Aku merengut kesal padanya. Iya, dia. Anak kecil yang selalu melemparkan batu kerikil ke pagar rumahku. Yang sepuluh tahun kemudian, entah bagaimana caranya, menjadi orang yang meminta padaku untuk menemaninya menghabiskan seluruh tulisan di what should I do before I die miliknya.
...
...
7 Days of Summer
...
...
—foreword—
"Mama."
"..."
"Mamaa~"
"..."
"Mamaaaaaaa!"
"Ya ampun Jonginie, pelankan suaramu!"
"Mama yang harusnya berhenti memasak!" Jongin kecil merengut sambil mendekapkan tangannya di depan dada.
Nyonya Kim menghela napas panjang, kemudian berbalik untuk menatap anak bungsunya. "Ada apa?"
Jongin kecil menggembungkan pipinya. "Anak tetangga sebelah selalu melemparkan kerikil kearah pagar samping kamarku kalau siang dan sore, Ma! Dan itu sangat menggangguku!"
"Maksudmu—"
"Setiap siang setelah aku pulang sekolah, dia selalu melempar kerikil selama satu menit, kemudian berhenti. Lalu saat sore ketika aku belajar untuk mengerjakan tugas, dia mulai lagi."
"Memangnya kau pernah belajar?"
"Ma!"
Nyonya Kim tertawa setelah bisa menggoda anaknya sendiri. "Yang kaumaksud—anak tunggal keluarga Do?"
"Mana kutahu? Aku tak pernah melihatnya."
Ibu Jongin melepas celemek abu-abu yang ia kenakan. Ia berjalan pelan kearah anaknya, mengelus rambutnya sayang. "Kalau begitu, bukankah lebih baik kau main kerumahnya? Barangkali kalian bisa jadi teman."
"Tapi, Ma—"
Ibu Jongin tak menghiraukan celoteh dan tolakan anak bungsunya. Sambil menggenggam tangan Jongin, Nyonya Kim berjalan beriringan dengan anaknya keluar rumah.
"Ma, tapi aku tak mau bertemu dengan anak nakal itu."
"Kau bahkan belum kenal dengannya, bagaimana bisa kau berkata bahwa dia nakal?"
"Dia selalu melempar kerikil kearah pagar samping kamarku!"
"Dan itu bisa dikategorikan nakal, sedangkan bermain sampai sore hingga lupa waktu, memecahkan vas Bibi Taeyeon, merusak mobil remote milik Baekhyun, melempar robot Chanyeol sampai tersangkut di ranting pohon, menyembunyikan uang Suho sampai dikira kaulah pencurinya—itu semua kau bilang hal yang wajar?"
Dan Jongin kecil hanya bisa mengerucutkan bibirnya.
"Nah, sampai. Pencet bel-nya, Jongin," titah Nyonya Kim ketika mereka berdua telah sampai di depan pintu rumah sederhana milik keluarga Do.
Jongin melirik ibunya tak suka. "Kenapa bukan Mama saja? Bukannya ini adalah ide Mama?"
"Jongin, lakukan."
"Tidak mau."
"Jongin..."
"Mama, Jongin sangat membenci anak nakal itu."
"Jongin pencet bel-nya atau—"
"Mama kan lebih tinggi, Mama bisa memencet sen—"
"—atau uang jajanmu akan Mama potong selama dua minggu."
Mata Jongin membulat melihat senyum sadis mamanya. "Mama sungguh tak adil!"
"Ya, itu terserah pad—"
Kriekk.
Pintu cokelat bergaya klasik itu terbuka. Mata Nyonya Kim dan Jongin beralih menatap pintu di depan mereka.
Sesosok anak kecil mungil, dengan kulit seputih susu dan rambut sehitam arang, dengan baju biru polos sepolos langit tak berawan. Dan dari kesemuanya, yang membuat mata Jongin tak berkedip ialah—
—mata hitam legam besar miliknya. Yang bersinar dan memancarkan kepolosan dan keingintahuan yang besar.
"Apa kalian orang jahat?"
Eh—?
19 Juni 2003, Kim Jongin kecil bertemu dengan Do Kyungsoo. Anak tetangga sebelah yang gemar melempar kerikil ke pagar samping kamar Jongin.
