"Living with the dead"

-Prologue-

Rate: T

Genre: Horror, Comedy, Romance

Warning: Disturbing image

Hetalia Hidekazu Himaruya

Arthur meletakkan dua koper hitam yang ia bawa di pekarangan sebuah rumah kecil yang sebenarnya cukup bagus. Kalau saja ada orang yang memotong rumputnya dan menata tanaman liar itu. Dengan sedikit sentuhan tangan dan cat tembok, rumah ini bisa jadi keren.

Oh? Apakah ia belum memperkenalkan diri?

Arthur adalah seorang pemuda kelahiran Inggris yang baru saja diterima untuk belajar di sebuah SMA swasta yang cukup terkenal di Amerika. Kedua orangtuanya sudah meninggal dua tahun yang lalu, saat ia berumur 13 tahun. Mereka meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itu, Arthur hidup sendirian. Walaupun ada beberapa keluarga yang ingin mengadopsinya. Tapi Arthur menolak tawaran mereka, karena ia tahu bahwa mereka hanya mengincar harta warisan orangtua Arthur.

Ia mendapatkan nilai sempurna dalam ujian kelulusan SMP di Inggris. Ketika kepala sekolahnya merekomendasikan ia untuk masuk SMA di Amerika, Arthur menerimanya karena ia mengetahui kredit SMA tersebut cukup terkenal di mata dunia.

Setelah melewati beberapa ujian masuk (yang ia lewati dengan mudahnya), disinilah Arthur sekarang. Berdiri di depan rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya. Tampak sendirian dan mencolok.

Arthur baru saja berniat untuk masuk ke rumah itu ketika segerombolan anak kecil yang membawa bola melewati pagar rumahnya dan berteriak,

"Ah! Lihat! Ada orang di rumah hantu!"

Arthur mengernyit. Oke, dia memang sudah mendengar tentang 'cerita-cerita' aneh yang tak masuk akal tentang rumah ini. Tapi ia tak percaya. Ia hanya percaya kepada peri.

"Saya beli rumah ini plus hantunya. Main kesini ya!" Kata Arthur, ngaco bin ngasal.

Bukannya jawab, mereka malah berlari pergi sambil berteriak-teriak kepada teman mereka di sudut jalan, "Ada orang di rumah hantu!"

Arthur memutuskan untuk mengabaikan perasaan aneh yang menempel di punggungnye sejak anak-anak itu pergi. Seperti ada orang yang menatapnya dengan tatapan menusuk dari salah satu jendela lapuk. Ia yakin, sekelebatan bayangan tadi bukan hanya imajinasi.

Arthur menelan ludah dan berusaha mengangkat koper dengan tangan agak gemetar.

Krieet

Bunyi pintu tua yang terbuat dari kayu tidak membesarkan hati.

Rumah itu hanya satu lantai, tapi cukup luas dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, satu ruang tamu dan ruang keluarga. Peralatan rumah tangganya sudah tersedia. Namun begitu Arthur menduduki salah satu kursi, kursi itu mengeluarkan suara protes yang terdengar seperti kayu retak.

Setelah beberapa jam membereskan dan menginspeksi seluruh rumah, Arthur memutuskan ia perlu membeli peralatan rumah tangga yang baru.

Arthur menaruh tasnya di salah satu kamar. Kamar itu bagus. Punya double bed dengan lemari built-in dan meja belajar antik dengan desain yang agak aneh namun bisa dibilang eksotis. Atap-atapnya tinggi. Dindingnya dicat kuning-biru. Jelas pemilik rumah sebelumnya punya cita rasa yang cukup bagus.

Arthur membuka tasnya dan mulai membenahi pakaian. Seragam SMA barunya digantung di salah satu lemari. Ia meletakkan buku-buku pelajarannya di meja belajar yang terletak di sudut ruangan. Setelah selesai , ia duduk di tempat tidur, mengagumi kerja kerasnya.

Setelah melihat ke jam tangan yang terlilit di pergelangan tangannya, Arthur memutuskan untuk mandi.

Kamar mandinya keren. Arthur memutar keran dan membiarkan air mengalir ke bathub berwarna putih dengan ukuran sedang di sudut kamar mandi. Arthur mulai membuka kancing kemejanya dan merasa semakin aneh.

Perasaan yang tadi dirasakannya saat ada di luar rumah kembali dirasakannya.

Seperti seseorang menatap punggungnya dengan tajam.

Arthur memutuskan untuk mengabaikan perasaan itu dan meneruskan membuka bajunya.

"Hihi~"

DEG!

Arthur bersumpah jantungnya sempat berhenti saat ia mendengar tawa seseorang dari arah cermin besar yang terletak diatas wastafel.

'Oke…ini hanya sugesti…hanya sugesti,'

Arthur mengucapkan kata-kata itu didalam hati selama berkali-kali. Kemudian ia memutuskan untuk melihat cermin itu.

Hanya memastikan apakah dirinya masih waras atau tidak.

Terjadi detik-detik penuh ketegangan ketika Arthur mendekati cermin itu. Dalam hitungan satu, dua, TIGA!

HAP!

Bayangan Arthur balik menatapnya dari dalam cermin. Tidak ada yang aneh. Bahkan tawa yang mendirikan bulu kuduk tadi pun sudah menghilang.

Setelah memelototi (dan dipelototi) cermin itu selama beberapa saat, Arthur mengangkat bahu dan masuk ke dalam bathub.

Setelah mandi dengan terburu-buru, Arthur keluar dari bathub dan hampir terserimpet kakinya sendiri.

Grep!

Arthur hampir saja jatuh jika tidak ada orang yang memegangi tangannya. Syukurlah…..

Arthur membeku.

Oh tidak.

Benarkah tadi ada orang yang memegang tangannya dan mencegah supaya ia tidak jatuh?

Arthur menoleh ke tempat dimana 'orang' tadi seharusnya berada. Kosong!

Arthur betul-betul merasa takut sekarang. Ia menyambar handuk putih dan berlari keluar kamar mandi. Ia menarik sepasanya piama dari kain flannel dan mengenakannya dengan terburu-buru. Hal yang sangat ia butuhkan sekarang adalah tidur yang nyenyak. Mungkin besok pagi ia sudah kembali segar dan makhluk apapun yang tadi menertawakan dan memegang tangannya sudah kembali ke alam dimana seharusnya mereka berada.

Amin.

Arthur berguling ketempat tidurnya.

Ganti.

Ia hampir berguling ke tempat tidurnya jika tidak ada seseorang disana yang menempatinya duluan.

"Hey, mon cheri~"

Suara yang dihalus-maniskan itu malah membuat Arthur mual. Apalagi ketika ia melihat si empunya suara.

Seorang pria dengan rambut pirang bergelombang dan mata biru menatapnya dari tempat tidur. Wajahnya pucat, hampir transparan. Ia mengenakan apa yang Arthur duga baju old-fashion model lama. Mungkin berasal dari satu atau dua abad yang lalu.

Reflek, Arthur mengambil senjata terdekat dan mulai memukuli pria mesum yang berani menyusup ke tempat tidurnya. Guling.

"MALEEEEEEEEEEEEEEENG!"

(Bentuk past tense dan pha nik dari 'maling')

Arthur berteriak dengan cempreng sementara ia memukulkan guling itu ke tubuh si pria mesum. Tapi setelah beberapa saat, Arthur menyadari bahwa guling yang ia pukulkan KE pria mesum itu malah bertemu dengan kasur. Arthur menatap pria itu dengan tidak percaya sementara pria itu menatapnya dengan bosan.

"Percuma…kau tidak akan bisa memukulku kecuali jika aku mau kau memukulku, mon cheri,"

Kata-kata itu sudah cukup untuk membuat Arthur ngibrit sekencang-kencangnya dari kamar itu. Arthur menemukan sebuah lemari sapu dan memutuskan untuk bersembunyi di situ.

Blam.

Di sekitar Arthur sekarang adalah kegelapan total.

Arthur melingkarkan tangan ke tubuhnya sendiri, berharap ini cuma mimpi buruk dan kapanpun ia masih bisa terbangun dengan berkeringat diatas tempat tidur di Inggris.

Sepasang mata biru cerah dengan kacamata menatapnya dari kegelapan. Entah kenapa, Arthur bisa melihat mata itu walaupun kegelapan total menyelimutinya. Mata itu terlihat seperti lampu. Wajah pemilik mata biru itu muncul setelah beberapa saat.

Kali ini ia bertatapan dengan seorang pemuda. Tidak seperti pria mesum yang pucat tadi, pemuda ini terlihat sedikit berwarna. Rambut berwarna coklat muda membingkai wajah itu.

Setelah beberapa saat bertatapan dengan pemuda itu Arthur berpikir,"Aneh sekali jika aku bisa melihat pemuda ini. Bukannya disini tidak ada lampu? Aku baru tahu ada mata yang bisa bersinar seperti itu. Selain kucing tentunya,"

Hm.

"Aaaaaaaaaaaaaah!"

BLAM!

Arthur membanting pintu dampai terbuka. Ia mundur dengan ketakutan. Pemuda itu mengikutinya keluar dari lemari sapu. Tapi anehnya, pemuda itu tidak perlu menunduk seperti Arthur untuk bisa keluar dari lemari.

Karena kepalanya menembus lemari itu.

"S-s-s-s-s-s-s-iapa k-k-k-k-au!" Gagap Arthur. Arthur ingin berteriak "Kau ini apa!" Tapi karena terdengar tidak sopan maka ia mengganti pertanyaannya.

Pemuda tadi tertawa. Bukan tawa yang mendirikan bulu kuduk. Tawa renyah yang membuat sekujur tubuh Arthur yang dingin terasa hangat. Wajah Arthur agak memerah.

"Aku Alfred. F. Jones! Senang bertemu denganmu! Kau pemilik rumah yang baru ya? Maafkan kelakuan aku dan Francis tadi. Itu penyambutan kami. Oh, apakah kau kenal dengan Francis? Dia yang rambutnya pirang agak bergelombang. Dia memang agak mesum. Tapi sebenarnay dia kesepian dan bosan, sama sepertiku. Maafkan dia ya! Apaka-" Makhluk bernama Alfred tadi terus mencerocos sebelum Arthur memotongnya.

"Kau tahu, titik dan koma dibuat karena suatu alasan." Kata Arthur. Rasa takut dan paniknya berganti dengan rasa ingin tahu. Apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah ini?

Alfred terdiam selama beberapa saat sebelum kembali tertawa. Kemudian ia menjulurkan tangan untuk menepuk pundak Arthur.

Plokk!

Kena.

"Kau lucu. Aku suka padamu," kata Alfred sambil tersenyum kecil. Arthur merasakan wajahnya memerah (lagi).

"Bloody git!"

"Aku bisa jadi bloody kalau aku mau. Lihat,"

Mata Arthur melebar ketika darah berwarna merah pekat bermunculan dari sekitar leher Alfred. Turun ke pundaknya, ke tangannya. Darah mengalir lewat mulutnya yang terbuka, menetes ke lantai. Matanya berubah menjadi dua lubang besar yang mengucurkan darah. Mengalir ke pipinya, dagunya, sebelum jatuh ke lantai.

Well, seharusnya begitu.

Tapi darah transparan itu menghilang begitu saja sebelum mencapai karpet merah yang melapisi lantai.

"Kau ini apa?" Tanya Arthur. Kekosongan mengisi kata-kata itu. Arthur sudah tidak dalam mood untuk ketakutan. Ia hanya ingin tahu apa yang sedang terjadi dalam rumah ini-tidak-rumahnya.

Darah dari tubuh Alfred menghilang sama cepat dengan munculnya. Tersenyum lebar pada Arthur dan membuka mulut untuk menjawab sebelum seseorang menyela mereka.

"Alfred? Apa yang kau lakukan?"

Seorang pemuda muncul dari balik tembok. Maksudnya, betul-betul dari tembok. Karena Arthur tidak melihat ia berbelok untuk menghindari tembok. Ia berjalan melewatinya.

Pemuda itu mirip sekali dengan Alfred. Hanya saja, rambutnya agak bergelombang dan mata berwarna lyla menatap Alfred dan Arthur secara bergantian dengan bingung. Wajah pucatnya sama transparan dengan si pria mesum.

"Mattie! Kau mengganggu bagian yang seru!"

"Baiklah. Aku tak akan menginterupsi pembicaraan kalian. Ngomong-ngomong, apa kau melihat Francis?"

Alfred menunjuk kearah kamar darimana Arthur berlari. Pemuda yang dpanggil Matthew mengangguk dan berjalan dengan ringan (seperti berjalan di udara) ke kamar itu.

"Jadi, kalian ini apa?" Ulang Arthur.

"We are the living dead!" Sahut Alfred bangga.

Apa katanya tadi?

Living...dead?

Mati...hidup...mati?

Oke.

Bruk!

Tubuh Arthur jatuh ke lantai. Matanya terpejam.

Ia menggumamkan sesuatu seperti,"Ini hanya mimpi," dan "Bloody git,"

"Ha? Kau pingsan?" Tanya Alfred dengan polos ke tubuh seorang Arthur yang tidak menjawab.

Karena dia memang sudah pingsan.

TBC.

Fiuh..capek juga *tabok*

Soooo…..gimana? Apakah dilanjutkan atau…?

Review please!