpikir selain HInata, Hinata dan Hinata.

"Kalau itu aku, mungkin sekarang aku sudah gila." Naruto berujar lagi sembari masih menatap sendu sahabatnya. "Kami sudah berusaha menolong Neji."

"Hyuuga baru mendengar kabarnya tadi siang. Beritanya tertutup dan semua sudah terlambat."

"Mereka memang menutup semua jalur pemberitaan agar berita itu tidak diketahui masyarakat. Tidak ada jalan lain selain menjual perusahaan dan saham dengan harga rendah. Semuanya sudah disita bank karena hutang yang menumpuk. Dan sekarang.."

Neji menoleh menatap pemuda pirang itu yang terdiam. "Bukankah kau bilang dia sekeluarga akan pindah ke Osaka?"

Setetes air mata jatuh dari sudut mata biru safir itu tapi secepat kilat dihapus oleh pemiliknya. Hatinya teriris melihat takdir menyedihkan sang sahabat. "Mereka pergi meninggalkan kediaman Uchiha tiga jam lalu Neji…"

Neji diam, dia sedikit kaget melihat Naruto yang menangis.. dia tahu hubungan persahabatan Naruto dan Sasuke sudah layaknya saudara. Mungkin itu yang membuat Naruto merasakan kesakitan Sasuke. "..sore tadi dia menelponku. Suaranya hampir tak terdengar. Dia hanya menyebutkan nama jalan yang menjadi jalur perbatasan Konoha…"

"Aku tidak tahu apa maksudnya dan aku hanya mengikuti instingku dengan segera pergi ke jalan itu. Sampai disana yang kutemukan adalah berita kecelakaan sebuah truk menabrak sebuah mobil.. mobil itu…" Naruto menatap Neji miris, "..mobil keluarga Uchiha."

Mata Neji terbelalak, sulit dia menelan ludah mendengar hal itu, "Lalu?" suaranya bergetar.

"Aku pergi menuju rumah sakit yang diberitahu penduduk sekitar. Begitu aku sampai dan bertanya, yang kutemukan Sasuke yang pingsan didepan kamar mayat. Aku segera membawanya ke ranjang ruang umum. Wajahnya pucat Neji, seandainya aku wanita. Aku pasti sudah menangis melihatnya tadi. Ayah dan Ibunya… meninggal."

Neji memejamkan matanya, "Kudengar dia punya seorang kakak.." Neji bertanya lirih.

"Mobilnya jatuh kejurang. Itachi tidak ditemukan. Aku sudah menghubungi Ayahku dan menceritakan semuanya. Ayahku langsung mengirim tim bantuan untuk mencari Itachi dan mengurus pemakaman orang tuanya. Aku juga ikut membantu tapi saat aku kembali ke ranjang Sasuke,, dia sudah tidak ada.

"Aku serasa seperti orang gila Neji, aku berkeliling rumah sakit dan memeriksa setiap kamar hingga keluar rumah sakit. Pertama kalinya, si Teme itu membuatku sangat khawatir dan ketakutan. Aku bahkan bersumpah akan menghajarnya jika menemukannya. Saat kau menghubungiku, aku tidak tahu harus senang atau sedih.

"Dia berjalan kaki dari tempat itu sampai ke sini.. itu bisa menghabiskan waktu sejam Neji. Membayangkannya yang berjalan gontai seperti orang hilang akal disepanjang jalan ingin membuatku berteriak. Aku tidak bisa mengendalikan diriku dan langsung menuju ke sini. Dan apa yang kudapatkan? Dia seperti mayat hidup."

Mereka terdiam, menatap nanar pada sahabat mereka yang seolah tertidur dipelukan gadis pujaannya. Entah pemuda raven itu benar-benar tertidur atau tidak. "Neji.. bisakah Hinata…"

Neji kembali menatap Naruto dan mengerti akan maksud pemuda pirang itu. Dia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang, "Hallo Tousan.."

"Neji, kalian dimana? Ini sudah malam."

"Temanku, Uchiha…"

"Kenapa? Ada apa lagi dengan Uchiha itu?"

"…"

"Neji…"

"Uchiha Sasuke, temanku… keluarganya mengalami kecelakaan dan meninggal. Sekarang aku sedang di apartemen Naruto menemaninya. Hinata ada bersamaku, besok pagi kami akan pulang…" Neji diam, ragu untuk meminta ijin.

"Hah,, tousan mengerti. Jangan lupa kalian berangkat besok. Jaga adikmu. Semoga temanmu itu kuat."

"Aku tahu." Panggilan terputus, dia menatap Naruto dan mengangguk membuat Naruto lega. Dia berharap, setidaknya Sasuke bisa lebih tenang dengan kehadiran gadis pujaannya.

"Mereka harus berganti pakaian atau mereka akan sakit." Neji bersuara saat melihat adiknya yang mulai menggigil. Bagaimana lagi? Uchiha itu tidak melepaskan adiknya sedikitpun. Dan pakaian mereka masih basah karena kehujanan tadi.

.

Hinata memandang sendu wajah tampan dihadapannya kini. Wajah tampan tanpa cela, hidung mancung, bibir tipis, dan kulitnya begitu halus juga putih. Wajah itu tertidur, tampak begitu tenang seolah tidak ada beban sedikitpun.

"Apa kau sangat bahagia dalam mimpimu?" Hinata berbisik. Pandangannya kembali mengabur oleh air mata kala mengingat semua hal yang tadi dikatakan kakaknya. Bagaimana pemuda dihadapannya ini begitu hancur menghadapi takdir yang begitu tragis.

Hinata tidak tahu kenapa? Tapi hatinya sakit setiap kali memandang pemuda itu. Dia masih tidak mengerti kenapa kakaknya yang protektif itu membiarkannya dipeluk oleh pemuda lain bahkan tidur bersama pemuda itu. Kini dia dan pemuda yang dia ketahui bernama Sasuke itu sedang berbaring diranjang besar dikamar itu.

Neji dan Naruto tidur disofa ruang tamu. Apartemen itu hanya memiliki ruang tamu yang merangkap dapur dan satu kamar. Cukup luas dan terlihat mewah. Kakaknya menatapnya sendu saat Sasuke kembali memeluknya setelah berganti pakaian.

Hinata ingat bagaimana Neji dan Naruto susah payah membujuk dan memaksa Sasuke untuk melepaskan pelukannya agar bisa berganti pakaian. Setelah berusaha lima belas menit, pemuda itu melepaskannya dan berganti baju dikamar mandi, sementara dia berganti baju dikamar dengan memakai baju dan celana Naruto yang kebesaran, tapi lumayan daripada sakit.

Kakaknya bilang kalau ayah mereka sudah mengijinkan mereka untuk menginap dan kakaknya juga berpesan agar Hinata menjaga pemuda itu setidaknya untuk malam ini.

Dia menghela nafas. Nafas hangat Sasuke menerpa wajahnya yang merona. Pelukan pemuda itu begitu erat seolah dia akan hilang jika pelukan itu longgar sedikit saja. "Kaasan.." suara itu begitu lirih dan penuh kesedihan. Kening Sasuke berkerut menandakan dia sedang mengalami mimpi buruk.

"Sshh,, tidak apa.. tidurlah.." Hinata tidak tahu dia bisa apa dan kenapa Neji serta Naruto begitu percaya padanya. Hinata mengelus kepala dan rambut raven itu lembut, mencoba menenangkan sang pangeran dari tidurnya.

Perlahan kerutan didahi itu menghilang dan wajahnya kembali tenang dalam tidurnya.. Bolehkah Hinata berpikir kalau pemuda itu begitu rapuh dan membutuhkan kehadirannya? Lalu bagaimana dengan besok dan seterusnya, disaat Hinata harus pergi jauh?

.

"Nggh.." Hinata menggeliat pelan. Perlahan mata pearl itu terbuka dan menangkap langit-langit orange di atasnya. Dia menoleh ke kiri, melihat lemari, TV, meja dan barang-barang lain yang jelas bukan miliknya. Dia kembali menatap ke atas. Benar, dia memang tidak berada dikamarnya. Matanya terpejam lagi, perlahan dia mengelus tangan yang masih melingkar dipinggangnya tanpa menyadari Onyc yang memeperhatikannya dari sejak lama.

Saat dia menggenggam telapak tangan kekar itu dan merasakan balasan, Hinata langsung membuka mata dan menoleh ke kanan. Dia membeku menatap Onyc yang mengunci tatapannya. Begitu dalam.

Jujur, Sasuke sedikit tak percaya saat dia mendapatkan gadis pujaan berada dalam pelukannya ketika dia membuka mata tadi. Dia berusaha mengingat, mengingat segala sesuatu yang terjadi kemarin. Begitu pahit dan menyakitkan. Tapi… hal terakhir yang diingatnya, dia menjadi seperti anak kecil egois yang tak ingin dipisahkan dengan seseorang yang sedang dipeluknya.

Sasuke hanya terlalu nyaman merasakan kehangatan itu. Otaknya tidak mencerna dengan baik siapa orang itu. Seharian kemarin, matanya terasa panas dan dia hanya ingin menangis jika orang yang membuatnya nyaman itu dipisahkan darinya.

Setengah sadar dia mengenali aroma itu, pelukan itu, dan juga suara itu. Tapi dia tidak berniat membuka matanya. Dan akhirnya, saat dia terbangun tadi pagi, kesedihan akan keluarganya kembali merayap dihatinya bersamaan dengan kesenangan akan keberadaan gadisnya.

Gadisnya tertidur lelap dipelukkannya. Apalagi yang dia harapkan. Keluarganya tidak bisa lagi dia harapkan, jadi salahkah jika hanya tinggal gadis itu harapannya?

Kedua pasang mata itu masih saling menatap dalam diam, perlahan mendekat dan merasakan hembusan nafas satu sama lain. Lavender itu kembali terpejam tanpa perintah otak dan perasaan nyaman merayap ke seluruh tubuh Hinata saat merasakan kecupan lembut didahinya.

.

To be continued

.

Oke, ini fic ketiga yang aku publish hari ini dengan pairing SasuHina. Hm,, NejiHina, ItaHina, SasuHina… mungkin selanjutnya GaaHina dan NaruHina. Hehe… maklumkan saja… Aku lagi error..

Aku ulangi lagi. Seperti yang sudah aku bilang di fic sebelumnya. Aku bakal publish beberapa fic dengan pairing berbeda. Tergantung, fic mana yang lebih banyak ditunggu, maka fic itu yang akan aku lanjutkan lebih dulu.

Dalam fic ini, masalahnya aku jelasin secara ringkas dan alurnya cepat. Untuk sekarang, aku berpikir untuk membuatnya jadi threeshot. Tapi untuk ke depannya, aku belum tahu. Bisa twoshot atau malah lebih dari threeshot.

Ah, satu pertanyaan, apa feelnya dapat?

Salam, Rameen.