WARNING

AU, OOC, sedikit Crossover.

Summary

Siapa yang masih percaya dengan cerita dongeng di jaman serba moderen seperti ini. Hinamori juga tidak mempercayai dongeng seperti itu sampai dia bertemu langsung dengan seorang peri. Pangeran peri yang tersesat di hutan. Pangeran tampan dengan rambut putih keperakannya yang berkilauan.

.

.

.

"Hinamori, meja nomer lima sudah kamu bersihkan?"

"Sudah!" balas Hinamori Momo. "Bawel banget sih si bos. Tanpa disuruh juga pasti aku bereskan. Memangnya siapa sih rombongan tamu yang menempati ruangan VIP itu sampai-sampai restoran ini harus ditutup dan kita harus kerja lebih giat," keluhnya pada sesama rekan kerjanya.

"Katanya sih orang penting. Pejabat negara atau semacamnya."

"Katanya kan? Paling-paling hanya senator. Atau anggota dewan parlemen." Hinamori Momo menjibir. Dia bergeser ke meja sebelah. Meja nomer enam. Meja ini sudah dia bersihkan bahkan sebelum tamu-tamu penting itu datang, tapi tetap saja si bos kembali menyuruh anak buahnya membersihkan kembali.

"Tapi tamu yang datang kali ini masih muda dan keren-keren loh! Nggak tertarik nih Momo?"

"Memang sekeren apa!" cela Hinamori sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengelap permukaan meja yang masih mengkilap.

Baginya tidak ada satu pun laki-laki di dunia ini yang lebih keren, lebih tampan, lebih segalanya dari pangeran peri-nya. Peri yang ditemuinya ketika dia masih tinggal sebatang kara di dalam hutan. Peri itu juga yang telah memberinya keberanian untuk menata masa depannya. Keluar dari belenggu kemiskinan.

"Pokoknya keren lah! Lihat saja sendiri."

"Ya, ya."

.

.

.

A Beach Fanfiction

Fairytale

.

Bleach © Kubo Tite

Fairytale lyrics © Yuki Kajiura

.

.

.

I remember the dream that

I have left behind in my childhood

and I sing sweetly, delicately

of the bright green colored sorrow

my fairy tale

"Juushiro, tunggu!"

Ukitake Juushiro tidak mempedulikan larangan sahabatnya. Dia terus memacu kuda putihnya, cepat, lebih cepat dan lebih cepat lagi meninggalkan sahabat dan butler-nya di belakang.

Hari ini dia begitu bahagia. Setelah hampir sebulan dokter mengharuskan tubuhnya berbaring, akhirnya hari kebebasannya datang juga. Tidak ada tubuh lemah, tidak ada batuk yang menganggu, tidak ada makanan yang tidak boleh dimakan, tidak ada yang bisa melarangnya melakukan apa pun yang dia suka. Dia bebas sekarang. Karena itu, hari ini dia akan memacu kudanya, memacu adrenalin-nya. Menikmati terik matahari dan hembusan angin. Menikmati kebebasannya.

Kuda yang ditunggangi laki-laki jangkung berambut keperakan itu akhirnya mencapai batas kekuatan fisik. Dia tidak mampu berlari lagi. Kuda itu berjalan pelan menyusuri sungai kecil dengan airnya yang jernih.

"Kita istirahat dulu," kata Juushiro pada kuda putih itu. Dia melompat turun dari punggung kudanya dan melepas alas kakinya. Juushiro menginjakkan telapak kakinya yang telanjang ke dalam sungai. Rasa dingin menyegarkan langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Tidak tahan dengan sensasi menggoda yang diberikan, Juushiro berjongkok dan membasuh wajahnya dengan air.

Laki-laki dewasa itu dalam sekejap berubah jadi bocah laki-laki. Dia tidak peduli siapa dirinya. Dia melepas pakaian yang melekat di tubuhnya dan bermain air hingga seluruh tubuhnya basah. Rambutnya yang indah berkilauan seperti permata di bawah sinar matahari senja. Dia bahkan tidak peduli tubuhnya yang putih mulai kemerahan karena dingin.

Kalau saja hawa dingin yang menusuk tidak mengusik hidungnya dan membuatnya bersin-bersin mungkin Juushiro akan tetap di sana. Dia kembali naik ke daratan. Membiarkan tubuhnya kering oleh angin sebentar baru kembali mengenakan pakaiannya.

Setelah hawa dingin yang semakin menusuk, sekarang ganti perutnya yang mulai meronta-ronta tidak sabar. Semenit kemudian Juushiro mulai merasakan rasa leleah di sekujur tubuhnya. Kepalanya mulai terasa pusing. Akhirnya dia merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau. Bau tanah langsung tercium, aroma yang menenangkan. Sudah lama dia tidak menikmati hari-hari santai seperti ini. Juushiro bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia bisa berbaring sesantai ini di atas rumput pekarangan rumahnya. Sejak dirinya di tetapkan sebagai calon penerus ayahnya, hari-hari sibuk terus mengejarnya. Mengurus ini itu. Menghadiri rapat ini itu. Pergi ke sana kemari.

Kadang dia ingin kembali ke masa kanak-kanaknya yang menyenangkan. Bermain bebas tanpa terbebani apapun. Berlari kapan pun dia mau. Tidak seperti sekarang. Terkekang oleh rutinitas dan semua aturan.

Juushiro memutar kepala. Bola mtanya mengamati sekeliling. Hamparan rumput dan pohon-pohon tinggi menyadarkannya. Dia tersesat! Tidak ada siapapun. Dia memacu kudanya terlalu cepat tanpa ada yang bisa mengejarnya.

Tapi sudahlah, apa yang perlu dia takutkan. Seseorang akan datang dan mencarinya. Pasti! Karena kalau dirinya sampai tidak ditemukan, kekacauan akan melanda negri ini. Yang paling penting sekarang mencari tempat untuk berteduh dulu dan mencari sesuatu yang bisa dimakan.

Bingung, tidak tahu harus kemana akhirnya dia menuntun kudanya berjalan mengikuti aliran sungai. Mungkin di ujung sungai sana ada pemukiman penduduk. Dia akan menumpang di sana semalam.

Malam semakin larut. Bulan juga sudah tinggi. Entah berapa lama dia menusuri jalan ini, tapi sampai sekarang tidak satupun terlihat pemukiman penduduk. Jangankan pemukiman penduduk , bayangan manusia saja tidak terlihat. Juushiro mulai putus asa. Mungkin malam ini dia harus tidur beratapkan langit malam. Juushiro sudah pasrah. Dia turun dari punggung kuda. Mengikat kuda di sebuah pohon, sedangkan dirinya menyandarkan tubuhnya dia pohon yang lain. Tubuhnya terlalu lelah. Kelopak mata juga mulai susah di buka. Juushiro akhirnya terlelap.

I knew there was an eternity

where everything would not end

There is no one who would

speak of our story anymore

Loh, kenapa ada orang disini? Hinamori Momo yang baru pulang dari berburu menemukan sosok manusia yang sedang terlalap di bawah pohon. Hinamori memutur bola matanya. Tidak ada semut di sekitarnya dan ada seekor kuda. Apa dia tersesat? Tidak pernah ada manusia di hutan ini selain dirinya. Tapi kalau manusia, rasa-rasanya juga terlalu aneh. Apa yang membawa manusia masuk ke hutan yang tidak ada apa-apanya ini.

"Hei," Hinamori mengguncang tubuh itu pelan.

Mata yang terpecam perlahan terbuka. Sepasang mata itu menatap lurus Hinamori, mencri tahu semua informasi yang bisa di dapatkan dari wajah mungil itu.

"Aku tidak mengenalmu, kamu siapa?" tanyanya bingung. Wajahnya tidak familiar.

"Aku?" Hinamori menunjuk dirinya. "Hinamori Momo. Apa kamu peri hutan?" tanya Hinamori polos.

"Aku? Peri hutan?" Juushiro bingung, tidak paham apa yang dimaksud gadis bernama Hinamori itu. Siapa yang percaya dengan peri di jaman moderen seperti ini? Dirinya pasti sedang bermimpi!

Juushiro mencoba berdiri. Memastikan dia benar-benar terjaga bukan sedang berhalusinasi.

Bruk!

Kakinya terlalu lemah untuk menopang berat tubuhnya. Untungnya gadis itu dengan sigap menangkap tubuhnya. Meskipun dia sendiri hampir jatuh tertimpa tubuh Juushiro.

"Kulitmu dingin sekali." Hinamori memapah tubuh lemah itu.

"Maaf," jawab laki-laki berambut perak itu sambil nyengir.

"Aku punya gubuk kecil di dekat sini, mau menginap di sana?" tawar Hinamori.

"Dengan senang hati," jawab Juushiro cepat.

Hinamori langsung memapah tubuh itu dan membantunya menunggangi kuda putih yang terikat sedangkan dia memilih berjalan.

Kehangatan yang berasal dari tungku api yang digunakan untuk memasak menyelimuti gubuk mungil tersebut ditemani aroma khas daging yang di panggang.

Juushiro menutupi tubuhnya dengan selimut usang pemberian Hinamori sambil mengamati gadis itu memanggang seekor ayam

"Ini, makanlah dulu." Hinamori memberikan potongan pertama daging ayam yang baru matang pada tamunya.

Juushiro langsung menerima paha ayam bakar yang baru saja diberikan Hinamori. Tanpa sempat mengucapkan terima kasih dia langsung mengoyak daging ayam dan melumatnya.

"Kamu tersesat?" tanya Hinamori sambil mengambil posisi duduk bersila, berhadap-hadapan dengan Juushiro.

Juushiro mengangguk.

"Kenapa seorang peri hutan bisa tersesat di dalam hutan?"

"Kenapa dari tadi kamu berpikir aku ini peri?"

"Rambut keperakan itu!" Hinamori menunjuk rambut panjang Juushiro yang tergerai indah dan berkilauan oleh cahaya api. "Boleh aku menyentuhnya?"

Juushiro kembali tertawa. "Silahkan."

Hinamori mengulurkan tangannya, sedikit ragu-ragu, tapi dia putuskan untuk merasakan sensasi dari rambut indah itu.

"Wow!" pekiknya senang. Rambut itu begitu lembut sepeti bulu kelinci yang biasa di burunya.

"Apa rambutku begitu aneh?" tanya Juushiro bingung.

Hinamori buru-buru menggeleng. "Tidak! Baru kali ini aku menyentuh rambut seorang peri. Ternyata rasanya seperti ini. Halus dan lembut. Tidak seperti rambutku," Hinamori nyengir lebar sambil menyentuh rambutnya, membandingkan dengan rambutnya yang tidak terawat.
"Peri ya?" Juushiro bicara sendiri, "Kenpa kamu yakin kalau aku ini peri?"

Hinamori berpikir, "Apakah aneh untuk seorang gadis berusia lima belas tahun masih percaya cerita dongeng?"

Juushiro tidak menjawab, dia hanya tertawa.

"Jangan tertawakan aku!" bentak Hinamori. "Setahun yang lalu, sehari sebelum meninggal ibuku bercerita padaku kalau dia melihat seorang peri. Lagi pula rambutmu berwarna perak padahal kamu masih muda, apa itu tidak aneh! Lalu mana ada manusia yang masih berada di dalam hutan tengah malam begini! Kalau bukan peri apa lagi?"

Juushiro tertawa makin keras, dia sampai terpingkal-pingkal. Sudah lama dia tidak tertawa selepas ini. Semenjak menginjak usia akil balik dia dilarang menunjukkan emosinya secara gamblang di depan orang lain.

Lucu, benar-benar lucu gadis di depannya. Rambutnya putih keperakan karena dulu waktu kecil dia sering sakit. Untuk menyembuhkan penyakitnya dia harus di suntik dan minum obat keras, salah satu efek sampingnya adalah merubah rambutnya yang dulu hitam jadi putih keperakan. Dia justru benci sosoknya yang seperti orang albino. Lagi pula apa yang aneh jika menemukan seseorang tersesat dalam hutan.

Yang aneh justru gadis di depannya. Dia percaya begitu saja pada laki-laki yang baru di temuinya. Mengajaknya ke dalam rumah tanpa rasa curiga. Bagaimana kalau laki-laki yang dia pungut adalah seorang penjahat. Apa dia tidak berpikir sejauh itu. Lebih aneh lagi kenapa dia tinggal seorang diri di dalam hutan. Di mana orang tuanya. Juushiro baru menyadari ke anehan itu.

"Dimana orang tuamu?"

"Ayahku meninggal waktu aku masih bayi, ibuku meninggal setahun yang lalu." Wajahnya yang selalu ceria tiba-tiba berubah sedih.

"Kenapa memilih tinggal di dalam hutan?"

"Aku tidak punya rumah. Ibuku berhutang banyak pada lintah darat. Kami terbelit bungan pinjaman. Rumah kami di sita. Lalu kami pindah ke mari."

"Lalu bagaimana kamu bertahan hidup selama ini?"Juushiro semakin tertarik mendengarkan kisah hidup Hinamori dia tidak peduli jika pertanyaanya dapat mengorek luka lama Hinamori.

"Hutan ini memberikan kehidupan. Ada banyak buah yang bisa dimakan. Ada air yang terus mengalir. Ada binatang untuk diburu, apa yang aku takutkan?"

"Kebutuhan lainnya seperti baju, sekolah dan lain-lain?"

"Aku mencari kayu bakar atau menjual hasil buruanku di desa sana," telunjuknya menunjuk ke arah selatan. "Dari sini kesana kalau jalan kaki hanya makan waktu dua jam."

Mata Juushiro memandang kagum manusia di depannya. Dia kagum pada semangat hidup dan sifatanya yang pantang menyerah membuat hatinya terpesona. Harusnya dia belajar dari gadis itu. Di bandingkan takdirnya. Takdir Hinamori jauh lebih buruk. Meski bertubuh lemah, Juushiro tidak pernah berpikir apakah besok dia masih bisa makan. Kalau ingin sesuatu dia tinggal meminta.

"Bagaimana denganmu? Ceritakan tentang dunia peri!"

Juushiro pasang wajah bingung.

"Ceritakan saja bagaimana kehidupanmu sehari-hari. Oh ya aku bahkan belum tahu siapa namamu!"

Juushiro berpikir sebentar. Bagaimana dia harus bercerita. Lalu amankah dia jika dia menceritakan jati diri yang sebenarnya pada orang asing yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu.

Lalu sebuah ide melintas di kepalanya. Ide iseng.

"Aku seorang pangeran di bangsaku."

"Wow!" Hinamori memekik girang. "Calon raja berikutnya?"

Juushiro mengangguk, "Begitulah. Aku akan jadi raja beberapa tahun lagi."

"Lalu seperti apa negri peri? Seperti apa rumah pangeran? Seperti apa teman-teman pangeran.," Hinamori menyerangnya dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Stop. Satu-satu tanyanya. Apa dulu yang mau kamu dengar?"

Hinamori terlihat berpikir, "Ah, aku ingin tahu kehidupan sehari-hari pangeran."

"Kehidupan sehari-hari ya?"

Hinamori mengangguk.

"Seperti manusia pada umumnya. Ketika sudah waktunya bangun, butler-ku akan masuk ke kamar membangunkanku. Lalu dia menyiapkan semua keperluanku. Mulai dari sarapan, pakaian sampai jadwal kegitan hari itu. Lalu aku memulai hariku, mengerjakan tugas-tugasku. Kalau sudah selesai aku akan menyuruh butler-ku meninggalkanku dan aku bebas melakukan apa yang kumau."

"Seperti apa butler Anda? Seperti apa rasanya hidup selalu dilayani orang lain?"

"Butlerku, kurang lebih sama denganku."

"Rambutnya putih keperakan?" Hinamori tampak bersemangat.

"Begitulah! Dia selalu bersamaku sejak kecil. Semenjak aku bisa mengingat."

"Seperti apa rumah pangeran?"

Juushiro coba membayangkan tempat tinggalnya. Baru kali ini dia dapat pertanyaan seperti ini. Juushiro sendiri tidak pernah terlalu memperhatikan hal-hal sepele seperi itu. Akhirnya yang bisa dia bayangkan hanya sensai yang dirasakan sehari-hari.

"Rumah yang selalu di sinari matahari. Bercahaya." Juushiro membayangkan tentang pagi hari di dalam kamarnya. Jendela-jendela panjang yang menutupi dua sisi ruangan. Sinar hangat yang menyambutnya setiap pagi. "Lalu ketika kau keluar rumah, hamparan taman indah menantimu." Hanya itu yang bisa di gambarkan Juushiro. Dia memang tidak terlalu mengenal kediamannya. Yang dia ingat hanya kamar tidur, ruang kerja dan ruang makan. Ruangan besar-besar dengan wallpaper warna salem dengan motih bunga-bunga lembut di setiap ruangan. Rumah yang dingin meski sepanjang tahun cahaya matahari menyinari rumah itu. Tidak ada orang tua, tidak ada saudara. Hanya sendirian ditemani seorang butler dan puluhan maid.

Hinamaro terdiam. Pikirannya sibuk berimajinasi. Dia membayangkan bangunan putih megah dikelilingi pekarangan hijau nan indah dan matahari membuat istana putih itu berkilau seperti permata. Lalu dia juga membayangkan penghuninya. Kalau pangeran dan butler di negri peri itu berambut keperakan indah, semua orang di sana pasti memiliki rambut yang sama. Hinamori membayangkan seandainya ada sekumpulan orang berambut perak menari di tengah pekarangan itu dan matahari bersinar di atas mereka, entah akan terlihat seperti apa kilau rambut keperakan itu.

"Hinamori," panggil Juushiro.

"Ya," jawab Hinamori.

"Apa cita-citamu?" Juushiro baru kepikiran soal itu setelah membandingkan kehidupan yang dijalaninya dengan kehidupan yang dijalani Hinamori. "Sampai kapan kamu akan tinggal disini?"

Juushiro memutar kepalanya ke kiri ke kanan ke atas dan ke bawah. Rumah itu terbuat dari papan kayu. Sebuah ruangan berbentuk persegi empat dengan tungku untuk menyalakan api di tengah ruangan. Dan di bagian kanan ada sebuah kasur yang sudah usang. Di bagian kiri berjejer baju gadis itu yang sedang di keringkan. Kondisi yang memprihatinkan.

"Entahlah. Tapi aku nyaman di gubukku. Tapi mungkin kalau sudah dewasa nanti aku ingin menikah dan memiliki toko bunga." wajah Hinamori terlihat berbinar-binar tapi sedetik kemudian berubah sedih. "Tidak mungkin terkabul kan?"

"Tidak ada yang tidak mungkin," Juushiro menyemangati Hinamori sambil menepuk pundak gadis itu.

"Sudahlah, aku tahu itu. Tidak perlu menghiburku," balasnya cepat sambil menyingkirkan tangan Juushiro.

"Kalau begitu, bagaimana denganku? Menurutmu, mungkinkah seorang manusia bisa bertemu peri di jaman moderen ini?"

Hinamori tampak berpikir. Iya ya. Dulu waktu ibu cerita dia melihat peri, aku berpikir ibuku sedang berhalusinasi karena tubuhnya deman tinggi. Tapi sekarang, Hinamori memegang dahinya, tubuhnya tidak sedang demam. Jadi tidak mungkin mahluk di depannya ini hanya ilusi semata.

"Ada pengecualian untuk mahluk gaib!" Hinamori membela diri.

Juushiro kembali tertawa.

"Kita buat taruhan!"

"Taruhan apa?"

"Aku akan memberimu kesempatan lalu tugasmu berjuang sekuat tenaga mewujudkan impianmu itu! Bagaimana? Berani bertaruh?"

Hinamori kembali berpikir. "Tidak buruk!" jawabnya riang. "Lalu kalau aku menang? Apa yang kudapat?" Hinamori balik menantang.

"Aku akan menemuimu lagi. Lalu akan kutunjukkan dunia ku padamu."

"Janji?" Hinamori menawarkan kelingkingnya.

"Janji!" Juushiro mengaitkan kelingkingnya di kelingking Hinamori.

Where are you going?

leaving only one kiss behind

holding on to a light

You vanish into the wood

in the dark

"Tuanku," sebuah tangan dingin mengguncang tubuh Juushiro yang terlelap. "Tuanku, Anda baik-baik saja?" Juushiro coba membuka matanya meski itu susah. "Tuanku, tolong jawab aku!"

"Gin," panggil Juushiro sambil membuka matanya pelan-pelan.

"Ini saya, Tuan."

"Bantu aku duduk!"

Gin dengan sangat hati-hati memapah tubuh lemah Juushiro dan membantunya duduk. "Apa yang terjadi Tuan? Bagaimana tubuh anda, Tuan?"

"Aku baik-baik saja! Berkat gadis ini!" Juushiro melirik Hinamori yang tertidur pulas. Tangannya tanpa sadar mebelai wajahnya yang polos dan terlelap.

Ichimaru Gin, butler Juushiro, laki-laki dengan mata sipit dan rambut putih keperakan itu mengerutkan dahinya. Sifatnya yang selalu curiga membuat otaknya berpikir sesuatu telah terjadi antara gadis tidak dikenal itu dengan majikannya. "Tuan, apa yang terjadi semalam!" tanyanya setengah membentak. Maklum saja sifat curiganya itu juga berasal dari sifat majikannya yang kadang suka bertindak semaunya. Lalu kalau ada masalah, gin yang bertugas membereskannya.

"Kecilkan suaramu!" perintah Juushiro sambil menempelkan telunjuk kanannya ke bibir. "Aku tidak gila, dia masih di bawah umur, tidak mungkin aku berbuat macam-macam!" bentaknya.

"Untunglah," gin mengelus dada dengan jari-jarinya yang kurus. Rasa lega terlintas di wajahnya.

"Hei, jangan selalu berpikiran buruk tentangku," protes Juushiro.

"Apa boleh buat. Tiba-tiba saja Tuan berlari secepat angin, kami berempat coba mengejar, tapi anda keburu menghilang. Kami mencari anda semalaman, kami takut sesuatu yang buruk terjadi pada anda. Lalu menjelang subuh, butler Sebastian akhirnya bersedia mengatakan keberadaan anda setelah mati-matian merahasiakan keberadaan anda. Lalu saya langsung menuju kemari. Saya begitu cemas, tapi ternyata, Tuan enak-enakan berduaan dengan seorang gadis di bawah umur!" ledek gin.

Juushiro melotot mau marah tapi di tahannya. Dia baru sadar kalau dirinya sudah membuat banyak orang cemas. Melihat ekspresi cemas butler-nya, dia jadi merasa bersalah. Tidak seharusnya dia bertindak sembarangan. Sebentar lagi dia akan naik tahkta seharusnya dia bersikap lebih bijaksana dan bertanggung jawab.

"Maaf," katanya tulus.

"Jangan katakan itu Tuan, hambamu ini tidak berhak menerima ucapan maaf dan terima kasih."

Gin melepas satu perstu kancing mantelnya yang panjang dan tebal dan melepaskan mantel yang melindungi tubuhnya dari hawa dingin. "Kalau tuanku tidak geberatan, ijinkan saya mengenakan mantel ini pada tubuh anda."

"Terima kasih, Gin," Juushiro tersenyum. gin memakaikan mantelnya pada tubuh Juuahiro yang dingin. Tidak masalah jika dia yang kedinginan asalkan majikannya tidak. Gin memeluk erat tubuhnya. Rasa dingin langsung menusuk melewati kulitnya. Matanya mengamati sekeliling ruangan. Mengerikan, pikirnya. Dia benar tidak bisa membayangkan majikannya bisa tertidur di tempat sekumuh ini. Meskipun itu hanya semalam. Benar-benar tidak pantas!

Matanya lalu beralih pada sosok Hinamori, gadis bertubuh mungil itu meringkuk kedinginan dalam tidurnya. Matanya meneliti setiap inchi tubuh itu. Lagi-lagi dia meras curiga. Kalau mengingat status majikannya. Meski dia tersesat di pulau tidak berpenghuni sekalipun pasti akan datang manusia-manusia yang menawarkan diri menolongnya. Yang jadi masalah setelah itu. Mereka tidak pernah ikhlas membantu. Mereka menolong karena mereka tahu yang mereka tolong adalah seorang putra mahkota. Tentu saja mereka mengharapkan balas budi atas kebaikan mereka. Dan saat terbangun nanti, apa yang diminta gadis itu pada majikanya sebagai balas jasa.

"Gin, nyalakan api di tungku itu supaya Hinamori tidak kedinginan. Kasihan dia." telunjuk Juushiro menunjuk ke tengah ruangan.

Gin langsung berjalan mendekati tungku perapian yang ada di tenah ruangan. Dengan cekatan dia menyalakan api dan menghangatkanb seisi ruangan. Dia tidak lagi memeluk tubuhnya. Hangat dari api memberikan kenyamanan pada kulitnya. Setelah puas menghangatkan diri, dia kembali mendekati Juushiro yang terlalu sibuk mengamati dan membelai gadis yang tadi dipanggilnya Hinamori.

"Tuan, lebih baik kita pergi sebelum dia terbangun."

"Ya, kamu benar."

Juushiro menatap Hinamori lekat-lekat untuk terakhir kalinya lalu tanpa diduga dia memberikan sebuah kecupan di dahi Hinamori.

"Tuan!" Gin memekik tertahan melihat ulah genit majikannya.

Juushiro terkekeh tertahan melihat reaksi gin. Wajahnya yang shock membuat sepasang matanya yang sipit membulat. "Jangan berprasangka buruk padaku! Aku hanya pamit, itu saja!"

"Tapi itu tidak perlu berupa ciuman! Lagipula setelah ini kita masih harus mengabulkan permintaannya, sebagai balas jasa karena telah menolong anda," kata gin sewot.

"Iya ya, aku belum tanya dia mau minta apa," kata Juushiro santai. Dia jadi ingat waktu kecil dulu dia pernah terjatuh ke jurang, sebuah keluaraga menolongnya, lalu sebagai balas jasa tanpa sungkan keluarga itu minta di beri sebuah rumah mewah.

"Baguslah kalau begitu, ayo kita pergi." gin kalau bisa dia ingin menarik lengan Juushiro dan menyeretnya keluar dari tempat kumuh ini dari tadi. Sayang statusnya tidak mengijinkan. Dia hanya orang biasa. Bukan keluarga bangsawan. Dia tidak boleh menyentuh mereka para anggota keluarga kerajaan sembarangan.

Juushiro beranjak dari duduknya. gin mengawasi di samping. Berjaga-jaga jika tubuh lemah itu terjatuh. Dia akan berada di sana siap memapahnya. Samapi sesuatu yang tidak terduga kembali terjadi dan mata sipit itu kembali membulat.

Juushiro melepas kalung yang selalu dipakainya dari kecil dan melilitkan kalung dari emas putih tersebut di pergelangan tangan kanan Hinamori.

"Tuan, apa-apan ini!" sangkin kagetnya dia sampai memegang lengan Juushiro kencang. Sedetik kemudia dia buru-buru melepaskannya.

"Tidak apa-apakan. Buat kenang-kenangan. Aku akan menghilang dan untuk memastikan bahwa semalam dia tidak sedang bermimpi bertemu peri, aku memberikan tanda bukti." Juushiro menjawab santai. Dia tidak peduli dengan reaksi penolakan butler-nya.

Setelah selesai memasang kalung yang sekarang terlihat seperti gelang tangan Juushiro berjalan keluar. Gin membuka pintu untuknya. Di depan gubuk itu terparkir sebuah mobil mewah berwarna hitam. Seabastian, butler Earl Ciel Phantomhive sahabatnya, memberi salam padanya dengan sedikit menundukkan kepalanya.

Tangannya yang panjang menggeser pintu mobil. Mempersilahka Juushiro masuk dan menunjukkan sebuah sofa mewah di dalam mobil tersebut dengan sang Earl yang duduk santai sambil menatap galak pada Juushiro.

Juushiro masuk ke dalamnya dan langsung merebahkan tubuh yang lelah tersebut di atas sofa yang hangat dan nyaman. "Maaf," katanya santai.

Earl Phantomhive makin melotot. "Bikin susah orang saja!" bentaknya kesal. "Apa saja yang terjadi?"

"Tidak terjadi apa-apa," jawab Juushiro enteng.

Sebastian menutup pintu lalu terdengar bunyi pintu dibuka di bagian depan dan mobil mulai bergerak.

"Tidak mungkin! Sebastian menemukanmu berjam-jam yang lalu dan dia merahasiakan keberadaanmu! Dia hanya bilang kamu baik-baik saja dan katanya sedang asik berduaan dengan seorang wanita. Apa maksudnya itu Juushiro! Kamu janjian kencan dengan seseorang di dalam hutan! Asik-asikan pacaran sementara kami bingung mencarimu!" ceramah sang Earl dengan mata melotot.

"Maaf-maaf," Juushiro hanya tersenyum. "Apa boleh buat, panggilan jiwa. Sebagai laki-laki muda awal dua puluh sudah sewajarnya kalau aku juga ingin merasakan sesuatu yang menantang. Dan berbeda dari biasanya, apa salahnya!" Juushiro beralasan.

"Jangan macam-macan Juushiro!" Ciel kembali membentak. "Gairah jiwa mudamu itu bisa membahayakanmu!"

"Iya-iya, maaf, aku janji tidak mengulanginya."

Ciel menyerah dia hanya bisa menghela nafas. Ciel membetulkan posisi duduknya. Mencari posisi ternyaman. Lalu melipat kedua tangannya di dada sementara wajahnya menatap lurus ke depan.

"Apa yang terjadi? Ceritakan sejujur-jujurnya. Aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi padamu. Kalau tidak ada apa-apa kenapa Sebastian sampai melarangku menjemputmu."

"Seorang gadis, namanya Hinamori. Dia penolongku. Dia memberiku makan dan tumpangan. Dan yang paling lucu, dia percaya kalau aku ini peri!" Juushiro tersenyum-senyum kembali teringat ekspresi kagum Hinamori saat mengiranya peri.

Ciel mengerutkan dahinya. Menatap bingung sekaligus tidak percaya pada Juushiro. "Oh ya? Masih ada orang yang percaya dongeng seperti itu?"

Juushiro mengangguk.

"Lalu kamu biarkan dia beranggapan seperti itu?"

Juushiro kembali mengangguk.

"Dia juga tidak tahu jati dirimu yang sebenarnya?"

Juushiro menjawab dengan menggangguk lagi.

Ciel terdiam, bingung harus bicara apa. Bingung mau berkomentar atau bertanya apa lagi. "Dia menolongmu tanpa tahu kalau kamu adalah putra mahkota. Dia menolongmu dengan ikhlas. Masih ada ya orang seperti itu sekarang ini?"

"Begitulah, menarik kan?"

"Pantas saja Sebastian menyuruh kami menunggu." Ciel terlihat berpikir. Dia jadi penasaran ingin tahu seperti apa wajah orang yang berhati mulia tersebut. "Ada rencana untuk balas budi pada penolongmu?"

"Mau membantuku?"

"Menurutmu buat apa aku dijuluki bangsawan jahat? Anjing penjaga. Sudah jadi tugasku melakukan semua perintah paduka raja!"

"Aku belum jadi raja!" goda Juushiro.

"Akan!"

"Kalau begitu aku bisa minta tolong carikan sekolah berasrama terbaik dengan lingkungan yang baik dan mengijinkan siswanya mengambil kerja sambilan? Tolong lakukan diam-diam, ini jadi rahasia kita berdua saja, " pinta Juushiro.

"Tentu, Sebastian pasti bisa menemukannya."

"Terima kasih Ciel."

"Tidak perlu! Tapi apa balas budimu itu tidak terlalu sederhana? Kalau mau kau bisa memasukannya ke istana. Lalu bisa kau jadikan selir. Lebih mudah. Kenapa repot-repot menyekolahkannya. Sampai-sampai memikirkan detailnya. Kamu ingin memasukannya ke sekolah yang memiliki lingkungan pergaulan dimana yang kaya dan yang miskin tidak terdapat jurang pemisah yang dalam bukan? Pemikiranmu kali ini tidak seperti Juushiro yang kukenal," kata Ciel.

"Aku membuat perjanjian padanya. Aku berjanji akan memberinya kesempatan untuk meraih cita-citanya. Menikah dan memiliki toko bunga." Juushiro mengatakannya dengan wajah berbinar-binar.

"Janji yang konyol," Ciel mencibir. "Bukankah lebih mudah memberinya sebuah toko bunga seperti yang dia inginkan? Lalu carikan pasangan hidup untuknya!"

"Tidak bisa begitu, tidak sesederhana itu. Aku sudah berjanji padanya akan menemuinya lagi dan mengajaknya ke duniaku. Aku baru akan membawanya ke istana dan baru kunikahi ketika dia berhasil meraih cita-citanya." Juushiro tersenyum bangga.

Ciel hanya geleng-geleng kepala. Baru kali ini dia melihat sahabatnya seperti ini. Juushiro yang dia kenal, meskipun dia orang yang ramah, tapi dia dibesarkan di lingkungan dimana dia merasa dirinya berada di atas segalanya. Semua harus tunduk padanya. Semua yang dia inginkan harus dilaksanakan, harus dikabulkan. Dan sekarang hanya karena pertemua semalam dengan seorang gadis dia bersedia menunggu hingga gadis itu berhasil meraih cita-citanya sebelum dia memasukannya dalam istana. Entah berapa tahun yang diperlukan untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Apa dia akan cukup sabar menunggu selama itu. Lalu ketika mereka bertemu kembali apa dia masih ingin memperistri gadis yang dikenalnya dalam waktu semalam.

Where are you going?

after coming out of the misty forest

You perish into tomorrow

only waving one hand at me

matahari sudah cukup tinggi dan suhu udara mualai naik ketika Hinamori terbangun dari mimpi indahnya. Dia mengeliat menoleh ke kanan. Tempat dimana pangeran peri semalam berbaring.

Ketika dia melihat ke kanan tidak ada siapa-siapa disana. Tempat ditiduri pangeran peri semalam terasa dingin. Seperti tidak pernah ada mahluk hidup berbaring di sebalahnya kemarin.

Hinamori tersenyum, ternyata semalam memang hanya mimpi. Laki-laki tampan, tinggi yang selalu tersenyum dan berambut putih keperakan itu hanya mimpi. Tidak ada peri di dunia ini. Peri hanya hidup dalam negri dongeng. Tidak dalam dunia nyata.

Hinamori mengambil posisi duduk. Dia sengaja memejamkan matanya melipat jari-jarinya dan meletakkannya di dada. Dia coba mendatangkan kembali kenangan indah semalam, meskipun itu hanya mimpi.

Janji mereka. Itu yang langsung teringat di benaknya. Mereka saling menautkan kelingking mereka. Dia akan menemuinya ketika Hinamori berhasil mewujudkan impiannya. Nyatakah itu, atau semua itu hanya mimpi. Kalau dia berhasil, apakah sang pangeran akan datang memenuhi janjinya.

Sudahlah, kalau memang itu hanya mimpi, biarlah itu menjadi mimpi yang indah. Sudah lama dia tidak bermimpi. Pelan, Hinamori membuka matanya. Menunduk. Melihat pada tangan kanan, pada jari kelingking dan dia tersadar ada sesuatu di pergelangan tangannya.

"Apa ini?" katanya bingung. Sebuah rantai kalung berwarana putih melilit di pergelangan tangannya. Hinamori mengamati untaian indah mata rantai yang meliit tangannya dengan teliti. Dia memegangnya, memutar telapak tangannya. Cantik! Dilihat dari manapun rantai itu terlihat begitu cantik. Ini benda terindah dan paling berkilau yang pernah melekat di tubuhnya.

"Ini milik pangeran peri?" Hinamori bertanya pada sang kalung. "Jadi semalam aku benar-benar bertemu peri ya? Jadi dia nyata ya?" Hinamori merebahkan tubuhnya, guling ke kanan balik lagi ke kiri sambil terus memegang sambil sesekali kalung indah di pergelangan tangannya. Dia gembira sibuk dengan imajinasinya sampai ketukan pintu menyadarkannya.

Hinamori bangun, merapikan rambut dan pakaiannya. Siapa tahu yang mengetuk adalah sang pangeran. Hinamori membuka pintu dan sebuah sosok laki-laking jangkun berambut hitam dengan mata merah berdiri di depannya.

"Nona Hinamori?" tanya laki-laki tersebut?

"Iya, maaf anda siapa?" tanya Hinamori bingung. Dia mundur selangkah. Takut. Matanya mengamati laki-laki di depannya dengan rasa was-was.

"Majikan saya sedang mencari anak-anak tidak mampu untuk diberikan beasiswa. Dan selamat nona, anda terpilih sebagai salah satu yang beruntung."

"Maksudnya?" Hinamori masih belum melepaskan pengawasannya.

Laki-laki itu tersenyum, dia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Sebuah amplop berwarna coklat dan menyerahkannya pada Hinamori.

Hinamori menerimanya ragu-ragu dan mengamati bungkusan itu.

"Di dalamnya ada sejumlah uang untuk keperluan transportasi dan akomodasi dari hutan ini ke sekolah yang harus nona tuju. Tidak susah menemukan sekolah itu, karena letaknya ada di ibukota dan dilewati banyak angkutan umum. Anda pasti sampai dengan mudah," laki-laki tadi menerangkan.

Hinamori mengangguk-angguk meski dia tidak begitu paham. Dia terlalu sibuk mengamati amplop coklat yang ada di tangannya. Menerka-nerka apa saja yang ada di dalam amplop tersebut.

"Silahkan Nona pelajari dahulu. Di dalamnya ada peta dan petunjuk. Saya permisi."

"Terima kasih," Hinamori mengangkat kepalanya. Tapi laki-laki itu sudah tidak ada di tempat seharusnya dia berdiri. Hinamori menengok ke kana dan ke kiri. Tidak ada apa-apa selain pohon yang menjulang tinggi. Dia tidak ambil pusing dengan laki-laki misterius tersebut. Hinamori masuk ke rumah. Dia menduga laki-laki tadi mungkin orang suruhan pangeran peri. Dia akan berusaha. Belajar dengan giat. Kerja dengan giat supaya bisa mewujudkan impiannya dan yang paling penting dia bisa bertemu kembali dengan pangeran peri.

.

.

.

Juushiro menatap ke bawah dari balik jendela kaca ruang VIP yang di sediakan restoran tempat dia dan beberapa temannya menghabiskan malam. Matanya menatap lekat pada sosok seornag gadis yang sibuk bekerja dengan seorang temannya.

Ciel mendekati Juushiro. Dia menyandarkan tubuhnya pada kaca jendela. "Sudah tiga tahun berlalu sejak kejadian di hutan itu," katanya.

"Ya, dia tidak banyak berubah. Masih tetap mungil dan menggemaskan," puji Juushiro tanpa mengalihklan pandangannya sedikitpun.

"Jadi ini tujuan kita makan malam disini?"

"Ya."

"Temui saja dia," saran Ciel.

"Tidak, belum waktunya. Sebentar lagi." tolak Juushiro. Meski hanya bisa memandangi dari atas Juushiro sudah senang.

Ciel menghela nafas kesal. Dia mulai jengkel pada sikap sahabatnya. Kenapa harus berusah payah dan bersabar ria hanya untuk menemui seorang gadis. Menghabiskan waktu saja. Dan semi gadis itu dia jadi harus menghabiskan malam di restoran untuk rakyat jelata ini.

"Aku dengar dia bekerja di sebuah toko bunga terkemuka di sini sambil kuliah."

"Aku tahu itu. Makanya aku akan bersabar. Tidak lama lagi aku bisa bertemu dengannya." Juushiro menoleh ke arah Ciel dan tersenyum.

Ciel menepuk pundak Juushiro dan menyeret cowok tampan itu ke meja makan kembali berkumpul dengan teman-temannya sambil menikmati hidangan yang sudah tersaji lengkap di atas meja.

Juushiro kembali menoleh ke arah jendela dan tersenyum untuk Hinamori. Dia akan menunggu dan dia yakin gadis hutannya itu juga masih menunggu pertemuan kembali mereka.

FIN

Aneh kah cerita ini? Juushiro x Hinamori dan sedikit campur tangan Kuroshitsuji. Maaf Yana sensei saya pinjam Ciel dan Sebastiannya.

Sebelumnya terima kasih sudah bersedia mampir dan membaca cerita ini, kalau berkenan mohon tinggalkan review. Silahkan review apa saja. Dan maaf sebesar-besarnya jika masih bertebaran miss typo di sana sini.