.

.

.

.

Kau tahu?

Saat kau mengatakan bahwa kau menyukai-ku, aku sangat bahagia. Tapi, karena rasa bahagia itu, muncul rasa ketidak precayaan. Aku sangat senang, sungguh… hanya saja karena gengsi, aku malah menganggap remeh perasaan-mu. Aku hanya tersenyum geli melihat wajah serius-mu yang dihiasi rona merah.

Saat itu aku kurang yakin akan perasaan-mu, aku malah menganggap angin lalu dan malah meninggalkanmu sambil tertawa mengejek.

Mungkin, waktu itu aku memang belum menyadari bahwa kau tidak hanya sekedar berarti dalam hidupku, tapi kau juga sangat berharga. Bahkan dangan kekayaan yang kupunya, aku berani menjamin kau tidak bisa dibeli oleh kekayaan-ku (tepatnya keluarga-ku) meski orang-orang selalu mengatakan harta keluarga ku tidak akan habis.

Aku percaya harta yang dimilki keluargaku memang tidak akan habis, namun sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa membeli-mu. Karena kau bukan barang, kau bukan benda.. kau manusia, makhluk hidup yang mempunyai harga diri yang tinggi.

Ya, harga diri mu sangat tinggi. Saat itu aku hanya ingin tahu, apakah kau benar-benar menyanyangi-ku? Atau menyayangi Hartaku?

Saat ku tanyakan itu dengan nada mengejek penuh sindiran, wajahmu terlihat merah… namun kini bukan merah karena tersipu malu. Tapi karena Marah, marah karena aku telah menginjak-injak harga dirimu dengan menanyakan harga tubuh-mu.

Apalagi saat itu aku mengatakanya dihadapan teman-temanku, bahkan saat itu teman-teman mu pun ada. Bisa kulihat sirat kemarahan, kekecewaan dan rasa malu.

Saat air matamu mengalir dengan mulus melintasi pipi-mu, aku dan teman-teman-ku malah terkikik geli. Tanpa rasa bersalah aku malah mengejekmu, mengatai bahwa kau cengen, banci!

Tanpa berkata apa-apa, kau tinggalkan kami yang masih terkikik geli menahan tawa. Tak kau hiraukan panggilan teman-temanmu, tak kau hiraukan teman-temanmu yang membelamu habis-habisan dan mencecar kami karena perkataanku yang menyakiti perasaanmu.

Setelah kejadian itu, kau tak pernah menampakkan dirimu di hadapanku lagi. Saat kita bertemu.. lebih tepatnya berpapasan, kau seperti tidak melihatku. Kau tak menghiraukan aku, kau asyik berbincang dengan temamu yang berambut merah itu. Kau terlihat senang, aku belum pernah melihat senyum dan tawamu yang seperti itu. Begitu lepas, tanpa beban.

Saat itu, hatiku terasa sakit. Aku tidak tahu kenapa, masih tak kusadari rasa sakit itu karena dirimu… tidak, tapi karena kesalahanku sendiri.

Sekarang, dua bulan setelah kejadian itu.

Aku tak pernah lagi melihat tawamu dan senyum tulusmu yang kau berikan padaku. Tak kau hiraukan diriku yang mencoba untuk berbicara denganmu.

Semua usahaku untuk meminta maaf padamu sia-sia.

Aku tahu aku salah, aku baru menyadari perasaan ini ketika kau menjauhiku, tak menghiraukanku, menganggapku tidak ada, hanya berbicara apabila ada perlu, itu pun dengan ekspresi yang dingin.

Kau tahu?

Aku menyesali semua perbuatanku. Aku berharap aku memiliki kesempatan untuk meminta maaf, meski dengan resiko tidak dapat memilikimu.

Saat ini yang kubutuhkan adalah kau mau memaafkan aku.

Walau rasa ingin memiliki-mu yang baru kusadari ini terus mengerogoti hatiku, aku akan terus berusaha memint maaf. Dan hatiku yang tak mungkin terobati, apalagi begitu melihat sikap-mu padaku.

Aku tahu, saat mendengar kau diterima bekerja di salah satu perusahaan terkemuka di kota ini, waktuku untuk meminta maaf dan mengungkapkan perasaanku padamu semakin kecil.

Memang, kita bisa bertemu saat Kuliah, tapi… dengan sikapmu yang seperti itu aku sangat yakin kau tidak akan mau mendengarkan-ku. Apalagi dengan prestasi-mu itu, kau akan lebih cepat lulus dari waktu yang seharusnya dan sebentar lagi kau akan di wisuda.

Tidak ada kesempatan untuk –ku mengungkapkannya.

Permohonan maafku dan perasaan-ku.

.

.

.

#

It's You

.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

.

It's you : Hyefye

.

Itachi U.-Deidara

#

.

.

.

"maaf, laporan yang anda minta belum selesai. Dia karyawan baru, jadi mungkin masih menyesuaikan diri."

Terlihat seorang karyawan tengah memberi alasan mengapa laporan yang diminta sang direktur belum sampai padanya.

Tentu sang karyawan tak ingin diamuk atasannya karena laporannya belum selesai. Dengan alasan karyawan baru, ada kemungkinan ia takkan kena amuk atasannya itu.

"hn, baiklah. Akan kutoleri kali ini, pastikan laporan itu selesai sebelum jam istirahat siang."

Sang atasan hanya menanggapi dingin dan memberi intruksi agar sang karyawan keluar dari ruangannya.

Setelah sang karyawan itu pergi, sang atasan beranjak dari singasananya.

Ia hampiri sofa yang berada tak jauh dari singasananya, ia rebahkan tubuhnya yang terasa lelah dan mencari posisi yang nyaman. Dilepasnya kacamata baca yang bertengger manis di pangkal hidungnya.

Tatapan mata sang atasan terlihat kosong, seperti tak ada jiwa didalam bola mata hitamnya. Bolamata hitam itu terlihat semakin kelam dari sebelumnya, tak ada cahaya disana. Hanya ada kekosongan, kehampaan dan… penyesalan.

Setelah merasa tenaganya teraliri kembali, ia beranjak dari sofa dan menghampiri singasananya. Namun ia tak mendudukkan diri, ia menekan tombol di salah satu tombol-tombol telephone itu untuk meminta seseorang membawakannya kopi.

Sepertinya satu cup kopi bisa membuatnya tenang.

Cukup lama ia menunggu kopi-nya namun belum juga datang, merasa bosan menunggu ia hampiri rak buku yang berada tak jauh dari meja kerjanya.

Merasa ada beberapa buku yang belum ia baca, diambilah buku bersampul merah darah.

Dengan wajah yang terbilang serius ia membaca buku-nya, tak dihiraukannya bahwa ia tengah membaca sambil berdiri.

Karena terlalu serius membaca, ia tak menyadari ada seseorang yang memasuki ruangannya.

Dengan langkah yang berhati-hati dia membawa kopi pesanan sang atasan, tangan kanannya sibuk dengan kopi sedangkan tangan kirinya telah dihingapi laporan yang diminta sang atasan.

Laporan? Bukankah tugas seorang office Boy hanya mengantarkan kopi?

Tidak, dia bukan seorang Office Boy, dia adalah karyawan baru di Perusahaan itu.

Entah apa sebabnya sehingga ia berperan ganda.

Pemuda yang membawa kopi dan laporan itu langsung menghampiri meja sang atasan, diletakannya kopi itu.

Merasa was-was karena laporan yang diminta sang atasan terlambat, ia berjalan menunduk dan menghampiri sang atasan yang membelakanginya dan sedang serius membaca buku.

"ma.. maaf kopinya lama, Office Boy sedang sibuk karena banyak pekerjaan jadi saya yang membawa Kopi-nya. Lalu ini…"

Sebelum pemuda berambut pirang bermata biru itu meneruskan perkataannya, sang atasan yang memiliki ciri-ciri rambut hitam serta matanya yang tak kalah hitam membalikkan badannya dan menatap pemuda pirang itu.

" ini… Lapor…"

Kata-kata pemuda pirang itu terhenti ketika ia mengangkat wajahnya dan melihat dengan jelas, siapa gerangan yang menjadi atasannya.

Mata biru-nya terbelalak kaget, bibirnya tak mampu berucap.

'Dia…'

Sang atasan pun tak kalah kaget, dia begitu terkejut dengan karyawan baru-nya yang mengantarkan kopi serta laporan yang ia minta.

Mata hitamnya tak lepas dari sosok pirang yang tengah terdiam.

Sang atasan tidak begitu memperlihatkan raut kagetnya karena dia seorang 'Uchiha'..

.

.

.

Seorang pemuda dengan rambut pirang panjang diikat setengah dan bermata biru, terlihat sibuk didepan computer.

Jari-jari lincahnya tak henti menari-nari diatas keyboard, sesekali ia bergumam tidak jelas.

Walau wajahnya terlihat serius, namun terdapat pula raut wajah cemas dan takut.

Sesekali ia menatap jam berbentuk burung mungil berwarna kuning yang berada disamping komputernya.

Tatapannya begitu focus ke layar computer, jam menunjukkan pukul 11.30 tepat. Laporan yang ia kerjakan harus segera selesai sebelum jam istirahat.

Setengah jam sebelum datangnya jam istirahat.

Raut wajah pemuda pirang itu kini berubah cerah, sepertinya pekerjaannya telah selesai.

Ia menghela nafas lega dan menyandarkan punggungnya pada kursi serta merilex-kan badannya yang terasa kaku.

Setelah 5 menit ia beristirahat, ia beranjak dari meja kerjanya bermaksud memberikan laporan tersebut.

Tinggal beberapa langkah lagi ia akan sampai diruangan sang atasan, tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya.

"Deidara! Kau mau ke ruang Direktur?"

Tanya seorang wanita berambut… biru? Ya, sepertinya begitu.

Dirambutnya ia hiasi sebuah hiasan rambut yang seperti –entah itu benar atau tidak- terbuat dari kertas. Parasnya yang manis, dipercantik dengan hiasan rambut unik itu.

"ah, Konan. Iya, aku bermaksud menyerahkan Laporan ini."

Terang Deidara sembari menunjukkan Laporan yang ia tenteng ke wanita bernama Konan itu.

"hmm.. kalau begitu, aku minta tolong buatkan kopi untuk direktur. Office Boy sedang sibuk mengurusi kekacuan yang dibuat Kakuzu dan Hidan."

Ucap Konan dengan nada memohon dan mengatupkan kedua tangannya didepan wajah manisnya.

Mendengar itu, Deidara hanya menghela nafas pasrah.

"baiklah~~"

Jawab Deidara dengan pasrah.

"Thank's DeiDei!"

Dengan ucapan terimakasihnya Konan, Deidara melangkah dengan gontai untuk membuat Kopi.

Setibanya di dapur, ia mencari-cari semua bahan yang diperlukan untuk membuat kopi.

"uuunnn… mana kopi –nya siihhh~~~"

Deidara mulai kesal karena ia tak menemukan kopinya, begitu pandangannya teralihkan pada sebuah toples dengan tulisan Coffee Ia menepuk dahinya, "ah, bodohnya diriku! Kopinya ada didepan mata-ku~~"

Dengan segera Deidara memasukkan kopi itu dengan ASAL-ASALAN!

Bagimana tidak? Deidara tidak mengetahui selera atasannya itu, karena bagaimanapun juga ia adalah pegawai baru. Jangan salahkan dia apabila rasanya aneh.

Setelah selesai dengan eksperimennya, dengan langkah hati-hati ia berjalan menuju ruang sang atasan yang sudah Deidara duga sedang memaki-maki orang yang membuat kopi karena lama.

Tak begitu lama hinga ia sampai di depan pintu ruang kerja atasannya itu, dibukannya pintu dengan tangan kirinya yang mengapit laporan. Setelah berhasil membuka pintu dengan susah payah, ia masuk dan menutup kembali pintunya.

Ia ambil laporan yang ia apit antara lengan dan tubuh bagian sisinya, ia melangkah menuju meja kerja.

Disamping meja kerja, tak jauh terdapat rak buku dengan seseorang yang ia yakini sebagai atasannya tengah serius membaca buku.

Dengan segera Deidara meletakkan kopi, setelah selesai ia berjalan menghampiri atasannya yang membelakangi dirinya.

"ma.. maaf kopinya lama, Office Boy sedang sibuk karena banyak pekerjaan jadi saya yang membawa Kopi-nya. Lalu ini… Lapor…"

.

.

.

Kedua pasang mata itu saling menatap.

Hitam dan Biru

Dua buah pasang mata yang berbeda bagai siang dan malam itu saling menatap satu sama lain. keterkejutan terlihat di salah satu pasang mata itu.

Mereka tak berkutik, dua menit mereka saling menatap tak ada dari mereka yang mengeluarkan suara satu patah katu pun.

Deidara yang terkejut melihat sang atasan hanya mematung tak tahu harus bebuat apa. Ia tak menyangka, orang yang kini berdiri dihadannya adalah orang yang telah menyakiti hatinya. Orang yang telah mengatakan kata-kata yang menurutnya tak dapat dimaafkan, orang yang telah menginjak-injak perasaannya, orang yang telah mempermalukan dirinya di depan teman-temannya, orang yang telah membuat hatinya hancur, orang yang telah membuat dirinya menangis setiap mengingat perkataan serta sikap orang itu terhadapnya.

Orang yang ia Cintai… sekaligus orang yang ia benci.

Orang itu bernama Itachi.

Seorang Uchiha, keluarga yang terpandang baik di dalam maupun diluar Negara tempat mereka tinggal.

Uchiha Itachi yang ternyata kini adalah atasanya, orang yang harus ia hormati meski ia sangat tidak ingin menghormati orang yang telah menghancurkan perasaannya.

Seandainya Deidara tahu siapa yang menjadi atasannya, ia tidak akan mau menerima tawaran pekerjaan dari perusahaan ini.

Deidara memang tidak melamar kerja pada perusahaan ini, tetapi pihak perusahaan yang mencari mahasiswa yang berprestasi untuk dipekerjakan.

Ketika Itachi mencoba mencari calon Karyawan di Universitasnya, ia sama sekali tidak mengetahui bahwa Deidara adalah satu dari sekian orang yang dipilih perusahaannya. Karena Itachi memerintahkan Konan untuk ikut menyeleksi.

Itachi POV

Aku sangat tak percaya dengan apa yang kulihat.

Kini, orang yang sangat ingin kutemui ada di depan mataku. Dia berdiri di depanku, dia nyata bukan ilusi yang selalu ku lihat kala aku merindukannya.

Orang yang baru kusadari sangat kusayangi, aku tak mampu berkata-kata, tubuhku kaku, terlalu senang dengan kenyataan ini.

Ingin rasannya kurengkuh tubuh yang lebih kecil dariku itu, namun tidak dapat kulakukan.

Aku sadar, aku telah menyakiti perasaannya, aku telah mengatakan hal yang tak pantas pada orang yang kusayangi ini.

Dia terlihat begitu terkejut.

Mungkin dia tak menyangka bahwa akulah yang menjadi atasanya, begitu pula denganku. Aku tidak menduga ia adalah karyawan baru yang menangani laporan yang kuminta.

".. Dei.."

Belum sempat aku melanjutkan kataku, Deidara momotong ucapanku.

"maaf, saya terlambat menyerahkannya. Ini laporannya.."

Perkataan Deidara begitu dingin. Bahkan ia menyerahkan laporan itu dengan berat hati seperti menyesali apa yang telah ia kerjakan atau… menyesal karena ia tak menyangka perusahaan tempat ia bekerja adalah perusahaan milikku.

Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Mungkin dia merasa berat hati karena laporan yang kuminta dari pagi baru selesai saat jam istirahat. Pasti begitu..

Aku menatapnya dengan tatapan yang tak pernah kuperlihatkan pada siapapun. Tatapan yang memang ingin kutunjukkan padannya seorang saat dia menatapku.

Saat ini aku dan dia adalah atasan dan bawahan, sekarang aku harus bersikap professional. Aku harus menahan diriku agar tak memeluknya dan mengucapkan beribu-ribu permohonan maafku.

Mungkin istirahat siang yang akan segera tiba bisa kugunakan untuk meminta maaf padanya dan memulai untuk memperbaiki hubungan kami yang merenggang.

"hn, tak apa."

Hanya itu yang mampu kukatakan namun dengan senyum lembut mengiringi ucapanku.

Aku menghampiri meja kerjaku dan mulai memeriksa laporan itu.

Aku sibuk dan terkagum-kagu karena laporan yang Deidara buat sangat rapi. Tak ada kesalahan sedikitpun, sempurna. Padahal dia baru beberapa hari kerja disini, tak sia-sia pihak universitas memberikan beasiswa padannya. Bahkan gelar mahasiswa teladan pun memang pantas untuknya.

Karena aku begitu serius memeriksa laporannya, aku tidak menyadari Deidara telah berada didepanku.

"saya permisi tuan."

Sepatah kalimat yang terdengar dingin itu mengalihkan perhatianku, kulihat Deidara mulai melangkahkan kakinya menuju pintu.

Sebelum Deidara membuka pintu dan akan menghilang dari pandanganku, dengan cepat aku memanggilnya sehingga ia menoleh kearahku tanpa beranjak dari posisinya dimana tangan kanannya sudah siap membuka pintu.

".. istirahan nanti kita bisa makan bersama?"

dengan nada mengajak ku ucapkan langsung tanpa basa-basi

Aku tidak ingin saat ia telah berada dibalik pintu itu, kesempatanku akan hilang. Memang aku bisa kapan saja mengajaknya makan siang bersama, tapi aku ingin segera menyelesaikan masalah ini. Aku tidak mau Deidara menghindariku lebih lama.

Ku lihat mata Deidara terbelalak sesaat, namun dia kembali pada raut wajahnya yang biasa. Mata Langitnya menatapku heran, mungkin dia bertanya-tanya mengapa aku mengajaknya makan siang bersama. Mengingat hubungan kami yang renggang sejak dua bulan lalu, Deidara pasti merasa sungkan dengan ajakanku yang terasa janggal ini.

Deidara mulai menbuka suara, dari sikapnya sepertinya dia agak gugup, "a.. ma.. maaf saya.."

Aku tahu kata-kata itu akan terangkai menjadi sebuah ungkapkan penolakan, karena itu aku memotong ucapannya.

"nanti kau kujemput, sekarang kau boleh keluar." Ucapku tanpa memperdulikan dia yang akan memprotes ucapanku.

Tapi, karena aku menulikan telingaku dan berpura-pura sibuk dengan dokumenku dia menyerah dan keluar dari ruanganku sambil mengerutu tidak jelas, khas dia sekali.

Aku tak sabar menunggu jam istirahat yang tinggal beberapa menit lagi. Kesempatan ini tidak akan aku lewatkan, bagaimana pun juga aku harus mengutaran isi hatiku dan meinta maaf padanya.

Karena itu aku berharap Deidara mau memaafkan aku…

End Itachi POV

Deidara POV

Istirahat bersama?

Yang benar saja! Bertanya tapi memerintah, bahkan dia mencegahku untuk menolak ajakannya.

Apa yang akan dia lakukan sekarang? Mempermalukanku lagi dihadapan teman-temannya dengan menunjukkan bahwa sekarang aku menjadi bawahannya.

Huh, kalau aku tahu perusahaan ini masih anak dari perusahaan orang tuannya, aku akan menolaknnya dan lebih baik melamar kerja ke perusahaan lain.

.

Aku sangat Syok begitu mendengar ucapan Konan tadi saat aku menanyakan tentang perusahaan ini.

Aku memang tidak tahu menahu seluk-beluk perusahaan ini karena aku dipromosikan oleh dosenku, saat ada pihak perusahaan yang mencari mahasiawa berprestasi untuk dipekerjakan di perusahaan ini.

Perusahaan yang dapat berkembang dengan cepat walau perusahaan ini belum lama berdiri. Pantas saja, ternyata perusahaan ini adalah anak perusahaan keluarganya, Keluarga Uchiha Yang terhormat!

Tapi aku sudah tidak bisa mundur, aku sangat membutuhkan pekerjaan agar aku bisa membiayai hidupku dan biaya pengobatan adikku.

Gaji disini cukup besar untuk karyawan baru sepertiku, mungkin dengan gaji itu aku bisa membiayai hidupku dan biaya pengobatan adikku aku bisa cepat mengumpulkan uang agar adikku cepat sembuh, mungkin setahun cukup. aku akan menghemat pengeluaran sehingga adikku dapat bebas. Karena itu Aku tidak boleh mundur hanya karena dia atasanku.

Dia.. Uchiha Itachi.

Jujur saja aku memang masih menyayanginya. Tapi, bila kuingat perlakuannya padaku rasa sayangku itu akan kalah dengan rasa sakit hati yang kualami. Rasa sakit yang mengakibatkanku membencinya.

Sekarang, aku tidak perduli apabila ia akan mempermalukanku lagi. Aku akan bertahan hingga tahun depan, saat biaya untuk pengobatan adikku terkumpul aku akan mengundurkan diri dari perusahaan ini dan akan mencari pekerjaan yang lain.

Ya.. sekarang aku tak peduli lagi dengannya. yang kupedulikan sekarang adalah adikku, keluargaku satu-satunya.

Aku telalu sibuk dengan pikiranku hingga aku tidak sadar jam istirahat telah tiba.

Karyawan lain mulai menghentikan kegiatan mereka, satu per satu dari mereka keluar ruangan.

Dari beberapa orang ada yang menyapaku untuk mengajak makan siang bersama, namun aku tolak karena tentu saja aku sudah diajak , tepatnya diperintakan makan siang bersama dengan atasanku itu.

Merekapun akhirnya meninggalkan ku dengan beberapa karyawan lain yang masih tinggal ditempat.

Aku melirik kearah ruang dimana atasanku berada.

Entah kenapa aku lebih baik memanggilnya Tuan atau atasan, apabila aku menyebut namanya hatiku akan terasa sakit.

Sudah 10 menit lewat dari jam istirahat, pintu itu tak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda seseorang yang akan keluar.

Huh, jangan-jangan dia hanya mempermainkan aku, dia mengajakku istirahat bersama tapi ternyata dia segaja membuatku menunggu hingga jam istirahat selesai.

Kalau itu benar, aku tak masalah. Aku sudah terbiasa melewatkan jam makan siang.

Lima belas menit… pintu itu masih tertutup.

Kalau saja dia bukan atasanku, aku sudah meninggalkannya dan tak menunggunya. Tapi, aku tidak ingin membuat masalah jadi lebih baik aku menurutinya. Bagaimanapun juga aku karyawan baru disini, jadi jangan berbuat masalah walau itu hal kecil.

"lho Dei? Kau tak makan?"

Aluanan suara lembut yang sangat kukenal itu membuyarkan pikiran-pikiranku.

Kutolehkan wajahku pada sosok itu, Konan. Seniorku baik di Universitas maupun dalam pekerjaan, orang yang kuhormati.

"belum, aku sedang menunggu seseorang."

Ucapku dibarengi senyuman.

Kulihat Konan menganngkat sebelah alisnya tanda binggung.

"seseorang? Bukankah teman-temanmu sudah keluar?"

Tanyanya lagi, kini ia duduk di depan meja kerjaku. Dia mengambil salah satu kursi dari karyawan lain dan meletakkannya didepanku.

"iya, tapi… yang aku tunggu itu bukan salah satu dari mereka."

Jawabku yang agak binggung harus menjawab apa, karena yang ku tunggu itu adalah atasan kami.

Aku yakin Konan akan terkejut apabila aku memberi tahu siapa yang ku tunggu, tentu tidak hanya Konan, karyawan lain pun pasti akan terkejut, karena aku mendengar langsung dari Konan bahwa atasan kami itu TIDAK PERNAH mengajak bawahannya istirahan bersama. Pasti mereka akan terkejut terlebih yang diajak itu karyawan baru.

Konan mengangguk mengerti, "begitu ya.. padahal tadinya aku ingin mengajakmu makan bersama. Yasudahlah."

Aku terkejut mendengarnya, Konan mau mengajakku makan bersama? Akh, kalo saja atasan kami itu tidak mengajakku aku pasti akan langsung menyeret Konan keluar dari ruangan ini.

"uuhh.. kenapa Nee-chan tidak mengajakku dari tadi?" tanyaku mengerutu dengan bibirku yang cemberut.

Konan tersenyum Geli melihat tingkahku yang menurutnya kekanakan.

"hihihi.. maaf, aku kira kau tak ada janji dengan yang lain. oya, kenapa kau memanggilku Nee-chan?"

"eh? i.. itu karena aku menganggapmu sebagai kakak ku.. tak apa kan?" jelasku padanya dan diakhiri dengan kalimat tanya.

Konan tersenyum dan mengangguk. Tangan kanan Kon.. ah, Nee-chan terangkat dan mengarah kerambutku. Dia mengusap rambutku lembut.

"tak apa, aku senang dipanggil Nee-chan olehmu."

Akupun tesenyum mendengar itu. Aku sangat mengingginkan seorang kakak seperti Konan, dia sangat baik padaku. Bagiku, Konan bisa menjadi seperti seorang Ibu.

Tapi, kalo aku memanggilnya Kaa-san aku yakin aku akan masuk rumah sakit detik itu juga.

"ayo pergi Dei!"

Kalimat ajakan dengan nada memerintah itu keluar bukan dari Nee-chan. Tapi dari orang yang kutunggu dari tadi, atasanku.

Kini dia berdiri dengan angkuh disampingku dan Nee-chan, tangan kanannya yang ebih besar dariku menepis tangang Nee-chan yang masih mengusap-usap rambutku.

Sepintas aku dapat melihat dari matanya yang hitam itu sirat… kecemburuan?

Hah? Apa yang kupikirkan. Itu tidak mungkin!

Nee-chan benggong melihat perlakuan atasan kami itu.

Tidak hanya Nee-chan, tak sengaja aku melihat ruang sekitar. Karyawan yang masih ada ikut terkejut melihat atasan kami itu menepis tangan Nee-chan dengan kasar dari rambutku.

Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia menarikku dengan cukup kasar dari posisi dudukku.

Hampir aku terjatuh dari kursi kalau saja aku tidak menyeimbangkan tubuhku.

End Deidara POV

Normal POV

.

,

.

Itachi tak melepaskan gengaman tangannya dari pergelangan tangan Deidara.

Dia terus menarik Deidara keluar dari kantor, tak dihiraukannya rintihan kesakitan Deidara karena cengkraman tangan Itachi begitu kuat dan berpasang-pasang mata menatap mereka dengan tatapn heran, terkejut dan bertanya-tanya.

Sesampainya diluar, Itachi melepaskan cengkramannya dan menyuruh Deidara menunggunya sedangkan dia berjalan ke arah parkiran.

Tak begitu lama, sebuah mobil hitam yang bisa dilihat walau sekali lihat, itu adalah mobil mahal nan mewah. Mobil itu berhenti tepat di depan Deidara, kaca mobil itu terbuka dan memperlihatkan sang pengemudi, Itachi.

Itachi menyuruh Deidara masuk ke mobil, Deidara mengangguk dan membuka pintu bagian depan mobil karena Itachi menyuruhnya duduk disampingnya.

Selama dalam perjalanan, tak ada yang membuka suara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai mereka tiba di sebuah Café yang cukup unik.

Café mungil yang terlihat elegan dengan tatanan yang sederhana.

Deidara kenal betul dengan café yang kini berada di depannya, café tempatnya dan teman-temannya menghabiskan waktu luang.

Café yang menyajikan menu utama berbagai macam cake dan coffee, namun hidangan berat untuk sarapan sampai makan malam tersedia di café ini.

Cat Tail Café..

Begitu yang tertera di spanduk depan café dan ukiran di atas bagian café.

Itachi yang tanpa disadari sudah keluar dari mobil dan kini membukakan pintu untuk Deidara yang masih sibuk dengan pikirannya.

"sampai kapan kau akan diam didalam? Kita sudah sampai, Ayo."

Tanpa menunggu jawaban apapun dan tanpa memperdulikan Deidar ayang masih diam, Itachi menarik tangannya lagi dan membawanya masuk kedalam Café itu.

Setibannya didalam, Itachi mengedarkan matanya untuk mencari tempat yang masih kosong. Matanya tertuju pada teras Café, dibagian luar café tak begitu banyak orang bahkan sangat sepi.

Tanpa melepas genggaman tangannya, Itachi melangkahkan kakinya menuju bagian luar café di ikuti Deidara

Mereka menempati sebuah meja yang disediakan hanya untuk dua orang didekat pagar café itu, pemandangan yang disuguhkan dangat indah dan membuat tentram walau kini siang hari.

Itachi memanggil waiters yang kebetulan telah selesai melayani tamu yang lain. dengan segera waiters itu menghampiri meja Itachi dan menanyakan pesanannya.

Itachi mulai memasan makanan, sedangkan Deidara hanya diam menatap pemandangan di sampingnya. Tanpa sepengetahuan Deidara, Itachi memesankan makanan untuk Deidara.

Setelah selesai dengan pesanannya, waiters itu pergi.

Suasan hening…

Deidara masih sibuk dengan pemandangan disampingnya, sedangkan Itachi… sibuk memandang wajah Deidara yang telah lama ia rindukan.

Bibir Itachi menyinggungkan sebuah senyuman, ia tak memperdulikan pemandangan disampingnya yang sangat indah. Karena baginya, wajah Deidara jauh lebih indah.

Tak berapa lama, makanan yang dipesan Itachi datang dan mengalihkan pandangan meraka kearah waiters yang telah menata makanan itu dengan rapi.

Melihat makanan yang tertata rapi di meja, Deidara mengangkat sebelah alisnya, "kapan memesan makanan?" tanya Deidara terlebih untuk dirinya.

Mendengar nada tanya itu, Itachi hanya tersenyum maklum.

"tak penting kapan Aku memesan, sekarang sebaiknya kita makan. Aku yakin cacing diperutmu sudah demo." Itachi menjawab pertanyaan Deidara.

Deidara menatap makanan yang tersaji didapannya, ia terkejut.

Makannan kesukaannya kini tepat didepan matanya dan memohon untuk disantap Deidara. Deidara melirik sekilas Itachi dan menatap makanannya lagi.

'apa dia tahu makanan kesukaanku?'

Deidara bertanya-tanya dalam hati, namun karena ia menyadari perutnya kini meronta untuk melahap makanan itu ia menyingkirkan dugaannya.

"te.. terima kasih."

Setelah mengucapkan terimakasih, Deidara mulai memakan makanannya.

Mereka makan dengan suasa hening.

Ah, sepertinya yang makan hanya Deidara. Karena Itachi sibuk memandang Deidara yang sedang makan.

Menyadari bahwa hanya dia yang asyik sendiri, Deidara menghentikan acara makannya yang sebenarnya tinggal beberapa suap lagi maka selesailah acara makannya. Ia lalu menatap Itachi.

"maaf, kenapa anda belum menyentuh makanannya? Nanti keburu dingin." Ucap Deidara dengan formal.

Mendengar pertanyaan Deidara, Itachi hanya tersenyum dan mulai mengambil peralatan makannya dan menatap makanannya lalu bekata, "sepertinya memang sudah dingin. Aku jadi tak berselera."

Itachi menyimpan kembali sendok dan garpunya. Dari nada bicarannya, sepertinya Itachi memang tidak berniat untuk makan. Karena saat ini yang ingin ia lakukan adalah menatap wajah Deidara yang makan dengan lahap, menginggatkannya saat mereka SMA. Dimana Itachi dan Deidara cukup sering makan bersama saat jam istirahat.

"eh? Ta.. tapi makananya jadi mubajir. Sebaiknya anda memakannya, lagipula bukankah anda belum makan?"

Deidara mencoba membujuk atasannya itu untuk makan.

"kalau begitu kau saja yang memakan makanan ini." Itachi berkata dengan santai menanggapi perkataan Deidara. Itachi tahu, dia tak akan suka melihat orang menyia-nyiakan makanan. Karena itu, mungkin dengan ini suasana kaku akan berubah. Deidara pasti akan menceramahinya.

"hah?"

"kubilang, kau yang makan." Ulang Itachi.

"anda bercanda? Dengan menu ini saja saya kenyang. Pokoknya anda harus memakan makanan anda!, cepat makan!"

Deidara mengambil sendok yang berada disebelah kanan Itachi dan mengambil makanan itu. Setelah sendok itu penuh dengan makanan, Deidara menyodorkannya kedepan muka Itachi. Dengan isyarat dari wajahnya, ia menyuruh Itachi membuka mulutnya.

Itachi hanya diam melihat tingkah Deidara, tingkah yang dirindukan Itachi setiap dirinya malas makan. Tingkah yang ia kenali saat SMA kelas tiga, dimana awal mereka bertemu.

Itachi masih diam menatap sendok dengan makanan itu. Melihat itu Deidara berdecak kesal dan beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri disamping Itachi, sendok itu masih anteng digengaman Deidara.

"kau itu! Kebiasaan selalu menyia-nyikan makanan." Deidara mulai kehilangan kesabaran, bahkan gaya bicaranya kini sudah tidak Formal lagi.

Dengan sedikit memaksa, Deidara berhasil memasukkan makanan itu kedalam mulut Itachi. "mudah kan? Tinggal membuka mulut, apa susahnya." Omel Deidara setelah Itachi menelan makanannya.

Seulas senyuman bertenger di bibir Itachi, rencananya sukses. Kalau seperti ini, Deidara pasti akan melupakan makannya dan akan menyuapi Itachi.

.

.

.

"kau itu kenapa sih? Tiap aku ajak makan bareng, kau hanya memesan makanan tapi tak kau makan."

Omel Deidara pada Itachi teman sekelasnya yang lebih tua dua tahun dari Deidara.

"aku tidak lapar." Jawab Itachi datar.

"kalau begitu kenapa kau memesan makanan, Baka! Sini aku suapi."

Deidara yang telah selesai dengan makanannya, mengambil makanan Itachi dan mulai menyuapi Itachi.

"ayo, aaa…"

Itachi hanya diam,

masa' dia harus disuapi? Hei, dia itu kelas tiga SMA sekarang. 18 tahun!

Tanpa Itachi sadari, ternyata Deidara berhasil menyesapkan makanan itu ke dalam mulut Itachi entah bagaimana carannya.

Itachi terdiam sesaat, setelah itu karena terlanjur sudah memakannya ia pun menunyah dan menelan makanan itu.

"gampang kan? Tinggal buka mulut, apa susahnya. Biar aku suapi kau dan jangan protes!"

.

.

.

Deidara terus ngomel menceramahi Itachi, kini piring itu telah berpidah tempat ke tangan kiri Deidara. Bahkan Deidara menggeser bangkunya dan meletakkan disamping Itachi.

Itachi yang memang sengaja mendiamkan makanan agar Deidara menyuapinya. Selama Deidara mengoceh dan menyuapinya, Itachi hanya diam dan hanya memandang Deidara. Sesekali Itachi tersenyum tipis, padahal sewaktu mereka di kantor, Deidara menunjukkan sikap dingin pada Itachi dan tak mengatakan apa-apa. Tapi kini, keadaan berubah hanya dengan rencana Itachi yang tahu kebiasaan Deidara.

Isi piring itu kini tinggal beberapa suap lagi, ketika ia menyendok makanan itu dan hendak menyuapi Itachi lagi, gerakan tangannya terhenti. Sontak sikap Deidara yang tiba-tiba berhenti itu membuat heran Itachi, apalagi kini Deidara menarik kembali sendok itu dan menyimpannya di piring. Wajah dengan paras yang bisa dibilang manis itu menunduk, dia simpan piring itu ke meja dan berdiri.

"maaf atas kelancangan saya.. saya tidak bermaksud untuk berbuat hal ini." Deidara membungkukkan badannya dan memohon maaf setelah sadar apa yang ia telah perbuat kepada atasannya itu.

Itachi yang melihat hal itu merasakan sakit pada dadanya, entah kenapa dengan sikap Deidara yan barusan seakan-akan mengangapnya orang lain.

Deidara seakan menganggapnya hanya atasannya saja tidak lebih, padahal Itachi tahu kalau Deidara menganggapnya lebih dari sekedar atasan. Itachi yakin, Deidara masih menyayanginya. Tak mungkin perasaan yang telah hadir dalam hidupnya selama tiga tahun bisa hilang hanya dalam waktu dua bulan. Lagipula sekarang kan mereka sedang istirahat, seharusnya posisi mereka bukanlah atasan dan bawahan, melainkan 'teman' makan siang bersama. Jadi untuk apa bersikap formal? Hal ini tentu saja membuat Itachi kesal.

"kenapa kau berhenti?" nada suara Itachi terdengar menahan sakit, ia tak mananggapi permohonan maaf Deidara.

Deidara menegakkan badannya dan menatap Itachi binggung. "maaf.. maksud anda apa?" tanyanya tak mengerti.

Itachi memejamkan matanya sesaat lalu menatap Deidara tajam, "bukankah kau biasa melakukan ini? Kenapa kau malah berhenti?" kini Itachi malah berbalik bertanya.

"ta.. tapi anda atasan saya, tidak seharusnya saya sebagai bawahan anda melakukan hal lancang seperti tadi." Deidara menundukkan wajahnya lagi, dia tahu tatapan tajam itu menunjukkan kilat kemarahan.

Itachi terdiam sesaat, mencerna perkataan Deidara.. 'atasan dan bawahan? Huh, Jadi begitu.. sekarang kau hanya menganggapku atasan saja.'

"atasan dan bawahan? Ya, kau benar, dan lagi… mana ada seorang bawahan mencintai atasannya." Perkataan Itachi yang menyidir Deidara sontak membuat Deidara menatap Itachi.

Tatapan Deidara menunjukkan tatapan kesakitan, padahal saat tadi ia menyuapi Itachi, ia telah melupakan rasa sakit hatinya. Tapi kini, atasannya telah membuka lukanya.

Tubuh Deidara bergetar, sepertinya ia menahan bendungan air yang kini mulai menghiasi pelupuk matanya. Kedua tepak tangannya ia kepalkan dengan kuat, mencoba membendung amarah.

Deidara tak mampu berkata apa-apa, karena yang dikatakan oleh atasannya itu benar. Dia masih mencintai Itachi…

Deidara meronggoh saku celananya dan mengeluarkan Dompet. Ia ambil beberapa lembar uang untuk membayar makanannya. Untung makanan yang dia makan adalah makanan yang sering ia pesan, sehingga ia tahu berapa harga makanan itu.

Tanpa menatap Itachi yang masih diam membisu, Deidara meletakkan uang itu di meja dan segera angkat kaki meninggalkan Itachi yang termanggu mencerna kejadian barusan.

Itachi hanya mampu tertawa miris, bahkan hanya untuk mengatakan maaf pun dia tak mampu. Kenapa bibirnya selalu mengeluarkan kata-kata yang berlawanan?

Apa tak ada harapan baginya untuk memulainya dari awal lagi? Teori memang lebih mudah untuk dihafal, tapi prakteknya yang sulit untuk dilakukan sekalipun teori telah dimengerti, sampai-ampai tak memerlukan lagi teks untuk menggingat. Apakah perlu ia lanjutkan usahanya? Perlukah ia terus mengejar Deidara untuk mengungkapkan hal sebenarnya?

Biarlah waktu yang menjawabnya, biarlah kata hati dan logika menguntai jalannya hidup ini. Biarkan waktu mengalir meski waktu terbuang sia-sia, selama tujuan tak berubah, selama yang dikejar masih dapat digenggam.

-Forgive me… I love you, Dear.-

.

.

.

_Hyefye_