Dilan
storyline by ahkkin
inspired by pidi baiq's dilan
jaeyong / side nomin
4k / pg-15
unbeta-ed. undefined universe.
Ketika film Dilan mulai dipasang di bioskop, sekolah gempar.
Siswi-siswi yang sudah lama baper membaca buku serial tiga bagian itu kalang-kabut memesan tiket bioskop, bahkan ada (banyak) yang sampai rela membolos kelas hanya untuk mengantre tiket yang baru bisa dinikmati nanti sore. Pembicaraan antara murid tidak jauh dari seorang anak laki-laki yang rela menerjang hujan dan membonceng teman wanitanya untuk berjalan-jalan, kado berupa TTS yang telah terisi, tawuran antar sekolah, dan masih banyak lagi.
—oh, dan, jangan lupakan kutipan-kutipan yang dipetik dari buku.
Tak hanya gadis-gadis yang membicarakan film itu hingga heboh. Awalnya sejumlah siswa—lalu lama-kelamaan makin banyak, mereka turut membicarakan seputar tayangan romansa itu. Mulanya karena terpaksa diseret kekasih tersayang lalu kebablasan dan ikut baper, jelas beberapa narasumber. Hal itu tentu saja disambut baik oleh para perempuan-perempuan penikmat dusta manis lelaki; siswa-siswa pria sering melontarkan kalimat manis di koridor dan menawarkan pulang bersama—sekedar nongkrong di warung kopi dan bersenda gurau pada kekasih. Terima kasih karena film itu, sebab seantero perempuan di sekolah kini menjadi insan paling bahagia sedunia!
Jaehyun juga tidak kelewatan. Dia sudah membaca ketiga buku seri itu jauh sebelum pengumuman pembuatan filmnya tersebar. Ketika sahabatnya tersayang, Chaeyeon, menyeret Jaehyun untuk menemaninya menonton film tersebut di bioskop, tidak perlu waktu lebih lama bagi Jaehyun untuk segera mengiyakan dan menyalakan sepeda motor. Ini jadi rahasia bagi kita, tapi paling tidak Jaehyun menghabiskan setengah kotak tisu ketika berkonsentrasi pada tayangan tersebut. Katanya, blending. Chaeyeon cuma mengangkat bahu ketika Jaehyun menjawab begitu.
Tidak lupa juga dengan virus menyebar-manisan-dusta yang sedang populer di kalangan para siswa lelaki, Jaehyun juga memutuskan untuk melompat masuk ke dalam bandwagon. Sebab sejak awal dasarnya memang pemuda itu doyan merangkai kata-kata penuh sihir untuk sekadar disapakan pada gadis-gadis cantik yang kebetulan lewat, maka itu bukan hal susah baginya. Jung Jaehyun—si drummer slash back-up vocalist band sekolah, The And City—adalah salah satu pelaku utama dari lemahnya akhwat sekian banyak wanita di sekolah setelah pemilik surai pirang itu memandang mereka di manik dan membisikkan, "Aku ramal, kita akan bertemu di kantin."
Ambyar, bumi gonjang-ganjing.
(Terima kasih karena itu pula, Jaehyun mendapat titel Dilan dan sedikit-sedikit dipanggil Dilan dimanapun ia beredar.)
Youngho—bassist grup merangkap sebagai soulmate Jaehyun—sudah berulang kali mengingatkan pemilik surai pirang itu bahwa, "Heh, ciwi itu bagusnya dijagain, bukan digodain." acap kali yang bersangkutan mengerlingkan mata dan menarik sebuah senyuman setelah melempar sebuah sapaan pada gadis yang lewat. Biasanya, ditambah dengan sebuah tepukan agak keras di tulang belikat yang hampir selalu sukses membuat Jaehyun mengaduh. Kalau sampai ada siulan, Jaehyun bisa berakhir dengan sedikit lebam di kulitnya.
Gadis-gadis itu memang cantik—Jaehyun setuju. Wanita memang harusnya dilindungi dan bukan dibuat mainan, Jaehyun setuju kali dua. Motto yang telah didoktrin oleh Youngho sejak mereka kecil itu memang tidak salah, Jaehyun setuju kali tiga. Tapi, rasanya, sangat susah menahan diri untuk tidak membuat perempuan-perempuan itu gila atas bawah karenanya tiap kali Jaehyun melihat ada entitas kecantikan semacam mereka. Susah sekali ketika Jaehyun tahu kalau Lee Taeyong, si ketua OSIS sejak periode lalu yang penampilannya super-menawan (dan Jaehyun akan selalu malu-malu kalau mengakui betapa dia sangat gugup kalau berhadapan dengannya), itu nyata dan menempati kursi berjarak dua bangku dari tempatnya di kelas Sejarah.
Yang pertama menyadari itu—tak lain dan tak bukan—adalah Youngho. Plus Dongyoung—vokalis grupnya. Jaehyun masih ingat sekali, semua ini dimulai ketika ia sibuk melihat-lihat timeline media sosialnya pada saat makan siang tahun lalu dan, sepertinya, Jaehyun sedikit terlalu lama memandangi foto jajaran pengurus OSIS yang baru saja dilantik. Ia menangkap wajah-wajah yang familiar; seperti Kak Taeil yang berdiri dengan selempang bertuliskan 'Bendahara OSIS' dan Yuta si Buaya dengan selempang dengan tulisan 'Wakil Sekretaris OSIS'.
Jaehyun tahu Kak Taeil dari ekstrakurikuler paduan suara. Pemuda pendiam itu merupakan salah satu favorit pembina karena suaranya yang sangat mudah disesuaikan dengan lagu. Kalau Yuta... ah, siapa yang tidak tahu Nakamoto Yuta? Seantero sekolah tentu saja tahu karena dia adalah siswa yang terhitung cukup terkenal, menjadi salah satu pemain inti tim basket sekolah menjaminkan popularitas bagimu. Perihal embel-embel 'si Buaya' itu, sebenarnya Yuta tidak hanya punya satu julukan. Masih banyak julukan yang beredar di kalangan siswa-siswi, seperti si Buaya, si Kangkung—tukang nikung, si Kardus—pakar dusta, si Bang Toyyib, dan masih banyak lagi. Alasannya? Yuta hampir mirip dengan Jaehyun, tebar pesona sana-sini dan membuat semua sudut sekolah meneteskan liur acap kali ia lewat di koridor.
Jaehyun tidak tahu mengapa hanya Yuta yang diberi julukan seperti itu kalau dia juga sering membuat gadis-gadis baper, namun dia bersyukur saja, lah.
Maksud awal drummer itu ketika memperhatikan foto tersebut adalah mencari-cari wajah lain yang familiar. Seperti setelah melihat dengan lebih jeli, Jaehyun bisa mendapati sosok Mark—juniornya yang maha sakti karena semua bidang dikuasainya—yang berdiri di sebelah Jaemin, tersenyum tipis (yang katanya senyum wibawa) ke arah kamera. Tetapi, karena memang pada dasarnya Youngho dan Dongyoung itu keterlaluan menyebalkannya, mereka memekikkan sesuatu yang berhasil membuat seluruh penghuni kantin saat itu menoleh dan Jaehyun super-malu.
"Jaehyun! Aku tahu kamu terpikat dengan pesona Lee Taeyong—tapi lap dulu itu ilernya!"
Orang yang bersangkutan sukses tersedak, susu cokelat yang baru saja diteguknya muncrat ke arah Youngho (sukurin!). Ya Dewa...
Padahal—padahal, nih, ya. Jaehyun tidak akan tahu yang mana yang namanya Lee Taeyong kalau saja Dongyoung tidak menunjuk ke arah pemuda yang (ternyata) benar-benar mempesona dengan rambutnya yang rapi dimodel comma dan selempang 'Wakil Ketua OSIS' yang tersemat melewati dadanya. Jaehyun tidak akan tahu kalau si Lee Taeyong itu salah satu koreografer di ekstrakurikuler modern dance yang latihannya setiap hari Rabu jam tiga sore di auditorium kalau bukan karena Youngho yang menuntunnya menuliskan et ti way track anderskor nol enam nol satu. Jaehyun tidak akan tahu kalau kalau Lee Taeyong semempesona itu kalau bukan karena Dongyoung dan Youngho membuat makalah berjudul 'Lee Taeyong and All His Glory' lalu mempresentasikannya di kamar Jaehyun seminggu setelah insiden itu terjadi.
Intinya, yang sebenarnya jatuh cinta itu adalah Dongyoung dan Youngho. Tapi yang terkena imbasnya (dan ikut-ikutan jatuh cinta) adalah Jaehyun. Masalahnya, Jaehyun sudah terlalu jauh dan bodoh dalam jatuh cinta pada Lee Taeyong ketika ia menyadari motif kedua sahabatnya itu. Poor, poor Jung Jaehyun.
Menjawab rasa penasaran Jaehyun, semenjak itu ia mulai sering memperhatikan kegiatan yang diselenggarakan OSIS—lebih tepatnya, memperhatikan pengurus yang kalang kabut lari sana-sini demi mengejar waktu; lebih tepatnya lagi, memperhatikan Lee Taeyong yang mengabaikan keringatnya dan alisnya yang menukik naik dan setiap gerakannya yang cekatan. Ketika ditanya, ia bilang cuma mau menjadi "siswa yang baik dan menghargai usaha pengurus OSIS," sambil berdoa kalau yang menanyainya tidak akan pernah curiga. Terkadang, ia akan merelakan tidak ke kantin dulu setelah bel berbunyi untuk segera melesat ke ruang OSIS, berdiri tepat di sebelah pintunya, dan menunggu rapat selesai dengan embel-embel "nunggu Jaemin sama Kak Taeil buat latihan," walau maniknya tidak bisa lepas dari Lee Taeyong yang sibuk membicarakan tentang ajuan proposal ke pihak sekolah.
Jadi, jangan salahkan Jaehyun sepenuhnya kalau dunianya terbalik sempurna dan kini ia menyimpan seluruh hatinya untuk diabdikan pada Taeyong.
Satu semester kemudian, Jaehyun mendapati bahwa dirinya duduk di kelas yang sama dengan wakil ketua OSIS yang luar biasa menawan itu. Rasanya seperti memetik mangga, tapi juga dapat apel dan anggur. Rezeki nomplok! Jaehyun tidak keberatan sama sekali menghabiskan uang sakunya selama dua minggu hanya untuk mentraktir Youngho dan Dongyoung yang sudah membantunya untuk duduk di kelas itu—dengar-dengar, mereka sampai datang ke guru Sejarah dan membuat beliau memasukkan Jaehyun di kelas itu dengan cara yang God knows how—karena mereka teman yang baik. Uang saku itu tidak sepadan dengan bisa melihat Taeyong memasuki kelas dan duduk dengan oh-sangat-anggunnya, mengikuti pelajaran dengan otak yang begitu cemerlang.
Betapa Jaehyun sudah benar-benar jatuh cinta, oh, seperti anak gadis kemarin sore saja! Bahkan anak usia tiga tahun bisa tahu kalau Jaehyun tidak pernah melewatkan sedikitpun waktu untuk memperhatikan mulai Taeyong meletakkan tas sampai ia melangkah keluar—batas antara kebodohan dan kejujuran itu sangat pendek dan Jaehyun sepertinya tidak bisa membedakan keduanya.
Namun, di antara itu semua, ada satu hal yang Jaehyun sayangkan: sikap dan pembawaan Taeyong. Walau begitu—mungkin karena dibutakan dengan cinta, sesuai yang dipetik oleh guru Sastra kelas sepuluhnya—Jaehyun tetap menganggap bahwa hal itu adalah titik paling menarik dari Taeyong, entah dari mana dia bisa berpikiran begitu. Jaehyun tidak hanya sekali menjadi korban sikap ketua OSIS itu, tapi ia seperti tidak pernah mengenal jera. Sebab ternyata, kedua mata lebar nan inosen serta senyum manisnya itu berbanding terbalik dengan sifat si pemuda; dari yang Jaehyun tahu setelah melewati beberapa bulan dengannya, Lee Taeyong adalah manusia paling dingin dan cuek yang pernah Jaehyun tahu. Tidak peka, pula!
Jaehyun benar-benar mengira kalau Taeyong sama hangatnya dengan senyum yang biasa ia bawa kemana-mana, maka kagetlah siswa bermarga Jung itu ketika mencoba menyapa Taeyong di hari kedua mereka sekelas hanya untuk mendapat balasan berupa sorot dingin, bibirnya yang terkatup rapat, dan salah satu alis yang terangkat naik seolah berkata, "Apaan, sih?". Ekspektasi seringkali tidak sejalan dengan realita, tapi Jaehyun tidak menyangka kalau realitanya sejauh ini.
Sakit, men, sakit tapi tidak berdarah.
Tapi begitu, menjadi budak cinta yang sesungguhnya, respon arogan dari Taeyong tidak membuat Jaehyun gentar sama sekali. Justru itu adalah salah satu alasan semangat kemerdekaan mendidih di bawah kulitnya untuk melelehkan si Pangeran Es dari Kerajaan OSIS yang mampu membuat gadis-gadis menjadi abu-abu seketika di kehidupan Jaehyun. Youngho tak habis pikir, apanya dari Taeyong yang imut ketika ia secara harfiah menepis tangan Jaehyun saat drummer malang itu mengajaknya ke kantin bersama? Atau ketika Taeyong hanya memandang sinis sekotak bekal yang diajukan oleh Jaehyun—yang, usut punya usut, ternyata adalah menu paling mahal seantero kantin—kemudian berlalu begitu saja? Heran, Jaehyun jarang sekali jatuh cinta. Sekalinya merasakan jadi begini; di beberapa sudut pemikirannya, Youngho agak menyesal memaksa guru Sejarah meletakkan Jaehyun di kelas yang sama dengan Taeyong.
Oke, back to topic.
Omong-omong soal Dilan, Dongyoung sempat mencetuskan ide bagi Jaehyun untuk mengajak Taeyong menonton di bioskop, yang sebenarnya presentase keberhasilannya hanya 0,1%—itupun kalau Jaehyun sudah minta pelet ke pamannya atau mencampur sesuatu di makan siang Taeyong agar pemuda itu mau menuruti kemauan Jaehyun. Youngho hanya geleng-geleng kepala ketika melihat Jaehyun menjadi antusias, dasar bucin.
"Udahlah, Hyun. Paling juga si Taeyong nggak mau, mending nontonnya sama kita aja. Jeno dan Jaemin ajakin juga," Youngho menghela napas. Jeno adalah pianis dan back-up vocalist, sementara Jaemin adalah gitaris grup mereka yang juga tergabung dalam OSIS (dalam kata lain, sumber informasi Jaehyun) dan grup paduan suara dengan Jaehyun. Kedua anak itu satu angkatan di bawah Jaehyun dan seringkali menjadi objek kalah—terutama Jaemin, yang memang wataknya penerima serta pendiam. Mendengar ucapan Youngho, Dongyoung mengangguk setuju (padahal dia yang mengide).
Jaehyun mengerutkan dahi melihat respon kedua kawannya itu. "'Kan masih paling, belum dicoba, 'kan!" cetusnya, menepuk paha Youngho yang sedang duduk di bangkunya—membuat si empu hampir memekik dan melemparkan sebuah sorot penuh skandal ke arah Jaehyun, dia sudah jauh-jauh datang dari gedung Ilmu Sains hanya untuk dipegang-pegang dengan tidak elegannya oleh Jung Jaehyun?!
Dongyoung mengendikkan bahu, berpura-pura tidak melihat sorot pesimis dan kekecewaan yang sempat melintas di kedua manik pemuda berlesung pipit ganda itu. "Youngho benar, sih. Keburu habis di bioskop itu Dilannya."
Dasar kompor gas elpiji, gerutu Jaehyun dalam hati. Namun, belum sempat ia menyuarakan umpatan itu, Dongyoung buru-buru menambahkan, "Sudah, sudah. Dipikir nanti saja. Ayo kantin dulu, aku ingin beli es krim," Youngho melemparkan sebuah kerlingan setuju yang seiring dengan decakan lidah dan telunjuk yang mengarah ke Dongyoung, berusaha mengalihkan perhatian Jaehyun sebelum lelaki itu melempar argumen lain yang bisa berakibat debat kusir tiada ujung. Pemuda itu segera turun dari bangku Jaehyun, lantas mencubit pelan bahu si pemilik. "Kuy, Hyun. Es krim lumayan, nih, buat segar-segar."
Kalah dengan keinginan kolega karibnya, Jaehyun cuma bisa menghela napas dan mengangguk kecil. Ajakan untuk beli es krim tidak buruk juga, siapa tahu bisa mendinginkan kepalanya yang serasa berputar tujuh keliling akibat menghadapi cicitan tidak berujung oleh guru Sosiologinya—untung saja yang suka berkicau bukan guru Akuntansi—kiranya itu bisa membuat Jaehyun berpikir lebih baik tentang... semuanya. Youngho yang semacam menyadari pemikiran Jaehyun kemudian menyelipkan tangan untuk merangkul lelaki malang itu.
Youngho mungkin memang anak Sains, tapi setidaknya dia paham, lah, perasaan Jaehyun—biologi dan sosiologi sama-sama berakhiran dengan -gi dan sama-sama berarti neraka dunia. "Sans dulu, sob. Siapa tahu ada Milea yang kemarin kamu ramal bakal ketemu di kantin," celetuknya, Dongyoung meringis. Ketiga siswa yang seperti perangko itu—walau sekarang lebih seperti Jaehyun-sandwich yang rotinya berupa dua manusia jangkung bernama Seo Youngho dan Kim Dongyoung—berjalan keluar kelas; dengan raut pemuda yang di tengah kusut sementara yang lain tampak berbinar. "Jangan lupa nanti sore latihan, Dilan. Indie band fest yang itu sudah semakin dekat."
Kalimat itu bukannya membuat Jaehyun bersemangat, justru mengintenskan sorot sayu di maniknya. Youngho merasa bersalah.
"Cheer up, champ! Nanti kita setelin film Dilan waktu latihan, deh," Dongyoung terkekeh, memukul bahu Jaehyun pelan. Yang bersangkutan hanya menekuk senyum super-terpaksa yang hanya bertahan tiga detik sebelum kembali ke jurang kelesuannya. Youngho sudah pasti akan ngakak sampai koprol di lantai kalau saja status Jung Jaehyun bukan sohib-sampai-mati di kamusnya. Lucu saja, tapi, melihat Jaehyun yang notabene adalah perwujudan dari keceriaan bisa jadi selesu ini hanya gara-gara gagal nonton film dengan orang yang disukainya. Youngho tahu Jaehyun agak kekanakan, tapi... —setidaknya tidak sampai begini..?
"Iya, iya. Tidak lupa, dan tidak usah disete—,"
Belum selesai Jaehyun menuturkan kalimat, suaranya telah dipotong dengan keramaian yang terlihat di koridor. Murid-murid—mayoritas wanita—mengerumuni salah satu sudut lorong, Jaehyun ingat kalau di situ ada papan pengumuman. Samar-samar, ia melihat ada seorang lelaki berambut hitam yang tengah memasang sesuatu di papan tersebut—seseorang yang sangat familiar dan Jaehyun tidak mungkin salah; satu-satunya pihak dari kalangan siswa yang berwenang menempel kertas di papan pengumuman secara legal (bukan seperti Jaehyun yang menempel poster film Dilan beberapa hari lalu kemudian masuk ke konseling)—
OSIS, ketua OSIS—Lee freaking Taeyong.
Jaehyun bisa merasakan dadanya berhenti berdebar untuk sesaat, hanya untuk mendapati jantungnya berdetak seperti akan meledak di detik berikutnya tatkala kerumunan itu menyingkir dan memberi jalan untuk si Pangeran Sekolah yang tidak tampak terganggu sedikitpun; ekspresinya tetap stoik dan datar, kepala sedikit menunduk untuk memperhatikan kertas yang tertempel pada papan dadanya (atau setidaknya, begitulah yang dikira Jaehyun). Gadis-gadis di belakang sana terlihat menahan diri untuk tidak menjerit karena baru saja melihat bidadara yang nyasar ke bumi dalam bentuk ketua OSIS mereka. Youngho dan Dongyoung saling berpandangan.
Entah Taeyong yang memang tidak sadar atau berusaha tidak peduli, namun tatapan matanya sama sekali tidak melepas atensi dari kertas-kertas itu walau—secara literal—siswa-siswi banyak yang menengok keluar kelas hanya untuk mengabadikan figur si Ketua OSIS yang Maha Melemahkan Jiwa di kepala mereka sendiri. Yang lebih penting, Lee Taeyong sedang berjalan ke arah Jaehyun dan kedua temannya berdiri dan Jaehyun tidak bisa bernapas.
Setiap langkah Taeyong yang mendekat ke arahnya membuat ujung bibir Jaehyun tertarik dalam sebuah senyuman lebar. Youngho dan Dongyoung melemparkan taruhan tentang hal bodoh apa yang akan dilakukan Jaehyun setelah ini—berteman dengan drummer itu cukup lama membuat masih-masing Youngho dan Dongyoung paham kalau senyuman lebar itu berarti Jaehyun akan melakukan sebuah hal bodoh. Dalam lubuk hati yang terdalam, mereka turut menyertakan doa agar Jaehyun tidak merasakan malu atau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan ketika ide konyolnya dilancarkan.
Youngho mulanya ingin menghitung mundur satu sampai lima dan mengekspektasi Jaehyun akan mengambil tindakan di hitungan terakhir, tapi ternyata dia salah. Hitungannya baru memasuki angka ketiga ketika telinganya menangkap sebuah panggilan yang cukup keras—bukan ditujukan kepadanya,
"Lee Taeyong!"
—Jebret, yang malu justru adalah Youngho.
Panggilan dari suara bariton Jaehyun itu menarik fokus Taeyong (dan siswi-siswi yang sedari tadi memperhatikannya), membuat si empunya menaikkan dagu dan mengerjapkan sepasang mata besar miliknya dengan bingung. Sedikit mengejutkan bagi ketiga pemuda yang berdiri di hadapannya itu karena—sorot yang mereka tangkap di sepersekian kerjapan mata Taeyong benar-benar berbeda dengan Taeyong si Pangeran Es yang biasanya. Ada semburat merah muda—Dongyoung bersumpah ia melihatnya—di kedua pipi lelaki itu, mungkin dia malu, ketika hendak menjawab panggilan yang ditujukan kepadanya. Youngho bisa melihat bagaimana Taeyong berusaha mengontrol komposisi dirinya untuk kembali ke Lee Taeyong yang biasanya.
Bibir tipis siswa itu baru saja dibuka, belum sempat melontar apapun, ketika Jaehyun melepaskan diri dari sandwich kedua temannya dan dengan cekatan mendorong Taeyong ke dinding terdekat—mengunci posisi pemuda itu dengan kedua tangan di samping kepala si jejaka yang lebih pendek, membuat sebuah erangan sakitlah yang terlepas dari katup mulut yang terbuka itu alih-alih jawaban atas panggilan yang tadi tertuju padanya. Gadis-gadis di koridor yang memperhatikan itu sontak memekik bersemangat—kapan lagi melihat dua laki-laki yang secara terang-terangan diakui sebagai manusia paling menarik sesekolah bisa menunjukkan skinship se-oke ini? Rezeki nomplok, gan.
Youngho dan Dongyoung bengong di tempat masing-masing.
Taeyong tersentak, papan dadanya seketika dipeluk di depan torso untuk membentuk gerakan defensif. Semburat merah di pipi—bahkan sekarang, seluruh bagian wajah—nya makin kentara karena terkejut, tangan mengepal kuat dan alis yang menukik ke atas dengan tajam. Jaehyun, masih dengan senyum bodohnya yang berusaha dikurangi, memandang lurus ke arah ketua OSIS yang kini terkungkung dalam jeruji tangannya.
"Jung Jaehyun, apa ini?!" Suara Taeyong terdengar galak—bergetar, semua orang tahu betapa malunya dia saat ini; harga diri sebagai ketua OSIS dipertaruhkan dengan aksi super-bodoh seorang anak laki-laki jangkung yang sangat jatuh cinta padanya. Ia menyadari benar kalau ada beberapa ponsel yang sedang mengabadikan situasi saat ini, sialan, aduh. Reputasinya bisa rusak kalau sampai berita ini tersebar kemana-mana! Lee Taeyong, si Ketua OSIS super-seram, wajahnya merah padam ketika dipojokkan pada sebuah dinding oleh drummer The And City, Jung Jaehyun?! "Jung Jae—,"
"Lee Taeyong, kamu ganteng," Jaehyun tiba-tiba serius, senyumnya tak lagi eksis dan nada bicaranya tidak mengandung gentar sedikitpun. Suara baritonnya makin jelas, Taeyong menggigit bibir bawahnya. Tidak pernah sekalipun dalam sejarahnya menjabat sebagai seorang ketua, ia merasa kalah telak dalam hal superioritas dan dominansi—apalagi hanya oleh siswa random yang menghentikkan jalannya setelah menempel pengumuman. "tapi aku belum mencintaimu."
Terus kenapa, Taeyong ingin menukas. Namun tidak ada suara apa-apa yang keluar ketika ia mencoba membuka mulutnya, justru wajahnya yang terasa makin panas dan kepalan tangannya yang kian dingin serta berkeringat. Telinganya tuli, hanya bisa mendengarkan debaran jantungnya sendiri yang panik karena siulan-siulan di belakang. Beberapa kali ia mencuri waktu untuk melirik ke arah samping, menghindari sorot mata Jaehyun, hanya untuk mendapati kerumunan siswa-siswa lain yang terus merapalkan 'cium! cium! cium!' atau sesuatu yang mirip itu. Taeyong ingin memendam dirinya sekalian saja kalau caranya begini!
"Enggak tahu kalau sore, tunggu aja."
Jaehyun mengakhiri aksinya dengan sebuah seringaian asimetris, yang membuat sorakan gerombolan siswa itu makin ramai. Kedua manik Taeyong terbuka lebar, mulut menganga dengan terkejut dan pipi yang semerah tomat. Napasnya tertahan, kepalanya kacau. Drummer itu mengembalikan senyum lebar-bodohnya dan menarik jarak dari Taeyong, tidak lagi mengunci Taeyong dalam batasan kedua tangannya—seolah menukar kepribadiannya dengan pemuda penuh dominansi yang baru saja membuat Taeyong pusing.
Pemuda itu tanpa dosa menoleh ke arah kedua temannya yang dari tadi melongo melihat sebuah aksi... so-dramatically-cringy yang baru saja terlintas di depan pandangan mereka. Jaehyun terkekeh kecil, melambaikan tangan, "Es krim. Kuy." guna mengingatkan mereka pada tujuan awal, bedanya kali ini dengan suasana hati Jaehyun yang seratus delapan puluh derajat berbeda. Dongyoung sampai harus menepuk bahu Youngho agar pemuda jangkung itu tersadar dari lamunan, menggelengkan kepala, lalu mengiyakan ajakan Jaehyun. Kedua manusia malang itu melangkah untuk mensejajarkan posisi dengan drummer mereka.
"Dah, Taeyong. Jangan rindu," Jaehyun mengerling cepat, menepuk-nepuk bahu Taeyong yang masih mematung dengan pipinya yang merona. Lelaki itu membuat gestur membersihkan bahu seragam si Ketua OSIS—hanya sebagai dalih agar dia bisa memegangnya sedikit lebih lama? "Berat. Kamu nggak akan kuat, biar aku saja."
Sorakan di belakang terdengar makin keras. Jaehyun tertawa ketika ada yang melontarkan celetuk, "Iya, Dilaaan!" kepadanya. Seolah tidak melakukan apapun, ia berlalu bersama Youngho dan Dongyoung—yang masih shock—untuk mengindahkan tujuan awal mereka, ke kantin, dan membeli segelas es krim sambil bercengkerama tentang pipi Taeyong, mungkin. Jaehyun memperoleh beberapa tepukan selamat di bahunya—oh, wow, jadi begini rasanya ketika naik pangkat dari seorang prajurit biasa lalu langsung melompat jadi jendral?
Ketika melirik ke arah Taeyong—Jaehyun mendapati pemuda itu cepat-cepat berlalu dengan tangan yang menutupi mulut, sepertinya. Ada sedikit rasa bersalah yang tumbuh dengan begitu cepatnya. Tapi, mengesampingkan itu semua, Jaehyun merasa lega. Setidaknya, gelar Dilan yang disandingnya tidak hanya omong belaka kalau Mileanya sampai bisa mematung begitu.
.
"Yang tadi itu gila," celetuk Youngho ketika mereka berkumpul untuk latihan pada sore harinya. Jaehyun, yang sedang memainkan stik drumnya, hanya mengangkat sebelah alis dan memamerkan cengiran polosnya. Jeno tertawa lepas, Jaemin hanya terkekeh. Dongyoung mulanya berencana menceritakan kejadian tadi pada dua juniornya itu, yang tanpa disangka justru memasuki studio Youngho dengan, "Kak Jaehyun keren banget!"
"Nggak papa, kesempatan dalam kesempitan," tukas Jeno, yang sukses memperoleh sepaket cibiran dan sorot tajam dari Youngho. Naasnya, anak lelaki satu itu terlalu badak untuk menyadari sesuatu, jadi dia hanya bersiul-siul mengalihkan perhatian. Youngho menghela napas berat. "Kamu harusnya jangan seceroboh itu, Hyun. Bagaimanapun, Taeyong masih seorang ketua OSIS. Bagaimana kalau reputasinya sampai rusak? Gosip tidak mengenakkan bisa menyebar dan berpengaruh pada nama baiknya. Kamu harusnya minta maaf."
Apa yang dikatakan Youngho ada benarnya, kalau dipikir-pikir. Jaehyun termangu, keempat pasang mata mengarah lurus kepadanya, sangsi. Rasa bersalah yang tadi sempat terselip di dadanya kini membuncah, membuatnya merasa dua kali lebih sesak. Kalau Taeyong benar-benar turun reputasinya karena apa yang telah ia perbuat, Jaehyun tidak akan pernah memaafkan dirinya—itu sama saja dia mengacaukan apa yang telah diusahakan Taeyong selama ini. Dan, dia baru saja melakukannya. Jaehyun menelan ludah.
Menekan bibirnya dalam sebuah garis, drummer itu memainkan stik drumnya seraya berusaha tertawa kecil. "Tidak, kok. Tidak akan terjadi, percayalah," sahutnya—biar dia berkata begitu, benaknya tidak bisa setuju. Ia jelas-jelas merasakan yang sebaliknya, ia cukup yakin sesuatu akan terjadi karena tindakan bodohnya di sekolah tadi dan itu pasti akan melibatkan Taeyong. Ia bisa mendengar Dongyoung menghela napas berat—Dongyoung jarang seperti itu, perasaannya sungguh tidak enak. "Lagipula, ini Taeyong yang kita bicarakan. Lee Taeyong, lho. Dia pasti bisa menemukan cara untuk mempertahankan reputasinya. Taeyong itu, 'kan—,"
Ring ring—
Suara dering ponsel yang diletakkan di meja memotong alasan Jaehyun. Dari nada deringnya, kelima siswa itu tahu benar kalau empunya telepon genggam tersebut sedang duduk menghadap drum.
"Jeno, tolong ambilkan. Nggak nyampe, nih," pinta Jaehyun, langsung dijawab dengan sebuah dengusan oleh Jeno beserta sebuah gelengan kepala. Anak laki-laki itu justru mencet tuts keyboard dengan semua jarinya, mengeluarkan sebuah harmonisasi suara yang terdengar agak rancu. "Dih, nyuruh. Tanganku sedang sibuk, Kak. Kapan-kapan saja, ya," cerocosnya. Jaehyun mengernyitkan dahi mendengarkan adik kelasnya itu.
Pada akhirnya, Jaemin-lah yang meraih ponsel milik Jaehyun. Youngho dan Dongyoung saling tergelak melihat tindak-tanduk pianis mereka satu itu. Mungkin karena terlalu lama bergaul dengan temannya, Donghyuck yang memang terkenal jahil, Jeno jadi berani mengambil tindakan. "Awas, ya, kamu, Lee Jeno. Dasar adik kelas durhaka, azab kakak kelas masih berlaku," gerutu Jaehyun sembari menerima uluran dari Jaemin. Jeno memasang ekspresi takut yang dilebih-lebihkan. "Oh, tidak! Kak Jaehyun ngambek! Ayo cepat setelkan filmnya!"
Kedua optiknya menatap Jeno yang tak acuh, ibu jarinya menggeser tombol hijau tanpa melihat siapa nama kontaknya. "Halo?"
"Jung Jaehyun."
Deg.
Seketika itu juga, kedua mata Jaehyun terbelalak. Mulutnya sedikit terbuka, menarik perhatian rekan-rekannya. Suara itu, 'kan...?
"... Taeyong?"
Bisikan Jaehyun itu rupanya tidak terlalu pelan untuk didengarkan oleh dirinya sendiri. Youngho menarik salah satu alisnya naik, Dongyoung melipat dahi. Jeno terkesiap, Jaemin mengerjapkan matanya dengan cepat. Merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri, Jaehyun menarik ponselnya dan dengan cepat membaca nama yang tertera di layar; menambah keterkejutan di ekspresinya.
Di sana tertera, Ketua OSIS Lee Taeyong.
Oh my God.
Jaehyun memandang Youngho dengan horor—yang langsung disahut oleh temannya itu, gestur untuk segera melanjutkan telepon dan bibir yang membentuk 'minta maaflah!' tanpa suara.
"Taeyong, hei. Maaf tentang yang tadi. Aku benar-benar minta maaf, serius. Aku tahu aku benar-benar bodoh tentang itu, kuharap aku tidak memberi dampak apapun terhadap reputas—,"
"Ini sore. Kamu sudah mencintaiku?"
Hening. Mulut Jaehyun menganga lebar. Dongyoung berjalan mendekatinya, yang langsung disambut dengan genggaman tangan super-erat oleh Jaehyun yang panik. Vokalis itu memandanginya penuh tanya, bingung dengan apa yang terjadi.
"... maaf?"
Suara dehaman.
"Tadi kamu bilang belum mencintaiku dan menyuruhku menunggu sampai sore. Jadi, kamu sudah mencintaiku, atau belum?"
Jaehyun benar-benar tidak tahu harus berkata apa, ia menoleh untuk memandangi Dongyoung—temannya itu hanya mengendikkan bahu dengan maksud bertanya, tidak paham dengan situasi. Jaehyun justru hanya mengangguk cepat.
"U-uh, itu... Aku—,"
"Kamu pasti sedang latihan, ya? Oh, ternyata kamu benar juga. Rindu itu berat," Jaehyun tidak tahu apakah dia harus berterima kasih atau mengutuk kebiasaan Taeyong dalam memotong pembicaraan—yang jelas, dia lebih tidak tahu harus menanggapi seperti apa ketika pujaan hatinya berkata seperti itu secara tiba-tiba. Sangat, tiba-tiba. "aku memang tidak kuat."
Sorot dari rekan-rekannya membuat Jaehyun merasa sangat malu. Mereka, walau tidak paham apa yang terjadi, terlihat begitu antusias tentang apa yang sedang terjadi di antara telepon Jaehyun dan Taeyong. Terutama ketika melihat Jaehyun jadi sangat bingung begitu; Jung Jaehyun, imitasi Nakamoto Yuta si Tukang Sepik kelas kakap, kelu lidahnya menghadapi seseorang yang biasanya ia goda sana-sini. Dunia sudah berbalik, 'kah?
"T-Taeyong, dengar. Aku—,"
"Iya, aku tahu kamu sedang latihan. Setelah latihan, mau nonton Dilan bersamaku? Biar aku bisa menjawab semua petikanmu sesuai dengan apa yang Milea katakan," Dongyoung mengaduh cukup keras ketika kuku-kuku Jaehyun yang belum dipotong terbenam di telapak tangannya, sukses membuat Jeno mencubit lengan atasnya, tanda untuk diam—kalau Dongyoung tidak justru menambah volume keluhannya.
"Hah? Nonton?"
Youngho bersiul pelan, Jaemin sontak menutupi mulutnya dengan tangan guna menekan suaranya kalau-kalau ia tersedak tawa yang terlalu keras. Jeno hampir saja terbatuk, matanya memantulkan sorot antusias.
"Uh-huh. Aku tidak menerima penolakan. Kutunggu di bioskop jam tujuh, aku sudah punya tiket. Latihanlah yang benar. Sampai nanti, Dilan."
Bip.
Telepon diputus secara sepihak, Jaehyun beberapa kali memanggil nama Taeyong tanpa memperoleh jawaban. Layarnya sudah menunjukkan wallpaper biasa, bukan lagi layar panggilan. Mulutnya masih menganga, tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Jeno dan Youngho langsung menarik kursi dan duduk di depan drum Jaehyun, menyerang pemuda itu dengan berbagai pertanyaan sementara Jaehyun sendiri bahkan belum bisa mencerna apa yang telah terjadi.
Semua berlalu dengan begitu cepat. Jaehyun memandangi kedua temannya yang masih memberondonginya dengan pertanyaan tanpa memahami sedikitpun dari pokok bahasan mereka. Suara-suara mereka tenggelam dalam keabsenan rasionalitas di kepala. Matanya masih membelalak lebar. Di sampingnya, samar-samar bisa didengarnya Dongyoung yang mengaduh dan tamparan di lengan ketika jemarinya kembali mencengkeram telapak tangan Dongyoung.
Ya Tuhan, kalau begini caranya, Jaehyun sudah mencintai Taeyong sejak subuh, kok!
p.s. semacam curcol karena dari minggu lalu sudah ingin banget nonton Dilan, tapi rame mulu =(( gagal deh huhuhu
p.s.s. ini plotnya sangat ngebut karena mau ngejar dua scene terakhir hAHAH maafkan, ini pure karena impuls kkin yang mabok dengan bucin!jaehyun + hard-to-get!taeyong. belum dibeta atau apa, masih fresh sekali cuma dibaca ulang dua kali, maafin typonya =")) mabok elah masih belum recover dari sayangku mas kun yang akhirnya debut =((( /eh /malah curhat
p.s.s.s. ini harusnya sma!au yang lagi aku develop, tapi males ngasih ekspansi tentang universenya. selamat membayangkan anak-anak nct pakai putih abu-abu!
(kalau ada yang bingung, username instagram taeyong yang disebut sama johnny itu tytrack_0601 ;))
