Demi Sebuah Senyuman
.
.
.
.
Disclaimer: Always Masashi Kishimoto
Rate: T
Pairing: SasuSaku, SasoSaku for this chap.
Warning:
GJ, abal, first fanfiction, hot kiss scene, typo(s), OOC, AU, etc.
.
.
.
.
.
Tidak. Jangan. Kumohon. Kuharap semua ini hanya bayangan. Ilusi. Khayalan.
Kami-sama... kumohon semua ini tidak nyata, kan? Biarkan aku mati.
Aku Haruno Sakura, gadis berumur 20 tahun dengan teganya dijodohkan oleh kaa-san-ku tercinta dengan seorang pria Uchiha, yang bahkan aku baru saja mendengar marganya itu hari ini. Padahal aku sudah punya Sasori-kun. Dia menjadi kekasihku sudah semenjak 2 tahun. Tiga bulan lagi, akan menginjak tahun yang ketiga.
Semuanya rusak gara-gara Uchiha sialan itu.
Kaa-san menelepon dari tadi. Selalu tidak kuangkat. Andai saja Beliau paham bahwa aku mencintai kekasihku. Akhirnya sebuah voice mail datang.
Sakura, kamu di mana? Masih di sekolah? Uchiha-san akan menjemputmu sebentar lagi. Kaa-san khawatir kenapa kau tidak menjawab telepon Kaa-san, Sakura. Katanya dia sudah tidak ingin sabar bertemu denganmu.
Aku hanya menghela napas lalu mengambil handphone di dalam saku rokku. Setelah bercermin menata keadaan rambut pink-ku yang terurai dengan bando merah, aku memainkan game di sana. Bermain tic-tac-toe.
Setelah kalah berulang kali kalah di level medium, aku menyerah dan memasukkan gadget-ku ke dalam tas selempang. Sesaat kurasakan kehadiran seseorang di samping kursiku.
Aku menatapnya.
Aku terpaku pada objek ini. Satu kata yang dapat menjelaskannya: menawan. Aku menganga.
Kami-sama. Inikah Uchiha-san? Kalau ya, aku rela melepas 10 Sasori hanya untuk satu makhluk ini. Rambut ravennya yang mencuat, bibir tipisnya yang menawan, bahkan kharisma hebat yang kurasakan saat berada di sampingnya...
Aku rela melepas 100 Sasori.
"Haruno Sakura?"
"Eh, i-iya," jawabku gugup, "kamu?"
"Uchiha Sasuke."
Uchiha Sasuke.
Nama itu kini kutuliskan besar-besar di memori otakku. Dia tentu akan masuk ke daftar yang paling banyak menghabiskan memori di otakku.
Dia berjalan begitu saja. Kami menaiki mobil yang dibawanya. Mobil sport keluaran terbaru dengan design mewah dan elegan. Aku semakin takjub melihat Uchiha ini. Dia keren.
Saat sampai di Restoran yang kaa-san bilang tadi, kami langsung masuk dan menuju meja yang telah dipesan sebelumnya.
Di meja itu ada kaa-san, tou-san, Mikoto-baasan, Fugaku-jiisan, juga seorang pria yang mirip sekali dengan Sasuke-kun. Hanya saja, rambutnya lurus dan panjang sehingga rambutnya itu diikat.
"Sakura, perkenalkan ini Uchiha Sasuke, yang menjemputmu. Adik dari Uchiha Itachi, Itachi ini baru saja lulus kuliah kedokteran tahun lalu di Universitas Tokyo." Jelas kaa-san membuka pembicaraan.
"Haruno Sakura." Kataku memperkenalkan diri. "Sekolah di Institut Seni Konoha. Jurusan Seni Teater baru akan masuk Semester 4."
Agak aneh juga aku harus memperkenalkan diri secara detail dengan Itachi. Tapi duo Uchiha ini tampan. Hanya saja, Sasuke-kun lebih memiliki daya tarik yang lebih kuat terhadap wanita. Aku terpana hanya dengan menatap onyx kelamnya itu. Menawan hatiku.
"Tadinya kau akan dijemput oleh Itachi, Sakura. Hanya saja, Kaa-san sedang asik bercakap dengan Itachi."
Aku mengernyit. Bukannya tak masalah? Tapi aku akhirnya hanya mengangguk patuh.
"Kami ingin kalian tunangan dalam jangka waktu dekat ini." kata Mikoto-baasan to the point.
Aku menelan ludah. Dalam jangka waktu dekat? Aku gugup. "Tapi aku masih semester 4."
"Hanya tunangan, Sakura, bukan menikah." bela Itachi.
Aku menatap Sasuke yang diam dan tanpa ekspresi. Kumohon, aku rela membayar berapapun demi membaca pikirannya saat ini. Melihat Sasuke bahkan tak sedikitpun mengalihkan pandangannya padaku, membuatku menggigit bibirku sendiri. Terus asik mengunyah makanannya tanpa merasa terganggu. Dia tak tahu sku tengah gundah. Aku menghela napas berat.
Pelayan yang datang menyelamatkanku sesaat. Kaa-san tadi memesankan jus stroberi, paket bento, dan cake vanila untukku.
Sesaat, kami makan dalam diam. Semuanya asik dengan makanan masing-masing walau tentu mereka semua menunggu jawabanku. Kucuri pandang ke arah Sasuke-kun yang tadimemesan jus tomat, sup kepiting ekstra tomat, dan dia tidak memesan desert. Sepertinya dia suka tomat. Kulihat jusnya hanya tinggal sepertiga dan kemudian dia memanggil pelayan untuk kembali memesan satu jus tomat lagi.
Sasuke menatapku.
Onigiriku tersisa satu buah lagi. Cake-ku masih utuh. Jus stroberiku menyisakan setengah gelas..
Kutundukkan kepalaku. "Ba-baiklah."
Wajahku memerah. Untuk mengalihkannya, aku mengambil onigiri terakhir dari paket bwntoku dan menyuapkannya ke mulutku.
"Mungkin bisa tiga bulan lagi." tawar tou-san.
Mendengar kata tiga bulan membuatku teringat suatu hal. Mungkin hal penting. Aku berpikir lalu terhenyak.
Aku tersedak onigiri. Aku menyeruput jus stoberiku.
Tunggu. Aku belum memberitahukan Sasori-kun. Memikirkannya membuatku gugup dan ingin cepat pulang. Semua pemikiran itu menghantuiku.
"Sakura-chan, apa kau mendengarkan?" tanya Itachi. "Kau terlihat kurang fokus. Apa kau sakit?"
Mendengarnya memanggilku dengan suffix "chan" membuatku merona.
"Ah, tidak Uchiha-san," jawabku sopan. "Hanya sedikit pusing."
"Sakura, tidak usah terlalu kaku begitu. Panggil saja Itachi-kun."
Justru aku terlihat kikuk mendengar ucapan Mikoto-baasan.
"Kaa-san, sepertinya aku akan mengantarkan Sakura-chan pulang. Dia terlihat pucat." khawatirnya.
Aku menatap kaa-san yang kemudian mengangguk. Aku menghabiskan jus stroberi yang masih tersisa.
"Baiklah, bungkus cake-mu. Kau boleh pulang duluan," ucap kaa-san.
Aku menatap Sasuke-kun yang sedang menyeruput jus tomatnya yang sudah tersisa setengahnya. Sepertinya tidak terlalu mempersaahkan bahwa aku akan diantar pulang oleh kakaknya.
Ia bahkan tak menoleh. Lagi.
Aku berlalu pergi dengan Itachi-kun.
"Kau suka teater?" tanya pria disampingku membuka pembicaraan saat kami sudah di dalam mobil.
"Ya, makanya aku masuk ISK. Tempat impianku dari dulu."
"Aku suka nonton teater. Mau ikut? Akhir pekan ada penampilan Akatsuki Theatre."
Mataku terbelalak. Berbinar. Akatsuki Theatre. Tempat impianku. Teater mewah dan berkelas.
"Aku tertarik bekerja di sana kelak." akuku bersemangat.
"Aku pernah kerja di sana." kata pria berambut panjang itu.
Sekali lagi aku terbelalak. "Yang benar saja!"
"Tentu," Itachi-kun mengalihkan pandangannya sekilas padaku. "Aku bermain piano di balik layar. Sesekali bisa biola atau sexophone."
Aku masih menganga.
"Bagaimana mungkin Itachi-kun keluar?" tanyaku tak percaya.
"Aku harus mulai serius menjalani kuliahku di kedokteran, Sakura-chan. Itu tidak mudah. Aku hanya menjalankan hobi sambil mencari penghasilan sendiri." jelasnya.
"Sebenarnya otouto-ku yang meminta sih." bisik Itachi-kun, aku kaget. Keluarga yang penuh kejutan. "Dia bilang rumah selalu sepi, jadi dia memintaku berhenti bekerja sampingan."
Hal yang mengejutkan utntuk seorang Uchiha Sasuke.
Aku hanya mengangguk.
"Ah, arigato." ucapku sambil tersenyum.
Memang karena restoran itu dekat dengan rumahku, jadi kini kami sudah sampai di depan rumahku. Saat aku hendak berbalik dan kembali ke rumah, tangan besar Itachi-kun menahanku. Lagi-lagi pipiku merona.
"Kau belum menjawab pertanyaan pertamaku."
"Yang mana?" tanyaku polos.
"Teater. Sabtu ini pukul 6 malam. Aku jemput, ok? Pukul 5 harus sudah siap."
"Ba-baiklah," jawabku gugup.
"Ne, see you~" pamit Itachi-kun sebelum menutup pintu mobil.
Aku langsung masuk ke kamarku yang bercat pink bunga sakura setelah mobil Itachi berlalu. Cat sewarna rambutku. Aku menatap cermin yang menggantung di dinding kayu. Cermin yang panjangnya separuh dari tinggiku dan lebarnya cukup untuk memantulkan tubuhku yang kecil.
Tanganku bergerak melepas bandana merah dan menaruhnya di meja rias tak juh dari tempatku berdiri dan mulai meraih ikat rambut. Aku mengucir rambutku miring kanan yang kini panjangnya sudah sepinggang walau sudah dikuncir.
Setelah memilih menghempaskan tubuhku di kasur, aku mengambil gadget pink-ku dan mulai mengetikkan pesan untuk Sasori-kun. Karena bingung, akhirnya aku hanya mengirim satu kata padanya.
Sasori-kun...
Apa, Sakura-chan?
Tanganku berhenti bergerak. Bingung harus berkata apa lagi.
Aku... mau minta maaf.
Maaf untuk apa?
Aku... dijodohkan oleh orangtuaku dengan keluarga Uchiha.
Apa?!
Aku tahu, ia pasti sangat terkejut mendengarnya. Rasa bersalah mulai melingkupiku. Ingin rasanya melompat saja ke jurang. Hanya untuk membuatnya tidak melukai orang lain lebih dari ini.
Tertanyata tidak semudah itu.
Kamu dimana?
Di rumah.
Aku kesana. Tunggu.
Ini pasti terjadi. Aku menghela napas berat. Berharap kaa-san dan tou-san pulang agak larut. Sasori-kun pasti marah padaku. Aku mulai mengutuk diriku sendiri.
Aku memilih mengganti baju dengan baju rumah.
Aku menaiki motorku menuju rumah Sakura. Dia bilang dia akan dijodohkan. Aku tahu, ancaman Uchiha brengsek itu tidak main-main. Aku tahu.
Kupacu motor ini dengan kecepatan semaksimal mungkin.
Saat sampai di rumah Sakura, aku mengetuk tiga kali. Belum genap ketukan ketiga, pintu sudah terbuka lebar.
"Konnichiwa," sapaku saat melihat gadisku di depan pintu.
"Konnichiwa, Sasori-kun."
Tanpa aba-aba aku menariknya dalam pelukanku. Erat. Aku tak ingin kehilangan rasa hangat ini. Andai saja aku tak bertemu dengan Uchiha itu. Pelukan posesif.
Sakura kini memakai baju pendek terusan sepanjang setengah paha.
"Ne, Sasori-kun. Masuk dulu."
Aku tak mengindahkan ajakannya. Aku tak ingin melepaskannya.
"Maaf, Sasori-kun." ucap Sakura lirih.
Mendengar suaranya yang tersiksa membuatku sadar. Mungkin aku memang seharusnya melepas Sakura. Kalau Uchiha itu benar mencintainya, kuharap ia bisa membahagiakan Sakura. Walau pria itu
"Kapan?" tanyaku masih enggan melepas pelukanku.
"Apanya?"
Sakuranya yang polos.
"Pertunangannya, bodoh,"
Tiba-tiba Sakura merasa kikuk. "Tiga bulan lagi."
Aku mulai melepas pelukannya dan menggenggam tangannya. "Apa mungkin seharusnya kita akhiri?"
Ada perasaan enggan yang melingkupinya, aku tahu. Dia membalas menggenggam tanganku. "Masuk dulu." tuntunnya.
Aku tersenyum dan mengikutinya ke dalam rumah sederhana itu.
"Sasori-kun, mungkin ini akhirnya?" tanya Sakura seakan tak rela. Ia menunduk tak berani menatapku. Kami sudah duduk di ruang tamu yang sudah tidak asing lagi bagiku.
"Mungkin," aku turut murung melihat emerald itu menampakkan ekspresi sedih.
Aku menarik dagunya agar dia menatapku, aku menatapnya tegas. Kemudian tanganku menggerakkan dagunya untuk maju dan aku mencium bibirnya. Dia tidak menolak. Malah dia membalas dengan menyentuh kepalaku. Memperdalam ciuman kami. Aku mulai melumat bibirnya membuat suasana semakin panas.
Saat kusentuh bibirnya dengan lidahku, meminta izin untuk masuk, ia menggeleng. Namun aku meremas payudara kirinya.
"Ahn~" desahannya lolos dari bibir mungil itu dan aku menjelajahi isi dari mulutnya. Ini mungkin ciuman perpisahan kami.
Kami memisahkan diri karena sadar akan kebutuhan oksigen.
Aku menyingkap baju di bahu kirinya dan meninggalkan sebuah kissmark di sana lalu kembali menjilatnya.
"Aah~" desahannya kembali lolos.
Aku menutup kembali bahunya dengan baju. "Gomenasai."
Sakura menggeleng lalu memelukku, "Bukan masalah. Mungkin ini yang terakhir."
Aku membalas pelukkannya. Membiarkan suasana hening ini sesaat sampai Sakura sendiri yang mendorong lembut bahuku. Bajuku basah.
"Jangan menangis." Ucapku lirih. Aku mencium keningnya, "Aku pulang dulu. Aku tak ingin orang tuamu sampai duluan."
"Hn," gumamnya tak rela.
Aku mengacak-ngacak rambutnya dengan gemas dan tersenyum tulus.
"Uchiha itu tampan, kok," hiburku walau tak rela.
"Sasori-kun!" seru Sakura kesal. Kini kami sudah di depan pintu. "Tak akan ada yang bisa menggantikan Saori-kun."
Aku menatapnya. Ingin sekali mencubit pipi chubby yang menggemaskan itu.
"Selalu ada tempat berbeda bagi orang yang berbeda." lanjutnya.
Aku memeluknya sekali lagi.
"Jaa ne." pamitku. Sakura-chan hanya mengangguk.
Saat aku melepas pelukannya, aku langsung menaiki motorku dan melambaikan tangan padanya. Setelah itu, kembali kupacu motorku. Rasanya ada sesuatu yang menyakitkan, sesak, kehilangan. Seakan separuh hatiku dirobek dan akhirnya terluka.
Sasori-kun pergi dengan motornya setelah melambaikan tangan padaku. Ada rasa hangat yang hilang dari hatiku. Namun semua teralihkan. Kaa-san dan tou-san pulang. Itachi-kun yang mengantarnya. Aku melirik bahu kiriku. Mengecek apa kissmark yang dibuat oleh Sasori-kun sudah tertutupi dengan baju atau belum. Aman.
Aku melihat Sasuke-kun di pojok kursi tengah berada di samping kaa-san dan di sampingnya lagi ada tou-san. Hanya Fugaku-jiisan yang tidak terlihat di dalam. Mungkin pulang makan siang Beliau langsung ke kantor lagi. Mikoto-baasan duduk di samping Itachi-kun.
Kaa-san dan tou-san turun dari mobil.
"Ah, arigato, Itachi-kun, Mikoto. Senang bertemu denganmu. Semoga perjodohan ini berjalan lancar. Sukses cari kerjanya, ya, Itachi. Sasuke juga untuk sidangnya." pamit kaa-san panjang lebar.
"Ah, bukan masalah. Senang bisa berbesan dengan kalian." jawab Mikoto-baasan. "Nah, kami pergi dulu, ya."
"Tentu, tentu. Hati-hati di jalan."
"Dewa mata, Sakura-chan."pamit Itachi-kun.
"Dewa mata, Itachi-kun, Sasuke-kun." Sasuke menatapku heran. Aku menggigit bibir sesaat.
"Mikoto-baasan." tambahku cepat.
Kini dia membuang muka. Apa aku melakukan kesalahan sehingga dia terlihat begitu dingin padaku? Semoga saja tidak. Mobil itu perlahan menjauh. Aku menghela napas dengan berat. Kenapa dia begitu dingin? Apa dia membenciku? Tapi aku ini kan calon tunangannya? Kulangkahkan kakiku masuk ke rumah dengan gontai.
Ingin sekali aku mempunyai kemampuan membaca pikiran.
"Aduh duh, ada apa dengan putri Kaa-san satu-satunya ini?" tanya kaa-san sambil menepuk bahuku pelan.
Aku tersentak dan menatap kaa-san. "Ah, tidak apa-apa, Kaa-san. Aku hanya kelelahan."
Dusta, tentu.
"Ah, ya sudah, kamu istirahat saja, ya." usul kaa-san. Aku hanya tersenyum lalu mengangguk dan pergi ke kamar.
Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Menatap langit-langit kamarku yang juga terbuat dari kayu. Menatap nanar lagit-langit putih itu.
"Apa Sasuke membenciku?" tanyaku entah pada siapa. "Apa aku jelek?"
Demi membuktikannya aku melompat dari kasur dan menatap cermin lalu bergaya di depan cermin sambil tersenyum.
"Tidak juga." ucapku pada diri sendiri.
Kulitku putih, tidak pucat, pipiku walau tembam, tapi tidak terlihat gendut, hidungku proporsional, bibir pink yang tipis, juga tak ada satupun bintik hitam di wajahku. Pandanganku turun ke bawah. Leher jenjang yang bersih dan mulus. Walaupun dadaku agak kecil, aku melihat perutku langsing dan tidak terlihat tumpukan lemak. Lama-lama, semakin ke bawah, aku mulai pesimis. Selain dadaku yang kecil, ternyata pinggulku juga tak berbentuk sama sekali.
Padahal Sasuke tidak terlihat seperti orang yang terlalu mempedulikan fisik. Apa ini yang dinamakan jangan menilai buku dari sampulnya?
"Apa itu yang Sasuke perhatikan?" gumamku ragu. Aku meyakinkan diriku. "Sepertinya tidak mungkin."
.
.
.
.
TBC
.
.
.
.
Author Note:
Hai, Minna. Aku author baru di ffn, tapi udah 3 tahun lebih kenal FFN. Sekarang masih kelas 2 SMK. Review-nya, ya, Minna. Komentar kalian akan sangat berarti.-. Aku ga peduli flame. Asal didalamnya berisi masukan walau satu kalimat.
