Lotto

GINTAMA

Rated M

HijiGin

WARN : AU, YAOI, AND I DON'T GIVE A ..!..

Note : Saya akan berterima kasih sekali jika reviewer mengoreksi jika terjadi kesalahan bahasa inggris yang dipakai di dialog di fict ini!

.

Tuhan, aku memenangkan tiket lotre kehidupan, tapi aku tidak menginginkan hadiahnya.

Apa yang harus aku lakukan?

.

.

Seseorang telah menyelesaikan adegan panasnya setelah dia klimaks di atas tubuh perempuan yang tidak berdaya akibat permainan luar biasanya di atas ranjang. "For fuck sake, so this is what I should pay because I'm his heir?"

"What's wrong, Sakata-sama? Seems there's something that make you felt so awful tonight." Si perempuan tersenyum kepada lelaki yang barusan mencabut kejantanannya dari lubang peranakannya.

Menarik diri, orang yang disebut Tuan Sakata—oleh perempuan seksi tadi duduk di pinggir ranjang king size sambil membuang kondom yang berisi cairan adamnya di dekat tempat sampah di sisi ranjang. "You know, I'm really tired, Lisha." Pria dengan tubuh yang maskulin itu mengambil sebatang rokok yang berada di atas meja nakasnya.

Perempuan dengan rambut blonde itu memeluk tubuh pria yang tadi memakai jasanya dengan manja. "I didn't know if being rich is also trouble, Sakata-sama ."

Menyulutkan pemantik api di rokok yang berada di bibirnya, dia menghisap rokok tersebut. Setelah beberapa saat dia menghembuskannya. Sambil memandang bulan yang mulai merangkak tinggi dari jendela hotel bintang tujuh yang dia pakai bersama dengan pelacur untuk bersenang-senang. "Yeah, me too. Have everything in your hands, but you can't obtain your freedom because your hands busy to hold those shit. It's such pain in ass. If only i could release all."

"So why you don't do as you wish, Sakata-sama ?" Perempuan tadi tersenyum dari balik punggung tegap itu.

"Do whatever I want huh?" Ulangnya lagi kepada Lisha, si pelacur. "Thank you for tonight, Lisha. You're my budy. I'm really happy there's someone that I can talk to like you."

Wanita berdada besar berdarah blasteran Eropa itu mengalungkan lengannya di leher Tuan Sakata. "As long as you put your money in my pussy, then you're my budy, Gintoki..." Ucapnya sambil berbisik menggoda di telinga Gintoki.

.

.

Suara riuh tepuk tangan memenuhi seisi ruangan Hall Ballroom Hotel Suite Crown merayakan berhasilnya perusahaan Sakata Inc. yang berhasil memuncaki prestasi dwi semester dalam penjualan minyak bumi dengan hasil dan target memuaskan.

Keberhasilan itu patut dirayakan karena setelah setahun kemarin mereka harus bersaing dengan perusahan-perusahaan besar lainnya untuk merebut posisi strategis di pemerintahan untuk memonopoli harga minyak di Negeri Sakura.

Keberhasilan ini tidak lepas dari kepimpinan Sakata Gintoki. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu baru saja memangku singgasana dinasti Sakata kira-kira lima tahun yang lalu. Singgasana yang diwariskan oleh ayahnya di umur yang semuda itu membuat beberapa orang pesimis akan kepimpinan bocah bau kencur itu.

Sang Ayah sangat membanggakan putra semata wayangnya. Tidak ada alasan kenapa dia tidak membanggakan Gintoki. Memilih Gintoki sebagai pemimpin Sakata Inc. pun bukan kesalahan walaupun beberapa anggota direksi menolaknya.

Namun karena buah tidak jatuh dari pohonnya, maka tidak ada yang tidak mungkin bagi Sakata Gintoki untuk menyajikan atraksi untuk membungkam semua orang yang pernah meragukan dirinya. Dimulai dia harus menerima cemooh-cemooh dari karyawan yang mencibirnya karena dia hanya 'penerus' nama Sakata, dia membuktikan bahwa dia bukan hanya 'penerus' tapi juga orang yang berhak memakai nama besar Sakata.

Laki-laki dengan surai perak berdiri sambil bersandar dinding. Tuxedo hitam, lengkap dengan dasi biru panjang begitu serasi dipakai oleh tubuhnya itu. Sambil menghirup wangi champagne matanya menyapu ke hall ballroom di mana acara masih berlangsung.

"Sepertinya walaupun semua berjalan seperti apa yang kau ingingkan, kau tidak terlihat senang, Tuan Muda Sakata."

Seseorang dengan suite biru tua dan dasi hitam mengganggu lamunan Direktur Muda Sakata Gintoki. Pria dengan rambut coklat muda dan juga berjanggut itu menyengir saat melihat atasannya pikirannya tidak berada di tempat pesta mewah itu.

"Jangan panggil aku seperti itu kalau hanya kita berdua, Zenzou. Panggil saja aku Gintoki." Ucapnya datar tanpa memperhatikan pria yang kira-kira umurnya lebih tua tujuh tahun darinya.

"Tapi 'kan sekarang kita tidak hanya berdua?" Senyumnya sambil melihat keadaan sekitar. Memang saat ini di Hall Ballroom bukan hanya ada mereka berdua.

Gintoki menghela nafas. "Bersyukurlah meja gelas wine agak jauh Zenzou. Kalau tidak botolnya akan kupukulkan ke kepalamu itu." Sarkas pria dengan rambut perak itu.

"Hey-hey santai, Tuan Muda Gintoki. Kalau kau memecahkan kepalaku kau tidak akan mendapatkan lagi asisten terbaik yang hidupnya diabdikan kepada Direkturnya. Lalu, bagaimana pertemuanmu dengan Lisha-chan? Ahh seandainya aku punya uang banyak untuk menyewanya semalam." Zenzou mengeluh sambil melipat tangan.

Masih mematrikan mata di tengah keramaian, Gintoki mendengar kata-kata terakhir Zenzou mengenai keuangan. "Kau mengeluh tentang gajimu? Walaupun sebanyak apapun yang kau berikan pada Lisha, aku tidak akan membiarkan kau menyewanya."

Iris keabuan Zenzou menyelidik Direktur Muda itu. "Sebenarnya aku penasaran cukup lama, Gintoki."

"Hm?" Gintoki melirik ke arah Zenzou.

"Apa sebenarnya hubunganmu dengan Lisha-chan?" Walaupun hubungan mereka cukup dekat baik untuk pertunjukkan perusahaan, maupun di belakang layar, banyak yang dia tidak ketahui mengenai kehidupan Tuan Muda Sakata itu. Termasuk siapa Lisha untuk Gintoki.

Di antara semua wanita yang pernah tidur dengan Gintoki, hanya wanita bernama Lisha itu saja yang sering berbagi ranjang dengan orang yang dianggap sebagai adiknya sendiri.

Zenzou hanya mengenal Lisha sebagai wanita penghibur langganan Gintoki. Mungkinkah ada rasa yang dimiliki Gintoki kepada Lisha sehingga laki-laki tadi sempat memberinya peringatan kecil untuk tidak membeli jasa wanita penghibur itu?

Kalaupun ada, Zenzou turut senang karena akhirnya Gintoki memiliki kekasih, bisa melepas masa lajang, lalu menghasilkan keturunan lagi untuk nama besar Sakata.

Gintoki hanya menyunggingkan senyumnya. Melangkah pergi meninggalkan asisten yang bekerja mulai sebelum dia diangkat menjadi dirut muda di perusahaan ayahnya. "She is my cum dump."

Ungkapan itu hanyalah bahasa kasaran Gintoki yang dia gunakan bahwa perempuan penghibur bernama Lisha itu adalah tempat di mana dia selalu mengeluarkan keluh kesahnya. Lisha adalah sahabat Gintoki saat mereka masih tinggal bersama di Jerman. Sebelum mengemban tugas berat menjadi dirut di usia yang masih sangat muda, Gintoki menetap di Jerman untuk menyelesaikan studinya.

Hubungan persahabatan pun masih berjalan dengan baik walaupun keduanya sudah berpisah. Karena merasa tidak ada seseorang yang bisa menggantikan sosok Lisha untuk dijadikan tempat curhat, dan tempat untuk melampiaskan nafsunya, dia sering memanggil wanita pirang itu secara khusus dari Jerman untuk tidur dan menuangkan keresahannya segalanya di atas ranjang.

Tentunya sebagai sahabat bagi Lisha, dan juga Zenzou. Mereka tidak boleh saling mencicipi bekas satu sama lain. Jika Zenzou sungguh-sungguh menginginkan Lisha, maka dia mengizinkannya. Asalkan jangan menyentuh Lisha tanpa cinta.

Sudah cukup pernah terulang lima kali Gintoki menghajar dan hampir membunuh orang karena mereka menyakiti perasaan Lisha. Dia tidak ingin perempuan penjaja cinta sekaligus sahabatnya itu menderita batin karena cinta.

Dia tidak ingin Zenzou jadi korban keenamnya.

.

.

"Jadi apakah kau sudah memikirkan siapa kira-kira calon istrimu, Gintoki?" Pria paruh baya dengan guratan garis keriput kering diwajahnya itu menanyai calon menantu pada putra semata wayangnya.

Makan malam yang awalnya berjalan dengan khidmat kini mulai terganggu dengan pertanyaan dari pria yang duduk di seberang meja makannya saat ini.

Berhenti memotong daging steak menu makan malamnya, Gintoki mengangkat kepalanya. "Aku masih mempertimbangkan banyak hal, ayah. Aku tidak sempat memikirkan hal seperti itu."

Pria tersebut terkekeh. "Yayaya. Kau begitu berdedikasi dengan pekerjaanmu, Gintoki. Ayah berterima kasih mengenai keberhasilanmu kemarin."

"Terima kasih, ayah." Gintoki berharap ayahnya itu tidak lagi melanjutkan topik perbincangan yang sama sekali tidak menarik perhatiannya ; Penerus Keturunan Keluarga.

"Kalau begitu, bagaimana jika ayah yang mencarikannya untukmu? Akan ayah pilihkan yang terbaik dari yang terbaik untukmu, Gintoki."

Bola mata Gintoki mengerling. "Hentikan itu ayah. Aku bukan lagi anak kecil yang tidak bisa memutuskan sesuatu untuk diriku sendiri. Aku akan memilih pilihanku sendiri, dan akan menikahi orang yang aku cintai. " Tegasnya kepada ayahnya yang menawarkan perjodohan sebelah pihak itu.

Tentu saja Gintoki menolak. Menikah itu bukan urusan seperti orang tua yang membelikan pakaian yang akan dikenakan anaknya.

Dia menerima penolakan putranya. "Setelah semua yang ayah berikan padamu, Keluarga Sakata, kekayaan, kasih sayang padamu, kau bahkan tidak bisa menunaikan salah satu tugas penerus keluarga ini?" Cibirnya sambil menggoyang-goyangkan gelas wine miliknya.

Lagi-lagi si ayah menggunakan kata-kata itu untuk memojokkannya. "Aku akan menemukannya. Jadi bersabarlah sebentar." Gintoki berusaha bertahan dengan apa yang bisa dia katakan saat ini.

"Kau tidak perlu mencintai seorang wanita untuk mendapatkan keturunan, Gintoki. Carilah wanita yang sederajat dengan kita. Nikahi, dan hamili dia. Jika anak itu sudah lahir, ceraikan dia dan rebut anak itu agar dia bisa meneruskan kekuasaan nama keluarga kita; Sakata." Pria tersebut menjelaskan bagaimana mudahnya mendapatkan keturunan untuk meneruskan ambisi kekuasaan Sakata dengan cara yang sama sekali keji.

Gintoki menggeretakkan giginya.

"Aku mengerti kenapa wanita itu memakai gaun hitam saat tidur di peti matinya, ayah." Nada sarkas dibalas atas cibiran yang keluar dari mulut orang tua Gintoki sendiri.

Terkekeh. Laki-laki itu sama sekali tidak tersinggung. Gintoki berbicara tentang kematian mantan istrinya yang selama ini hidup menderita. Menderita? Jelas saja, ibu Gintoki difitnah oleh ayahnya sendiri dengan kasus perselingkuhan. Nyonya Sakata digugat cerai oleh suaminya sendiri, Tuan Sakata. Tuan besar Sakata itu menyiapkan aktor dan plot yang menjebak istrinya agar bisa menceraikannya dengan cara yang halus dan bersih.

Nyonya Sakata tidak mampu mempertahankan hak asuh Gintoki kecil yang saat itu berumur satu tahun. Karena dengan segalanya yang dimiliki Kepala Keluarga Sakata, tidak ada yang tidak mungkin.

Gintoki mulai mempelajari kebenaran kenapa dia tidak memiliki ibu di sisinya saat beranjak dewasa. Bahwa semua yang terjadi itu adalah ulah ayahnya. Pada umur sepuluh tahun, dia sadar bahwa ayahnya menyingkirkan ibunya karena ambisi yang besar untuk membentuk dirinya menjadi boneka penerus nama raksasa itu.

Mencari-cari informasi sana sini mengenai keberadaan ibunya yang hilang, akhirnya dia menemukan bahwa wanita malang tersebut tinggal di desa di luar kota Tokyo.

Bermodal nekad untuk lari dari kediaman Sakata dan berada dekat dengan ibunya, dia pergi seorang diri tanpa sepengetahuan ayahnya maupun pengurus di sana. Namun pencariannya sia-sia, orang yang diharapkan bisa dijadikan untuk tempat pelariannya ternyata sudah meninggal beberapa tahun lalu pasca perceraian.

Orang-orang menyebut bahwa mantan Nyonya Sakata itu meninggal bunuh diri dengan menggunakan pakaian pengantin yang dahulu adalah pemberian ayah Gintoki, dan menodai warna putihnya dengan cat hitam.

"Karena dia membenciku Gintoki?" Tanya si ayah kepada putranya yang berusaha meredam kemarahannya.

Gintoki berdiri dari kursinya, dan meninggalkan makan malamnya yang baru dinikmati satu suapan. "Kau bisa pikirkan sendiri, ayah."

.

Di kamarnya, Gintoki sedang merenungi nasibnya yang tidak seberuntung manusia kebanyakan. Duduk menghadap balkon sambil menikmati gelapnya malam tanpa penerangan di kamar pribadinya. Setiap jendela di kamarnya dibuka lebar-lebar agar angin malam dan cahaya bulan bisa masuk ke dalam sana. Untuk bisa menerangi setiap sisi gelap tempatnya terkurung saat ini.

Dia berharap sinar bulan juga mampu menyinari salah satu sudut hatinya yang saat ini begitu gelap. Bukan tanpa alasan kalau di situ adalah tempat yang paling gelap di dalam jiwanya. Mulai dari rasa kesepian kehilangan seorang ibu, harus mencerna didikan keras seorang ayah yang serakah akan kekuasaan, kebebasan sebagai manusia yang terkungkung dalam jeruji nama Sakata, dan banyak hal.

Ingin segera rasanya dia mengakhiri kehidupannya, dan bereinkarnasi lagi menjadi manusia biasa yang memulai kehidupan dari kesederhanaan.

Di tengah-tengah khusyuk memikirkan betapa malang nasibnya, tiba-tiba dering ponsel Gintoki berbunyi di atas meja nakas.

"Eh?"

Tuan muda Sakata itu beranjak dari kursi santainya menuju ke meja nakas. Dia pun langsung mengambil ponselnya. Terlihat nama Lisha di layar ponselnya tersebut.

Menggeser tombol terima telfon.

"Yo, what's up fucker." Sapa Gintoki dari seberang kepada Lisha.

/"Yo bro. How are you doing?"/ Tanggap Lisha yang sedang berada di rumahnya, Jerman.

Mendapatkan telfon dari sahabatnya, membuat perenungan sedih tadi sedikit mulai terlupakan. "I'm fine. What's wrong? You rarely call me first."

Memainkan rambut pirangnya, Lisha melanjutkan telfonnya tanpa menjawab pertanyaan sahabatnya. /" Did you remember if you said you're tired of being the successor of the Sakata family?"/

"You know that very well Lisha. I don't think we should countinue that shit." Jawab Gintoki berusaha menghindari topik menurunkan moodnya untuk berbicara.

Bisa ditebak oleh Lisha dari suara Gintoki, sahabatnya itu benar-benar putus asa mengenai kehidupannya./"Seriously, Gintoki. Don't ever think about suicide to solve your 's just make another problem for me!"/ Lisha tahu mungkin ini adalah titik terendah Gintoki memiliki keinginan untuk hidup setelah ayahnya memaksa Gintoki agar segera menikah.

"If i'm dead, why it's problem for you?" Suara si surai perak itu terdengar sedikit memelas dan pasrah. Bahkan jika dia mati dia hanya akan menyusahkan sahabatnya.

/"Why? Because i still need your dick and your money off course! Oh my gosh, Gintoki! Because i'm your friend, motherducker!"/ Lisha kesal dengan patah arangnya Gintoki. /"Listen, you dumbass. If you were dead it's impossible for me to forget how much i owe to you."/ Lisha tersenyum di ujung telfon mengingat betapa banyaknya kebaikan yang dia terima dari anak orang kaya tersebut.

/"I want you to live and remind me to pay my debts. I will pay it, Gintoki. Including to save your ass right now."/

Perkataan Lisha yang barusan menyentuh perasaanya.

/"I just come with an idea that maybe can help you to get out from there. Hella, perhaps this idea is outta from your skull." / Lisha memberi sinyal bahwa dirinya memiliki ide yang kemungkinan bisa membantu sahabatnya.

Mendengarkan perempuan itu berbicara, seperti ada secercah harapan yang bisa dia lihat di ujung sana. "What's that?" Gintoki terdengar antusias mengenai ide sahabatnya itu.

/" Why do not you act as if you're gay?? Possibly when that old man finds out if you are gay, he will reliquinsh you form Sakata's family name and boom! You got your human sense back, and off course your freedom..."/

"The fuck...Lisha you're kidding right?" Seketika sepasang manik marun Gintoki melebar mendengar ide dari Lisha yang membuatnya terperangah.

Saran yang diberikan sahabatnya kemarin — Lisha membuat Gintoki tidak habis pikir dia harus berpura-pura menjadi gay untuk lari dari tanggung jawabnya untuk memberikan keturunan calon penerus Keluarga Sakata. Tapi apa yang dikatakan si pirang itu benar mengenai pilihannya berakting sebagai gay menjadi salah satu jalan pintas agar dia bisa dicoret dari dalam daftar keluarga Sakata .

Pertama, dia tidak ingin menikah.

Kedua, dia ingin lepas dari belenggu nama Sakata.

Ketiga, dia ingin hidup bebas layaknya manusia biasa yang menikmati kehidupannya.

"That little cunt..." Gintoki tertawa kecil menerima saran Lisha yang sepertinya patut untuk dicoba.

.

.

To Be Countinued