Taehyung tak beda jauh dengan Wolfgang Pauli, jadi Jimin tolol sebab akhirnya pasrah di detik tangan lebar Taehyung menepuk bahunya. Mungkin tulangnya akan patah hingga rusuk, mungkin kulitnya akan sobek hingga pangkal perut, mungkin Jimin akan mampus. "Kursi yang diduduki Heitler saja ambruk ketika Pauli mendekatinya.". A BTS Fanfiction. VMIN. Kim Taehyung x Park Jimin.

Solution

When you're too acid, I can be more alkaline. We will be a neutral solution.

Or I can be less alkaline. May be we can be a buffer solution.

.

.

BTS belong to BIGHITEnt

PAIR

Kim Taehyung x Park Jimin

.

.

ENJOY!

.

.

Sudah jam delapan lewat dua puluh menit dan Taehyung hanya menatap mobilnya tak percaya, hingga tak bisa berkata-kata dengan benar.

Taehyung menendang mobilnya yang mogok tanpa alasan eksternal yang jelas. Tiba-tiba mesinnya berhenti bekerja di tengah jalan dan kini bibirnya tak henti melempar serapah pada empat roda sialan yang tidak mau berputar. Matahari sudah naik, panasnya menyengat semakin terik. Taehyung merasa isi kepalanya akan meleleh dan mengalir dari kedua lubang telinganya—salahkan kegiatannya sehari-hari yang dihabiskan di ruang ber-AC laboratorium. Permukaan kulitnya jauh lebih terbiasa dengan panas dari penguraian zat organik di tanur.

Otak jeniusnya diterjang badai topan, tidak bisa berpikir. Namjoon Kim selaku kepala laboratorium akan murka dan menyemburnya dengan amukan setara terjangan tsunami—berlebihan, sih, tapi memang begitulah adanya. Sekali lagi Taehyung mengacak rambutnya frustasi. Segera meninggalkan mobilnya di pinggir jalan setelah menghubungi derek, memilih setengah berlari menuju halte terdekat untuk mencegat bus yang lewat.

Pemuda dengan kacamata menggantung tanggung di batang hidungnya itu mengangkat naik pergelangan tangannya, mengecek waktu yang ditunjukkan arloji.

Jam delapan lewat dua puluh menit.

Keningnya mengernyit bingung, beberapa detik terpaku dengan mata menyipit memerhatikan jarum detiknya yang macet, tidak berdetik—mampus. Taehyung mengangkat kepalanya dan yang kemudian dilihatnya adalah plat nomor belakang bus yang sudah pergi menjauh. Namun tak lama kemudian bus itu menepi, maka Taehyung berlari secepat mungkin menghampiri bus tersebut.

Dirinya pikir kesialannya pagi ini telah berakhir.

Taehyung menarik kembali asumsinya tersebut, ini bukan akhir dari pagi sialnya. Tidak habis pikir ketika kakinya akan menginjak tangga yang menjulur mengikuti arah pintu bus yang terbuka, tiba-tiba supirnya bilang ban busnya kempes dan sekarang ini tengah menunggu bus berikutnya untuk memindahkan penumpang.

Tangannya cepat mengambil ponsel di saku celana bahan yang dikenakannya, buru-buru menghubungi teman yang bisa diandalkan untuk menjemputnya. Jam digital di ponselnya tidak salah, sekarang sudah jam delapan lewat lima puluh delapan menit. Mampus, Taehyung akan didestruksi di dalam labu kjeldahl oleh Namjoon Kim, mampus. Bisa mampus berkali-kali Taehyung jika begini caranya pagi menyambut. Giginya menjepit kedua belah bibir, menunggu orang di pangkal sambungan berbicara.

"Hei! Bangsat! Pak Kim sudah misuh-misuh karena analisnya kurang—di mana kau sekarang?! Penerimaan sampelnya kacau—ini bulan jatahmu untuk penerimaan, Sialan!"

Kan, betul, Taehyung pikir Namjoon Kim pasti sudah menyiapkan asam sulfat pekat dan garam kjeldahl untuk mendestruksinya di lemari asam.

Jungkook sama marah-marahnya dari pangkal sambungan telepon, Taehyung jadi serba salah jika mencari alasan tidak logis seperti mobil mogok lalu jam tangan mati dan ban bus kempes. "Kook-ah, aku akan telat—analisis di lab masih jalan? Duh, aku... begini, efek pauli, kau tahu?"

"Aku dipindahkan ke gudang untuk mendata zat karena Pak Kim bilang bekerja dengan kondisi kekurangan analis hanya akan membuang waktu, percuma garis bawah, titik berat—analisis proteinnya besok saja! Kudengar Pak Kim jadi meminta analis dari lab mikrobiologi untuk menyelesaikan pekerjaan kita di lab organik. Kalau gajiku dipotong, itu jadi salahmu!" Jungkook di pangkal sambungan terus mengumpat setiap mendapati zat yang tidak tersusun rapi di gudang, kadang terdengar suaranya yang tengah menyeret-nyeret jerigen besar berisi larutan sambil meringis sebal. "Pokoknya nanti kau yang menghadap Pak Kim, telingaku sudah sampai berlubang dan mungkin berdarah mendengar murkanya tadi."

Taehyung menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, mendadak merasa bersalah pada Jungkook Jeon yang merupakan rekan kerjanya. "Mau bagaimana lagi, aku sudah mengantisipasinya dengan berangkat jam tujuh kurang, Kook, tapi tetap saja—baiklah, sesampainya di departemen aku akan langsung mencari Pak Kim dan memohon untuk dimaafkan."

"Pikirkan soal gajiku juga, Hyung! Aku itu mencari uang untuk nikah muda!"

Setelah meng-iya-kan kemauan Jungkook yang hanya memikirkan uang untuk nikah mudanya—padahal calon saja belum ada, bocah itu banyak gaya saja berlagak ingin nikah muda—kemudian Taehyung memutus sambungan teleponnya dan menghela napas berat. Jungkook sedang mengamuk juga, memintanya menjemput sama saja minta dihukum gantung.

Pemuda itu melipat kacamatanya dan menyimpannya di dalam kotaknya, tertutup rapat dan aman di dalam tas ranselnya yang berisi studi lanjutan dari riset individunya. Taehyung lulusan universitas ternama dengan embel-embel teknik kimia yang membawanya pada pekerjaan sekarang ini. Analisis produk di laboratorium, di bawah badan resmi pemerintahan—makanya Namjoon Kim galak sekali, alasannya tak lain karena hasil analisis dari laboratorium di departemen tempat Taehyung bekerja akan dipaparkan langsung ke khalayak luas. Jika beracun, ya beracun. Jika aman, ya aman.

Pada akhirnya menggunakan taksi untuk sampai ke departemen—plus Taehyung harus membayar jauh lebih banyak untuk biaya bengkel karena di tengah jalan tanki oli taksinya bocor. Setidaknya sekarang Taehyung hanya perlu berlari ke ruangan Namjoon Kim untuk disembur omelan. Soal kerugian, waktu dan materi.

Sekarang sudah jam sepuluh lewat, Taehyung hanya tak bisa tenang sebelum Namjoon menceramahinya kemudian memaafkannya di akhir. Kepalanya manggut-manggut setiap menanyakan keberadaan Pak Kim pada staf yang ditemuinya di koridor. Pasalnya, Namjoon tidak ada di ruangannya—di sana hanya tertata rapi arsip departemen dan laporan analisis yang menumpuk minta acc.

"Pak Kim ada di lab organik tadi," kata salah seorang laboran yang ditemuinya sedang ngopi di dapur departemen, "sedang memantau orang mikrobiologi yang baru dipindahkan hari ini."

Taehyung berkali-kali membungkuk berterima kasih sambil berlari menjauh, dirinya harus buru-buru menghadap Namjoon di laboratorium organik sebelum kepala laboratorium itu berpindah tempat lagi. Benar saja, Namjoon sedang melempar tatapan skeptis pada meja kerja yang harusnya Taehyung gunakan hari ini untuk analisis protein. Sepertinya Namjoon hari ini turun ke laboratorium untuk bekerja langsung, melihat saku jas labnya yang jelas lap meja dan alat menjuntai asal dari sana.

Tak membuang lebih banyak waktunya, Taehyung masuk ke laboratorium dengan setelan jas laboratorium lengkap dengan masker yang menggantung di lehernya—tidak dipakai untuk menutup mulut dan hidung. Tubuhnya membungkuk rendah sekali di hadapan Namjoon, lantas sejurus kemudian memasang raut menyesal. "Pak, begini—"

Namjoon berdecak sebal. "Bicaranya di luar saja, ini ruang kerja, tidak etis."

Taehyung menurut saja, mengekor langkah Namjoon yang keluar dari laboratorium dan melepas jas labnya segera setelah berada di luar—melipatnya asal di lengan. Usahanya untuk meminta maaf baru akan dimulai. "Maaf, saya terlambat, kali ini saja tolong maafkan saya. Biarkan saya dan Analis Jeon lanjutkan analisis proteinnya di lab organik."

"Kau bisa seenaknya begitu? Jam masuk lab pukul delapan, Analis Kim, jam pulang pukul empat dan itu sudah sangat enak sekali." Namjoon memijat pangkal hidungnya. "Jangan katakan apa pun soal kerusakan aneh yang dijumpaimu di mana pun kau berada, aku tidak percaya—kau tahu, aku juga sering mengalami hal itu seperti merusak pintu hingga daun telingaku sobek, dan itu datang dari keteledoran diri sendiri."

Taehyung menekuk jemari kakinya kikuk, menjawab, "Ban bus yang kempes tidak termasuk keteledoran saya, tanki oli yang bocor juga."

Namjoon baru akan meledak karena emosi jika saja salah satu anak magang tidak keluar laboratorium dengan panik dan berkata, "Pak, alat FOSS untuk analisis protein mendadak mati. Analis Park tidak tahu salahnya di mana sebab tadi prosedurnya sudah tepat. Destruksi sampel sudah selesai, tinggal destilasi untuk pembentukan senyawa nitrogen dari proteinnya."

Perhatian Namjoon teralihkan. "Gunakan cara konvensional, sekarang laporkan saja kerusakannya pada mekanik untuk membetulkan FOSS." Mata sipit Namjoon menajam setelah anak magang tadi berjalan cepat mencari mekanik, menatap Taehyung dengan sorot meneliti. "Jangan bilang kalau ini karena efek pauli anehmu itu, sekarang cepat panggil Analis Jeon di gudang dan bantu Analis Park di lab organik untuk menyelesaikan analisis proteinnya—sampel yang datang banyak, bantulah destruksi atau merangkai susunan untuk destilasinya, minta Analis Jeon untuk membawa satu atau dua tambahan kondensor. Jangan lupa validasi dulu prosedur konvensionalnya, hitung persen kesalahan kemudian aplikasikan pada hasil nanti." Sebuah helaan napas dari Namjoon sebelum dirinya meninggalkan Taehyung dan berkata, "Hari ini kumaafkan. Cepat acc data penerimaan contoh dari sampler."

Apa tadi yang menempati meja kerjanya adalah Analis Park? Apa kebetulan dia Analis Park dari laboratorium mikrobiologi? Yang baru saja mutasi dari Busan? Taehyung menahan senyumnya yang mengembang.

Baru kali ini Taehyung merasa bahagia karena efek pauli.

.

.

"Analis Park," Taehyung berdeham canggung, "maaf merepotkanmu hari ini."

Yang dipanggil hanya tersenyum simpul. "Bukan masalah."

Analisis protein hari ini selesai, pekerjaan Taehyung dan Jungkook dan Jimin dan pekerja magang jadi super menguras tenaga karena setiap selesai dengan satu sampel, rangkaian alat harus dibongkar dan dicuci bersih baru dirangkai kembali untuk destilasi sampel berikutnya. Untungnya selesai karena rangkaian alat yang mereka buat lebih dari tiga, jika tidak, Namjoon mungkin akan mengamuk dan berubah menjadi barongsai kurang piknik.

Taehyung mendecit gemas dalam hati, ternyata anak Busan ini imut sekali dari dekat. Biasanya Taehyung hanya berpapasan di kantin atau ketika tanpa maksud tertentu berjalan memutar melewati laboratorium mikrobiologi. Pemuda itu menjulurkan tangannya. "Taehyung Kim, analis di lab organik."

"Jimin Park, analis di lab mikro." Pemuda asal Busan itu tidak membalas uluran tangan Taehyung, melainkan hanya tersenyum lugu. "Kukira penampilanmu akan lebih urakan dari ini, habisnya telatmu parah sekali tadi. Well, kukira kau semacam preman yang masuk sini karena koneksi, atau menodong supervisor dengan celurit ketika inteview."

Sedikit terbatuk, Taehyung menarik tangannya kemudian memasukkannya ke dalam saku jaket. Keduanya kini tengah berjalan di koridor panjang departemen—tadi Jungkook bilang sedang buru-buru jadi bocah itu secepat kilat meninggalkan departemen begitu bel tanda akhir jam kerja berbunyi nyaring. Ada kencan buta dengan fisikawan dari departemen distrik sebelah, katanya.

"Pulang arah mana, Analis Park?"

Jimin terkekeh. "Memang kenapa? Mau mengantar? Aku membawa motor, sebenarnya."

"Nebeng, sih." Taehyung tertawa canggung, disusul Jimin. "Mobilku ada di bengkel."

Hancur sudah imej Taehyung di depan Jimin.

Hancur.

"Tapi jam istirahat tadi bengkel menelepon dan katanya mobilku menyala dan tidak ada kerusakan apa pun, dan yeah—jadi... cuma sampai bengkel saja?"

Taehyung sudah menaruh perhatian pada analis yang baru saja mutasi dari Busan—yang ditempatkan di laboratorium mikrobiologi, sejak hari pertama Taehyung melihatnya tengah mendorong troli berisi botol-botol media untuk perkembangan biakan bakteri. Jari-jarinya kecil menggenggam pegangan troli dan senyum canggungnya terbentuk ketika berpapasan dengan orang-orang departemen.

Meminta bantuan Jungkook untuk mengenalkannya pada kenalannya di laboratorium mikrobiologi agar dikenalkan pada orang Busan itu saja susah sekali. Bicara dan maumu ribet, Analis Kim, begitu elak Jungkook berlagak sopan pada Taehyung.

"Sekalian makan malam, jika kebetulan kau lapar—aku sungguh ingin berterima kasih atas bantuannya hari ini." Taehyung baru akan menepuk bahu Jimin ketika pemuda itu refleks menghindar, memberikan tawa ringan. "Mau?"

Jimin berdengung, Seokjin Kim—psikiater yang memegang persoalan pemulihannya—bilang, berinteraksi dengan orang baru bisa membuatnya lebih nyaman dan bisa menerima orang lain melewati batas privasinya yang menurut Seokjin keterlaluan. Jadi Jimin setuju dan mengangguk. "Your treat?"

"Tentu."

"Call, aku ikut. Tapi ke bengkelnya pakai bus atau taksi saja, ya, motorku sepertinya akan habis bensin dan aku hanya membawa satu helm."

Itu adalah awal yang baik, di mana pada akhirnya Jimin menemukan teman baru di Seoul. Dirinya terus berkonsultasi pada Seokjin dari sambungan telepon soal dirinya yang pada akhirnya bisa berkomunikasi lisan dengan orang lain tanpa bergetar ketakutan. Progres yang sangat baik.

Namun ketika Seokjin menanyakan masalah utamanya soal bersentuhan dengan orang lain, Jimin akan menjawab murung, dirinya belum bisa membiarkan orang lain menyentuhnya—itu melanggar batas privasi, menurut Jimin yang pernah disekap orang tak dikenal beberapa tahun lalu, membuatnya dijatuhi vonis penyakit haphephobia. Di mana Jimin tak akan menerima kontak fisik apa pun dari orang lain. Tubuhnya akan berkeringat dingin dan detak jantung tak karuan, beberapa kali kejadian bahkan Jimin merasa pusing hingga mual dan muntah.

Jimin meringis membayangkan bagaimana masa depannya nanti jika bersentuhan saja hampir sama dengan neraka baginya. Akan tetapi karena keinginannya yang kuat, dari hari ke hari Jimin tak lagi mengurung diri di kamar yang gelap. Dirinya berhasil menyelesaikan studi kimianya dan bekerja di bawah badan resmi pemerintahan.

Dirinya pikir psikologinya akan sembuh segera, tetapi ternyata tidak mudah, rasanya sangat sulit ketika ada orang lain melanggar batas privasinya. Jimin takut—mual, ingin muntah—pusing, hingga mimisan.

"Jim, hei, bengong." Taehyung melambaikan tangannya di hadapan wajah Jimin. Ini sudah hampir tujuh belas bulan sejak Taehyung rutin mengajak Jimin berjalan-jalan atau makan. Berkali-kali juga Jimin mendapati kesialan Taehyung yang tidak ada ujungnya. "Tidak suka makanannya?"

Jimin tersentak ke belakang, hampir terjatuh dari kursinya—kaget setengah mati karena tangan Taehyung berada sangat dekat dengan wajahnya. "Tidak, hanya memikirkan... itu, soal... perak nitrat yang belum distandarisasi oleh analis di lab analitik." Bohong. Sudah tak terhitung berapa kali Jimin berbohong pada Taehyung.

Jimin tidak bodoh, dirinya tahu Taehyung semakin memerhatikannya belakangan sebab Jimin juga sebetulnya juga ingin lebih perhatian pada Taehyung. Hanya saja keduanya menjadi nyaman berteman akrab seperti ini—walau Jimin masih menolak mentah-mentah apa pun aksi Taehyung yang sedikit saja mendekatinya secara fisik.

Keduanya tak lagi memanggil secara formal, kadang bercanda dengan bahasa preman ala anak SMA, lalu sudah total mengganti panggilan menjadi lebih dekat—itu terjadi begitu natural segera setelah keduanya tahu bahwa mereka berdua seumuran. Taehyung pikir Jimin sudah membuka hati dan mempersilakan Taehyung masuk, tapi kenapa tangannya bahkan tidak bisa menyentuh ujung rambut Jimin.

"Aku takut kau rusak, Jim," Taehyung mengepalkan kedua tangannya di bawah meja, porsi makanan keduanya telah habis dan tiba-tiba suasana menjadi canggung setelah keduanya banyak melamun, "mungkin ini fenomena makro-psikokinetik—itupun jika memang yang terjadi di sekitarku bukan sekadar kebetulan."

"Yeah?"

Taehyung menumpukan rahangnya pada tangan yang naik ke atas, tertekuk kasual di atas meja. "Tapi serius, aku sungguh nyaman dengan hanya kita begini—maksudku, begini, kau tidak rusak atau mendadak terkena komplikasi organ dalam atau semacamnya, bukan?"

Lantas tanpa sadar Jimin menggunakan tangannya sendiri untuk memukul kepala Taehyung, tidak cukup keras tapi mampu membuat keduanya tertegun lama. Kontak fisik pertama mereka. Mereka saling bertatapan, tidak disangka-sangka Jimin akan memukul kepala Taehyung langsung.

"Maaf, Tae," ucap Jimin, jemari tangannya langsung memijiti puncak hidungnya untuk mengurangi pusing yang mengganggu di kepalanya. Perutnya mendadak terasa teraduk, tubuhnya bergetar ketakutan—tidak bisa begini, batas privasinya telah dilanggar.

Kening Taehyung mengernyit bingung, kepalanya yang dipukul, tapi justru Jimin yang nampak tersiksa parah. "Kau oke? Kuantar pulang sekarang?" Dirinya menatap Jimin tidak tega, bibirnya sudah pucat sekali.

"Haphephobia." Jimin menjawab dengan suara bergetar. Taehyung bangkit, baru akan memijiti belakang tengkuk Jimin andai saja pemuda itu tidak mendadak ambruk ke atas meja dan isakan kecil terdengar dari Jimin yang meringkuk ketakutan. "Jangan sentuh, sialan, kau tidak membantu. Kecerdasanmu itu gunakan sesekali, tunggu sampai aku enakan—jangan lakukan apa pun, cukup tunggu aku enakan dan kita pulang."

Taehyung pada akhirnya tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya berharap Jimin segera membaik sambil mengamatinya khawatir. Jika Jimin masih sadar begini, menyentuhnya sama saja dengan memperburuk kondisinya, Taehyung hanya berharap Jimin segera tidur sehingga Taehyung bisa mengantarnya pulang. Tapi percuma, Taehyung tidak pernah masuk ke apartemen Jimin—tidak tahu menahu tentang apa pun kecuali gedung apartemen yang Jimin sewa salah satu unitnya, hanya sebatas itu.

"Mau mendengar ceritaku, Jim, sambil menunggu kau enakan?" Taehyung mengamati kepala Jimin yang tenggelam di lipatan tangannya di atas meja, mengangguk singkat. "Ini soal pekerjaanku yang hanya bisa di lab organik, tidak sepertimu yang bisa dipindah dari satu lab ke lab lain. Walau kepala lab anorganik teman baikku, walau kepala lab instrumen adalah seniorku ketika kuliah, walau laboran di lab analitik adalah tetanggaku, walau sejujurnya aku sangat sanggup dan lebih dari cukup kompeten untuk memegang semua prosedur di setiap lab... tapi tidak ada lab yang menerimaku kecuali lab Namjoon Kim."

Jimin tak banyak bereaksi, pemuda itu masih meringis mencoba menenangkan dirinya sendiri. Jimin takut—luar biasa takut Taehyung akan melukainya, membunuhnya, kurang ajar membuat Jimin berani melanggar batas privasinya. Jemari kaki menekuk kalut, Jimin mengatur napasnya.

"Pak Kim tidak percaya jika aku memang biang sial, katanya setiap kerusakan memang datang dari keteledoranku, bukan dari efek pauli semacamnya." Taehyung terkekeh, berusaha tidak terdengar menyedihkan. "Maaf bercandaku tadi keterlaluan, mungkin kau anti-sial? Atau bisa saja kau itu asam, dan aku basa. Tahu apa artinya? Hasilnya hanya garam netral dan air—tidak bahaya sebab dari perhitungan maupun pengukuran pun pH tidak akan jauh dari tujuh. Astaga, bicara apa aku ini." Sekali lagi Taehyung terkekeh, mencairkan suasana dengan cara apa saja asal tidak ada kontak fisik sama sekali dengan Jimin. Sebab Taehyung tahu apa pun yang dilakukannya jika sampai menyentuh Jimin, sama saja mengirim pemuda itu menuju neraka buatannya sendiri.

Mendadak Jimin mengangkat kepalanya, bibirnya pucat luar biasa dan matanya berair menahan tangis. "Pegang tanganku, aku hanya perlu terbiasa—jika kau memang basanya dan aku asamnya—mari coba." Tangan mungil itu gemetar hebat, berkeringat dingin, terulur di hadapan Taehyung yang mengernyit tidak mengerti. "Terapi, Tae, terapi," kukuh Jimin, frustasi.

Sebab Jimin yang paling tahu perasaannya, Taehyung itu bodoh dan teledor, tapi Jimin suka. Tingkahnya seperti analis gadungan, tapi Jimin suka. Dandanannya di luar departemen seperti preman, tapi Jimin suka. Asap rokoknya bau dan tidak seperti Taehyung tahu bahayanya, tapi Jimin suka. Pertemuan pertama mereka berasal dari keterlambatan Taehyung sampai di departemen untuk analisis protein, terdengar konyol, tapi Jimin sangat suka.

"Jangan bodoh, Jim, efeknya separah ini mana berani aku membuatnya semakin memburuk." Taehyung lebih kukuh lagi, hanya menatap tangan Jimin yang bergetar tanpa ada niatan berjabat dengannya. "Kuantar pulang sekarang, mau, ya?"

Jimin menggigit bibir bawahnya. "Sekarang kau risih karena ternyata aku gangguan jiwa, begitu?" Rahangnya mengencang, sorot matanya menajam. "Apa ceritanya akan beda jika aku waras? Memangnya aku yang ingin sinting begini? Salahku jika aku bukan tipe yang bisa disentuh di mana-mana? Salahku jika aku ingin berusaha lebih dekat sedikit demi sedikit agar pada akhirnya kulit kita bisa saling bersentuhan?"

"Kau pikir dirimu yang penuh celah, Jim? Kau lupa jika hubunganku dengan orang-orang juga lebih buruk darimu?" Taehyung mengepalkan tangannya, jantungnya berdentum tak karuan. "Jangan berkata seolah kau yang paling hancur, Jimin-ah, aku bahkan tidak bisa bekerja di sembarang tempat, tidak bisa mengurus diriku sendiri ketika segala kesialan muncul untukku dan orang di sekitarku, tidak bisa menyenangkanmu sebab aku tidak pernah tahu kapan kesialan—"

"Karena aku oke, bagiku keberuntungan bisa bersama denganmu. Berhenti bicara soal sial sial sial dan SIAL karena kau keberuntunganku." Jimin berusaha berdiri walau kakinya masih lemas, bertumpu pada kursi dan meja—memberi gelengan untuk Taehyung agar tidak perlu membantunya berjalan, dirinya tidak akan tahu apa respons Jimin nantinya. "Ayo, pulang sekarang, dan mari pacaran. Kemudian lihat, apakah hasilnya bisa netral atau tidak."

Jimin tidak romantis, tapi Taehyung suka.

.

.

Jungkook cemberut di lab organik seharian, imbasnya pada Taehyung yang sedikit-sedikit disuruh mencuci alat, sedikit-sedikit disuruh menimbang zat, sedikit-sedikit disuruh mengguntingi kertas isap, sedikit-sedikit disuruh mencari botol pereaksi, sedikit-sedikit disuruh menjauh dari Jungkook—jarak aman lima meter, katanya, lebih dekat dari itu maka Jungkook akan mengutuk Taehyung agar segera putus dengan Jimin.

"Kau meninggalkanku jomblo sendirian, Hyung, kau jahat dan tidak adil."

Taehyung melepas masker kain yang menggantung di leher kemudian melipat jas labnya rapi, disimpan di dalam loker pegawai. "Hei, bocah, bagaimana dengan fisikawan departemen sebelah itu? Kau tidak jadi?"

Jungkook semakin melipat wajahnya, bibirnya mengerucut, anak jenius sembilan belas tahun lulusan SMA Kimia ternama itu masih lugu. Tingkahnya transparan, sudah jelas dia masih bocah, tapi sudah mencari istri—mana ada. "Dibanding jadi istriku, dia lebih pantas jadi mama mertuaku." Pemuda itu mendengus.

"Cari uang yang banyak dulu, Kook, baru cari pacar." Taehyung menggusak puncak kepala Jungkook. "Jangan dekat-dekat eter dan zat organik yang aneh-aneh, nanti mandul—bercanda, tapi iya, sih." Bicaranya terpotong tawa terbahak sebab Jungkook mendumal dan berkata bahwa dirinya juga tahu tanpa perlu diberi tahu. "Nikmati dulu hidupmu selagi masih muda, cintai banyak gadis sekaligus juga boleh—sebab ketika kamu sudah kepala tiga sepertiku nanti, waktu bermainmu semakin sedikit dan ketertarikanmu semakin sedikit juga. Mungkin ketika sembilan belas tahun aku masih suka bermain game hingga semalaman suntuk, tapi rasanya berbeda sekali ketika aku memainkannya di usiaku sekarang. Paham? Ada beberapa hal yang hanya bisa kau nikmati di usia mudamu sekarang ini. Carilah istri belakangan, astaga."

"Kau terdengar seperti sedang menasihatiku, Hyung, seperti yang sudah siap kawin saja," dengus Jungkook, padahal di dalam hatinya tengah mengangguk paham pada setiap perkataan Taehyung. "Sudah sana, temui pacarmu dulu lalu cepat nikah dan jodohkan saja aku dengan anakmu."

"Mana ada!"

"Bercanda, Hyung, aku tidak pedofil."

Lantas Taehyung tertawa teramat keras, suara tawanya bersatu dengan tawa Jungkook yang juga pecah. Dalam hati mendoakan Jungkook agar segera peka jika dirinya tengah jatuh cinta pada anak magang yang setiap hari ditempelinya walau ketika Taehyung sedikit saja menggoda Jungkook, bocah itu akan menjawab, pekerjaan anak magang harus diawasi, nanti alatnya pecah dan bahannya terbuang, rugi, tahu! dengan wajah memberengut dan rona merah di pipi.

Ponsel Taehyung yang mendadak berbunyi menghentikan tawa keduanya, pemuda dengan kacamata menggantung tanggung di batang hidungnya itu mengangguk kecil ketika Jungkook bertanya pacarmu?

Jungkook hanya terkekeh jail, mencubit lengan Taehyung dan meregangkan tubuhnya beserta olokan ringan pada Taehyung yang refleks menembus kerongkongannya. Kakinya pergi meninggalkan Taehyung, berdalih perlu memberi tumpangan pada anak magang sampai gerbang depan departemen—itu pun jika tidak belok ke tempat makan dan lainnya.

"Tae, aku akan menyusulmu ke lab organik, pulang bersama?"

Suara Jimin masih sama, lembut dan menenangkan. Akhir hari tidak menjadikan penat dari pekerjaan seharian penuh mengubah Jimin menjadi seseorang yang tempramen. Emosinya stabil, baru sekali Jimin menangis dan merengek di hadapan Taehyung, yakni ketika tangan mungil itu tidak benar-benar dalam kendalinya ketika membuat interaksi fisik dengan Taehyung. Selebihnya, Jimin bukanlah tipe yang mudah marah dan menangis.

Taehyung tersenyum lebar mendengar ajakan pulang bersama dari kekasihnya. "Kutunggu di depan lab organik, ya, perhatikan jalanmu dan jangan sampai menubruk orang lain, kay?"

Gumaman paham menjadi jawaban terakhir Jimin sebelum menutup sambungan teleponnya.

Tidak begitu lama menunggu, Jimin sudah menyapa Taehyung dengan senyum yang merekah lebar sekali. Beberapa saat Taehyung terpaku, merutuki dirinya sendiri yang terus menerus ingin memeluk Jimin kemudian menciuminya. Kemudian keinginannya melebur ketika Jimin tertawa begitu keras.

"Tahu alasan kenapa aku yang menghampirimu ke sini?"

Alis Taehyung terangkat, bingung. Secara nonverbal meminta penjelasan lebih dari Jimin selama keduanya berjalan menuju tempat di mana Taehyung memarkirkan mobilnya.

Jimin tertawa, lagi. "Pak Min tahu kau pacarku, jadi dia sudah ada feeling kalau kau menungguku di depan lab mikro, akan ada alat yang rusak di sana. Konyol, kan, Tae?" Mendapati Taehyung yang mendengus sebal membuat Jimin lagi-lagi tertawa, sungguhan mengerti Taehyung tidak suka disangkut-pautkan dengan fenomena aneh-aneh yang bisa merusak alat.

"Pak Min rasis," desis Taehyung, tetap menjaga jarak ketika berjalan dengan Jimin. Benar-benar memperlakukan Jimin dengan sangat baik.

Hening menguasai keduanya hingga mereka duduk di bangku depan mobil dengan Taehyung di balik kursi kemudi. Berkali-kali Taehyung melirik sebuah piercing di telinga Jimin, hanya di sebelah telinga kirinya. Ingin tahu siapa yang Jimin biarkan menyetuhnya—memasangkan piercing, melubangi telinganya. Lalu rambut Jimin yang tetap rapi, Taehyung ingin tahu siapa yang sebenarnya tetap menjaga potongan rambut Jimin agar tidak terlalu panjang.

Ada banyak hal yang menjadi pikiran Taehyung selama mengamati lamat-lamat figur Jimin yang begitu nyata kini ada di sampingnya, benar-benar dekat dengannya. Terasa tidak nyata tanpa kontak fisik apa pun, hanya mata Taehyung yang terus menjerit jikalau Jimin adalah nyata, bukan khayalan dari segala keinginan Taehyung yang terpasung pada satu sosok Park Jimin.

Jimin menjentikkan jemarinya di hadapan wajah Taehyung yang melamun. "Hei, kenal Wolfgang Pauli tidak?"

Taehyung menggeleng, kaget dan buru-buru mengendarai mobilnya keluar dari area departemen menembus jalanan kota. "Kenal, tidak. Tahu, iya. Mau mengolokku lagi dan bilang aku seperti Pauli?"

"Jangan ngambek begitu, Man, tapi Pauli itu beken di mata fisikawan. Kau kenapa nyasar ke kimia, sih?" Jimin melipat tangannya di depan dada, terkekeh geli sebab Taehyung nampak berpikir dan akan menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang mengagumkan. "Wolfgang Pauli adalah salah satu raksasa Fisika Kuantum yang kita kenal dari SMA dengan Prinsip Pauli-nya. Harusnya senang kau dibilang tidak beda jauh dengan Pauli."

Taehyung mendecih menimpali. "Aku inginnya beken di matamu," jawabnya asal, tidak memenuhi ekspektasi Jimin atas jawaban yang dikiranya akan keren. "Dibanding Pauli, aku lebih mengenal—mengetahui—Svante Arrhenius yang mengemukakan prinsip yang menjadi dasar pengertian asam-basa modern sekarang ini. Hidupnya benar-benar beken. Jadi, jangan bilang ini efek pauli karena aku tidak benar-benar membuat segalanya rusak hanya dengan eksistensiku seperti Pauli."

Kemudian mesin mobil Taehyung mati, dan keduanya mengerang frustasi.

Namun Jimin masih bisa terkekeh. "Katanya, kursi yang diduduki Heitler saja ambruk ketika Pauli mendekatinya." Dan mata Jimin membola sempurna ketika Taehyung menepuk bahunya pelan.

"Kau diam saja, aku mau panggil derek dan taksi."

Jimin merasakan jantungnya jatuh hingga tumit, detaknya jauh lebih cepat dari normal dan semuanya adalah salah Taehyung. Jimin pikir dirinya akan segera mampus ketika Taehyung menyentuhnya, tetapi senyum kotaknya di sekon berikutnya membuat Jimin membuang wajahnya kesal.

"Kau kurang ajar," keluhnya dengan suara sengau menahan tangis.

.

.

Jimin dengan mudah memaafkan Taehyung dan tangannya yang menepuk bahu Jimin, hanya dengan kata maaf dan Taehyung mengaku mobilnya ketika itu mati karena efek pauli yang dibawanya. Plus membayari Jimin makan di McD dan mampir ke dokter hewan untuk mengadopsi seekor anak kucing sebab Jimin bersikukuh dirinya hanya tidak nyaman dengan manusia, dengan kucing dirinya oke.

Taehyung segera berlari menuju laboratorium mikrobiologi di departemen segera setelah Jungkook berpamitan untuk pulang duluan. Jimin sedang menunggu di koridor di depan laboratorium mikrobiologi, seperti biasanya, dirinya menunggu Taehyung menjemput untuk pulang bersama.

Mereka sudah menjadi sepasang kekasih, walau keduanya berusaha untuk tidak terlalu mengumbar-umbar, tapi tetap saja kedekatan keduanya menjadi buah bibir dan tidak ada alasan bagi mereka untuk mengelak. Walau ditempatkan di laboratorium yang berbeda, keduanya selalu menghabiskan waktu istirahat di kantin bersama, pulang bersama, bahkan tak jarang berangkat bersama.

Motor Jimin sehari-hari hanya terparkir di lantai bawah tanah apartemen, tentu Jimin akan menolak jika harus menggunakan motor berdua bersama Taehyung. Siapa tahu mereka akan bersentuhan dan Jimin akan kejang-kejang di atas motor—siapa tahu. Jadi Jimin sudah terbiasa menggunakan mobil Taehyung, baik pulang cepat maupun pulang terlambat karena tiba-tiba mobilnya ngadat. Jimin pernah sekali mengeluh, ganti mobil saja, duh, jual murah atau tukar tambah, terserah, tetapi Taehyung hanya akan tersenyum. Mobilnya akan sembuh sendirinya jika Taehyung tidak memaksakan untuk menggunakannya.

"Kemarin oven di lab mikro terbakar, tahu," Jimin menyamankan posisinya di jok depan, di samping Taehyung yang mengemudikannya membelah jalanan Seoul. "Kepala lab mikro—Pak Min—sampai panik sekali sebab ovennya sedang dipakai untuk sterilisasi pipet ukur untuk analisis coliform besoknya."

Taehyung bergumam. "Lalu?"

Jimin menahan tawanya, walau akhirnya gagal dan sudut matanya sampai berair karena terbahak. "Kau sedang menungguku di luar lab mikro ketika ovennya hampir meledak! Pak Min menghubungi Pak Kim karena ini, tahu, astaga, padahal apa hubungannya denganmu—tidak habis pikir."

Mendengarnya, Taehyung memutar kedua bola matanya kesal. "Itu analis lab mikro saja yang goblok. Pembungkusan pipet ukurnya dengan kertas perkament pasti tidak benar, sedikit saja kertasnya menjuntai dan tidak rapi, pasti terbakar di dalam oven. Pikirmu berapa derajat celcius suhu sterilisasi kering untuk alat gelas?"

Jimin suka cara Taehyung ketika kesal dan menggunakan otaknya untuk terlihat begitu cerdas. Kemudian Jimin menjawab, "Seratus enam puluh sampai seratus delapan puluh."

"Bohong. Mana ada badan analisis apalagi departemen yang mengejar waktu dan target yang menggunakan suhu segitu untuk mengoven selama dua jam—beritahu aku yang benar, Jimin sayang." Taehyung sesekali melirik Jimin di sampingnya yang terkekeh menyebalkan sambil menatapnya lamat-lamat. "Kulaporkan jika kau menjawab bohong, seorang analis tidak boleh berbohong. Jika terbiasa berbohong, bagaimana jika nanti kau berani memanipulasi data hasil analisis? Bagaimana jika yang seharusnya bahaya jadi aman di mata publik? Bagaimana jika kau menjadi tersangka genosida secara tidak langsung?"

"Dua ratus derajat, astaga, lama pengovenan satu jam—jangan bawa-bawa genosida, ah, kau berlebihan." Jimin kalah, tapi rasanya masih tetap menyenangkan. "Tapi kertasnya mana bisa terbakar, Tae, keberadaanmu saja yang mungkin merusak ovennya," goda Jimin, belum merasa selesai memancing Taehyung.

Taehyung kali ini tertawa. "Di lab organik, ada tanur—itu untuk pengabuan sampel multikomponen, destruksi cara kering, kau tahu berapa suhu untuk memecah komponen dalam lima gram pisang?" Tanpa memberi Jimin waktu menjawab, Taehyung buru-buru menjawab pertanyaannya sendiri. "Lima ratus sampai enam ratus. Di suhu itu, jika pengerjaan tidak tepat sampel bisa-bisa habis terbakar bersama cawannya yang menggosong. Bayangkan, kertas perkament setipis apa, sih? Di suhu dua ratus sudah pasti terbakar jika tata letak di dalam ovennya amburadul. Duh, ingin sekali menyimpan kepala analis lab mikro di dalam oven itu—biar tahu di suhu dua ratus itu rasanya sepanas apa."

"Aku analis lab mikro, omong-omong, dasar berengsek." Jimin menaikkan kakinya ke atas dasbor mobil, menyamankan posisinya untuk tidur dengan bantalan tangan yang terlipat ke belakang kepalanya. "Man, mampir ke apartemenku, tidak? Mau menyuruhmu menghangatkan kiriman makanan dari Ibu." Ekor mata Jimin melirik Taehyung yang mengangguk-angguk setuju. "Nanti bangunkan aku kalau sudah mau sampai, pakai speaker ponsel saja, lagu metal rock, di telingaku. Jangan berani pegang-pegang."

Tangan masih mencengkeram stir dalam balutan bahan kulit hitam, Taehyung melirik Jimin yang sudah mendengkur pelan—pekerjaannya di laboratorium pasti berat. Selain bekerja dengan fokus, Jimin juga selalu merasa waspada takut-takut ada orang yang menyentuhnya. Bohong jika Jimin bilang dirinya sudah berdamai dan mencari jalan tengah dengan penyakitnya, mentalnya seratus per seratus pasti tersiksa juga.

Jimin menyamankan posisi lagi dalam tidurnya, menjadikan tubuhnya condong menghadap Taehyung yang masih mengemudikan mobil. Hal itu membuat Taehyung refleks menggeser bokongnya menjauh dari Jimin—telah sepenuhnya sadar jika Jimin terbangun karena bersentuhan dengan Taehyung, pemuda itu pasti akan menggigil ketakutan dan menangis. Lantas Taehyung hanya dapat mengemudi dengan kecepatan rendah, jaga-jaga apabila tubuh Jimin ikut bergeser di tikungan.

.

.

"Kau merona, Jim!" seru Taehyung, menunggu Jimin membuka pintunya yang dikunci dari dalam.

"Makanya kalau bangsat itu dikadar!" balas Jimin tidak mau kalah, masih enggan membukakan pintu untuk Taehyung yang menggedor-gedor dari luar. "Pulang saja sana! Tidak jadi mengajakmu masuk!"

Sebelumnya keduanya masih baik-baik saja. Taehyung bahkan tidak mengusik tidur Jimin di mobilnya—hanya sesekali melirik memastikan Jimin tidak terganggu mimpinya. Hanya saja Jimin mendadak mengamuk setelah Taehyung membangunkannya. Kubilang metal rock saja, bangsat, jangan berlagak jadi Romeo dasar sialan, begitu kata Jimin. Masalahnya, Taehyung meraih ponsel Jimin di dasbor kemudian menempelkan ponsel itu pada telinga empunya yang masih tertidur pulas. Kemudian Taehyung dengan santai bersandar pada sisi berlawanan, menatap keluar sambil menelepon hingga suaranya tersambung pada ponsel Jimin.

"Jimin, bangun, sudah sampai," Taehyung masih tidak mendekatkan diri sedikit pun pada Jimin, hanya tangannya saja yang memegangi ponsel Jimin agar tetap dekat dari telinganya, "kalau kuputarkan lagu bising langsung di telingamu, nanti kamu budek, aku tidak mau punya pacar budek."

Pemuda yang masih tertidur mengerang pelan, tidurnya mulai terusik.

Taehyung menghela napasnya. "Jim, hei, bangunlah sebelum aku memukul kepalamu dengan Vogel. Tapi jika kupukul, bagaimana jika tengkorakmu berubah strukturnya? Bagaimana jika nanti kau tambah pendek? Bagaimana jika nanti kau amnesia? Tidak jadi kupukul, tapi cepatlah bangun." Bibirnya tersenyum tipis, mata Jimin terbuka setengah tetapi masih enggan terjaga seutuhnya. "Dengar tidak? Ayo bangun, jangan begini karena kau bukan Putri Tidur—bangun astaga, jadi aku bisa mencintaimu lagi, tidak, sih, sedang tidur pun aku cinta. Jim. Astaga susah sekali kau bangun." Mata Jimin terbuka seutuhnya, langsung mendapati tangan Taehyung begitu dekat dengan telinganya. "Soalnya kalau lagi tidur, kau tidak bisa membalas perasaanku."

Jimin terlonjak kaget, buru-buru membuka pintu mobil di sampingnya sambil terus merapal bangsat mampus sana. Tidak menunggu Taehyung di belakangnya. Tangan Taehyung tadi hampir melanggar batas privasi.

Tanpa belas kasih membiarkan Taehyung menggedor pintunya dari luar, berkali-kali mencoba membuat Jimin luluh. Namun kepala Jimin masih keras batu, bersikeras jika Taehyung kelebihan kadar bangsat. Selain mengidap haphephobia, Jimin juga alergi bangsat. Walau Seokjin Kim bilang itu tidak mungkin, tapi Jimin seratus per seratus yakin jika dirinya positif alergi bangsat.

Taehyung menempelkan dahinya pada pintu yang tertutup. "Aku bangsat bagian mananya, hei, jawab," tanpa mengubah posisinya, melanjutkan, "jangan jadi terlalu menggemaskan, ini lebih-lebih dari polisakarida, aku tidak akan bisa mengurainya karena tidak punya enzim pencernaan seperti punya kambing—terus kalau diabetes kamu mau tanggung jawab?"

"NGACO! Anak Kimia jangan berlagak paham biologi! Jangan membuatku jadi terdengar terlihat terasa feminim, dasar ngaco! Tidak mempan!"

Tergesa Jimin—terpaksa—membuka pintunya, dengan tongkat sapu menggetok pelan kepala Taehyung. Menyuruhnya segera menyiapkan makan malam sembari Jimin membersihkan tubuh. Taehyung ingin tahu, ini kali pertama dirinya masuk ke dalam apartemen Jimin, tapi sudah langsung direkrut jadi babu dadakan. Ruangan demi ruangan Taehyung sisir, meniti bagaimana cara Jimin selama ini hidup. Katanya, benda mati kadang memberi tahu lebih banyak dari sang empunya.

Maka Taehyung tahu jika Jimin sungguh membuat dirinya sendiri nyaman di dalam ruangan yang tertata rapi. Kecuali satu ruangan. Dirinya mendapati banyak sekali lilin aroma terapi yang cantik, tertata manis di sebuah rak di samping ranjang—pasti ini tempat tidur Jimin. Nyaris secara refleks Taehyung menutup hidungnya. Bisa mampus dirinya, di sini semua aroma lilin tercampur menjadi satu dan tidak jelas.

"Aku membawa pulang lilin yang menurutku cantik," Jimin muncul dengan baju santai, rambut masih basah dan aroma sabun masih pekat tercium, "tapi semakin banyak aromanya membunuhku, daripada dibuang jadi kusimpan saja di kamar—gantinya, aku tidur di sofa setiap hari. Baunya yang bercampur jadi satu serius bisa membunuhku, Man."

Taehyung terlonjak kaget, menatap parno Jimin yang muncul tiba-tiba.

Sekali lagi Jimin menggunakan batang sapu untuk memukul pelan kepala Taehyung. "Sudah menyiapkan makan belum? Lampu kamar mandinya mati, tolong gantikan sekalian. Efek pauli yang kau bawa sungguh keterlaluan," ucap Jimin seenaknya, diakhiri tawa bising setelah mendapati Taehyung yang menggerutu tidak jelas. "Satu sama, sudah, jangan ngambek, aku siapkan makan dan kau cepat urus lampu kamar mandi—sekalian mandi, sana."

Yang tidak pernah Taehyung bayangkan adalah menggoda Jimin sama artinya harus mau digoda juga. Saling menjaili tanpa akhir. Jimin itu rasa tidak mau kalahnya tidak dikadar.

.

.

"Tidakkah kau terlalu dekat, Analis Kim?"

Jimin mengencangkan rahangnya, merasakan punggungnya yang menempel utuh pada dinding. Taehyung mengukungnya, tangan kekasihnya itu berada di sisi kanan dan kiri kepala Jimin. Mata elang itu menatapnya nyaris tanpa berkedip, seperti menikmati bagaimana Jimin hampir mampus di sini. "Bung, matamu merah—ingin menangis?" Tangan Taehyung sengaja menepuk pundak Jimin, dua kali, pelan.

Lututnya goyah, Jimin nyaris ambruk andai saja Taehyung tidak menahan pinggangnya. Mampus. Jimin sekarat, bertemu malaikat, segera diangkat ke akhirat—tidak secara literal, hanya menurut Jimin memang begitu. Tangannya bergetar, sudah mengepal kencang dan begitu ingin menonjok Taehyung, hanya saja tidak berani. Asam lambung naik, seketika Jimin mencoba lolos hanya saja Jimin sendiri tahu jika sedikit saja bergerak, dirinya akan bersentuhan dengan Taehyung—yang tangannya mulai kurang aja mengelus pinggang Jimin lembut dari luar kaus yang dikenakannya. "Menyingkir, Kim," gertak Jimin walau yang terdengar hanya suara menggigil yang pelan sekali.

"Ingin memberimu terapi," jawab Taehyung enteng, bergerak semakin merapat pada Jimin, "supaya kalau nikah nanti kita bisa punya anak."

Pandangan Jimin kabur, beberapa kali mengedipkan mata berairnya agar kembali fokus. Mengutuk Taehyung yang bukannya memperbaiki penyakitnya, justru memperburuknya. "Mana ada—Kim, menjauh, aku sudah memperingatimu. Orang cerdas sepertimu tidak seharusnya goblok begini, Bedebah."

Taehyung tersenyum tipis, tangannya mengelus pipi Jimin yang seketika membatu dengan mata membola kaget.

Ya Tuhan, jadi begini rasanya menyentuh kulit Jimin.

Sebuah helaan napas bergetar, Taehyung seakan kehilangan separuh dari kendali atas dirinya sendiri. Jemarinya menyusuri setiap lekuk wajah Jimin, dari kelopak matanya yang refleks terkatup hingga garis rahangnya yang tajam. "Sialan, Jim, sial—" Taehyung mendesau frustasi, Jimin dalam kungkungannya membatu pasrah dengan tetes air mata membanjir ketakutan. "—jangan membenciku setelah ini, aku mencintaimu. Kalau masalahmu adalah trauma, aku akan memperlakukanmu dengan baik—percayalah."

Sejurus kemudian Taehyung membenturkan bibir keduanya, bergerak melumat dan menjilati seluruh wajah Jimin setelahnya. Napas keduanya memburu, telanjur terbakar dalam gelenyar tak kasat—atau mungkin bagi Jimin, ini adalah nyata, perwujudan dari akhir hidupnya yang mengenaskan.

Sepenuh hati menyesal telah mengajak Taehyung masuk ke dalam apartemennya, merasa ditipu oleh ratusan hari di mana Taehyung memperlakukannya dengan sangat baik dan berdamai dengan penyakit Jimin—sebagaimana Jimin yang telah lama juga telah berdamai dengan penyakit Taehyung. Jimin ingin menyentak. Namun yang terungkap dari belah bibirnya yang bengkak diciumi Taehyung hanyalah rintihan menyedihkan.

Maka Jimin menutup matanya erat-erat, berharap orang yang telah dipercayainya memang sungguhan bisa dipercaya.

Taehyung seharusnya tahu dari awal jika memperkosa Jimin sekalian juga tidak akan apa-apa, Jimin tidak akan bisa menonjoknya atau melawan—dirinya ingin egois, Jimin miliknya, jadi Taehyung hanya ingin memastikan. Telinganya tuli, matanya buta, hatinya mendadak membatu. Taehyung tak mau tahu lebih jauh apa Jimin akan mampus atau tidak, dirinya hanya ingin membuyarkan logika Jimin hingga kekasihnya itu lupa bagaimana cara menapak di bumi, ingin Jimin kehabisan suaranya sehingga hanya bisa menghela napas berat setiap kali Taehyung bergerak, ingin menjadi satu-satunya yang ada di benak Jimin ketika dirinya kebingungan memilih yang salah atau benar.

"Angkat, dan cobalah untuk tahan," titah Taehyung sembari menekuk sebelah kaki Jimin untuk melingkar di pinggangnya, sengaja mengelus pelan dalam prosesnya. "Tangan—lingkarkan di leherku," lanjutnya, menuntun Jimin yang telah separuh sadar—karena benar-benar turun hingga batas kesanggupannya untuk menahan toleransi orang yang masuk batas privasinya—untuk melingkarkan lengan di leher Taehyung.

Jimin tahu jarak keduanya semakin terkikis, hingga seutuhnya tak berjarak ketika Taehyung sedikit mendorong punggungnya. "Tae, aku tidak sanggup—kau... tolong hentikan," rengek Jimin dengan suaranya yang hilang di banyak silabel. Lututnya lemas, bergetar menahan bobot tubuhnya sendiri walau Taehyung sudah sedikit menahan posisi berdirinya dengan melingkarkan tangannya di pinggang Jimin.

"Kepalamu terasa berat, iya?" Tangan besar Taehyung mengusap puncak kepala Jimin, merasakan kepalanya yang terantuk pada setiap gerakannya yang hati-hati. "Sandarkan saja, kamu akan oke." Memaksa Jimin menumpukkan kepalanya di bahunya, Taehyung tidak bisa benar-benar berpikir lurus. Ingin mengukung tubuh bergetar Jimin yang menurut dan tidak mampu melawan setiap instruksinya.

Taehyung benar-benar terlalu bodoh ketika sadar Jimin yang runtuh setelah tercium aroma menyengat. Pemuda itu seolah kembali pada rasionalnya ketika mendapati Jimin yang bergetar menyeka bekas muntah di sekitar mulutnya—terlihat terlampau sakit bahkan untuk berteriak marah pada Taehyung.

"Pulang, analis Kim," desaunya, masih menunduk, enggan menatap Taehyung langsung di matanya. "Pulang."

Taehyung baru akan meraih Jimin untuk menenangkannya andai saja Jimin tidak mengelak, menghindari Taehyung seolah benar-benar membenci Taehyung ketika pemuda itu melanggar batas privasinya.

"Jim, maaf—"

"Pulang."

Mungkin Taehyung benar-benar berengsek karena mengangkat kakinya dari kediaman Jimin, tidak sungguh mencoba dengan bujukan atau tawaran untuk merawat Jimin.

Taehyung ingin mengerti Jimin. Akan tetapi meninggalkannya sendirian tidak terdengar seperti mengerti Jimin sepenuhnya.

.

.

- To be continued -

- La Demencia -