"Maaf, memang sepertinya aku tidak seberharga itu. Aku ini dungu sekali ya sudah menginterupsi kehidupan kalian. Maaf, aku minta maaf. Aku akan menjauh sekarang. Maaf dan terima kasih untuk semuanya. Aku pergi."


The Truth Untold

BTS! AU. Main Pair: Jeon Jungkook x Park Jimin.

Other casts find by yourself.

All characters written here belong to their almighty God, agency, and parents. I get no profit taken from writing this.


PROLOGUE

Semilir angin senja bergantian meniup pucuk rambut Jimin. Ia yang tengah kalut luar biasa, kini berdiri di batas rel kereta api belakang basecamp milik mereka. Terhitung puluhan menit sejak kali pertama wira itu berdiam diri tanpa melakukan apapun selain melamun. Merenungkan hal yang paling tidak ingin ia lakukan, namun akhirnya terjadi karena suatu kecerobohan.

Getar ponsel tak juga menarik atensi sang wira. Padahal benda itu telah berdering beberapa kali dalam sepuluh menit terakhir. Alasan mengabaikan semua panggilan tadi tentulah karena masalah yang ia hadapi sekarang lebih penting dari apapun. Masalah pengakuan cinta yang membuatnya kehilangan seorang teman.

"Karena sampai kapanpun kamu tidak akan pernah paham kalau aku menyukai temanㅡ sahabat karibku sendiri. Dan orang itu," menghela napas dengan susah payah sebelum melanjutkan ucapan yang tertahan, "adalah kamu."

Taehyung membeku, terdiam tanpa sepatah kata diucapkan. Mulut menganga sebagai reaksi atas ketidakmampuan memproses informasi yang otaknya terima barusan. Ekspresi itu lantas berubah menjadi wajah ceria penuh kebanggaan. Diikuti dengan suara riuh tepuk tangan.

"Keren, ckckck," menggelengkan kepala tanda tak percaya, "teman baikku pintar sekali menyatakan cinta. Aku bangga."

Tepukan tangan berhenti. Suasananya menjadi sunyi. Taehyung menelan ludah yang terasa lebih sulit dari biasanya. Ia pun mendekati wira di hadapannya, "Kalau aku jadi dia, aku pasti terharu dan langsung menerimamu jadi kekasihku."

Tangannya menyentuh pundak kiri lawan bicara, sembari sesekali meremasnya pelan. Seulas senyum ia berikan, "Sekarang, nyatakan perasaanmu pada Jungkook sebelum terlambat."

"Jimin menyukaiku?" tanya seseorang dari luar yang sontak membuat kedua insan di dalam ruangan menoleh ke belakang. Terutama wira berambut pirang yang mati-matian menahan rasa malu bukan kepalang.

"J-jungkook?"

"Aku pikir kita bersama selama ini karena murni berteman, tidak ada perasaan lain seperti suka atau semacamnya?" ucap Jungkook sukses mengintimidasi lawan.

"Aku bisa jelaskanㅡ"

Jungkook membuang muka, jelas-jelas memotong dan meremehkan Jimin yang hendak berbicara. Aura menyeramkan keluar dari tubuh Jungkook, membuat Jimin enggan melanjutkan.

"Mulai sekarang, anggap kita tidak pernah kenal," sejurus keluarnya kalimat barusan, Jungkook meninggalkan ruangan.

"Jungkook! Tunggu! Ini salah paham! Jungkooㅡ"

Taehyung yang sedari tadi diam saja mulai bertindak dan angkat bicara, "Jimin, biar aku yang kejar. Kamu tunggu di sini saja, oke?"

Air mata Jimin terus berjatuhan. Tidak ada inisiatif untuk menyekanya barang sebentar. Yang ada di pikirannya hanya Jungkook seorang. Membayangkan wira itu datang sembari meminta maaf dan memberi pelukan menenangkan. Sayang, itu semua hanya harapan.

Beberapa bulan terakhir memang berat untuk Jimin. Ia tak kuat lagi membendung rasa suka yang ia miliki pada Jungkook. Sebetulnya sudah banyak cara ia lakukan untuk menghilangkan rasa demikian. Lagi-lagi sikap hangat dan perhatian yang Jungkook berikan berhasil menghidupkan kembali benih suka yang Jimin kubur perlahan.

Entah Jimin yang kelewat terbawa perasaan atau Jungkook yang tidak peka pada keadaan. Kalau sudah begini kejadiannya, siapa yang patut untuk disalahkan? Toh, rasa suka tidak bisa dihilangkan secara paksa.

Jimin mengerang frustasi. Kepalanya mendadak pening sendiri. Ia berusaha meredakan rasa sakitnya dengan memijat pelipis. Belum juga hilang, ia menepuk-nepuk (hampir memukul) bagian itu berulang kali sampai dirasa cukup baik.

Matahari benar-benar telah menghilang dari pandangan. Tinggallah semburat jingga keunguan di langit bersama gumpalan awan. Datang kawanan burung kucica yang terbang rendah menuju sarang mereka. Juga kereta cepat yang melintas, pertanda ia harus segera pulang.

.

.

.

.

Hari berikutnya, Jimin masih enggan membuka pesan dan panggilan yang Taehyung kirimkan. Ia takut temannya itu membawa kabar buruk yang semakin memporak-porandakan suasana hatinya. Ponsel itu ia lemparkan ke lantai, untungnya tidak rusak ataupun lecet. Sebab itu ponsel edisi terbatas, hadiah ulang tahun ke-20 pemberian sang ayah.

Sarapan pagi tidak menggugah selera Jimin. Padahal roti isi bacon dan telur mata sapi adalah kesukaannya. Ia hanya mengunyah sesuka hati, tidak benar-benar niat. Bahkan kelihatan malas untuk menelannya.

Biasanya setelah sarapan ia akan pergi bersama mereka. Melakukan hal-hal yang tertulis dalam bucketlist. Namun kini perselisihan antara keduanya seakan menjadi tembok besar tinggi yang memisahkan mereka.

Jimin sungguh tidak apa kalau Jungkook menolak rasa sukanya. Toh, ia sadar laki-laki setampan Jungkook pastilah memiliki standar yang lebih tinggi. Jimin mana mungkin bisa menandingi. Tapi Jimin juga tidak menyangka reaksi Jungkook akan begini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, ia ingin menarik kalimat kemarin dan bersikap seolah tidak ada yang terjadi.

"Tuan muda Jimin, ada tamu yang mencari Tuan," ucap pelayan setia keluarga Park. Ia membungkuk sopan sebelum ijin mengundurkan diri untuk kembali membersihkan taman.

Anggukan Jimin berikan sebagai balasan. Lantas menyudahi acara sarapan setelah menyeruput segelas susu pisang. Tanpa diberitahupun, Jimin tahu tamu yang dimaksud ialah Taehyung. Meski dalam lubuk hati yang terdalam, ia harap itu Jungkook yang datang.

Taehyung berdiri di sebelah pelayan keluarga Park ketika Jimin memanggil namanya. Yang dipanggil menoleh ke sumber suara sembari tersenyum manis, "Hei, Jimin."

Ia berbincang sebentar dengan pelayan keluarga Park sebelum berjalan ke arah Jimin, "Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?"

Jimin mengendihkan bahunya cuek, "kalau sudah tahu jawabannya, kenapa harus bertanya?"

"Aku hanya mau memastikan saja," Taehyung terkekeh, "oh ya, aku dan Jungkook akan pergi ke festival musik malam ini. Aku masih punya satu tiket tersisa. Kamu mau ikut?"

"Jungkook pasti masih marah. Aku yakin dia akan menjauh kalau bertemu denganku."

"Tidak akan. Nanti aku jemput jam tujuh. Jangan lupa."

.

.

.

.

Ini bahkan bukan acara berkencan, tapi Jimin panik bukan main. Ia bingung memilih pakaian mana yang paling cocok dikenakan. Berkali-kali menempelkan setelan di tubuhnya, melihat bayangannya yang terpantul di cermin, lalu membuang setelan itu di atas kasur.

"Astaga, Jimin. Kenapa kamu jelek sekali sih?!" rutuknya pada diri sendiri. Bibir ia kerucutkan sembari menatap cerminan dirinya. Berceloteh tentang betapa gemuk, pendek, tidak menarik, dan bla bla bla lainnya.

Ekor matanya melirik jam digital di atas nakas. Pukul tujuh tepat, "Ah, menyebalkan."

Di bawah sana Taehyung sudah siap menjemput tuan muda Jimin. Wira itu hafal betul kelakuan Jimin yang suka terlambat. Jadi, alih-alih meneriaki Jimin untuk segera menyelesaikan acara dandannya, ia duduk santai sembari mengutak-atik telepon genggamnya. Ia terlihat sesekali tersenyum pada benda mati itu. Kemudian jemarinya mengetik sesuatu tanpa melepaskan senyum yang ia pasang.

"Pesan dari siapa? Senyum-senyum begitu," interupsi Jimin dari atas sana.

Taehyung tidak kaget sama sekali. Ia masih tetap tersenyum selagi melihat Jimin menuruni anak tangga.

"Selamat malam, Jimin. Kamu cantik sekali malam ini," goda Taehyung.

Jimin menggembungkan kedua pipinya. Berusaha terlihat tidak tersipu padahal jelas-jelas guratan merah itu tercetak di sana, "Apasih kamu."

Tertawa, Taehyung sempat-sempatnya menggoda Jimin (lagi). Tangan ia ulurkan seperti seorang pangeran yang tengah mencoba menggandeng putrinya, "Hamba siap mengantar tuan putri kemana saja."

"KIM TAEHYUNG!" teriak Jimin kencang. Tidak memekakan telinga Taehyung sedikitpun sebab suara Jimin amat sangat menggemaskan untuk didengar. Wira pendek itu mencubit kesal bahu Taehyung lantas berjalan meninggalkannya.

Seoul Jazz Festival adalah festival musik jazz tahuan yang diselenggarakan setiap Mei. Berlangsung selama dua atau tiga hari di pusat kota Seoul. Tahun ini penyanyi terkenal di dunia seperti Clean Bandit, Kehlani, Lauv, dan Jessie J ikut memeriahkan acaranya. Tak ayal bila banyak orang berbondong-bondong menyaksikan acaranya.

Lalu lintas memang padat merayap malam ini karena festival musik tersebut. Biasanya hanya butuh lima belas sampai dua puluh menit untuk sampai ke pusat kota. Kini mereka menghabiskan waktu hingga dua kali lipatnya. Belum lagi ditambah antri memasuki venue yang pastinya semakin mengulur waktu.

"Jungkookㅡ dimana?"

"Sudah di dalam," jawab Taehyung selagi masih fokus mengemudi. Manik matanya mengobservasi sekitar; mencari tempat kosong tempat ia memarkirkan mobil nantinya.

"Oh," nada Jimin dipelankan, "dia tau aku ikut ke sini?"

Memarkirkan mobil sudah, sekarang Taehyung menyopot seatbelt dan bersiap keluar dari mobil. Tak lupa mengecek lagi barang yang akan ia bawa ke dalam venue nanti.

"Tae? Jungkook tau aku di sini?" ulang Jimin.

Yang ditanya hanya tersenyum simpul lantas keluar dari mobil. Jimin sedikit geram sebab pertanyaan serius tadi diabaikan. Wira pendek itu pun keluar dengan perasaan sebal.

Taehyung sudah berjalan di depan, meninggalkan Jimin di belakang. Ia sebentar lagi sampai di tempat antrian sedangkan Jimin masih jauh tertinggal. Sesekali Taehyung menengok ke belakang, mencari tahu di mana keberadaan Jimin. Takut-takut bila ia hilang di tengah kerumunan orang. Lagipula tiket masih Taehyung bawa. Jimin tidak akan bisa masuk tanpanya.

"Lambat sekali," ejek Taehyung begitu Jimin sampai di sampingnya.

"Ini semua gara-gara kamu. Coba aja kamu jalannya lebih pelan, aku tidak akan ketinggalan."

Venue sudah penuh. Rupanya Taehyung dan Jimin terlambat datang. Meski tidak melewatkan satupun penampilan, mereka pikir datang saat sepi jauh lebih enak dan nyaman. Mereka harus memberikan usaha ekstra untuk berdesakan menuju tempat paling depan.

Di belakang Taehyung, Jimin menggerutu sebab badannya terasa dihimpit banyak orang. Ia berharap memiliki tubuh yang lebih kurus agar lebih gesit menghadapi situasi seperti ini. Untung lah mereka tidak terpisah.

Berkali-kali Taehyung tampak mendongak mencari sesuatu. Berhasil menemukan sesuatu ㅡatau lebih tepatnya disebut seseorang, ia menampakkan senyuman kotaknya. Tangan besar Taehyung menggandeng Jimin, sedikit menyeret si kecil untuk segera menyusul langkah kaki Taehyung.

"Hai Jungkook?"

"Jimin?!"

.

.

.

.

(to be continued)