Sarada mendengus kesal sambil menatap pintu cokelat terkelupas di depannya. Gadis lima belas tahun itu sadar, kalau dia mengetuk(baca: memukul) pintu itu sedikit lebih keras lagi, suara engsel patah di baliknya tidak akan menjadi sekedar ancaman. Pintu itu bisa roboh pada ketukan(baca: pukulan) ke berapa saja, dan Sarada yakin sumber suara desahan di balik pintu itu bukan sesuatu yang dia cari di apartemen ini.

DOK DOK DOK

Sudah dua puluh lima menit sejak terakhir kali kepalan tangannya dan pintu itu membuat suara tok tok yang normal.

"Sebentar, sebentar!"

Dan sudah dua puluh menit suara seorang pria dewasa menjawabnya dengan kalimat yang sama setiap kali dia mengetuk. Sarada memasang tampang jijik saat dia mendengar suara lolongan dari balik pintu itu, disusul sebuah lenguhan panjang dan sepasang suara terengah-engah. Gedung apartemen itu hanya bertingkat dua dan wujudnya sudah tidak karuan. Sarada yakin seyakin-yakinnya kalau setiap ruangan hanya dibatasi oleh dinding tipis yang tidak kedap suara. Makanya, dia tidak habis pikir ketika kesunyian sesaat dibalas oleh desahan-desahan yang lain dari balik pintu itu.

Hanya ada dua kemungkinan: hanya mereka yang menyewa kamar di apartemen ini—sejak tadi memang sepi, omong-omong—atau dua orang yang sudah pasti sedang bercumbu di dalam sana itu tidak punya adab sama sekali.

Masa bodoh soal itu!

Gadis kelas atas sepertinya punya tujuan dan alasan kenapa mau menginjakkan kaki ke tempat yang baunya semakin memuakkan sepanjang dia ada di sana.

DOK DOK DOK

"Oh, astaga! Demi Tuhan!" sekarang suara perempuan yang menjawab ketukan Sarada. "Baiklah, akan kubuka pintu itu! Baiklah!"

Akhirnya.

Sarada segera mengambil kembali setumpuk kertas yang ia masukkan kembali ke tasnya setelah tidak mendapat respon selama lima belas menit pertama ia ada di sana. Untuk kertas-kertas itulah dia datang dan rela membuang-buang waktunya di tempat itu.

"Nah, lihat siapa yang datang,"

Sarada mengangkat wajahnya saat mendengar pintu itu akhirnya dibuka dengan serampangan. Seorang wanita yang terlihat lebih tua sekitar sepuluh tahun darinya muncul dari balik pintu. Mata ungunya menatap sayu, rambut pirang pudarnya acak-acakan. Dengan tidak memakai apapun selain jaket yang tidak diresleting, Sarada yakin bercak-bercak merah yang menjalar dari leher hingga perut wanita itu bisa menjelaskan aroma aneh yang menguar dari lelehan putih di antara paha jenjangnya.

"Biar kutebak, kau pasti tamu Boruto, kan? Sayang sekali aku belum melihatnya sejak tadi."

"Justru karena dia tidak ada di sekolah makanya aku datang ke sini. Bisa tolong berikan ini padanya, kalau begitu?" Sarada mengulurkan kertas-kertas tadi. "Bukan hal yang menyenangkan harus mengerjakan tugas dengan dia sebagai partnerku. Tapi kenyataan bahwa dia tidak pernah membantu tidak menyulitkanku. Sayang sekali guru kami merasa tugas ini hanya bisa diterima jika Boruto punya andil, walaupun hanya menulis titik di kalimat penutup. Aku bisa mengambilnya kembali besok, kalau-kalau dia masih berencana untuk tidak masuk ke sekolah."

"Umm," Wanita itu menerima kertas-kertas tadi. "Aku tidak yakin dia akan pulang, tapi mari kita diskusikan dengan yang lebih tahu. Hei, Naruto! Apa bocahmu itu akan ada di rumah malam ini? Ada gadis manis yang punya urusan dengannya!"

"Seorang gadis, katamu? Luar biasa, anak itu."

Kening Sarada berkerut saat seorang pria keluar dari dalam sana, bertelanjang dada hingga tampak dada bidangnya yang berkeringat dan dijejali jejak-jejak merah hasil cakaran dan sentuhan lain. Rambutnya kuningnya baru saja dibasahi sehingga setiap lembarnya meneteskan titik-titik air ke lantai.

"Jadi, apa yang dilakukan Bo—" Mata biru pria itu awalnya menatap ramah iris hitam kelam Sarada. Namun bibirnya yang sedikit bengkak itu terkatup saat melihat raut gadis itu secara penuh.

Sarada tahu dia akrab dengan wajah pria itu bukan karena pria itu punya ciri-ciri fisik yang serupa dengan Boruto. Mungkin karena sejak tadi sesuatu di dalam dirinya menyadari kalau suara pria itu, terkhusus dengus napasnya, sudah sering hinggap di tepi telinganya.

Sangat sering malah, kalau ingin diakui olehnya.

"Hei, pakai bajumu, bodoh. Lihatlah anak ini jadi merah wajahnya melihatmu." Wanita itu mendorong pundak Naruto agar menjauh darinya. "Guru mereka tidak mau menerima tugasnya kalau gadis malang ini tidak bisa membuat Boruto sedikit berguna soal tugas ini."

"Berikan padaku." Naruto menerima kertas-kertas itu, membacanya sekilas. "Tampaknya aku ikut bertanggung jawab soal ini. Terima kasih sudah mau repot-repot. Kau tidak perlu mengambilnya besok, akan kupastikan kau tetap mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Kembalilah, tidak baik untukmu tetap berada di sekitar sini."

Sarada memperbaiki posisi kacamatanya lalu menganggukkan kepala sambil menenteng tasnya. "Dengan senang hati."

Naruto melirik Sarada yang segera berbalik, lalu menutup pintu dengan cepat. Ia lalu meninggalkan wanita tadi untuk mengamankan kertas-kertas titipan Sarada.

"Hei, memangnya Boruto akan ada di rumah? Bukannya kau bilang dia biasanya tidak pulang satu-dua hari?" Mata wanita itu mengekori Naruto yang masuk ke kamar, disusul suara lemari yang dibuka lalu ditutup. "Omong-omong, anak tadi sedikit aneh. Dia seperti tidak terkejut dengan apa yang dilihatnya, responnya tidak seperti biasanya. Padahal, tidakkah dia kelihatannya—dan memang seharusnya tidak terlibat dengan, yah, kau tahu maksudku, kan?"

Naruto keluar dari kamar lalu menyambut wanita tadi dengan melepas jaketnya cepat. "Apa kau lebih tertarik pada urusan itu daripada pada urusan kita yang belum selesai, hm?"

Wanita tadi mengedikkan bahunya lalu melingkarkan tangan di leher Naruto sambil menatap mata biru yang kembali berkabut itu. "Buat aku tertarik, kalau begitu."

Sarada sadar dia tidak berjalan cukup cepat dan perkiraannya soal dinding-dinding apartemen itu benar saat dia bisa kembali mendengar lenguhan dari sepasang suara yang tadi menyambutnya.

Gadis itu mendecakkan lidah saat mengingat pria tadi, Naruto. "Wanita cantik ya, Naruto." Tanpa sadar, bibir tipisnya membentuk seringai.