'CAUSE YOU

Desclaimer Masashi Kishimoto

M

AU, Typo (s), OOC AKUT

DON'T LIKE DON'T READ!

.

.

.

.

.

.


-ONE-


Hinata mengerjap perlahan. Langit masih mendung pagi ini. Rintik hujan belum mau mangkir meski aktifitas menuntut orang-orang keluar dari kediamannya yang hangat. Melindungi tubuh dibawah payung warna warni berbagai motif maupun polos.

Hawa dingin menusuk kulit Hinata yang telanjang. Pun menguar embun dan tetesan di jendela yang terbuka sedikit. Dibanyak tempat, uap panas mengepul dari berbagai cangkir berhiaskan ukiran berbedanya yang cantik. Seruput rasa manis, hambar, hingga pahit mengecap lidah yang membeku. Tersenyum tertawa bersama pasangan, kerabat, dan keluarga.

Hinata berbisik tak jelas secara tidak sadar. Pada dirinya sendiri. Pada dunia hampanya sendiri. Lirihnya mancabik hati dan pikiran. Memantul diempat sisi tembok yang membisu. Lama memberi jeda, mulai kembali bersuara. Lebih nyaring dan jelas.

Penekanan huruf 'S' yang dalam dan mematikan. Bibirnya terbuka, mengambangkan pada dua kata yang telah terucap. Lama membeku di posisinya hingga sadar, lantas menutup pelan. Amethyst nya menatap lurus pada kemasan minuman kaleng yang jatuh terguling. Nampaknya tak lagi berisi. Kosong serupa ekspresi Hinata saat ini.

"Sampai kapan.."

Jari jemarinya yang lentik namun kurus menelusuri kulit tubuhnya sendiri. Tak ada helai benang sama sekali kecuali seutas pita merah yang bergelung manis disekitar perut, lengan serta leher jenjangnya. Hinata meraih benda itu dengan gerakan lemah, menatapnya lama. Ikatan semalam telah terlepas menyisakan cetak biru yang memilukan.

"Naru- to.."


Surai pirang dan mencolok. Kulit, wajah, hingga posturnya- semua sempurna. Seragam putih berkerah abu-abu dengan lebel KIHS memadu membalut dadanya yang bidang. Bergerak seksi, menyisir menyibak asal rambutnya kebelakang, lewat jari jemarinya yang besar. Tersenyum miring membentuk seringaian seorang bad boy sejati. Jahil, mengedipkan sebelah matanya pada salah seorang gadis yang langsung jantungan di tempat.

"Jangan mulai lagi, Dobe-"

"Yang tadi itu cantik, Teme." Balasnya cepat.

"CK!" si dobe mengeluarkan jurus cengiran tanpa dosanya sambil terus menyejarkan langkah dengan si Teme di sisi kanan. Meski teguran baru masuk ke telinga, nyatanya pemuda pirang satu itu masih saja menggoda beberapa siswi, bermodalkan senyum maut dan kerlingan nakal.

"Hoi, Sasuke. Aku ke kelasmu dulu."

"Hn. Hinata?"

"Yeah. Aku harus membuat perhitungan dengan si bunny nakal yang satu itu." Sasuke melirik Naruto melalui ekor matanya. Mendengus, lantas memutar bola matanya bosan. Tak berujar apapun lagi.

Derap langkah keduanya menyusuri koridor dan anak tangga. Kearah lantai dua dengan deretan pintu kelas berpapankan angka sebelas. Sasuke masuk lebih dulu setelah menemukan kelasnya, diikuti Naruto dibelakang. Sapphire pemuda pirang menelusuri setiap inchi kelas, menemukan kursi bunny nya kosong tak berpenghuni. Hanya ada seonggok tas yang menggantung disisi meja.

"Hinata tidak ada di kelas, dobe."

"Kemana?"

"Hn. Aku bukan ibunya."

" Tidak lucu, Sasuke." Sasuke mendengus. Siapa juga yang mau melucu. Melengos ke kursinya dibaris kedua meja terbelakang, Naruto setia mengekori. Disepanjang jalan, tak henti-hentinya si pirang melirik senang pada begitu banyak siswi kelas Sasuke yang menatapnya penuh harap. Sembari ikut meletakkan tubuhnya diatas kursi, Naruto berkali-kali memastikan kedatangan Hinata. Melongokkan kepalanya lagi dan lagi, menghiraukan tatapan kesal bin sebal Sasuke yang makin menjadi. Naruto mengusiknya.

"Pergilah ke kelasmu."

"Malas."

"Kau menggangguku, Dobe."

"Dibagian mananya?"

"Tepat di mataku. Tenanglah sekali saja dan berhenti menderitkan meja, karena aku- terganggu." Naruto mengkeret. Sasuke telah mengeluarkan sinyal ketidaksukaannya. Berusaha mencairkan suasana sekaligus membalas kata-kata Sasuke dengan bersikap acuh saja, Naruto mengeluarkan ponselnya dari saku blazer. Mendengus karena Hinata tidak membalas pesannya semalam bahkan sampai didetik ini.

'Ugh.. sebal!'

Menscroll layar ponselnya berkali-kali, iseng. Shappire itu mendelik menemukan suara tawa dari pintu. Itu Sakura Haruno. Menggandeng atau lebih tepatnya merangkul manja di lengan Hinata Hyuuga.

"Sasuke. Aku akan ke kelasku." Sasuke mengangguk paham tanpa beralih mata dari layar mp3 nya. Mulai memasang dua buah headset ke telinga, menyalakan lagu kesukaannya dengan volume sedang, memejamkan mata sambil menyender rileks kesandaran kursi.

"Hinata-chan, itu Naruto-kun."

"Uh?" Hinata mengikuti arah tunjuk dagu Sakura. Gadis pinky itu bena- itu Naruto.

"Ohayou, Naruto-kun."

"Ohayou, Sakura-chan."

"Apa yang membawamu kemari, Naruto?" si pirang mendengus. Hinata menyapa saja tidak, malah terkesan menodong.

"Boleh?" Sakura gugup, segera melepas rangkulannya pada Hinata. Senyum manis yang semula Naruto ukir untuk Haruno, berubah seketika. Masam, terkesan tak suka untuk Hinata. Menarik si indigo hingga gadis itu pontang panting menyejarkan. Beberapa kali Hinata menoleh kebelakang, seolah meminta pertolongan yang berlebihan. Sakura tersenyum menguatkan sambil mengepal diudara.

"Semangat, Hinata.." ejanya tanpa suara.

.

.

.

BRUK

Lagi-lagi, Naruto membuat kurungan. Terlalu klasik, sama sekali tidak inovatif. Hinata tersenyum miring mengingat entah sudah kali keberapa, Naruto memojokkannya begini. Namun untuk lokasi, Hinata boleh mengakui bahwa ini yang pertama. Sebuah dinding pembatas area sekolah yang megah dengan lapangan terbuka untuk umum. Begitu sepi, karena jarang sekali murid mau kesana. Angker. Katanya.

"Ponselmu hilang?"

"Tidak."

"Rusak?"

"Tidak."

"Low batt?"

"Tidak."

"Pulsamu habis?"

"Tidak."

"Dipinjam teman-?"

"Tidak."

"Saudara-?"

"Tidak."

"Kelu-"

"Jangan menyebut kata itu." Naruto frustasi. Mencengkram rambut kuningnya kesal.

"Kalau begitu kenapa kau tak membalas pesanku kemarin!"

"Malas."

"A-apa?" Hinata membuang wajahnya kearah lain. Menghiraukan segala kemarahan Naruto yang makin jadi. Bahkan ketika pemuda itu membuka dua kancing atas seragam Hinata dengan tergesa, Hinata masih saja acuh tak peduli. Baru, ketika Naruto menunduk menempelkan hidung bangir nya di ceruk leher Hinata, gadis itu mendorong wajah tan Naruto menjauh dengan telapak tangan. Ini penolakan? Naruto menyejarkan bola matanya dengan milik Hinata. Menuntut penjelasan dan jawaban arti gerakan Hinata yang terkesan tak mengijinkan. Hey, bukan sudah jelas jika Hinata memang tak mau?

"Jelaskan."

"Aku sedang malas, Naruto. Tidak dengan membalas pesanmu, juga dengan yang kau lakukan barusan. Lagipula, Sakura sekarang bisa kau dekati. Lihat tadi? Ia bahkan menyapamu. Usahaku memang brilliant. Sekarang tinggal giliranmu bermain. Aku sudah membentengi setiap lelaki yang mendekatinya. Jadi jalanmu mulus, kawan." Hinata menepuk-nepuk dada bidang si pirang sambil tersenyum meyakinkan. Belum cukup? Bahkan ia mengangguk-angguk sambil memejamkan mata. Layaknya seorang bapak telah selesai menasehati anaknya.

"Kemarin kau menginap dimana?"

"Sasuke."

"A-AH!?"

"Sasuke. Aku kemarin menginap di apartemen, Uchiha-Sasuke."

"Kau bercanda 'kan?"

"Kau bisa tanyakan sendiri padanya."

"Tapi- kenapa?"

"Selain karena aku yakin ia tak akan tertarik pada gadis macam rambo sepertiku- sama halnya denganmu, ia juga teman masa kecilku 'kan? Jadi- yah. Itu saja." Naruto tak yakin sejak kapan ia menahan napas mendengar untaian kata perkata Hinata.

"Hari ini kau pulang."

"Aku tak yakin, Naruto. Sasuke memintaku membuatkan Pai Tomat panggang malam nanti. Kenapa tak kau ajak, Sakura?" balasnya memberi solusi lain. Naruto lelah. Lelah harus membujuk Hinata yang jika sudah keras kepala begini.

"Aku jauh lebih butuh kau di rumahku."

"Untuk?" Hinata menaikkan sebelah alisnya, menarik garis senyum menggoda.

"Untuk membuatkanku, makan mal-"

GLEPAK!

Serta merta Naruto meringisi kepalanya.

"Jangan menghancurkan usahaku selama ini, Naruto." Lama Naruto diam saja. Pemuda pirang itu sadar, ia memang telah salah karena menginginkan Mak comblangnya untuk terus mengawasi perkembangan ia dengan Sakura.

Cuph!

Satu kecupan ringan nan gesit menyambut bibir Naruto yang tipis. Hinata menurunkan lagi kedua tungkai kakinya yang berjinjit. Menepuk bahu kokoh itu setelahnya.

"Hanya ini yang perlu kau tahu, kan? Sebentar lagi bel. Aku duluan."

"Ck!"


Malamnya..

Hinata yakin, satu sekolah tak 'kan ada yang percaya, Uchiha Sasuke bisa bersikap seperti ini.

Hinata melirik kegiatan Sasuke sambil terus berdecak kesal. Bahkan tak sadar mengaduk tumisan bawang bombay dengan agak kasar. Menyambar satu mangkuk ayam yang telah dipotong dadu, lantas mencampurnya- tanpa mengalihkan pandangan dari gerak gerik ala- ala Sasuke dibalik wajan penggorengan.

"Iris tomatnya dengan benar, bodoh!" Hinata mematikkan kompor. Mengambil waktu, memukuli Sasuke beringas. Bukannya kesal, Sasuke justru tertawa keras. Gadis itu cemberut. Menarik satu pisau lagi dari tempatnya, mencontohkan pada si yang katanya JENIUS untuk mengiris dengan benar.

"Jangan terlalu cepat. Aku tak bisa, Hinata!" tegur Sasuke agak kesal.

"Si jenius yang bodoh." Sasuke mendelik, Hinata membalasnya dengan senyum miring menantang plus raut tanpa dosa. Sasuke kalah. Ditatap seperti itu hanya Hinata yang mampu melakukannya.

"Sana! Nyalakan kembali kompornya. Aduk ayam itu hingga berubah warna."

"Hnnnnn-" Sasuke sempat mengacak rambut Hinata sebelum berpindah posisi.

"Tadi kau yang mengikat rambutku, sekarang kau juga yang menghancurkannya."

"Biar kubetulkan lagi." balasnya cepat.

"Cepatlah." Sasuke menarik lepas ikat rambut Hinata hingga untaiannya tergerai mempesona. Cekatan menggelung membentuk cepolan asal namun terkesan seksi. Sesekali jahil merasakan kehalusan kulit tengkuk Hinata-sengaja di jari jemarinya sedang gadis itu asik mengiris.

"Sudah."

"Hn. Cepat sana panaskan kompor."

"Yah.."

.

.

.

"Sasuke?"

"Ya?"

"Terima kasih aku boleh menginap di apartemenmu ."lontar Hinata sambil mengunyah makanannya. Melirik Sasuke di samping kiri kursi meja makan kecil yang tersedia. Pemuda itu menurunkan kecepatan mengunyahnya. Melambat, mendengarkan Hinata bicara tanpa mengalihkan matanya dari irisan pai yang telah tercabik cabik. Agaknya, gadis itu sedang meminta ijin untuk pamit.

"Aku akan pulang ke tempat Naruto."

"Malam ini?"

"Hn. Malam ini."

"Dia sudah besar, Hinata."

"Aku tahu."

"Menginaplah semalam lagi." Hinata mendengus. Dari nadanya, jelas Sasuke sedang memaksa dengan bumbu-bumbu menuntut.

"Tidak bisa."

"Katakan dimana letak tidak bisanya." Hinata diam menemukan Sasuke memulai aksi tidak suka nya. Lihat bagaimana si Uchiha meletakkan garpu dan pisaunya dengan kasar agak dibanting.

"..."

"Disini posisiku dengan Naruto sama. Kami berdua teman masa kecilmu, Hinata. Bagilah waktumu untukku juga." Hinata terkekeh geli. Mulai menyuarakan tawanya yang tertahan hingga mengeras.

"Kau berbicara seolah aku akan pergi lagi, Sasuke. Tenangkan dirimu.."

"Aku memang takut, jika kau berinisiatif untuk pergi lagi." Hinata berangsur menghentikan tawanya.


TBC

Yosh! Ini fic baru. Hhe-

Moga suka ..

gomen, lagi agak gak mood buat bikin hinata mellowwww. hehe. jadi Bitter kemungkinan ditunda untuk beberapa waktu ^^ *bungkuk2

Jangan hukum author karena buat fic baruuuu~!

salam unyu

Nononyan