SOPHIA
.
.
.
Terinspirasi dari manga Jendela Orpheus karya Ikeda Riyoko dan Hutan Rahasia karya Watari Chie …
dr. Kim yang Baik,
Hari ini murid-murid St Joachim kembali melewati jendelaku. Beberapa dari mereka meletakkan bunga di bawah jendelaku dan mengatakan sesuatu, tapi aku tak dapat mendengar apa yang mereka katakan, kecuali saat mereka berteriak dan memanggilku 'Sophia'. Kyungsoo lagi-lagi mengusir mereka setiap kali mereka berhenti di bawah jendelaku sambil memanggilku 'Sophia'. Aku tidak tahu kenapa Kyungsoo begitu membenci mereka. Dia bilang mereka gerombolan anak-anak nakal, tapi kenakalan seperti apa yang mereka lakukan? Apa karena mereka memanggilku dengan nama yang bukan namaku? Kyungsoo tidak memiliki jawaban untuk itu atau dia memang tak ingin menjawab, aku tidak tahu. dr. Kim, kira-kira apa Anda memiliki jawaban untuk itu? Kuharap ya dan Anda bersedia memberikan jawabannya saat kita bertemu nanti.
Salam,
Yixing
dr. Kim yang Baik,
Pemuda itu datang lagi, sendirian seperti biasa. Dia berdiri di bawah jendelaku, meletakkan sebatang ros di sana dan mendongak menatapku. Dia tidak seperti yang lain. Dia tidak pernah berteriak memanggilku dengan nama Sophia. Seperti biasa, dia selalu membawa semacam papan dengan tulisan yang sama. Aku masih tidak mengerti kenapa dia menuliskan kata cantik untuk wajahku dan indah untuk suaraku. Aku laki-laki, 'kan? Lalu suara yang indah? Aku bahkan tak bisa mendengar suaraku sendiri. Lantas apa maksud pemuda itu menuliskannya di papan dan memperlihatkannya padaku? Aku ingin bertanya padanya, tetapi mustahil karena Kyungsoo selalu mengusirnya sebelum aku sempat menuliskan pesan di kertas, menyiramnya dengan seember air es seperti mengusir kucing, lalu Kyungsoo akan mengunci jendelaku seperti biasa. Kyungsoo bilang dia pemuda sinting, tapi aku tak setuju. Pemuda itu lain dari yang lain dan sepertinya dia mengetahui sesuatu tentangku. Apakah dia mengenalku sebelumnya? dr. Kim, aku ingin sekali mengenalnya, tapi tak tahu bagaimana caranya. Aku tak bisa menggunakan suaraku untuk bertanya padanya, juga tak bisa menggunakan kakiku untuk menghampirinya.
dr. Kim, apakah Anda sudah berhasil menemukan pengobatan yang tepat untukku? Aku ingin sembuh. Ingin, ingin sekali.
Salam,
Yixing
dr. Kim yang Baik,
Hari ini Victoria mengunjungiku dan aku melemparnya dengan piring buah. Aku tidak membencinya, hanya saja aku marah karena dia tak mengizinkanku untuk keluar dari rumah ini. Aku sudah muak dengan alasan tubuhku rentan pada sinar matahari dan udara dingin di luar. Aku baik-baik saja meski duduk berjam-jam di depan jendela yang terbuka! Kuakui aku cacat, tapi aku tak selemah itu! Aku benci saat orang memperlakukanku seperti gelas kaca. Sikap mereka justru melukaiku dan tak jarang aku ingin mati karena merasa sangat-sangat tak berguna.
dr. Kim, Anda tak akan memperlakukanku seperti Victoria, bukan? Kiranya maukah Anda berjanji untuk membawaku keluar rumah saat kita bertemu nanti?
Salam,
Yixing
dr. Kim yang Baik,
Mimpi itu datang lagi. Gadis cilik itu lagi-lagi mendatangiku, memanggilku 'Mama' dan mengatakan kalau dia merindukanku. Demi Tuhan, bukankah aku ini laki-laki? Lantas kenapa dia memanggilku 'Mama'? Tapi anehnya aku tidak marah. Aku justru menikmati caranya memanggilku 'Mama' dan aku tak pernah merasa lebih baik selain saat merasakan tubuh mungilnya memelukku. Pelukannya terasa hangat dan menyenangkan, jauh lebih hangat dan menyenangkan dari pelukan Kyungsoo saat dia sedang 'waras'. Rasanya aku ingin dia berlama-lama memelukku, tapi tidak bisa. Dia selalu pergi lebih cepat dari dugaanku, tapi dia berjanji untuk datang lagi dan aku percaya padanya. Aku tahu, dia akan datang lagi. Aku menantikannya.
dr. Kim, aku juga menantikan Anda. Kiranya kapan Anda datang untuk mengunjungiku?
Salam,
Yixing
dr. Kim yang Baik,
'Pemuda sinting' itu datang lagi. Kali ini dia tidak membawa papan dan sebatang ros, melainkan buket berisi hyacinth putih yang diletakkannya di bawah jendelaku. Sayang, Kyungsoo menyiramnya lagi dengan seember air es dan kulihat dia membuang buketnya ke tempat sampah. Kyungsoo memang brengsek, 'kan? Tapi aku tak bisa membencinya. Aku sadar, aku tak bisa hidup tanpa Kyungsoo. Mulutnya memang jahat dan dia kasar, tapi dia mengurusku dengan sepenuh hati. Dia seribu kali lebih baik dari Victoria yang selalu membuatku sakit dengan air mata dan tatapannya yang mengumbar belas kasihan padaku. Seandainya saja Kyungsoo yang ditakdirkan menjadi kakakku dan bukan Victoria, sepertinya suasana di rumah ini tidak akan terlalu suram.
dr. Kim, pemuda itu dan Kyungsoo, juga Anda dan Si Cilik dalam mimpiku, mungkin kalian berempat alasanku untuk bertahan sampai sejauh ini. Tanpa kalian berempat, aku mungkin mati. Mungkin tidak dengan pisau buah yang gagal membunuhku beberapa bulan lalu. Menghantamkan kepalaku ke sudut meja atau menelan semua kapur barus di lemari mungkin bisa jadi alternatif, tapi aku tak ingin melakukannya. Aku masih ingin sembuh. Ingin sekali.
dr. Kim, kapan Anda bisa mengunjungiku dan memberiku pengobatan yang tepat? Aku sudah muak dengan terapisku.
Salam,
Yixing
"Mama!"
Kim Jongdae terperanjat. Suara gadis ciliknya terdengar nyaring bagai alarm dari kamar sebelah. Refleks, Jongdae mencampakkan begitu saja lembar surat di tangannya ke atas ranjang sebelum melesat keluar dari kamarnya seakan memburu angin.
"Leanne!" Dia berseru begitu pintu terbuka dengan suara berisik oleh gerakan tangannya.
Pemandangan yang menyambutnya di balik pintu adalah gadis ciliknya yang duduk tegak di ranjang, tampak menangis tersedu-sedu dengan raut mengibakan. Jongdae dengan tanggap bergegas menghampirinya, merengkuhnya ke dalam pelukan.
"Mama, Mama, hiks, Mama…" Leanne—gadis ciliknya—memeluknya erat, membenamkan wajah mungilnya ke dadanya yang bidang.
"Ssh, jangan menangis, Sayang. Papa di sini," bisik Jongdae menenangkan. Satu tangannya bergerak membelai-belai rambut sebahu Leanne, sementara pasangannya memilih menepuk-nepuk punggung milik Si Cilik.
"Mama, hiks, Mama… I want Mama…" Si Cilik terisak-isak memilukan. "I want Mama."
Jongdae mencelos. Suara hatinya mendadak berseru nyaring, 'Demi Tuhan, Kim Leanne! Haruskah sekarang?'
"Hyung, ada apa? Leanne kenapa?"
Suara milik pemuda berkulit tan yang tampak terkantuk-kantuk di pintu kamar Leanne mengejutkan Jongdae, mengalihkan perhatiannya dari Leanne yang terisak-isak. Jongdae menoleh, mendapati sang empunya suara tengah mengerjap-ngerjapkan mata untuk melawan kantuk.
"Jongin-ah, Leanne ingin bertemu ibunya," Jongdae menjawab.
Jawaban Jongdae rupa-rupanya punya efek bak guyuran air, pasalnya pemuda berkulit tan yang bernama Jongin langsung pulih dari rasa kantuk. Sepasang matanya terbelalak lebar-lebar, sesaat membuat Jongdae takut lantaran sepasang bola matanya seakan-akan ingin meloncat keluar.
"Mama, hiks, Mama…"
Isak tangis Leanne berdampak lebih parah lagi. Jongin tampak syok, sampai-sampai harus berpegangan pada kenop agar tak terhuyung.
"Harus sekarang? Tapi Hyung..."
"Mama, I want Mama, hiks, Mama…"
"Leanne, Honey, sekarang sudah malam. Mama is sleeping. Besok saja kita lihat Mama, ya? Papa janji, besok Papa akan mengantarmu melihat Mama," Jongdae berinisiatif membujuk.
"No, hiks, no. I want Mama, now, hiks…" Leanne mencengkeram erat kaus Jongdae. "I want Mama, hiks…"
Jongdae bertukar pandang dengan Jongin, masing-masing terlihat horor.
"Mama… Mama… Hiks… Mama."
Jongin diam-diam menggelengkan kepalanya. Tatapan matanya yang tertuju pada Jongdae seolah mengatakan, "Tidak bisa."
Jongdae menghela napas. Meniru Jongin, Jongdae memilih menggunakan tatapan mata sebagai sarana komunikasi. "Aku tahu." Demikian isyarat yang disampaikan Jongdae lewat tatapan matanya.
Jongdae dan Jongin bertatapan dalam hening selama beberapa detik, sampai akhirnya dipecahkan suara milik Jongdae yang serempak dengan isak tangis kesekian dari Leanne.
"Leanne, bagaimana kalau kita ke kamar Uncle Joonmyeon? Bukankah kau paling suka berada di sana, bermain dengan boneka-boneka kelinci kepunyaan Uncle Joonmyeon, juga melihat-lihat koleksi bola-bola kristalnya? Hmm?"
Baik Jongdae maupun Jongin kompak menahan napas menantikan reaksi Leanne, seolah-olah hidup dan mati mereka bergantung pada bocah itu.
"Mama. I want Mama. Hiks… Mama."
Jongdae dan Jongin mencelos. Dengan berat hati, Jongdae melambaikan tangannya pada Jongin dan memberikan instruksi, "Telepon Victoria sekarang juga, Jongin-ah."
-000-
Zhang Victoria boleh berumur tiga puluh tahun, tetapi penampilannya bahkan tak kalah muda dari gadis-gadis SMA. Dia cantik, tentu, memiliki kulit seputih salju dan bibir yang nyaris semerah darah berkat lipstiknya. Pilihan warna yang sangat buruk, sebenarnya, mengingat saat ini wajahnya terlihat sepucat kapas. Bibir merahnya sukses menciptakan kesan ngeri di wajahnya yang elok, tetapi Jongdae mengabaikannya.
Perempuan itu menghampiri Jongdae dan Jongin di ruang tamu dengan langkah terhuyung, bahkan nyaris oleng seandainya Jongdae tak berinisiatif menopangnya.
"Kau baik-baik saja, Noona?" Jongdae bertanya dengan nada khawatir.
Victoria mengangguk. Perempuan itu memilih duduk di sebelah Jongdae dan Jongin yang sedari tadi mengawasinya dengan tampang tak kalah khawatir dari Jongdae.
"Kau pembohong yang payah, Noona," Jongin berkomentar. "Dan lipstik merah darahmu benar-benar konyol. Sekarang jam berapa?"
"Aku hanya tak ingin terlihat terlalu mengenaskan di hadapan tamu-tamuku yang mengetuk pintu di jam satu dini hari," Victoria menanggapi. "Dan aku agak flu kalau kau penasaran, Jongin-ah."
"Maafkan kami, terpaksa mengetuk pintumu pukul satu dini hari." Jongdae beralih memasang ekspresi tak enak hati. "Leanne, dia—"
"Aku tidak pernah keberatan selama itu berkaitan dengan Leanne," Victoria memotong kalimat Jongdae. "Hanya saja aku merasa bersalah padanya. Aku paling benci berbohong, Jongdae-ya, tapi…"
Perempuan cantik itu agaknya tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Victoria menggigit-gigit bibir, sejenak terlihat frustrasi.
"Tak ada jalan lain," Victoria akhirnya melanjutkan setelah terdiam beberapa saat. "Mengingat kondisi adikku yang malang. Dia bahkan tak mengingat Leanne sama sekali."
"Tapi dia melihat Leanne," bantah Jongdae tiba-tiba, mengejutkan Victoria dan Jongin sekaligus.
"Apa maksudmu?" Victoria sedikit membelalakkan matanya yang indah meski tampak lelah. "Melihat Leanne? Bagaimana bisa?"
"Dia melihat Leanne dalam mimpinya," jawab Jongdae. "Melalui surat yang ditulisnya untukku, Yixing Hyung bercerita kalau dia bermimpi tentang sosok gadis kecil yang memanggilnya Mama. Aku berani bertaruh bahwa yang dilihatnya dalam mimpi itu Leanne. Sepertinya Tuhan berbaik hati untuk memberinya petunjuk agar dia bisa mengingat kembali anak yang pernah dilahirkannya empat tahun lalu."
"Oh, Ya Tuhan." Victoria menutupi mulutnya dengan telapak tangan. "Ya Tuhan."
Perempuan cantik itu mendadak berkaca-kaca. "Ikatan batin antara ibu dan anak... Oh, adikku yang malang. Yixing-ku yang malang."
"Jika ingatannya tentang Leanne kembali, akankah ingatannya yang lain ikut kembali juga?" Kali ini giliran Jongin angkat bicara. Pemilik kulit tan ini menatap Jongdae lurus-lurus.
"Akankah dia mengingat kembali Sophia Lindemann, Elfriede Lindemann, dan… Kim Joonmyeon?"
Mendengar nama Kim Joonmyeon, baik Jongdae maupun Victoria seakan tersedak telur.
"Tidak. Tidak." Victoria menggelengkan kepalanya yang cantik. Wajahnya yang elok berubah pias dan dia tampak ketakutan.
"Tidak, Jongin-ah. Lebih baik dia tidak mengingat apapun."
Victoria lagi-lagi menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Kristal bening perlahan meleleh menuruni pipinya yang pucat.
"Adikku, lebih baik dia tidak mengingat apapun. Seperti yang dikatakan ayah kami, lebih baik dia tidak mengingat apapun."
Victoria menangis, sementara Jongin dan Jongdae bertukar pandang, masing-masing tampak masygul.
-000-
"Sophia! Sophia Lindemann!"
"Berbulan-bulan bersekolah di sini dan melihatnya hampir setiap akhir pekan, aku masih sulit percaya kalau dia laki-laki. Dia begitu cantik, bahkan meski rambutnya dipangkas habis-habisan seperti itu."
"Dia Sophia Lindemann? Sedikit aneh melihatnya tanpa rambut pirang sepunggung seperti yang sering kulihat di internet beberapa tahun lalu, tapi harus kuakui dia tetap cantik. Benar-benar sulit dipercaya kalau dia sesungguhnya laki-laki."
"Sophia! Sophia! Aku merindukan suaramu! Nyanyikanlah Ave Maria untukku!"
"Kasihan. Hidupnya benar-benar tragis."
"Dia seorang countertenor* dan jakunnya nyaris tak terlihat. Pantas saja semua orang terkecoh."
"Aku masih ingat, beberapa tahun lalu aku sempat nonton konsernya. Dia kelihatan begitu memukau di atas panggung. Sekarang melihatnya seperti ini, rasanya sungguh menyedihkan."
"Kabarnya dia bisu dan hilang ingatan."
"Wajar saja kalau dia bisu dan hilang ingatan. Dia mengalami kejadian yang kelewat sadis dan mengerikan. Lebih baik dia kehilangan ingatannya."
"Kudengar pacarnya dibunuh di depan mata kepalanya sendiri dan dia dimandikan dengan darah pacarnya itu."
"Kasihan, ya. Tragis benar kisah hidupnya, seperti dalam novel saja."
"Ibunya psikopat. Benar-benar berdarah dingin."
Tangan Kim Jongin mengepal. Napasnya memburu dan sepasang matanya berkilat-kilat marah.
Dia benci situasi semacam ini.
Jongin benci situasi semacam ini. Melihat teman-teman sekolahnya berdiri berkerumun di bawah jendela milik rumah paling besar di kawasan ini, berkasak-kusuk sambil memperhatikan sosok cantik yang duduk di balik jendela, bahkan beberapa nekat menyerukan nama yang seharusnya tak boleh didengar oleh Si Cantik.
"Sophia! Sophia!"
'Sialan!' Jongin berteriak marah dalam hati. Terkutuklah peraturan sekolah yang mengizinkan murid-murid keluar dari gerbang sekolah selama dua belas jam setiap akhir pekan seperti ini. Mereka semua pasti melewati rumah tersebut dan bisa dipastikan melihat sosok Si Cantik yang duduk termenung di balik jendela.
"Sophia! Seluruh keluargaku penggemarmu dulu! Kami rindu kau berdiri di atas panggung seperti dulu!"
'Keparat!'
Sumpah, ingin rasanya Jongin berlari ke arah pemuda yang barusan berteriak, lalu menghajarnya habis-habisan sampai dia tak sanggup bicara. Sayang, dia tak mungkin melakukan hal brutal semacam itu di depan mata Si Cantik. Tidak. Jongin tak ingin membuat Si Cantik merasa takut padanya.
"Pergi! Pergi kalian semua! Dasar anak-anak nakal! Pergi kataku! Pergi!"
Suara yang dalam, merdu, tetapi nyaring dan sarat emosi tahu-tahu menggetarkan udara milik pagi hari yang ceria ini. Jongin mendadak tersenyum, puas. Tatapan matanya dengan cepat menemukan siapa gerangan pemilik suara itu. Tampak olehnya sosok lelaki manis bermata besar berdiri di balik jendela, menghalau teman-teman sekolahnya dan mengusir mereka tanpa tedeng aling-aling. Dia bahkan tak segan-segan menyiramkan air ke arah mereka dengan gayung untuk memaksa mereka bubar.
"Pergi! Jangan ganggu tuan mudaku! Pergi kubilang! Dan cepat singkirkan bunga-bunga itu! Bikin kotor halaman rumah orang saja! Cepat singkirkan dan pergi dari sini atau kutelepon polisi! Cepat!"
"Kasar seperti biasanya, Do Kyungsoo." Senyuman milik Jongin semakin lebar. Dia benar-benar menikmati pertunjukan gratis dari lelaki manis bernama Do Kyungsoo yang masih setia menyiramkan air dengan gayung untuk mengusir para pemuda yang kini berlarian menghindari risiko basah terkena siraman air.
"Dasar anak-anak iseng! Kutelepon polisi baru tahu rasa nanti, hah!"
Satu siraman air lagi dan kerumunan kecil itu pun bubar. Akan tetapi, Do Kyungsoo agaknya belum puas. Lelaki manis itu tampak geram, lalu tak disangka-sangka dia menutup jendela di hadapannya dengan kasar.
Ingin rasanya Jongin berteriak untuk mencegah, tetapi terlambat. Jendela terlanjur tertutup rapat. Beruntung tirai di baliknya tidak ikut ditutup, memungkinkan Jongin untuk melihat Si Cantik yang kini menggigit-gigit bibir dengan raut wajah jengkel. Nampaknya dia jengkel terhadap sikap Do Kyungsoo, terbukti dari gerakan tangannya menepis tangan Kyungsoo.
Jongin menunggu bayangan Do Kyungsoo lenyap dari balik jendela, baru dia berani mendekat. Meniru teman-teman sekolahnya tadi, Jongin berdiri di bawah jendela Si Cantik, meletakkan sebatang ros di bawah jendelanya sebelum mendongak untuk memandangi Si Cantik yang masih duduk di baliknya.
Si Cantik melihatnya. Jongin pun mengulas senyum, setulus mungkin. Dia berharap senyumannya menjadi penghiburan kecil bagi Si Cantik setelah insiden dengan Do Kyungsoo tadi.
Jongin memperlihatkan papan berukuran 50x50 yang terbuat dari karton pada Si Cantik. Sebuah papan bertuliskan satu kalimat sederhana: KAU CANTIK DAN SUARAMU INDAH.
Seperti yang sudah-sudah, Si Cantik tersenyum tipis padanya, memperlihatkan single dimple menawan di pipi kanan. Kecantikannya seakan bertambah menjadi berkali-kali lipat hingga Jongin terkesima. Sinar matahari yang memantul di jendela menjadikan seraut wajah cantik itu berkilauan bak efek komputer yang digunakan dalam iklan kosmetik, menghasilkan pesona yang sulit dideskripsikan dalam bahasa apapun di dunia ini. Rasanya tak ada satu pun kata yang tepat untuk mendeskripsikan jenis keindahan yang memenuhi penglihatan Jongin saat ini.
'Hyung, kau begitu cantik, begitu memikat, tetapi kenapa ada yang begitu keji menghancurkan hidupmu sampai jadi seperti ini?'
Jongin menangis dalam hati. Kecantikan dan keindahan milik Si Cantik entah kenapa terasa menusuk-nusuk kalbu lagi mengibakan. Ingin rasanya Jongin berteriak sekuat tenaga, melayangkan protes kepada Sang Mahakuasa atas takdir yang dijatuhkan pada Si Cantik di balik jendela.
'Yixing Hyung, entah kapan kau akan mengenaliku lagi. Tapi jika saat itu tiba, akankah kau mengingat semuanya, termasuk… Setan perempuan itu dan… Kakakku?'
Mendung kembali menyelubungi hatinya, disusul gerimis yang terasa akrab bagi Jongin beberapa tahun terakhir. Hatinya terasa sakit. Sangat.
Pantaskah kesedihan diberi nama?
BYUURRRRR
Jongin terperanjat. Sekujur tubuhnya mendadak basah kuyup. Dingin menyergap seluruh pori-pori kulitnya, seakan-akan dia baru saja tercebur ke dalam danau di musim dingin. Pemilik kulit tan ini kontan gelagapan.
Do Kyungsoo berdiri di hadapannya dengan wajah garang. Satu tangannya tampak menenteng ember berukuran sedang.
"Perlu kutambah seember lagi, Kim Jongin?" Sepasang mata bulat besar milik Do Kyungsoo berkilat-kilat berbahaya.
Jongin mengesah. Dia menyesali diri lantaran terlalu fokus memperhatikan sosok Si Cantik hingga terlambat menyadari bahwa Do Kyungsoo membuka pintu gerbang. Nasi sudah menjadi ampas. Jongin lagi-lagi harus menjadi korban 'kekejian' Do Kyungsoo.
"A-aku pergi sekarang."
Sial! Lagi-lagi dia gugup bukan main. Bukan karena takut disiram lagi oleh Kyungsoo. Bukan, sama sekali bukan. Jongin memang berdebar-debar, tetapi bukan debar ketakutan yang dia rasakan.
'Sialan! Kenapa dia makin manis saja, sih?' Kim Jongin membatin, merasakan jantungnya makin berdebar liar seiring tatapan Kyungsoo yang semakin tajam bak pisau silet.
-000-
Jongdae menggandeng tangan gadis cilik itu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menenteng sebuket ros merah menawan. Pemilik postur sedang ini membimbing Si Cilik memasuki area pemakaman yang menghijau oleh hamparan rumput, menyusuri jalan setapak yang menanjak menuju area makam di sisi barat kompleks pemakaman ini. Langkah kakinya tepat berhenti di depan sebuah makam yang terletak paling ujung sebelah kiri, berbatasan dengan tepian bukit yang menyajikan pemandangan spektakuler berupa sungai dan pepohonan yang terhampar di bawah sana.
"Hai, Hyung," Jongdae menatap batu nisan dari marmer bertuliskan nama KIM JOONMYEON dalam Hanja yang diukir dengan indah.
"Maaf, baru sempat berkunjung." Dia membungkuk, meletakkan buket rosnya ke nisan yang berkilau oleh sinar matahari.
"Honey, ayo kita beri salam pada Uncle Joonmyeon," kata Jongdae pada Si Cilik.
Jongdae membimbing Si Cilik untuk memberi penghormatan pada sosok Kim Joonmyeon di tempat peristirahatan terakhirnya. Leanne, Si Cilik, dengan patuh mengikuti gerakan Jongdae. Dia bisa menirukan Jongdae dengan sangat baik, sekali lagi membuktikan bahwa anak-anak adalah peniru yang baik.
"Aku datang bersama Leanne, Hyung," Jongdae kembali berbicara pada Joonmyeon. Laki-laki ini berlutut di depan makam Joonmyeon dan Leanne kembali menirunya dengan sangat baik.
"Kau pasti merindukannya, bukan? Lihatlah. Leanne semakin cantik dan dia bertambah tinggi. Leanne, cobalah berdiri, Sayang. Biarkan Uncle Joonmyeon melihatmu," Jongdae mengerling gadis ciliknya.
Leanne menurut. Dia berdiri sesuai permintaan Jongdae. Gadis cilik yang cantik itu mengerjap-ngerjapkan matanya, memandangi nisan Joonmyeon dengan tatapan ingin tahu.
"Bagaimana, Hyung? Dia bertambah tinggi, bukan? Terakhir kau melihatnya, dia masih kecil sekali." Suara Jongdae basah. Sepasang matanya bahkan mulai berkaca-kaca.
"Dia bahkan belum bisa berjalan waktu itu," Jongdae mencoba tersenyum, tetapi gagal. Hatinya terasa nyeri bagai dipilin mengingat kembali kenangan saat Leanne masih sangat kecil.
"Sekarang dia sudah bisa berlari, bahkan mencintai atletik…" Suara Jongdae mulai tercekat.
"Papa, why are you crying?" Leanne sekonyong-konyong bertanya. Gadis cilik itu tampak kebingungan melihat Jongdae meneteskan air mata.
Jongdae menolehkan kepalanya untuk menatap Leanne. Begitu tatapannya bertemu pandang dengan tatapan milik gadis cilik itu, nyeri dalam hatinya seolah tak tertahankan lagi.
'Hyung, maafkan aku!' Jongdae menjerit dalam hati. 'Maafkan aku yang terpaksa membuat Leanne memanggilku 'papa' dan memanggilmu 'uncle'. Maafkan aku yang terpaksa membuatnya memanggil Victoria dengan sebutan mama. Maafkan aku, Hyung. Maafkan aku!'
Tergerak oleh perasaan, Jongdae merengkuh Leanne, memeluk Si Cilik itu erat-erat.
"Maaf, Papa menangis karena Papa sangat merindukan Uncle Joonmyeon," bisik Jongdae serak pada Leanne.
'Ya, papamu ini merindukannya, Leanne-ah. Papa merindukan orang yang karena dia kau ada di dunia ini. Kakakku. Ayah kandungmu, Kim Joonmyeon.'
Bahkan di dalam hatinya pun Kim Jongdae menangis. Menangisi takdir yang hingga saat ini dirasakannya teramat tak adil bagi sosok yang terbujur kaku di dasar tanah milik pemakaman ini. Mendiang kakaknya, Kim Joonmyeon.
Ayah kandung Leanne.
-000-
Leanne pastinya kelelahan sampai-sampai dia tertidur. Jongdae tersenyum tipis melihat gadis ciliknya yang lelap di kursi sebelah. Dengan lembut dibenahinya posisi duduk Leanne agar Leanne merasa nyaman, tak lupa mengamankan boneka Olaf kesayangannya dalam pelukan Si Cilik itu.
Jongdae perlahan melajukan Hyundai-nya menuju kawasan yang dikenal sebagai St Joachim Road, kemudian memberhentikan mobilnya di depan salah satu rumah berlantai dua yang mengadopsi arsitektur Eropa, tepatnya gaya rococo. Diturunkannya kaca jendela mobil untuk memaksimalkan kualitas penglihatannya. Tatapannya dengan cepat terhenti pada salah satu jendela di lantai dua yang memperlihatkan sosok cantik milik seorang laki-laki.
Laki-laki yang cantik itu duduk menghadap jendela, tampak serius membaca buku. Melihatnya, hati Jongdae lagi-lagi terasa nyeri bagai dipilin.
"Yixing Hyung," Jongdae menggumam miris. "Lihatlah. Aku membawa putrimu, Leanne." Dia melirik sekilas gadis cilik yang tengah terlelap di sebelahnya.
"Kuharap kalian segera bertemu lagi di dalam mimpi. Bukankah Leanne berjanji bahwa dia akan datang lagi?" Jongdae mengingat salah satu isi surat Yixing yang ditulis untuknya.
"Jika kalian bertemu lagi dalam mimpi, jangan lupa untuk menceritakannya padaku lewat suratmu, Hyung," Jongdae kedengaran memohon. "Dan kuharap dalam mimpimu nanti kau tak hanya bertemu Leanne, tetapi juga Joonmyeon Hyung. Kau mencintainya hingga detik terakhir dia hidup. Terlalu menyedihkan rasanya mendapati kenyataan bahwa kau turut melupakannya bersama semua kenangan pahit masa lalumu."
Matanya kembali terasa panas. Air mata lagi-lagi mendesak ingin keluar, tetapi sebisa mungkin ditahannya.
"Paling tidak kau bertemu dengannya dalam mimpi. Mengingatnya mungkin akan membuatmu tersiksa karena bayangan Elfriede bukan tak mungkin ikut menghantuimu, tapi aku selalu berharap kelak kenangan akan kakakku kembali dalam ingatanmu tanpa dikotori bayang-bayang Elfriede."
"Kakakku mencintaimu seumur hidupnya, Hyung."
Pertahanan Jongdae runtuh. Air mata mulai mengalir di pipinya. "Bahkan hingga detik-detik terakhir. Yang dia pikirkan hanyalah keselamatanmu dan bukan dirinya sendiri."
"Mengingat itu, aku selalu menyesali diri kenapa aku tak nekat membunuh Elfriede dengan kedua tanganku sendiri."
Jongdae tanpa sadar menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat.
"Membalaskan kematian kakakku dan penderitaanmu selama bertahun-tahun. Rasanya sungguh tidak adil melihatnya mati bunuh diri di penjara. Seharusnya dia mati di tanganku. Seharusnya."
Air mata Jongdae berlinangan. Perasaannya kacau balau. Kenangan pahit dari tahun-tahun yang telah lewat kembali menyapanya, merajam hatinya dengan demikian kejam.
"Seharusnya demikian, Hyung."
Si Cantik di balik jendela mungkin tidak mendengar suara Jongdae, tetapi dia pasti merasa seseorang tengah memperhatikannya. Jika tidak, dia tentu tak akan menoleh ke arah Hyundai milik Jongdae diparkir. Dia menolehkan kepalanya yang cantik, memandangi mobil Jongdae dalam diam.
Melihat Si Cantik alias Yixing menoleh ke arahnya, Jongdae terkejut, tetapi hanya sesaat. Meski tak yakin Yixing bisa melihatnya dengan jelas, Jongdae nekat melambaikan tangannya. Dia bahkan memaksakan diri untuk tersenyum pada sosok cantik yang melahirkan Leanne itu.
"Yixing Hyung," Jongdae memanggilnya dengan suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
"Cobalah untuk mengingat kakakku dan Leanne, tetapi tidak dengan Elfriede."
Yixing diam tak bergeming, persis seperti arca yang cantik. Entah dia bisa melihat Jongdae melambai padanya atau tidak. Lelaki berparas cantik itu tak menunjukkan ekspresi apapun, tetapi bagi Jongdae itu sudah cukup.
Karena bagi Kim Jongdae, yang terpenting adalah melihatnya dalam keadaan hidup.
-000-
Jongdae baru saja keluar dari kamar Leanne setelah membaringkan gadis cilik itu di tempat tidurnya ketika menyadari bahwa lampu ruang kerjanya menyala. Sontak dia kaget. Berbekal raket nyamuk yang dilihatnya tergeletak di sofa ruang keluarga, Jongdae mengendap-endap menuju ruang kerjanya. Tampak olehnya pintu ruang kerjanya terbuka sedikit. Memasang kuda-kuda, lelaki berpostur sedang ini mendorong pintu ruang kerjanya hingga terbuka lebar-lebar.
"Jongin-ah!"
Jongdae terperanjat mendapati adik laki-lakinya tengah duduk di meja kerjanya, membaca buku yang sangat familiar bagi Jongdae.
Kim Jongin tak kalah terperanjat melihat kakaknya tahu-tahu menyerbu masuk ke dalam ruangan ini. Refleks dia meletakkan buku yang tengah dibacanya ke meja kerja Jongdae.
"Kau kabur lagi dari asrama?" tanya Jongdae seraya menurunkan raket nyamuk yang tadinya hendak difungsikan sebagai senjata.
"Begitulah," Jongin menjawab seraya berdiri dari kursi.
"Kau membaca arsipku?" Jongdae kembali bertanya seraya menghampiri meja kerjanya yang penuh oleh kertas-kertas dan buku-buku berukuran folio yang familiar. Pertanyaan yang retoris mengingat kertas-kertas dan buku-buku yang berserakan di atas meja itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi jawaban.
"Mian," kata Jongin. Dia berdiri di sebelah Jongdae. "Entah kenapa aku ingin membacanya lagi setelah tadi pagi aku menyempatkan diri menemui Yixing Hyung di bawah jendelanya."
"Kau membawa papan itu lagi saat menemuinya?" Jongdae lagi-lagi bertanya.
"Ya," Jongin menjawab.
Jongdae menghela napas. Tangannya perlahan meletakkan raket nyamuk ke meja, kemudian terulur meraih sebuah buku yang lebih mirip makalah.
"Sebenarnya aku ingin sekali membakar buku kliping buatanku ini," ujar Jongdae. "Semuanya mengingatkanku pada setan perempuan itu." Dia membolak-balik halamannya dengan kasar.
"Aku ingin membakarnya. Cukuplah surat-surat Yixing Hyung saja yang kusimpan."
Gerakan kasar jari-jemarinya pada buku kliping itu berhenti pada salah satu halaman berisi beberapa berita yang digunting asal-asalan dari halaman-halaman surat kabar.
KISAH TRAGIS SOPHIA LINDEMANN: DIPAKSA HIDUP SEBAGAI PEREMPUAN OLEH IBU KANDUNG
DEPRESI BERAT, SOPHIA LINDEMANN DILARIKAN KE PUSAT REHABILITASI MENTAL
IBUNDA SOPHIA LINDEMANN AKUI MEMBUNUH KEKASIH PUTRANYA SENDIRI
ANDROFOBIA*, ALASAN ELFRIEDE MEMBESARKAN SOPHIA LINDEMANN SEBAGAI PEREMPUAN
DERITA SOLOIS SOPHIA LINDEMANN: KORBAN KEBIADABAN IBU KANDUNG
ZHANG HANGENG: "ELFRIEDE HARUS DIHUKUM MATI!"
"Aku menyesal tidak membunuh Elfriede dengan kedua tanganku sendiri, Jongin-ah," Jongdae menutup buku klipingnya dengan kasar, kemudian melemparkannya ke karpet, tampak geram bukan main. "Hingga saat ini darahku selalu mendidih setiap kali mengingat dia membunuh Joonmyeon Hyung di depan Yixing Hyung, lalu menggunakan darah Joonmyeon Hyung untuk memandikan Yixing Hyung." Kedua tangan Jongdae lagi-lagi terkepal menahan amarah.
"Aku juga, Hyung," Jongin menanggapi kakak laki-lakinya. "Dan hati ini semakin tersayat setiap kali melihat Yixing Hyung. Membayangkan teror yang didapatkannya selama bertahun-tahun dari ibu kandungnya sendiri. Dipaksa hidup sebagai perempuan karena dendam ibunya terhadap Zhang Hangeng, melihat kekasihnya dibunuh ibu kandungnya di depan mata dan dimandikan dengan darahnya, lalu dijatuhkan ibu kandungnya sendiri dari lantai dua. Elfriede Lindemann memang iblis."
"Jika mengingat itu semua, rasanya amnesia yang dialami Yixing Hyung seperti anugerah," Jongdae berkomentar, miris. "Tapi dia turut melupakan Joonmyeon Hyung dan Leanne. Ini yang menyakitkan." Dia menutupi wajah dengan kedua tangannya. Nada bicaranya berubah, kedengaran benar-benar frustrasi.
"Setidaknya Yixing Hyung masih bertahan hidup meski dengan segala keterbatasannya, Hyung." Jongin merangkul kakaknya. Kendati berusaha menghibur Jongdae, dia sendiri terlihat sedih dan frustrasi.
"Setidaknya masih ada kesempatan bagi kita untuk memperkenalkan Leanne padanya meski aku sendiri tak tahu kapan sebaiknya itu dilakukan. Untuk saat ini mungkin sebaiknya kita biarkan Yixing Hyung fokus mengejar kesembuhan fisiknya dulu. Aku membaca suratnya untukmu, dr. Kim. Dia bilang ingin sembuh."
Jongdae tak menyahut. Dia memilih diam dengan kedua tangan masih menutupi wajah.
"Ngomong-ngomong soal surat, kapan kau akan menemui Yixing Hyung secara resmi sebagai dr. Kim?" tanya Jongin. "Selama ini kau menjadi satu-satunya teman curhat Yixing Hyung. Dia ingin sekali bertemu denganmu."
"Aku belum siap," Jongdae menjawab seraya menjauhkan kedua tangan dari wajahnya. "Aku tak yakin bisa mengontrol emosiku dengan baik jika berhadapan langsung dengan Yixing Hyung. Terlalu banyak kesedihan dan iba untuknya yang memenuhi hatiku, Jongin-ah. Apalagi dia tak bisa bicara sejak kejadian itu. Aku tak yakin sanggup untuk menahan air mataku selama berhadapan dengannya. Biarlah untuk saat ini aku berkomunikasi dengannya lewat surat. Bagiku itu sudah lebih dari cukup. Sementara ini cukuplah kita berdoa, merayu Tuhan untuk memberikan jalan keluar."
"Aku sudah tak percaya lagi pada Tuhan sejak Dia mengambil kakakku dengan cara yang keji, menjebloskan orang yang dicintai kakakku dalam penderitaan."
Jongdae menoleh, memandangi adiknya dengan prihatin.
"Maaf, Hyung, tapi aku terlanjur sakit hati."
Jongdae menggeleng, lantas memeluk adik laki-lakinya erat-erat.
"Jika kau tak bisa berdoa, maka yang bisa kaulakukan sekarang hanyalah membantuku membesarkan Leanne dan muncul di depan Yixing Hyung seperti yang biasa kaulakukan. Yixing Hyung menyukaimu. Dia penasaran padamu, Jongin-ah." Jongdae menepuk-nepuk punggung adiknya.
"Aku akan melakukan apapun untuk Yixing Hyung dan Leanne, karena mereka berdua adalah segalanya bagi Joonmyeon Hyung," janji Jongin seraya balas memeluk kakaknya. "Ini janjiku pada Joonmyeon Hyung di hari pemakamannya tiga tahun yang lalu."
"Begitu pun aku, Jongin-ah," balas Jongdae. "Janji yang sama kuikrarkan dalam hati di depan makam Joonmyeon Hyung, tepat di hari pemakamannya."
"Kita berusaha bersama, Hyung." Jongin mempererat pelukannya di tubuh sang kakak. "Demi Yixing Hyung dan Leanne, demi mendiang Joonmyeon Hyung kita."
"Pasti," sahut Jongdae mantap. "Pasti Jongin-ah."
Kakak-beradik itu berbagi ketegaran dan kekuatan melalui pelukan, masing-masing kembali berikrar dalam hati untuk memenuhi janji yang mereka buat terhadap mendiang kakak laki-laki yang teramat mereka cintai, Kim Joonmyeon.
.
.
.
FIN
.
.
.
Countertenor: Tipe suara laki-laki yang setara dengan tipe mezzo-soprano pada wanita. Tipe suara countertenor mirip dengan suara wanita. Salah satu penyanyi kenamaan yang memiliki tipe suara countertenor adalah Phillippe Jaroussky
Androfobia: Fobia terhadap laki-laki
.
.
.
Skywatcher Seo
