Disclaimer: NARUTO dan semua karakternya adalah milik Kishimoto Masashi.
Tears of Spring
by ytamano
.
.
Prolog
.
.
.
Uchiha Sasuke melihat bangunan di depannya. Kedua mata hitamnya menilik sebuah rumah dua lantai berukuran kecil dengan pintu depan yang menghadap langsung ke jalan.
Pada balkon mungil di lantai atas nampak pakaian-pakaian yang sedang dijemur—ia dapat melihat kombinasi beberapa pakaian anak-anak, seragam sekolah, dan pakaian dewasa menggantung pada tiang jemuran di balik pagar balkon. Sedikit banyak menggambarkan siapa saja yang tinggal di rumah yang didempet oleh dua rumah lain dengan kondisi yang… jauh lebih baik dari apa yang kini sedang ia amati.
Pria yang berdiri di sebelahnya berdeham, mengambil alih perhatiannya.
"Selamat datang di Otoharu-ryo. Mungkin bangunannya dari luar terlihat menyedihkan, tapi di dalamnya nyaman kok—" Pria itu berkata. Sasuke tak begitu mengingat namanya. "—atau setidaknya begitulah menurut anak-anak, haha."
Anak-anak. Sasuke mengulang kata itu di dalam benaknya. Ada berapa anak yang tinggal di sini sebenarnya?
Namun hal itu tak diungkapkannya ke dalam kata-kata. Sasuke hanya diam dan sorot matanya kembali pada bangunan di depannya, Otoharu-ryo.
Itu adalah nama sebuah panti asuhan di kota Oto—itu yang ia dengar dari pria di sebelahnya tersebut saat mereka sedang dalam perjalanan di kereta menuju kemari—tempatnya akan tinggal sampai ia berusia 18 tahun atau sekitar 5 tahun ke depan.
Sama sekali tidak terdengar seperti kabar yang bagus—ia sama sekali tidak menantikannya.
"Aku tidak tahu kau sudah tahu tentang ini atau tidak," ujar pria itu lagi, "tapi tidak semua anak yang tinggal di sini bernasib sama sepertimu. Ada beberapa dari mereka yang sebenarnya masih memiliki orang tua, namun karena berbagai alasan, orangtua mereka sudah tidak bisa lagi membesarkan mereka sehingga mau tak mau harus dimasukan ke panti asuhan. Otoharu-ryo adalah salah satu dari panti asuhan di kota ini."
Sasuke hanya diam mendengarkan. Kepalanya sedikit mengangguk tanda memperhatikan.
Melihat itu sang pria pun melanjutkan kata-katanya. "Jadi daripada panti asuhan, tempat ini lebih tepat jika disebut sebagai tempat penampungananak-anak, tapi itu agak terdengar bagaimana gitu…"
Sasuke kembali mengangguk.
"Oh ya, ngomong-ngomong, ditambah dirimu jadi totalnya ada 7 orang yang tinggal disini. Yang paling besar kelas 1 SMA dan yang paling kecil juga baru masuk SD. Tidak terlalu banyak karena yah tempat ini tidak mendapat banyak dukungan finansial dari pemerintah kota dan sangat bergantung pada donasi, jadi semuanya serba terbatas. Staffnya pun hanya ada aku seorang saja meskipun kadang-kadang ada juga volunteer yang ikut membantu. Makanya kita hanya bisa menerima sedikit anak saja disini."
"Tapi menurutku itu ada sisi positifnya juga," lanjutnya kemudian, "kau jadi bisa lebih dekat dengan yang lainnya layaknya sebuah keluarga. Setidaknya sampai waktunya masing-masing dari mereka harus keluar dari panti asuhan, baik itu karena telah berusia 18 tahun atau karena adopsi. Tapi langka sekali ada anak yang diadopsi—terakhir mungkin sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu aku tidak ingat—jadi kau tidak perlu khawatir."
Sambil mengeratkan pegangannya pada sebuah koper di tangannya, Sasuke menghembuskan napas yang tak sadar telah sedari tadi ia tahan. Baguslah, menurutnya. Ia sama sekali tidak pernah terpikirkan dan tidak ingin diadopsi oleh siapapun karena baginya keluarga satu-satunya adalah keluarganya—ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya.
Sayang karena sebuah kecelakan pesawat sekitar dua minggu yang lalu, mereka sudah tidak ada lagi bersamanya di dunia ini sekarang.
Sasuke masih mengingat ketika upacara duka dilakukan di rumahnya setelah pengumuman resmi keluar bahwa keluarganya termasuk korban tewas di kecelakaan tersebut. Namun hari itu sesungguhnya adalah hari yang membuatnya sangat frustasi setelah hari ketika ia pertama kali mendengar bahwa pesawat yang ditumpangi keluarganya jatuh ke laut. Para tetangga, rekan, dan kerabat jauh keluarganya datang untuk menyampaikan duka mereka yang mendalam kepadanya.
Kata-kata yang diucapkan mereka mungkin terdengar tulus, tapi raut wajah mereka sebagian besar memperlihatkan bahwa semua itu palsu belaka. Sebagai gantinya ia pun memberikan wajah palsunya yang penuh senyuman dan rasa terima kasih.
Berbagai ucapan seperti, 'oh, anak Uchiha-san yang bungsu ini benar-benar tegar, ia sama sekali tidak menangis sedikitpun', 'orangtuamu pasti merasa bangga padamu', atau, 'tenanglah, Sasuke, setelah ini semuanya pasti akan baik-baik saja.'
Palsu.
Dan bisikan-bisikan yang tak sengaja ia dengar seperti, 'lalu dengan siapa anak ini akan tinggal? Kudengar tidak ada kerabat yang menginginkannya? Padahal dia masih SMP kan?', 'kenapa tidak ada kerabat yang merawatnya?', 'kalau begitu kurasa mungkin ia akan ditempatkan di salah satu panti asuhan di sini', dan 'oh kasihan sekali dia. Andai saja aku bisa aku ingin mengangkatnya sebagai anak, tapi sayang suamiku sama sekali tidak mengizinkan.'
Omong kosong.
Ya, kerabatnya memang tidak mengingkannya, tapi mereka menginginkan rumahnya. Jika tidak, maka seharusnya ia tidak ada di sini sekarang; berdiri di depan rumah tua nan kecil bersama seorang pria yang rupanya adalah staff panti asuhan ini, dengan hanya membawa satu buah koper besar, tas selempang, dan tas gitar besar di bahunya.
"Kau suka bermain gitar?" Pria itu bertanya saat mereka pertama kali berkenalan dan menyadari keberadaan tas gitar yang dibawanya.
"Tidak," jawab Sasuke saat itu.
Pria itu lalu hanya mengangkat kedua alisnya dan tidak bertanya lebih lanjut.
"—anak-anak sudah menyiapkan pesta selamat datang untukmu," kata pria itu tiba-tiba, menyadarkan dirinya dari lamunan.
"Aku tidak butuh," jawabnya singkat.
Pria yang Sasuke masih tak ingat siapa namanya itu hanya terkekeh. "Yah, aku sudah menduga kalau kau itu anak yang cukup pendiam, tapi tidak kusangka kau anti sosial juga."
Sasuke menatap tajam pria itu. Sembarangan saja dia berbicara. Sasuke mengatakan itu bukan karena ia anti sosial tapi karena ia benar-benar tidak butuh.
Ia tidak menginginkan ini sama sekali. Tinggal di panti asuhan yang menyedihkan seperti ini.
"Kalau begitu ayo kita masuk ke dalam. Kita tidak ingin membuat mereka menunggu kedatanganmu lebih lama lagi kan?" ujarnya, sambil membuat satu langkah ke depan dan memanggil Sasuke untuk mengikutinya melalui gestur tangannya.
Sasuke menghela napas pelan. Ia tidak bisa melakukan apapun untuk menolak.
Ia benar-benar tidak sabar ingin cepat-cepat berusia 18 tahun dan keluar dari tempat ini.
.
.
To be continued
A/N: Terima kasih telah membaca. Sedikit trivia, anak-anak di panti asuhan Jepang memang sebagian masih memiliki orangtua. Tapi karena masalah finansial, kekerasan, atau hal lainnya yang membuat orangtua mereka tidak bisa lagi mengurus mereka, jadinya mereka tinggal dan dibesarkan di panti asuhan sampai berusia 18 tahun.
Kembali lagi ke cerita, sebenarnya ada apa dengan Sasuke dan gitarnya? Chapter berikutnya saya akan update cepat. Nantikan ya.
