My first FanFict! Pair JuviaXLyon, bit GrayXCana.
Warning: OOC! (terutama Juvianya, OOC sekali~~)
Genre: romance, comedy
Monggo, dibaca~~
Part 1
Seorang gadis berambut biru cerah berlari terengah-engah menuju ruang kelasnya. Langkah kakiknya berderap kencang seperti kuda yang dipecut. Sesekali, ia melirik jam di tangannya untuk memastikan sudah telat berapa menitkah dia.
Gadis itu, tak lain dan tak bukan adalah Juvia Loxar. Dia merupakan satu dari sekian ribu pelajar di Fiore High School (atau biasa disingkat FHS), sekolah percontohan di kerajaan Fiore.
Di dalam FHS terdapat SMA dan Perguruan Tinggi. SMA FHS memiliki banyak kelas, diantaranya, kelas FT alias Fairy Tail, kelas BP alias Blue Pegasus, kelas LS alias Lamia Scale, dan masih banyak lagi. Tidak ada penjurusan di SMA ini. Sebagai gantinya, SMA ini memiliki banyak ekskul. Setiap siswa wajib mengikuti paling tidak 1 ekskul untuk nilai raportnya. Sedangkan system penjurusan di Perguruan Tinggi FHS sama saja dengan PT lainnya. Jurusannya lumayan banyak, kualitas pengajarnya juga tak bisa diremehkan.
Dulu, Juvia merupakan siswa kelas PL (Phantom Lord), tetapi karena jumlah muridnya terlalu sedikit, akhirnya kelas itu dibubarkan. Juvia bersama satu teman sekelasnya, Gajeel, lalu dipindahkan ke kelas FT.
Yak, perkenalan tentang FHS cukup sampai disitu. Mari kita lihat kembali Juvia, si tokoh utama kita dalam cerita ini.
Juvia tinggal selangkah lagi memasuki kelasnya. Dia berhenti sebentar untuk melihat jam tangannya. Telat 15 menit! Aaargh, kusooo! Pelajaran pertama sama Miss Evergreen, pula! Alamat jadi patung selamat datang plus kena tatapan tajamnya, deh..., batin Juvia. Eh, gimana kalau madol jam pertama aja? Aaah, tapi itu tidak boleh! Pelajaran Miss Evergreen itu IPA! IPA itu pelajaran yang penting! Bagaimana jika nanti aku tidak diluluskan gara-gara madol saat pelajarannya...?!
"Oi, Juvia!" panggil seseorang dari balik kaca di samping pintu kelas. Bukan suara Miss Evergreen.. Sepertinya itu suara...
"Cana?" Juvia menoleh ke sumber suara untuk memastikan, dan ternyata dugaannya memang benar.
"Ngapain di luar? Cepetan masuk!" seru Cana dengan gaya slenge'annya.
"Iya, ini juga mau masuk. Ada Miss Evergreen, gak?" tanya Juvia.
"Kalo gue berdiri-diri di sini, berarti kagak ada. Lu tau kan, kalo ada dia, mana berani gue jalan2 begini."
"Eh? Kemana dia? Apa dia terlambat? Setahuku, Miss Evergreen tercatat sebagai guru yang paling tepat waktu.."
"Entahlah. Kalau gak terlambat, paling sakit."
"Miss Eve jarang sakit..."
"Ya udeh, sih, apaan kek! Lu bukannya bersyukur gak perlu jadi patung selamat datang, eh, malah mencemaskan si killer itu!" tukas Cana dengan nada kesal.
"Juvia cekikikan melihat tingkah sobatnya. Menurutnya, Cana terlihat lucu saat marah. Juvia lantas masuk ke kelasnya, kelas XII-FT, lalu meletakkan tasnya di samping tas Cana.
"Kenapa lu telat?" tanya Cana. Dia lalu menenggak sirup rasa anggur miliknya (saya rasa Cana lebih cocok jika minum sirup daripada minum bir di ff ini ._.)
"Kenapa yaa.. Umm, mungkin ini terdengar agak konyol di telingamu, tapi.. Aku lupa menaruh peralatan sulamku dan si teru-teru bozu. Makanya, tadi aku cari benda-benda itu dulu sebelum ke sekolah."
GLUGH! Cana tersedak! "Uhuk, uhuk..! Jadi, kau telat gara-gara nyari gituan dulu?! Astagaaa, segitu pentingnya kah barang-barang itu buatmu?"
Juvia tersenyum miris. Sorot matanya tiba-tiba diliput kesedihan. Cana yang menyadari perubahan sikap Juvia segera menutup mulutnya.
"Ma.. Maaf, Juvia. Aku tak sengaja… Aku sama sekali tak bermaksud—" namun perkataan Cana dipotong Juvia.
"Ah, tidak apa-apa. Aku tahu, kok. Cana hanya keceplosan, kan?"
Cana menunduk. Dia mengutuk dirinya dalam hati karena tidak bisa mengontrol mulutnya sendiri. Tanpa ia sadari, dia telah melukai seseorang dengan kata-katanya.
Cana tahu, Juvia sedang menyukai seseorang di kelas ini. Namun, Juvia sepertinya begitu malu untuk menyatakan—atau paling tidak, berteman dengan orang itu. Jangankan mengajak berbicara, saling bertatap mata saja pipi Juvia bisa langsung memerah—bahkan, Juvia pernah pingsan saking takutnya.
"Juvia orang yang kikuk, Juvia tak bisa berteman dengannya. Dia begitu keren dan terkenal di kelas ini..," Juvia menggantungkan kalimatnya. "Dia juga kelihatannya tidak mau berteman dengan Juvia. Jadi, lebih baik, Juvia berteman saja dengan teru-teru bozu sebagai pengganti dia."
"Juvia, kamu salah. Kamu nggak kikuk, kamu hanya sedikit pemalu. Kalau kamu berani, kamu pasti bisa berteman dengannya. Selain itu, jangan jadikan boneka penangkal hujan itu sebagai pengganti dirinya, karena boneka tak 'kan pernah bisa menggantikan sosok seorang manusia," nasihat Cana. Dia bermaksud menghibur sekaligus meluruskan pendapat Juvia tentang orang yang disukainya.
"Kau hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri jika menganggap teru-teru bozu adalah dia," sambung Cana.
Juvia hanya tersenyum. Cana... Kamu sudah mengatakan hal yang sama berkali-kali, tapi aku tidak pernah menghiraukanmu. Aku selalu saja seperti ini. Aku selalu berpikir, teru-teru bozu ini akan membuat perasaanku menjadi lebih baik. Maaf, ya… Terima kasih karena tidak pernah bosan menghiburku..
"Juviaaa, apa kamu mendengarku?"
Juvia tersadar dari lamunannya. "Ah.. Iya, tentu saja. Aku hanya sedang berpikir.."
"Memikirkan apa? Benar atau tidaknya perkataanku? Kamu masih tidak yakin dengan hal itu?"
"Nggak, kok, bukan soal itu."
"Terus soal apa?"
"Ngg.. Soal hukumanku. Gimana jika Miss Evergreen datang, terus ada yang ngasih tau ke dia kalau aku datang terlambat?"
"Kamu ituuu! Masih saja mencemaskan soal hukuman! Kalau memang Miss Eve datang, kamu juga nggak bakal dihukum! Setelat-telatnya kamu, masih telatan Miss Eve, tau!?"
"I.. I.. Iya, aku tahu. Galak amat sih, Cana.."
"Habis, kamunya...!"
"Ampuuun…!" seru Juvia seraya memasang ekspresi pura-pura ketakutan.
-Cana's POV-
Juvia, kamu memang tidak pandai berbohong. Aku tahu, kamu hanya berpura-pura khawatir soal hukuman, kan? Namun, aku tak peduli dengan itu. Aku senang karena kamu sudah dapat tertawa lagi.
Gray… Apakah engkau benar-benar tak mau menyapa anak ini duluan? Apakah kau tak mau menyapa Juvia karena kau pikir, kau sudah memiliki Erza dan Lucy? Kau seperti bukan dirimu jika berpikiran sempit seperti itu. Juvia hanya ingin berteman denganmu, tau!
-Cana's POV off-
Ya, Gray alias Gray Fullbuster lah yang membuat Juvia belakangan ini jadi sulit ditebak. Kadang murung padahal beberapa menit yang lalu dia begitu ceria, kadang gugup sendiri, dan tak jarang berbicara sendiri (sebenarnya nggak sendiri, dia bicara dengan teru-teru bozunya *plakk! -_-"). Cana selalu mengingatkannya agar melepaskan kebiasaan anehnya itu, sekaligus menyemangatinya agar berani menyapa Gray. Namun, apa daya. Juvia terlalu sayang untuk melepaskan kebiasaannya itu. Dia pernah berkata, bahwa teru-teru bozunya lah yang menjadi 'penangkal' air matanya agar tidak menghujani pipinya. Cana hanya bisa tutup mulut jika Juvia sudah mengatakan sesuatu soal air matanya.
"Yoo, Juvia!" sapa Lisanna, yang duduk di belakang Juvia. "Kenapa tadi terlambat datang?"
"Biasa, masalah perut. Semalam dia minum yoghurt tiga botol penuh tanpa makan apa-apa. Paginya mencret, deh," sahut Cana asal.
"Cana! Nggak, aku…" perkataan Juvia terputus saat Cana menatapnya seolah ingin berkata, "Diam, daripada kubeberkan rahasiamu bahwa kamu menyukai Gray."
Juvia yang melihat tatapan itu langsung diam. Mau nggak mau, Juvia hanya bisa menerima Lisanna menertawakannya. Ugh, Cana. Selalu saja berhasil membuatku terpojok!
Bel istirahat berbunyi. Cana, bersama Lisanna dan Mira bergegas menuju kantin sekolah. Sedangkan Juvia—dia menolak ke kantin walau sudah diajak—memutuskan untuk pergi ke ruang kesenian. Ruang kesenian memang tempat favoritnya di sekolah, karena di sana, ia dapat menuangkan ekspresinya dalam segala bidang, baik itu dalam lukisan, patung, origami atau sulaman.
Letak ruang kesenian dengan ruang kelasnya agak jauh. Ruang kelasnya ada di lantai dua sebelah kanan gedung, sedangkan ruang kesenian ada di lantai tiga sebelah kiri. Juvia harus menaiki tangga yang jumlahnya amat banyak dan menyeberang ke 'sayap' kiri untuk sampai di ruang kesenian. Namun, hal itu tidak menyurutkan niat Juvia untuk mengunjungi tempat tersebut.
Sesampainya di ruang kesenian, Juvia segera mengambil tempat duduk di sebelah Reedus. Teman sekelasnya itu juga gemar mengunjungi ruang kesenian saat istirahat. Hal yang dilakukannya di ruang kesenian, tak lain dan tak bukan adalah melukis.
Reedus nampak asyik sekali melukis, sehingga tidak menyadari kehadiran Juvia. Juvia juga tidak mau mengusik Reedus karena kedatangannya. Dia langsung mengeluarkan peralatan sulamnya dari dalam kantung plastik yang ia bawa, lalu mulai menyulam. Semenit kemudian, keduanya sudah asyik dengan kegiatannya masing-masing.
Krieeet!
Seorang wanita berusia kira-kira 24 tahun membuka pintu, lalu memasuki ruangan. Rambut lavendernya yang bergelombang menari-nari setiap ia melangkahkan kakinya. Pita merah yang mengikat rambutnya memperindah penampilannya. Sorot matanya memancarkan aura kebaikan dari balik kacamata oval yang ia kenakan. Jubah merahnya menutupi gaun panjang berwarna hitam yang membalut tubuh mungilnya.
Miss Laki selalu terlihat cantik dengan penampilannya yang sederhana, gumam Juvia dalam hati. Imejnya benar-benar cocok sebagai guru kesenian. Aku selalu mengaguminya…
"Yo-Ho, Juvia dan Reedus! Kalian tak bosan-bosannya mengunjungi ruangan ini, ya!" kata Miss Laki, membuyarkan lamunan Juvia.
"Aku senang karena galeriku memiliki wisatawan tetap seperti kalian. Kalau tak ada siswa yang rajin mengunjungi tempat ini, mungkin saja ruangan ini akan ditutup oleh sekolah," cerocos Miss Laki dengan kata-kata bermajasnya (yang mungkin terkesan agak aneh untuk orang-orang yang belum terbiasa berbicara dengannya).
"Tenang saja, Miss Laki. Kami akan selalu mengunjungi tempat ini, karena kami tidak mau satu-satunya tempat untuk kami mencurahkan ekspresi kami ditutup oleh sekolah," ujar Juvia dengan gaya puitisnya. Saat itu, Reedus baru menyadari kehadiran Juvia (jadi Juvia dikacangin sampe Miss Laki dateng, gitu?! *dihajar sama fansnya Juvia* ;p).
"Aku senang kalau masih ada siswa yang berpikir seperti itu." Miss Laki lalu duduk di kursi guru miliknya. Dia lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas dan beberapa karya seni dari kardus yang dia bawa. Sesaat kemudian, dia nampak sibuk dengan benda-benda tersebut. Sepertinya, dia sedang menilai karya seni dari siswa-siswanya.
"Miss," panggil Reedus. "Apakah itu karya dari para siswa? Kalau iya, mengapa kelas kami belum mendapat tugas itu?"
"Iya, Reedus, ini karya dari teman-temanmu di kelas lantai tiga. Sebentar lagi, Miss akan memberikan tugas seni pahatan ini pada kelasmu dan kelas-kelas lain di lantai dua, setelah semua siswa dari lantai tiga mengumpulkan karyanya."
"Oui! Itu terlihat mengasyikkan. Aku tak sabar untuk mengerjakannya!" gumam Reedus.
"Kau yang tak sabar, kalau aku malah berharap agar tidak mendapat tugas itu. Aku tidak begitu pandai dalam memahat," keluh Juvia.
"Tidak apa-apa, Juvia. Nanti Miss ajarkan dulu padamu dan teman-temanmu bagaimana cara memahat yang benar," jawab Miss Laki.
"Kalau sudah bisa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ingat peribahasa, batu jika ditetesi air terus menerus lama-lama akan lapuk juga."
"Peribahasa yang terdengar menakutkan di telingaku," bisik Juvia pada dirinya sendiri. Memahat, ya… Aku suka dengan hasil dari pahatan itu, tapi aku tidak menyukai prosesnya…
"Nah, Miss pergi dulu, ya. Miss mau menagih karya-karya dari kelas di lantai tiga yang belum Miss tagih," kata Miss Laki seraya bangkit dari dari kursinya, lalu bergegas keluar dari ruang kesenian.
"Miss cepat sekali ya, menilainya," gumam Reedus. Dia nampak takjub.
"Menurutku sih, Miss belum menilainya. Dia hanya menandai nama-nama murid yang sudah mengumpulkan. Menilainya nanti, mungkin saat semua karya sudah dikumpulkan," jelas Juvia.
"Oui, begitu, ya…," ucap Reedus sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Tepat setelah Reedus menganggukkan kepalanya, bel tanda istirahat selesai berbunyi.
"Habis ini pelajarannya siapa, ya?" tanya Juvia berusaha mengingat-ingat.
"Mr. Laxus, bukan?"
"A.. Apa? Mr. Laxus? Gawaat, aku harus cepat-cepat!" ujar Juvia seraya bangkit dari tempat duduknya lalu berlari menuju pintu ruang kesenian.
"Eh? Memangnya kenapa?"
"Apa kamu lupa, Mr. Laxus kan, salah satu guru yang paling jarang terlambat masuk ke kelas! Dia juga benci terhadap siswa yang terlambat! Hukumannya jauh lebih seram dibanding hukumannya Miss Evergreen! Pokoknya, mereka berdua itu sama-sama rajin bin gahar! Semua murid takut pada mereka...Ah, Reedus! Tunggu aku!" seru Juvia pada Reedus yang sudah berlari di depannya. Dia berusaha menyusul Reedus, dan beruntung, karena berat badannya lebih ringan dibanding Reedus, Juvia dapat menyusulnya.
Ketika Juvia membuka pintu …
BRAKKKK! Prang, praaangg!
"Euh, sakiiit…"
"Kaaaauuu! Lihat apa yang kau perbuat pada karyaku!"
Juvia tak berkutik. Tidak sekarang, kumohon. Tidak sebelum pelajaran Mr. Laxus dimulai!
Hyaah! Akhirnya chapter 1 selesaiii~~ *jingkrak-jingkrak*
Maaf kalo OOC banget, dan maaf juga kalo Lyonnya lama banget nongolnya. Lyon bakalan muncul di chapter 2, jadi, stay tune, yaa..
A/N: RnR, please ^_^
