Title : Don't Go.
Story © Andrea Sky & RallFreecss.
Kuroko's Basketball © Fujimaki Tadatoshi
Cover © Pixiv Id 4251023
Warning! OOC, Typo (mungkin), AU, dan lainnya.
Pairing : Akashi Seijuro x Kuroko Tetsuya
Genre : Romance, Hurt/Comfort
Rating : T
First Meet, 5 years ago :
Pintu perpustakaan terbuka pelan, menimbulkan bunyi sedikit berderit, kemudian menampakan seorang pemuda bersurai baby blue yang masuk ke dalamnya. Kakinya melangkah, menyusuri rak buku satu per satu. Setelah mendapat buku yang ditujunya, pemuda tersebut berjalan menuju meja, menarik kursi dan menghempaskan dirinya disana.
Merasakan seseorang disampingnya, Akashi Seijuro yang sedari tadi sudah membaca buku di pepustakaan itu pun menoleh.
Sejak kapan dia masuk ke dalam perpustakaan? Pikirnya, kemudian masih memperhatikan pemuda tersebut. Surainya yang sewarna langit sedikit terbuai oleh angin yang menyusup masuk melalui jendela, matanya bulat dengan manik yang juga bewarna sky blue tersebut.
Aku belum pernah melihatnya, tapi dilihat dari seragamnya, dia murid sekolah ini. batin sang Tuan Muda Akashi, kemudian beranjak dari kursi yang didudukinya, buku yang dipinjamnya dimasukkan kedalam tas. Berjalan keluar dari perpustakaan, menutup pintu.
Second Meet 4 years 10 months ago :
Jadi namanya Kuroko Tetsuya, tahun ke-3 SMA Teiko di kelas 3-1? Akashi kemudian melepas pensilnya, tidak melanjutkan menyalin huruf-huruf kanji yang sensei tulis di papan hitam itu.
Katanya sih hawa keberadaannya memang tipis. Makanya kurasa waktu itu aku tidak merasakannya masuk ke perpustakaan, Akashi Seijuro, secara misterius tak bisa berhenti memikirkan Kuroko Tetsuya.
Bel berbunyi, menandakan waktunya istirahat kedua.
Hm, hanya tersisa Sejarah sebagai pelajaran terakhir hari ini. batin Akashi. Berjalan kearah luar kelas, Akashi merogoh ponselnya yang ada di dalam kantung celana hitam khas Teiko miliknya.
Aku harus memberi tau yang lain untuk datang ke gym lebih cepat… Setelah berpikir demikian, dengan cepat Akashi mengirim E-mail untuk Kise, Aomine, Haizaki, Midorima, dan Murasakibara. Mengingat mereka adalah pemain reguler di SMA Teiko itu.
Akashi terdiam sebentar, mengangkat kepalanya sedikit,
Kalau tidak salah bukankah Tetsuya bermain basket juga tapi string 3, ya… Apa kuminta agar dia dipindahkan ke string 1, kurasa keberadaannya yang tidak terdektesi bisa menjadi kelebihan sendiri? Akashi terus menerus memikirkan Kuroko, hingga ia tak menyadari bahwa orangnya–
Duk!
"Uwa!"
Tep!
–di depanmu dan lihat kalian bertabrakan, Akashi. "Ittai…" Akashi mengerjap, melihat siapa yang menubruknya—bukan tapi ia tabrak, memegangi keningnya yang tadi sepertinya terkena sesuatu. Akashi kaget. Kuroko bingung. Akashi sontak menyebut nama orang yang belakangan ini membuat penasarannya bangkit,
"Kuroko… Tetsuya?"
Kuroko menatap manik Akashi, blunette bertemu dengan merahnya scarlet . "Akashi-kun… mengenalku?" Kini, gantian Akashi yang bingung.
"Tetsuya juga? Kau mengenalku dari mana?" Kuroko tersentak, apa dia memang punya kebiasaan memanggil nama depan seseorang? Menggeleng pelan, jawaban bernada datar menjadi jawabannya,
"Karena Akashi-kun kapten klub basket sekaligus Ketua Osis, oleh karena itu aku mengetahui namamu. Kurasa semua orang mengenal Akashi-kun,"
"Ohh… Soukaa," gumam Akashi.
"Sou desu. Ng… ano, Akashi-kun… bisakah kau berdiri?"
Oh, sial, rutuk Akashi dalam hati. Bagaimana tidak? Sekarang mereka habis terjatuh lalu dengan posisi Akashi diatas Kuroko, bertumpu dengan kedua lengannya, dan bukannya berdiri mereka berdua malah asik ngobrol dulu.
"Sumanai," Akashi berdiri, kemudian mengulurkan tangannya pada Kuroko, yang tanpa pikir panjang Kuroko menyambut uluran tangan itu, sebagai tumpuannya untuk berdiri normal kembali.
"Kalau begitu, aku permisi dulu, Akashi-kun." Pamit Kuroko sambil membungkukkan tubuhnya.
Kemudian, Kuroko berputar, dan mulai mengayunkan kakinya. Akashi terdiam melihat punggung sang pemilik surai laut tersebut, sampai akhirnya Kuroko Tetsuya tidak terlihat karena turun melalui tangga sekolah.
Third Meet, 4 years 4 months ago :
"Uaaa! Sudah lulus kelas 3 SMA –ssu! Tidak terasa ya! Rasanya begitu cepat –ssu!"
"Sorry aja, Kise. Kita sih berasa, terutama aku yang 6 tahun bersamamu sejak SMP, kamu itu berisiknya luar biasa. Che,"
Kise merenggut sebal,
"Apa-apaan sih, bicaranya kok kasar begitu, Aominecchi!" dengusnya sambil memegangi ijazahnya, tanda bahwa dia lulus dari tingkatan sekolah menegah atas ini.
"Murasakibara, jangan-jangan… waktu kepala sekolah pidato pun kau makan?" Tanya Midorima, dan dengan polosnya Murasakibara mengangguk.
"Itu sih gak usah ditanya lagi, Midorimacchi!" Kise tergelak. Midorima hanya bisa facepalm.
"Dai-chan abis ini mau kuliah dimana?" Kini, teman masa kecil Aomine Daiki itu membuka suaranya. "Pelatihan jadi polisi saja,"
"Aominecchi jadi polisi –ssu?!" Kedua mata Kise terbelalak.
"Iya dan gak usah pasang tampang 'serius lo?' kayak gitu! Ngomong-ngomong… si Akashi mana ya?" Kise memasang pose berpikir, dengan jari telunjuk dibawah dagunya, ia berucap menjawab si pemilik formless shoot,
"Entahlah –ssu… Aku gak melihatnya dari pagi ini." Ah–itu tidak bisa disebut jawaban, sih…
Akashi mengulum senyum tipis melihat teman-temannya. Baru saja ia mau menghampiri rekan-rekannya tersebut, kemudian secara tidak sengaja maniknya menangkap seseorang bersurai sky blue. Seseorang yang setengah tahun ini menarik perhatiannya.
Akashi menghampiri Kuroko, "Hei, Tetsuya." Kuroko menoleh, ketika mendapati ternyata Akashi Seijuro lah yang memanggilnya, sebuah senyuman lembut hadir di wajah Kuroko. "Ha'i, Akashi-kun?"
"Kau punya waktu luang?" tanya Akashi. Kuroko mengangguk, matanya menatap Akashi penuh dengan tanda tanya. Ada apa?Batin Kuroko penasaran.
"Kita sama-sama di klub basket, tapi tak begitu sering bicara. Ah, bahkan aku jarang sekali melihatmu." Ujar Akashi.
"Yah… aku memang sempat cuti sekolah selama 5 bulan terakhir karena ada urusan keluarga,"
Bukan itu. Bukan karena urusan keluarga, kau berbohong, Tetsuya. Akashi menatap Kuroko lekat-lekat, berharap iris sky blue itu dapat sekali lagi bertemu dengan scarlet kepunyaannya. Namun, Kuroko tidak berani menatap matanya seperti waktu itu, dan dari ekspresinya jelas sekali ia tidak mau membahas hal ini. Terlebih lagi, kulit Kuroko terlihat lebih pucat dari biasanya. Ah, terserah. Tapi yang jelas, Akashi tau bahwa jawaban Kuroko Tetsuya barusan bukanlah jawaban yang sesungguhnya.
Kuroko mendadak berjengit, tangannya memegangi kepalanya. Rintihan pelan lolos dari bibir Kuroko,
"Akh…" Akashi mengerjap bingung, sekaligus kaget. "Kau baik-baik saja, Tetsuya?" Kuroko menggeleng pelan, kemudian mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis.
"Da–daijoubu… semalam aku terlalu larut membaca, jadinya kepalaku pusing," Akashi mengangguk mengerti. Kau pembohong yang buruk, Tetsuya. Terlihat jelas kalau yang barusan itu begitu menyakitkan. Mana mungkin ia bisa merasakan sakit kepala sehebat hanya karena kurang tidur. Memangnya kau bergadang berapa hari, hei, Kuroko Tetsuya?
"Tetsuya…"
"Ya?" balas Kuroko sambil menatap Akashi dengan memiringkan kepalanya sedikit.
"Setelah ini, apa yang akan kau lakukan?" Kuroko terdiam sebentar, berpikir, kemudian tersenyum, "Mungkin… menjadi pengajar di taman kanak-kanak,"
"Eh? Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku suka anak-anak, itu saja,"
Akashi mengangguk mengerti. "Eeh, kalau begitu kau harus berjanji satu hal padaku." Kuroko menaikkan sebelah alisnya, ia bingung, kenapa ia harus berjanji pada seseorang yang baru akrab dengannya? Orang ini kenapa sebenarnya?
"Kau harus menjadi guru taman kanak-kanak. Dan aku, akan menyelesaikan kuliahku dengan baik. Selesainya kita di sekolah ini, aku ingin kita selalu bertemu, sesingkat apapun waktunya."
Entahlah. Tapi, aku merasa kalau aku harus menjaga Kuroko Tetsuya ini. Dan aku yakin perasaan ini tidak akan salah, karena aku selalu benar.
"Baiklah. Aku mengerti, Akashi-kun." Balas mengangguk puas.
"Bagus," pujinya seraya mengacak surai Kuroko.
After graduation from Teiko high school, 3 years ago :
Akashi terengah-engah, berlari menembus salju yang sedari tadi pagi turun. Terkutuklah ramalan cuaca yang menyatakan bahwa hari ini akan cerah, berkat ramalan cuaca yang salah itu mobil Akashi terjebak salju dan ia harus berlari-lari seperti sekarang ini. Ia menajamkan pandangannya, menuntut dirinya untuk mencari sebuah restoran cepat saji dengan papan nama–ah! Itu dia!
Masuk kedalam restoran tersebut–Maji Burger–, ia tersenyum saat sudah melihat Kuroko duduk di tempat duduk favoritenya, sudut paling kanan dan belakang, dekat kaca. Langkah kaki Akashi mengundang Kuroko untuk mengangkat wajahnya, mempertemukan kedua manik yang berbeda warna itu. "Akashi-kun,"
"Mm," yang dipanggil malah memberikan gumaman tidak jelas, lalu duduk di meja ditempat Kuroko meminum vanilla milkshakenya itu.
"Mobil ku terjebak salju, jadi aku harus membuatmu menunggu begitu lama." Ujar Akashi. Kuroko menggeleng, "Aku juga baru saja sampai kok."
"Ooh.." Akashi kemudian memesan segelas cappucino dan fried fries, pemuda itu mengambil laptopnya yang bewarna biru muda dari dalam tas, kemudian membuka flipnya dan mulai mengerjakan sesuatu.
"Skripsi lagi?"
"Ya…" jawab Akashi, belum beralih dari layar laptopnya.
"Tetsuya, jangan minum vanilla milkshake terlalu banyak. Besok aku yang akan memilih tempat ketemuan kita," titahnya, mengetik sesuatu dengan cepat di laptopnya.
Kuroko mengangguk mengerti. Mengatasi kebosanan karena Akashi mengerjakan tugas, novel pun dibaca oleh Kuroko, melucuti kanji dalam lembaran kertas itu satu per satu.
Sekalipun keduanya duduk di meja yang sama pada sebuah restoran cepat saji, mereka malah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Akashi fokus pada skripsinya dan Kuroko tenggelam dalam buku bacaannya.
Mereka terlihat seperti orang yang tidak saling kenal namun terpaksa berbagi tempat karena semua meja yang ada sudah penuh.
Tapi, diam-diam, sesekali manik biru Kuroko melirik ke arah Akashi yang tengah mengerjakan skripsinya itu. Wajah serius Akashi benar-benar terlihat manis di mata seorang Kuroko Tetsuya.
Merasa di perhatikan, Akashipun menghentikan jarinya dan membalas pandangan Kuroko sambil menyeringai nakal. "Ada apa, Tetsuya? Kau begitu tertarik pada wajahku ya?"
Kuroko yang tertangkap basah memperhatikan wajah sang scarlet buru-buru menyembunyikan wajahnya di balik buku yang ada di tangannya. "Bukan apa-apa kok,"
Akashi terkekeh, kemudian ia kembali mengetik dan berkutat pada laptopnya itu. Kuroko menghela nafas dan turut kembali ke aktivitas awalnya, membaca buku.
.
.
"Nah, aku sudah selesai," melirik jam, Akashi tersenyum saat pandangannya terfokus pada Kuroko lagi.
Sudah jam 10 malam, pantas saja Tetsuya tertidur. Membereskan laptopnya, kemudian Akashi menyentuh surai Kuroko, berbisik pelan,
"Tetsuya… ayo bangun," Namun sayangnya Kuroko sedang asik berkelana di dunia mimpi saat ini. Akashi membelai suraibaby blue kepunyaan Kuroko lembut, menyibak poni yang menutupi dahi pemuda itu. Tiba-tiba terbesit seseuatu di kepala Akashi. Setelah memastikan bahwa mereka tidak di awasi, dan memastikan bahwa Kuroko sudah benar-benar tertidur, Akashipun melaksanakan aksinya. Kening Kuroko menjadi sasaran Akashi, sang pemilik mata scarlet tersebut mengecup forehead Kuroko lembut.
Akashi menghela napas, Kalau sudah begini, terpaksa ku gendong sampai rumahnya. Tapi sesungguhnya Akashi tidak keberatan kok. Menggendongnya hingga ke ujung duniapun Akashi rela kok. Yah, namanya juga orang yang sedang, jatuh cinta. Eh? Itu benar loh, seorang Akashi Seijuro telah jatuh cinta pada Kuroko Tetsuya.
Tidak mungkin? Dibuat mungkin saja, karena semua orang pantas jatuh cinta kok.
Pemuda bersurai crimson itu meraih ponselnya, memerintahkan supirnya untuk menjemputnya di rumah Kuroko.
Menggendong Kuroko di pundaknya, ia keluar dari restoran itu. Ringan sekali, pikirnya sambil terus berjalan. Sementara yang digendong hanya diam kaku tak bergerak. Ah, sayang sekali Akashi Seijuro tidak bisa melihat wajah putih Kuroko menimbulkan semburat kemerahan saat bibirnya menyapa dahi pemuda bersurai langit itu beberapa waktu yang lalu. Kuroko tidak benar-benar tidur, kok.
Akashi-kun…. curang…!
2 year 6 months ago :
Knock, knock!
Pintu rumah Kuroko terketuk pelan, tak lama kemudian ibu Kuroko membukakan pintu, melihat yang datang adalah Akashi Seijuro, wanita setengah baya itu tersenyum senang.
"Oh, Seijuro rupanya, silahkan masuk!" Akashi mengangguk, melepas sepatunya, kemudian melangkah ke dalam rumah Kuroko.
"Tet-chan ada di kamarnya, lantai atas, kamu naik saja."
"Baiklah, terima kasih, Baa-san," ujar Akashi, dengan segera pemilik nama kecil Seijuro itu naik ke atas, mencari kamar Kuroko Tetsuya.
"Tetsuya? Aku boleh masuk?" tanya Akashi meminta izin dari sang empu. Kuroko tentu saja berjengit kaget, dengan cepat, ia turun dari kasurnya, membuka pintu kamar, hanya untuk–
"Halo, Tetsuya."
–melihat Akashi senyum mesum penuh arti.
"Ung… Ada apa, Akashi-kun?" Akashi mendengus,
"Jangan memberikanku 'ada apa', hari ini hari ulang tahunmu kan? Cepat mandi lalu kita–"
"Membeli hadiah? Aku tidak butuh kok," potong Kuroko.
Oh, apakah Akashi lupa memberitahu Kuroko kalau dia sangat tidak suka omongannya di potong? Ingatkan Akashi untuk memberitahunya nanti. Akashi menggeleng,
"Bukan. Kita nge-date," seringaian terpasang di paras tampan Akashi, dan… wow, ekspresi Kuroko amat tidak terduga dengan asap mengepul diatas kepala dan mukanya yang memerah.
"A–Akashi-kun, maksudmu apa?"
"Kalau kamu gak mengerti, mukamu gak akan semerah itu, Tetsuya." Ha! Skakmat. Kuroko mengembungkan pipinya kesal.
"T–Tapi kita bukan sepasang…. umh…" Kuroko terdiam sebentar, kemudian melanjutkan kata-katanya dengan suara yang teramat pelan, "… kekasih,"
Akashi terkekeh pelan, membuat Kuroko menatapnya bingung. "Apa yang lucu?" Ya, bagi Kuroko tidak ada yang lucu mengenai–oh ayolah, bayangkan temanmu datang tiba-tiba mengajakmu kencan padahal kalian sama sekali tidak memiliki hubungan spesial apapun. Hanya sebatas TEMAN biasa—baiklah hanya sebatas TEMAN DEKAT. Akashi mendengus geli, kemudian mendekap Kuroko.
"A–" baru saja protes ingin keluar dari mulut Kuroko, tapi dengan segera Akashi membungkamnya dengan ciuman. Orang ini seenaknya! Batin Kuroko sebal.
"Jangan membantah. Kau juga tau kan? Kau tidak bisa membohongi dirimu sendiri, Tetsuya," ucapnya puas seraya menepuk-nepuk punggung Kuroko. Baiklah, dia menyerah. Jadi Kuroko biarkan saja Akashi memeluknya untuk beberapa saat, kalau saja ibunya tak datang dan mengeluarkan aura mengancam, Akashi mungkin akan memeluknya semakin erat.
"Ara, ara, dua orang remaja sedang bermesraan di sini rupanya." Goda Ibu Kuroko sambil memasang wajah.. hm—iseng mungkin?
"O-Okaa-san!" seru Kuroko. Akashi melepaskan dekapannya, kemudian berdiri menghadap sang calon ibu mertua.
"Eeh? Jadi Baa-san tidak mengizinkan aku untuk memiliki Tetsuya?" tanya Akashi sambil menyeringai lebar.
Ibu Kuroko tertawa kecil, kemudian menggeleng pelan. "Kalau Okaa-san sih, terus terang merestui kalian… Tapi jangan macam-macam pada anakku sebelum waktunya, oke, Sei?"
Akashi terkekeh kecil, "Roger, mom-in-law." Kuroko hendak protes lagi atas kalimat penuh ambiguitas Akashi, tapi ibunya cepat-cepat menyuruhnya mandi dan bersiap.
"Tet-chan, cepatlah mandi dan berganti pakaian. Tidak baik membuat pacarmu menunggu lama." Nasehat sang Ibu. Kuroko menggembungkan pipinya dengan wajah merah padam. Pemuda itupun langsung berlari memasuki kamar mandi. Meninggalkan Akashi dan Sang Ibu berdua saja.
"Nah, Sei." Panggilan lembut terarah pada Akashi, dengan cepat Akashi menjawabnya,
"Ya?"
"Jaga Tet-chan, ya." Pinta sang Ibu. Akashi mengangguk dan tersenyum penuh arti.
"Kau bisa percaya padaku, Okaa-san." Balas Akashi.
.
.
"Akashi-kun, aku tidak ingin hadiah apa-apa, kok…"
"Sayang sekali, Tetsuya… Tapi aku ingin memberikanmu hadiah," Akashi terdiam sebentar, kemudian menoleh kearah Kuroko,
"Kau benar-benar tidak ingin hadiah?" tanya Akashi lagi. Dengan mantap Kuroko menggeleng.
"Sayang sekali, padahal aku mau membelikanmu vanilla shake." Kuroko menatap Akashi dengan mata berbinar, walaupun raut wajahnya masih datar, tapi terlihat sekali bahwa dia sangat menginginkan hadiah yang satu itu.
"Mau, kalau yang itu aku sangat mau, Akashi-kun."
Seusai membeli minuman dengan ekstrak vanilla tersebut, Akashi mengajak Kuroko ke suatu tempat lagi. Walaupun Kuroko bertanya 'kita akan kemana Akashi-kun?' dan sebangsanya, jawaban Akashi selalu sama, 'Nanti Tetsuya lihat sendiri saja'.
Berjalan selangkah demi selangkah, Kuroko tidak pernah menyangka… Akashi akan membawanya ke SMA Teiko. "Untuk apa kita kemari, Akahi-kun?" Akashi menyeringai,
"Kita ke atap, di sana enak, pemandangannya juga indah. Aku punya kuncinya kok," Kuroko menautkan kedua alisnya, bingung. Bertanya pada kekasihnya, "Darimana kau mendapatkan kunci pintu atap, Akashi-kun?"
"Aku diberi oleh penjaga sekolah waktu kelas 1," Oke, mendengar nada bicara Akashi saja Kuroko sudah mengerti. Akashi mengambilnya diam-diam. Jadi, sekarang, disinilah mereka. Tetsuya meminum vanilla shakenya sambil menikmati angin sepoi-sepoi musim dingin di atas atap. Sedikit dingin, namun dengan adanya Akashi di sisinya, ia merasa sedikit lebih hangat. Dan… ternyata matahari terbenam itu indah sekali, Kuroko kini bisa melihatnya dengan jelas di barat.
"Indah, kan?"
Kuroko mengangguk setuju sebagai jawaban.
"Nee, Tetsuya,"
"Hm?"
"Otanjobi Omedeto,"
Kuroko berbalik, melihat Akashi merentangkan kedua tangannya. Dengan segera, pemuda tanggung tersebut menghambur ke pelukan Akashi, membenamkan wajahnya di dada bidang Akashi, menghirup aroma mint yang terkuar jelas dari tubuh pemilik mata scarlet itu.
"Arigatou… Akashi-kun. Hari ini sangat menyenangkan,"
"Hn. Akui juga kalau tiap hari bersamaku selalu menyenangkan. Iya kan?"
Kuroko mendengus geli, percaya diri sekali.
Tidak menjawab, gantinya dia melingkarkan tangannya di punggung Akashi.
"Kau resmi jadi pacarku hari ini, kan? Tidak susah memperingatinya, karena hari ini pun hari ulang tahunmu," ungkitnya lagi sambil tersenyum. Kuroko mengiyakan saja. Pertama, Akashi memang tidak bisa dibantah, Akashi itu mutlak, tapi Kuroko sudah terbiasa karena ia harus melihat Akashi tiap hari dikarenakan janji yang mereka buat pada saat kelulusan SMA waktu itu. Kedua, ya, Kuroko Tetsuya akui, dia memang menginginkannya. Perasaannya sama dengan Akashi. Keduanya saling mencintai.
1 year ago :
Akashi sedang bekerja di perusahaanya, ya, sekarang mereka benar-benar mewujudkan mimpi mereka masing-masing. Hebatnya Akashi bahkan membangun rumah sakit dengan Midorima Shintarou yang bekerja di dalamnya. Ia sudah sukses, kini ia begitu terfokus pada pekerjaannya.
Sampai handphonenya berbunyi panjang, menandakan sebuah panggilan masuk. Dahinya berkerut saat yang menelepon adalah Kuroko. Tetsuya? Biasanya Kuroko tidak pernah menelepon di jam seperti ini, dia hanya menelepon jika ada sesuatu yang teramat sangat penting.
Bep!
"Tets–"
"A–Akashi-kun… K–Kepalaku sakit, ukh… Kaa-san to Tou-san sedang tidak ada dirumah… Akashi… –kun…"
"A–Aku akan segera telepon ambulans! Ja–Jangan kemana-mana!" Dengan cepat, Akashi memutuskan sambungan. Ada apa dengan Tetsuya?! Menelepon ambulans untuk menjemput Kuroko dirumahnya. Sekretaris perempuan yang ada di ruang kerja Akashi terperangah. Akashi itu… orangnya sangat dingin, berwibawa, otoriter, dan bawaannya tenang dan kalem. Baru kali ini, dia melihat seorang Akashi Seijuro bisa sepanik itu.
"Akashi-sama, anda bisa langsung pergi. Saya akan mengurus sisa kerjaan anda," ucap gadis tersebut. Sekali-kali melihat sisi lain bos-nya ternyata semenakjubkan ini, meski dia tau, bahwa ketakjubannya harusnya tidak boleh dirasakan saat ini. Apa yang terjadi? Mungkin orang yang penting bagi Ou-sama sakit kah?
"Baiklah. Kuserahkan sisanya padamu!" Bersamaan dengan itu, Akashi keluar dari ruangannya dengan berlari. Sempat bertabrakan dengan beberapa orang di jalan karena terburu-buru. Ia menelpon supirnya, namun tak ada jawaban.
Kemana perginya orang itu di saat seperti ini!? Geram Akashi dalam hati.
Akhirnya, Tuan Muda Seijuro itu memutuskan untuk menaiki taksi. Setelah mendapat taksi, ia meminta taksi tersebut untuk ke rumah sakit miliknya, tempat dimana tadi ia menelepon ambulans dan meminta menjemput Kuroko.
.
Suara langkah kaki Akashi menggema di seluruh koridor rumah sakit, tapi–ah, masa bodoh. Yang terpenting sekarang, dia sangat ingin melihat Kuroko.
"Shintaro!" Akashi reflek berteriak saat matanya menangkap seseorang yang sangat dikenalnya itu. Napasnya terengah-engah, menumpukan seluruh tubuhnya pada lengannya yang berada di lutut, Akashi kembali mendongak, menuntut jawaban pada Midorima atas keadaan Kuroko.
"Kanker otak, keadaannya lebih buruk dan lebih gawat dari sebelumnya."
Akashi terperangah. Detak jantungnya serasa berhenti saat itu juga, mendadak nuraninya seperti tertusuk-tusuk sesuatu. Napasnya terasa lebih sesak dibandingkan berlari mencari ruangan Kuroko tadi.
"… Apa?"
"Kau tidak tau–nanodayo?"
Kemarahan Akashi memuncak. Kenapa Kuroko tidak pernah memberitahunya?!
"Tentu saja tidak!" Sekarang, malah Midorima yang menjadi sasaran kemarahan Akashi, terbukti dari bentakannya barusan. "Separah apa?!" tanyanya lagi, dengan kalap.
Midorima menghela napas maklum, yah, dia juga sudah tau mereka menjalin hubungan yang tentunya dari cerita Akashi. Yang ia tak menyangka, Kuroko Tetsuya itu sama sekali tidak memberitahu kekasihnya sendiri tentang keadaannya.
"Tenangkan dirimu dulu, Akashi. Aku akan jelaskan, jadi, jangan berteriak begitu, nanodayo." Akashi mendecih kesal. Tapi, Midorima benar. Dia harus tenang dan mendengarkan.
Ingatkan Akashi untuk menghukum Kuroko nanti akan hal ini. Midorima mengajak Akashi untuk duduk di dekat sebuah mesin vending. Midorima menyidorkan sekaleng kopi pada Akashi, yang disambutnya dengan anggukan dan ucapan singkat, "Thanks."
"Kau pernah bilang Kuroko cuti 5 bulan saat tahun ke 3, kan? Saat itu dia pergi berobat. Keadaannya sudah sangat parah, dan berkat pengobatan itu keadaannya jadi lebih baik. Tapi tentu saja, tak bisa dikatakan bahwa ia sembuh, nanodayo."
Akashi masih terdiam, menunggu penjelasan Midorima lebih lanjut. Tunggu, ganti dengan kata menuntut.
"Shintaro," nada Akashi merendah dan tajam. Sepertinya sudah sangat lama Midorima tidak mendengar nada dan intonasi yang mencekam dari orang ini.
"Jangan berbelit-belit. Langsung ke intinya," ucapnya sarkastik sambil membuka kaleng kopi pemberian Midorima.
"… Kuroko, mungkin. Oh, ini hanya perkiraanku, oke? Dia tak akan bertahan lama. Mungkin umurnya hanya 1 tahun kedepan. Dan, sekali lagi kuingatkan, ini hanya perkiraanku, nanodayo."
Akashi terdiam sebentar, apakah ini artinya ia akan kehilangan Kuroko dalam waktu dekat? Ia sebisa mungkin mencoba mendinginkan kepalanya. Ia kemudian mengangguk pasrah. "Shintarou. Lakukan pengobatan terbaik. Aku mengandalkanmu,"
"Yeah… pasti, aku juga tidak ingin melihatnya pergi."
.
.
Kuroko membuka matanya pelan, mengerjap. Oh… iya, tadi sepertinya aku dibawa ambulans… Ah, mungkin Akashi-kun sudah tau ya… berbagai hal berkecamuk dalam pikiran Kuroko, membuat kepalanya bertambah pusing saja.
Pintu ruang ICU terbuka, Kuroko melihat kearah pintu. Ukh… Melihat wajah Akashi, sesuai ekspetasi Kuroko, Akashi pasti sudah tau dan dia pasti teramat marah karena Kuroko merahasiakan hal ini sejak lama.
"Ohh… Bagus, ya, Tetsuya… Ada yang ingin kamu katakan?" Akashi tersenyum manis, duduk di sisi kasur, membuat Kuroko makin bergidik ngeri saja.
"Maaf… Akashi-kun," kabur pun sudah tak bisa sekarang. Sudah basah sekalian menceburkan diri saja. "Aku tidak menerima itu,"
Kuroko mendongak, "Lalu Akashi-kun maunya a–"
Cup
Kecupan kecil mendarat di bibir ranum Kuroko Tetsuya. Akashi menyeringai puas,
"Ini, baru hukuman pertama dariku. Yang kedua, kamu harus memanggilku 'Seijuro'."
"Hah? Ap—" Baru saja Kuroko akan protes, Akashi langsung menempelkan jari telunjuknya pada bibirnya. Meminta Kuroko untuk tak memotong kalimatnya.
"Dan yang ketiga…"
Kuroko diam. Kali ini ia yang menutupi mulutnya sendiri dengan tangannya, menunggu kalimat yang selanjutnya akan Akashi ucapkan.
"Kamu harus sembuh. Bagaimanapun caranya," ujar Akashi.
Kuroko membuka mulutnya lebar-lebar, hukuman macam apa itu? Itu sih keinginan Akashi saja.
"Hukuman yang begitu egois." Gerutu Kuroko. Akashi mendelik, "Kau bilang sesuatu, Tetsuya?"
Kuroko buru-buru menggeleng, "Tidak, aku tidak mengatakan apapun, Akashi—"
Sepasang iris scarlet memandangi Kuroko dengan tatapan tajam.
"Aku tidak mengatakan apapun, Se—Seijuro-kun.."
"Tanpa embel-embel 'kun' " perintah Akashi. Kuroko mendengus, astaga pacarnya ini banyak sekali maunya.
"Iya, Seijuro." Akashi lagi-lagi tersenyum puas, kemudian kedua lengannya langsung merengkuh tubuh Kuroko ke dalam pelukannya. Ia menyandarkan kepalanya pada pundak Kuroko.
Aku tidak ingin kehilanganmu, jadi kau harus sembuh, bagaimanapun caranya, Tetsuya.
.
.
.
Bagaimana? Oh–bukan ceritanya, maksudku pembukanya. Cerita yang sesungguhnya baru akan dimulai sekarang, apa kalian mau terus membacanya? Kuharap begitu!
Saat kita sudah sampai puncaknya, kuharap dua insan yang tidak ditakdirkan bersama ini akan membawa airmatamu.
-Andrea Sky
.
.
.
Langkah Akashi tergesa-gesa, berlarian dalam lorong rumah sakit. Bunyi antara sepatu dan lantai menimbulkan bunyi khas, tapi, tentu saja tidak ada yang protes. Rumah sakit tersebut miliknya, siapa yang berani?
Bahkan Midorima yang merupakan Kepala Dokter di sanapun tak bisa berbuat banyak.
"Geez, Akashi. Kau mau kencan atau menjenguk Kuroko sih? Semangat sekali, nanodayo" Midorima mendengus, kemudian tersenyum tipis.
"Shintarou, kau bawel. Aku sengaja pulang cepat dari kantor hari ini, tau." Midorima manggut-manggut mengerti, tidak mau memperpanjang debatan. Membuka pintu kamar Kuroko, Akashi mengendap-ngendap pelan. Menghampiri Kuroko yang duduk di kursi membelakangi pintu masuk kamar rumah sakit dan menghadap jendela.
"Tet-su-ya~"
Kuroko tersentak kaget saat merasakan sepasang lengan memeluknya dari belakang. Ia bisa langsung tau bahwa itu adalah Akashi, terbukti dari bagaimana caranya memaggil namanya dan juga aroma mint khas yang terkuar dari tubuh orang itu, sudah pasti yang memeluknya itu adalah Akashi.
Menaruh kepalanya di tengkuk Kuroko, Akashi terdiam sebentar. Angin musim semi memainkan surai mereka berdua, melihat helaian-helaian biru langit Kuroko terbuai angin, Akashi tersenyum. Tiba-tiba sekelebat ingatan tentang bagaimana mereka pertama kali bertemu di perpustakaan memenuhi kepala Akashi.
"Sei…"
"Hn?"
"Berapa lama lagi, ya, kita bisa begini?"
Akashi terdiam. Tidak ada yang tau, kan? Akashi tidak mau memberikan harapan palsu pada Kuroko. Jadi, Akashi hanya terdiam sambil terus memeluk Kuroko, yang masih menyaksikan bunga sakura dari jendela.
"Jawab aku, Seijuro," tuntutnya. Akashi menghela napas, "Aku tidak mau kau memikirkan hal ini. Bukankah yang terpenting adalah sekarang? Nanti ya nanti."
"Tapi–"
"Dengar. Apapun yang terjadi, kamu harus sembuh. Tidak ada kata menyerah dalam kamusmu, bukan? Jadi, laksanakan itu." Titahnya. Dan Kuroko tidak melawan.
Percuma, Sei… kamu harus tau ada hal yang tidak bisa kamu ubah seberapapun kamu keras mencoba. Gak bisa… Kuroko menggenggam lengan Seijuro yang melingkar di dadanya. Kakiku dan lenganku bahkan nyaris tidak bisa digerakkan lagi…
Kuroko menutup matanya. Tubuhku sudah sampai batasnya, Seijuro… Mengertilah. Kemudian, Kuroko berkata pelan,
"Sei… Antarkan aku jalan-jalan dengan kursi roda, oke?" Akashi mengangguk mengerti, melepaskan pelukannya, ia mengambil kursi roda di salah satu sudut kamar.
Membantu Kuroko duduk di kursi roda, Akashi memberikan tiang infus pada Kuroko,
"Pegang erat-erat," ucapnya kemudian. Kuroko mengangguk paham. Akashi membawa mereka ketaman rumah sakit tersebut, dimana tadi kekasihnya itu menyaksikan sakura yang baru mekar dari jendela kamarnya. Ini memang musim semi, oh, awal mereka bertemu juga saat musim semi bukan?
"Waaah…" mendengar Kuroko berdecak kagum, Akashi tersenyum kecil.
"Indah bukan?" tanya Akashi,
"Indah, tapi sama sepertiku. Tidak bertahan lama," gumam Kuroko
Akashi terdiam. Entah kenapa, tapi sekarang Kuroko Tetsuya menjadi orang paling pesimis yang pernah Akash kenal. Tapi, sesungguhnya, harus Akashi akui, hanya dengan melihat fisiknya saja sudah kelihatan bahwa Kuroko… mungkin tak akan bertahan lama. Ia sudah mencapai batasnya. Akashi meremas pegangan kursi rodanya.
Akashi benci dirinya, dirinya dan semua kemutlakannya. Karena saat ini, feelingnya berkata bahwa Kuroko akan segera pergi. Kenapa? Kenapa dengan semua yang sudah ia raih, ia malah tidak bisa meraih orang yang ia cintai? Kenapa ia tak bisa menyelamatkan orang yang berharga baginya ini? Kenapa lagi-lagi, ia harus kehilangan sesuatu yang berharga baginya? Apa Tuhan sebegitu bencinya dengan dia?
Sial, Akashi mengalihkan pandangannya kearah bunga sakura.
"Kau benar. Mungkin hidupnya hanya sebentar. Tapi, dia membawa kebahagian terhadap orang-orang disekitarnya saat dia hidup," Kuroko terperangah, menoleh kearah Akashi. Setangkai bunga sakura dipetik Akashi, menaruhnya pada sela-sela telinga Kuroko.
"Sekalipun ia akan mati suatu saat nanti, sekalipun semua orang melupakannya, setidaknya ia akan tumbuh lagi menjadi sesuatu yang baru, membawa kebahagiaan kembali." menatap mata baby blue Kuroko, Akashi menyatukan kening mereka. Ia menarik napas, lalu berucap lagi,
"Mungkin takdir menuliskan awal dan akhir hidup manusia, menuliskan story board pada setiap jengkal kehidupan."
"Kita sebagai pemeran utama dalam cerita itu hanya bisa menjalaninya dengan hati lapang, memainkan peran kita sebaik mungkin. Entah akan jadi apa akhir ceritanya, itu sesuai yang menulisnya. Dan yang menulis hanyalah Tuhan, kau tau."
Akashi berdiri, menatap Kuroko sambil tersenyum lembut–dan sungguh, itu senyuman paling manis yang pernah Kuroko lihat–kemudian tangan Akashi mengusap helaian-helaian biru muda di kepala Kuroko.
"Tidak akan ada yang tau sebelum mereka membuka 1 per 1 halaman dan membacanya. Makanya… Kau tak boleh menyerah. Apapun bisa terjadi kan? Mungkin, Tuhan menuliskan akhir yang tidak kita sukai. Tapi bagaimana kita menjalani hari-hari kita, itu hanya kita yang bisa melakukannya."
Ah, baru kali ini, Akashi bermonolog sepanjang ini, apakah dia membaca sebuah buku atau menonton film yang bagus semalam? Sehingga membuatnya terlihat seperti motivator seperti ini. Kuroko mengangguk, ia tertawa lepas,
"Ah, kau benar, Seijuro." Namun tiba-tiba air matanya jatuh, tangisannya pecah. Akashi terkekeh kecil, memeluk kekasihnya tersebut, mengusap-usap punggungnya secara memutar.
"Seijuro…" panggil Kuroko,
"Ya?"
"Aku punya permintaan."
Hm? Kuroko? Punya permintaan? Tumben sekali. Batin Akashi bingung. "Apa itu?"
Kuroko mengadah sambil tersenyum kecil. Bibirnya bergerak, di saat itu juga angin musim semi berhembus menerbangkan kelopak bunga sakura, bersamaan dengan permintaan seorang Kuroko Tetsuya.
"..."
To be continued.
Mind to Review?
