CAN'T STOP LOVING YOU

.

.

PAIR : KRIS-HAN, TAO-RIS,
CAST :
-KRIS
-LUHAN
-TAO
-SEHUN
-TAEYONG

.

.

Gak suka pair, jangan baca
GS, typo bertaburan, author sedeng, judul agak gak nyambung

.

Cerita ini asli milik saya. Cast nya aja yang minjem
.

.

Kris itu tampan.
Satu kalimat yang menggambarkan segala kelebihan seorang pewaris tunggal perusahaan Wu-Corp yang di segani. Mulai dari rambutnya yang berwarna gold. Wajah tampannya yang tanpa cela meskipun selalu memancarkan aura dingin yang membekukan. Tubuh tinggi ber-abs. Tatapan tajam penuh karisma, kehidupan mewah bergelimang harta. Sudah tampan, cerdas, kaya. Coba katakan siapa yang bisa menolak segala pesona yang dimilikinya. Sudah pasti akan membuat semua yeoja rela menyerahkan semua yang berharga hanya untuk dapat berdekatan dengannya.

Luhan itu cantik.
Meskipun dia terlahir sebagai wanita ataupun pria, tak akan mengurangi kecantikan alami yang melekat padanya. Dengan senyum hangatnya, tatapan ramahnya, juga segala kepolosan yang jadi ciri khasnya. Mampu meluluhkan hati siapapun yang mengenalnya.

Jika Kris dan Luhan adalah sepasang kekasih, bukankah mereka akan menjadi pasangan yang sangat serasi. Tapi memang itulah masalahnya. Mereka memang saling mengenal dengan baik. Hubungan mereka juga sangat dekat. Terlampau dekat malahan. Tapi itu hanya di antara mereka saja.

Mengapa begitu?

Bagaikan bumi dan langit, karena nyatanya perasaan yang mereka miliki terhalang oleh latar belakang keluarga dan segudang alasan yang selalu ada untuk memisahkan mereka.

Kris, dengan segala kekayaan dan latar belakang keluarga berada justru telah merenggut segala kebahagiannya. Dia di jodohkan dengan anak gadis seorang pemilik perusahaan yang juga kaya raya demi menjalin kerjasama untuk kepentingan perusahaan. Kris tak bisa berbuat apapun karena mereka memegang kunci mati seorang pewaris perusahaan. Bukan kekayaannya, tapi masa depan dan gadis yang sangat di cintainya.

"Lu, ayo kita menikah" Ajak Kris disela kegiatannya berbaring di taman dekat flat Luhan menatap bintang

"Ne?" Luhan yang kala itu juga sedang berbaring berbantalkan lengan Kris mengalihkan perhatiannya dan menoleh ke arah pria itu dengan alis yang terangkat.

"Kita akan menikah dan pergi jauh dari kota ini. Kita bertiga, kau, Taeyong, dan aku akan hidup bahagia di suatu tempat. Tanpa mengkhawatirkan akan ada yang tersakiti, tanpa ada paksaan orang lain dan tanpa takut ada yang mengawasi kita" Jelasnya masih tak beralih menatap bintang. Luhan merubah posisinya menjadi duduk menghadap Kris. Menatapi wajah kekasihnya yang masih tersenyum tipis dengan pandangan kosong kali ini.

"Kris" Gumamnya

"Hmm" Suara Kris sangat lirih meskipun Luhan masih dapat mendengarnya.

"Akankan semua baik-baik saja jika kita tetap bersama? Kau tau, aku bukanlah wanita yang bisa mereka harapkan. Aku tak memiliki semua kriteria yang mereka tetapkan untuk dapat menjadi wanita pendampingmu. Kita berbeda, Kris. Sangat. Kurasa mereka tak akan menyukaiku" Perhatian Kris kini beralih pada Luhan sepenuhnya. Terdengar putus asa pada setiap kalimat yang keluar dari mulut Luhan. Karena memang itu kenyataannya. Kesederhaan yang Luhan miliki menjadi jurang pembatas hubungannya dengan Kris saat ini.

Kris mengikuti posisi duduk Luhan dan menatap lekat kedua manik hitam Luhan yang kini jernih berair. Menangkup wajah luhan dengan kedua tangan besarnya.

"Apa kau percaya padaku?" Kris bertanya lembut. Dan hanya di angguki dua kali oleh Luhan. "Semua akan baik jika kita masih saling percaya Luhan. Kau tak perlu memikirkan hal yang tak perlu dikhawatirkan, rite" Luhan tersenyum saat genangan di pelupuk matanya tumpah. Dan sedetik kemudian menghapus jejak air mata di pipinya dengan kedua punggung tangannya sendiri saat Kris menggelengkan kepalanya.

Perlahan Kris mencodongkan tubuhnya ke arah Luhan. Menepis jarak di antara mereka. Mengundang bibirnya dan Luhan dalam peraduan. Keduanya saling mengulum dan melumat lembut. Hingga Kris memundurkan kepalanya untuk memberi kesempatan Luhan mengisi pasokan oksigennya.

Tak ayal kegiatan mereka menyisakan rona merah di pipi Luhan. Tatapannya juga sayu ketika kedua manik kembar mereka bertemu. Kris suka memandangi Luhan saat itu.

"Terima kasih, Kris" Gumam Luhan masih dengan rona merah di kedua pipinya.

"Untuk?" Kris ingin tahu

"Semuanya. Taeyong dan aku, tak akan mungkin bisa menjalani hidup semudah ini tanpamu" Ibu jari mungil Luhan mengusap lembut rahang tegas Kris

"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan, Deer" Kris meraih jemari lentik Luhan dan mengecupnya lembut. Membuat rona di pipi Luhan semakin membara. Kembali Kris merapatkan tubuhnya, bergerak meraih bibir Luhan. Mereka kembali beradu kecupan lembut yang menghangatkan keduanya di malam yang dingin sebelum mengatakan sebuah kata. "Saranghae"

.

Luhan, gadis polos yang terlahir dari keluarga sederhana dan tak pernah bermimpi untuk menjadi satu-satu nya gadis yang di cintai seorang pangeran di kehidupan nyata seperti Kris Wu. Ya, dialah alasan mengapa Kris mau melakukan semua skenario yang sudah di rancang oleh keluarganya ini. Kris bisa saja menanggalkan semua yang dia miliki dan membawa Luhan pergi untuk hidup bahagia dengannya. Namun kuluarga Wu tak sebodoh itu, mereka justru menggunakan Luhan agar Kris mau menuruti segala keinginan keluarga Wu. Mulai dari memimpin perusahaan, menikahi gadis yang tak di cintainya, hidup seperti seorang pecundang karena semua yang dia lakukan tak seperti yang di kehendakinya. Naif memang, namun jika Kris membangkang, Tuan besar Wu tak akan segan-segan menyuruh bodyguard nya untuk menyakiti Luhan dan adiknya, satu-satunya keluarga yang Luhan miliki.

Seperti malam itu, malam dimana mereka bertiga sedang makan malam di flat sederhana milik Luhan. Kris dan Taeyong sedang saling beradu argumen untuk memenangkan sebuah takoyaki yang tersisa di piring. Dan Luhan yang hanya tertarik untuk menjadi penonton setia adu mulut kedua lelaki yang dicintainya. Dia menyukai kedekatan kedua lelaki itu. Karena sejenak dia bisa melupakan segala penderitaan yang dia sembunyikan. Seolah Luhan merasakan kembali kehangatan sebuah keluarga yang dia rindukan. Namun kehangatan itu harus terusik ketika suara bel tiba-tiba berbunyi. Luhan bergerak kearah ruang tamu. Menilik siapa yang ingin bertamu di jam makan malam. Luhan sedikit tercekat setelah membuka pintu. Tanpa menyadari tubuh mungilnya telah mundur beberapa langkah ketika melihat siapa tamu yang mampir ke flat sederhananya. Beberapa pria berjas hitam dan memakai kaca mata senada. Masuk dengan langkah waspada. Salah satunya yang berpakaian paling mencolok, melepas kacamatanya. Pandangannya menyapu keseluruh sudut flat yang sedikit sempit. Kemudian fokus pada Luhan.

"Dimana tuan muda?" Tanyanya dengan nada menyelidik.

Tubuh Luhan menegang. Bibirnya membeku. Mencoba tetap terlihat tegar meski usahanya sia-sia

"Siapa yang datang...Noona..." Mendengar pertanyaan yang menggantung, Luhan segera menoleh kebelakang dan mendapati adiknya ikut terkejut setelah mengetahui siapa tamu yang datang. Namun sedetik kemudian dia kembali bertanya lantang "Kalian lagi. Mau apa kalian kesini?"

Pria mencolok itu mengangkat sebelah alisnya, seperti sedang mengingat sesuatu. Hal yang sama juga dilakukan Taeyong yang sudah berdiri tegak di samping Luhan.

"Jadi kau adik wanita ini?" Tanya pria itu menunjuk Luhan yang bergetar ketakutan

"Ada apa?" Rahang Kris mengeras seketika itu saat tau siapa yang bertamu tanpa di undang di flat kekasihnya. Lantas ia mencoba sesantai mungkin. Meraih Luhan dalam pelukannya yang membeku ketakutan di tempatnya berdiri dengan lengan kanannya.

"Dia adalah pria yang mencoba menyakiti noonaku, hyung. Dan membuatku menerima ini." Taeyong menunjuk gibs di pergelangan kirinya. Kris menatap nanar luka yang di miliki Taeyong, tanpa bisa berbuat apapun untuk membela keluarga ini. Diam-diam tangan kirinya yang bebas mengepal kuat. Menahan amarah.

"Kalian kemari mau mencoba menyakiti noona ku lagi? Langkahi dulu mayat ku" tantang Taeyong. Dia memang masih bersatus siswa menengah, tapi memiliki keberanian yang mengaggumkan.

PLAK.. BRUGH!

Secepat kilat mereka mengunci kedua lengan Taeyong dan menghujaninya pukukan di sekitar kepala..

"Taeyong" Luhan menjerit tertahan di pelukan Kris. Ketakutan dan tak tega melihat adik satu-satunya disiksa oleh orang yang sama sekali tak dikenalinya. Perlahan Kris melepaskan dirinya dari Luhan. Tanpa menghiraukan tatapan bingung dari gadis bermata rusa itu. Wajah Kris sangat mengerikan. Matanya nyalang penuh amarah.

"Hentikan!" Seketika kegiatan pria berjas hitam yang menyiksa Taeyong berhenti

"Aku akan ikut kalian, tapi lepaskan mereka." Perintah Kris dan langsung dipatuhi para pria berbadan kekar. Salah satunya mendorong Taeyong hingga terhuyung beberapa langkah kebelakang.

"Aku akan segera membuat perjanjian dengan pria itu dan memastikan kalian tak percaya menerima akibatnya karena berani menyentuh mereka lagi" Kris berbicara lantang hingga para pria berjas hitam itu menunduk patuh.

"Kris," Lirih Luhan tertelan. Menggeleng pelan menatap Kris. Jemari mungilnya bergetar menggenggam lengan orang yang dikasihinya. Membuat Kris memejamkan matanya sejenak. Dan membukanya kembali sebelum meraih Luhan dalam erat pelukannya. Kris bisa merasakan ketakutan Luhan. Seolah tau yang akan Kris lakukan akan membuat mereka terpisah. Luhan tak ingin kehilangan Kris. Tidak untuk sedetikpun.

Namun pada kenyataanya itulah yang terjadi. Kris melepas pelukannya dan menyejajarkan tatapannya pada Luhan. Kedua tangan besarnya menangkup wajah Luhan. Ibu jarinya menyapu air mata yang membasahi pipinya.

"Percayalah semua akan baik-baik saja" Ujarnya menenangkan. Tapi sama sekali tak membuat Luhan tenang. Hingga satu kecupan basah mendarat di keningnya. Sebelum Kris melangkah menghampiri Taeyong.

"Jaga noonamu dengan baik. Aku titipkan wanitaku padamu" Kris mengakhiri kalimatnya dengan menepuk pundak Taeyong. Dan bagaikan tersengat listrik ribuan volt. Luhan roboh dari pertahanannya. Terduduk lemas di lantai, walau Taeyong segera merengkuhnya.

"Kris, ku mohon... Kris.." Raung Luhan saat melihat Kris bergerak menjauh di ikuti para pria berjas hitam.

"Kriiiisss!" Luhan masih berusaha memanggil namanya dengan sisa tenaga yang dimiliki. Namun Kris tetap tak menghentikan langkahnya ataupun menoleh pada Luhan. Dia tetap pergi.

Dan tak kembali.

Itulah saat terakhir Kris menatap wajah Luhan secara langsung. Sebelum benar-benar membuat perjanjian yang benar-benar memberatkannya. Bersama Tuan Wu yang Kris sebut dengan 'pria itu' adalah daddy nya sendiri.

Jika saja Kris bisa memutar waktu, dia akan lebih memilih dilahirkan oleh sepasang keluarga sederhana. Itu justru akan membuatnya lebih baik. Mungkin.

.

.

.

"Kris, kau tak makan?"

Suara lembut itu berasal dari seorang wanita cantik dengan lingkar hitam di sekitar matanya, Tao. Istri sah Kris Wu yang sama sekali tak dicintainya. Meski usia pernikahan mereka sudah menginjak setahun.

Kris tak bergeming dan tetap fokus di balik laptop nya yang menyala. Tangannya masih lincah mengetik seperti tak ada sesuatu yang mengganggunya. Seperti tak kenal waktu, Kris tetap bertahan di meja kerja kamarnya hingga selarut ini.

"Kris, sejak kemarin kau tak mengisi perutmu sama sekali. Dan aku dengar dari Jongdae Oppa, saat di kantorpun kau menghabiskan waktumu di ruangan. Jangan terlalu keras dengan hidupmu, tubuhmu juga perlu istirahat dan asupan makanan. Bagaimana nanti kalau terjadi sesuatu dengan tubuhmu.."

"Bukankah ini yang mereka mau" Potong Kris dengan nada dingin dan tanpa mengalihkan fokusnya. Membuat Tao menggigit bibirnya sendiri.

Hening

Keduanya terjebak dalam pikiran masing-masing. Sekeras apapun usaha Kris dengan menyibukan dirinya mengurusi perasahaan, bayangan masa lalunya tetap datang seperti sedang memutar film. Dan Kris tak dapat menghentikannya. Sedangkan Tao, gadis cantik bertubuh menjulang hampir menyamai tinggi Kris ini harus menelan pil pahit dalam rumah tangganya. Kenyataan bahwa Kris tak mencintainya memang tak bisa di sangkali.

"Pergilah."

Bagaikan sebuah ultimatum, Tao segera mengangkat kakinya keluar dari ruangan. Meninggalkan Kris yang mematung dalam kesendiriannya. Bahkan jari panjangnya berhenti mengetik. Pandangannya kosong. Walau sedetik kemudian semua kembali normal. Berusaha fokus kembali pada layar laptopnya.

Kriet..

Suara pintu kembali terbuka. Kris tau siapa yang kembali menghampirinya. Meski matanya masih fokus pada layar laptopnya.

"Aku tau perusahaan selalu menyulitkanmu. Hingga kau harus mengorbankan seluruh waktumu untuk mengurusinya. Tapi tetap kesehatanmu yang terpenting" Tao meletakkan sebuah nampan berisi semangkuk sup, segelas besar air putih dan secangkir kopi panas di meja.
Kemudian kembali meninggalkan ruangan Kris tanpa suara. Kris tertegun menatap nampan yang di tinggalkan Tao di samping laptopnya. Kris tak bisa berhenti menatapnya meski dia juga tak tertarik untuk mencicipinya.

Ini bukan hal baru baginya. Tao memang selalu berusaha menjadi seorang wanita yang sempurna bagi Kris. Dia tak pernah lelah atau mengeluh sedikitpun atas segala perlakuan dingin Kris padanya. Dia tak menyerah meski Kris tak pernah mau melihatnya. Walaupun sebenarnya Kris tau betul apa yang wanita itu lakukan untuknya. Kris hanya sedang benar-benar tak ingin siapapun mengusik hatinya yang tak pernah bisa lepas dari nama seorang gadis yang tulus di cintainya. Tak ingin ada nama lain lagi. Hanya Luhan. LUHAN.

Kris mulai jengah. Dia bangkit dari kursi kerjanya. Meraih mantel dan memasukkan ponsel dan dompetnya kedalam saku celananya. Berjalan melewati kamarnya dengan tempo cepat tanpa menghiraukan sepasang auburn yang menatapnya sendu.
.

.

Siang itu Tao memasuki sebuah kedai kopi yang cukup terkenal dan ramai di kunjungi masyarakat sekitar. Dia berjalan dengan tempo yang sedikit cepat. Dan langsung menuju meja paling sudut saat seseorang berkulit kelewat putih melambaikan tangan kearahnya dengan senyuman memikat andalannya.

"Maaf aku terlambat" ucap Tao dingin tanpa ekspresi yang berarti saat menjatuhkan tubuhnya di kursi depan pria putih itu.

"Aku juga baru sampai." Ujarnya santai "Wajahmu terlihat letih sekali. Apa kau baru saja menyelesaikan satu putaran permainan kasar dengan naga tonggos itu?" Pria pucat itu terkekeh di sela kalimat frontalnya. Membuat mata Tao menyalak tajam menatapnya

"Hey, aku bercanda. Aku tahu kau menjaga dirimu dengan baik hingga saat ini. Tapi sungguh saat ini kau terlihat kurang baik, peach. Are you okay?" Tanya Sehun, si pria kelewat putih itu dengan nada khawatir.

"Aku baik" Sehun tau jika Tao sedang berbohong. Tapi pria pucat itu memilih untuk tidak mempermasalahkannya atau pertemuan dengan sang mantan kekasih akan berakhir dengan perdebatan.

Mantan kekasih? Ah, atau lebih tepat disebut kekasihnya. Mereka belum mengatakan perpisahan bukan.

"Kau mau pesan sesuatu?" Sehun mendominasi dengan memilihkan menu kopi untuknya dan Tao. Lalu berujar pada waiters yang berdiri di sampingnya "Ah, bawakan kami secangkir espresso macchiato dan.. cappuccino"

Sehun menyelipkan senyuman mahalnya sebelum waiters itu mengangguk patuh dan pergi dengan pipi merona.

"Jadi kau sudah memutuskannya?" Tiba-tiba suara Sehun berubah serius tidak lagi manis seperti tadi. Membuat Tao sedikit tersentak.

"Aku harap kau tak lupa pada janji yang telah kita sepakati. Dan perasaanmu pada naga kutub yang berpura-pura menjadi suamimu genap setahun ini, juga tak berubah. Benar?" Ungkap Sehun dengan seringaian tipis di bibirnya.

Suasana berubah mendebarkan di terik siang begini. Dan kedua bibir itu masih saling bungkam. Hening. Hingga waiters datang kembali untuk mengantarkan dua cangkir kopi pesanan mereka. Dan kemudian pergi setelah memberi senyuman menggoda pada Sehun. Ya. Wajah Sehun memamg sangat mempesona, tapi itu untuk wanita di luar sana. Bukan Tao.

"Tao.." Desak Sehun mulai jengah.

"Aku sudah putuskan" Satu kalimat keluar dari bibir curve Tao. Tak elak membuat senyum Sehun mengembang.

"Aku tahu kau akan mengatakannya. Kau tahu kita takkan terpisahkan. Aku tau kau akan kembali padaku.."

"Tinggalkan aku!" Bagaikan petir di siang bolong. Kalimat itu meluncur dengan mulus dari mulut Tao dan menghantan hati Sehun.

"Ne?" Seketika senyum tipis di bibir Sehun hilang.

"Tinggalkan dan lupakan aku, Sehun" Tao mengulangi kalimatnya dengan penuh penekanan.

"Tao kau dalam keadaan tak baik. Pikiranmu terlalu..."

"Aku baik dan aku sadar. Aku tahu Kris memang tak pernah mencintaiku. Aku tak keberatan itu akan berlaku selamanya. Hidup bersamanya dan dapat melakukan apapun untuknya saja sudah lebih dari cukup bagiku" Potong Tao dengan nada lembut tanpa menatap kedua manik kembar Sehun yang masih menatapnya skeptis

Sehun menarik rambutnya kebelakang dan meremasnya kuat. "Ini mustahil, Tao. Katakan jika kau sedang bercanda saat ini. Kau tak akan meninggalkan ku, Tao. Katakan kau tak mungkin mencintainya."

"Aku mencintainya. Aku mencintai seorang Kris. Saat ini, hanya dia yang terpenting. Dia menyelamatkanku."

"Bagaimana kalau dia meninggalkanmu?" Sehun menatap nyalang pada Tao dengan nada sinis.

Tao memejamkan matanya sejenak seolah merasakan kesakitan yang mendalam. Kemudian membuka matanya kembali dan menatap tajam kearah Sehun. "Tidak! Aku sangat mempercayai suami ku"

"Kau bisa mengakhirinya sekarang . Tinggalkan pria bodoh yang tak bisa melihat ketulusan cintamu dan memulai hidup bahagia denganku" Sehun masih berusaha.

"Terimalah kenyataan dan mulailah membuka hatimu untuk gadis lain, Sehun" Ucap Tao tegas. Nadanya naik satu oktaf.

"Kenyataan lain adalah Kris tidak pernah mencintaimu"

"Aku tahu dan aku tak mempermasalahkannya"

"Huang Zitao" Rahang Sehun menegas. Matanya sarak akan kemarahan.

"Panggil aku Wu Zitao, aku resmi dipersunting Kris Wu setahun lalu. Dan saat ini aku masih menjadi istri sahnya. Sekarang giliranmu untuk mencari seorang pendamping yang pantas denganmu Oh Sehun."

Tao mengakhiri perbincangan dan segera beranjak dari kursinya. Meninggalkan Sehun yang terlihat menyedihkan. Pikirannya benar-benar kacau. Bukan ini yang di harapkan Oh Sehun di pertemuan kembali dengan kekasihnya. Seharusnya hari ini adalah awal kembalinya hubungan Tao dan Sehun sesuai kesepakatan mereka saat Tao hendak menikah dengan Kris. Bukan malah akhir dari semua kisah cintanya.
.

.

Tao masih terisak tanpa suara ketika kakinya tak mampu lagi melangkah membawa tubuhnya menjauh dari keberadaan Sehun yang kacau di kedai kopi tadi. Dia menjatuhkan dirinya di sebuah kursi panjang di pinggiran taman yang sedikit sepi karena mendung semakin menebal. Tangisannya kembali pecah saat mengingat ucapan Sehun yang tak sepenuhnya salah.

Kris memang tak pernah mencintainya. Bagaimana mungkin dia bisa bertahan lama pada orang yang tak bahkan tak pernah mau menatapnya lebih dari tiga detik? Haruskah Tao memutar langkahnya dan membenarkan ucapan Sehun? Haruskah dia menyerah saat ini? Haruskah dia kembali mengulang masa lalunya? Tao tak tau lagi harus berbuat apa kali ini. Harusnya dia tak memenuhi undangan Sehun dan membiarkan pria pucat itu menghilang dengan sendirinya. Tapi dia tak akan lebih tenang jika tak segera menyelesaikan hubungannya yang sempat menggantung karena pernikahan yang tak pernah diinginkan suaminya.

"Lalu aku harus bagaimana?" Gumamnya pada diri sendiri. Dia tak peduli pandangan aneh para pengunjung taman yang melintas di sekitarnya. Dia tak peduli apa-apa lagi saat ini.

"Jika kau bimbang atas segala pilihan di depanmu, maka bertahanlah"

Tao menghentikan tangisnya dan menoleh ke samping.

"Menangis terlalu lama akan membuat mata cantikmu bengkak nona. Seseorang pernah mengatakan padaku jika kita tetap percaya akan satu hal, semua akan baik-baik saja"

Seorang gadis cantik berambut brunette panjang. Dengan mata cantik secantik mata rusa. Tersenyum lembut padanya. Tao baru menyadari jika tangan gadis itu mengulurkan sebuah sapu tangan.

"Jika kau membutuhkan teman untuk menumpahkan segala kepenatanmu, dengan senang hati aku akan mendengarkanmu." Ujarnya lembut masih dengan senyuman manisnya

Tao masih terisak setengah waspada dan bingung. Namun akhirnya ia menerima sapu tangan yang di ulurkan gadis itu dan mengusap wajahnya yang basah karena air mata.

"Aku selalu ada disini saat siang hingga sore untuk berjualan bubble tea. Flat ku juga tak jauh dari sini. Ada di ujung jalan sana." Gadis itu menunjuk arah depannya dengan telunjuknya dengan antusias.

"Ah.. boleh ku tau namamu?" Gadis itu tetap tersenyum. Mata rusanya berkilat ceria.

"Tao" Gumam Tao sedikit ragu tapi mulai tenang dan melupakan tangisnya. Wajah ceria dan mata cantik gadis itu telah mengalihkan perhatian Tao. Mungkin juga karena mereka seumuran, sehingga Tao merasa tak terlalu canggung.

"Baik Tao-ya. Mari kita berteman. Ah aku lupa belum menyebutkan namaku" Gadis itu menepuk dahinya pelan. Sedang Tao hanya mengerjabkan menatapnya.

"Kau bisa memanggilku Lu-han. Luhan"

Tbc

.

.

.

maafkan kesalahan saya.
karena publish story macem ni.
dan Kim Yuta jangan kecewa plis.
JAngan lupa RnR
pai pai