"Blue"

Chapter 1 : Asrama, Sekolah dan Dewan Murid

Cast : Baekhyun, Chanyeol, Sehun, Luhan

Genre : Fantasy, Action, School life, Romance

Rating : T+/M

Warning : Typos, GENDER SWITCH

A/N :

Cerita ini akan fokus dengan Chan+Baek & Hun+Han! Dan kemungkinan besar hanya Baek dan Lu yang aku buat gender switch di cerita ini. Please enjoy & leave your review, meow ~

.

.

Rambut magenta, bola mata sehalus lilac, berjalan dengan pakaian abad ke-19. Apakah aku terlalu mencolok di mata mereka? Ugh..tatapan mereka begitu menjengkelkan. Beberapa gadis mulai berbisik ketika koper yang aku tarik membuat suara gaduh. Aku terus menarik nafas dan berusaha tenang sambil mengikuti seorang pria yang dipanggil dengan sebutan Kwon-saem.

Aku ingin mengutuk seluruh keluargaku yang membuat aku harus bersekolah sekaligus tinggal di asrama ini. Aku kembali menghela nafas panjang ketika ingat bagaimana ayah menyeret diriku ke tempat ini. Bahkan ibu sama sekali tidak membantuku, ia malah mengacuhkanku.

"Baiklah nona Byun, disini kamar anda."

Aku menatap pintu besar dengan ukiran angka '4' pada kayunya, cantik dan elegan. Tanganku hendak meraih gagang pintu saat Kwon-saem kembali bersuara.

"Kau akan tinggal disini bersama nona Kang. Jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa menggunakan telpon yang berada di ujung koridor. Telepon genggam dilarang disini."

Ucap laki laki dengan rambut kelabu yang terus tersenyum. Aku hanya menganggukkan kepalaku sambil mempertahankan senyuman terbaik yang aku miliki. Setelahnya ia tak berbicara, ia membungkukkan badannya dan pergi meninggalkanku sendiri. Satu tarikan nafas dalam sebelum aku membuka pintu kayu itu.

Ada dua kasur, dua lemari, dua meja belajar dan dua meja rias didalam kamar itu. Salah satunya telah terisi oleh barang-barang berwarna serba kuning. Ranjangnya juga terlihat berantakan. Ini akan berat, satu ruangan dengan orang yang tidak suka membereskan barangnya sendiri.

"Ah..Kenapa ini terasa begitu melelahkan."

Gerutuku sambil menjatuhkan diri ke atas ranjang. Bahkan korset yang aku kenakan terasa begitu menyakitkan sekarang.

Sekolah ini bernama Asfaleia. Sekolah yang menyediakan asrama khusus untuk para Chaebol dengan fasilitas keamanan yang super tinggi. Tapi mereka hanya menyediakan sepuluh ruang asrama. Masing masing lima untuk laki laki dan perempuan, ini aneh menurutku. Dan yang lebih aneh lagi dengan mudahnya aku masuk kedalam lingkungan terbatas ini.

"Wah! Apa ada Ratu Inggris di kamarku?!"

Aku langsung melompat dan berdiri ketika suara melengking itu terdengar. Di ambang pintu berdiri seorang gadis berambut pirang dengan kuncir kuda yang berantakan. Ia berjalan sambil cengengesan, dan dengan tidak sopannya ia menarik narik gaun yang aku kenakan.

"Kau tidak kepanasan ditengah musim panas memakai pakaian seperti ini?"

Ia berkata dengan nada jenaka. Tangannya tak mau berhenti memainkan rok gaunku.

"Aku terbiasa dengan pakaian seperti ini." Aku memaksakan diri untuk tersenyum.

Dia melepaskan tangannya dari gaunku, wajahnya berada dekat sekali dengan wajahku. Matanya berwarna biru dan ia tengah menatapku dengan lekat. Untuk beberapa detik posisi kami tidak goyah sampai ia mengulurkan tangannya.

"Seulgi, Kang Seulgi. Dan aku suka warna matamu."

Ia mengatakan hal itu sambil menjulurkan lidahnya. Aku tidak mengerti itu sebuah pujian atau cemoohan.

"Baekhyun," Aku menjabat tangannya "Namaku Byun Baekhyun," dan ekspresi miliknya itu ekspresi biasa yang aku lihat saat orang asing mendengar namaku.

"Kau bercanda? Aku satu kamar dengan keturunan Byun?! Wow! Pantas saja baju mu seperti itu."

Aku belum sempat mengatakan apapun ketika Seulgi membuatku terkejut dengan gerakannya yang begitu lincah. Ia melompat –atau entahlah disebut gerakan apa itu- kedepan koperku dan membukanya.

"Hey! Bukankah itu tidak sopan?"

Aku hendak menarik lengan Seulgi saat ia menyodorkan satu set pakaian milikku.

"Pakai ini, kita akan berkeliling." Ucapnya dengan riang.

Aku berakhir dengan pakaian kasual dan mengikuti langkah Seulgi. Ia berceloteh tentang bagian bagian dari asrama putri. Setelah itu ia menarikku kedalam gedung sekolah. Kini aku merasa banyak sekali pasang mata yang tengah memperhatikanku –atau mungkin Seulgi.

"Semua masih berada di sekolah dan mengenakan seragam. Kenapa kamu malah berkeliaran dan menemaniku?"

Seulgi hanya menggaruk tengkuknya dengan cuek, "Aku tidak begitu tertarik dengan pelajaran. Aku tinggal disini demi kaumku saja."

Aku memiringkan kepalaku, tidak begitu paham dengan apa yang dikatakan oleh perempuan berambut pirang itu. Dia hanya tertawa sambil menarik lagi tanganku.

"Sudah dapat semua?" Tanya Seulgi sambil mengintip kedalam tas yang aku bawa.

"Aku rasa sudah."

Seulgi membawaku ke koperasi sekolah. Ia menemaniku untuk membeli seragam, dan aku sedikit bersyukur akan hal itu. Setidaknya aku tidak perlu melakukan hal melelahkan ini sendirian. Kami kembali berjalan, namun kali ini Seulgi tidak banyak bicara. Dia hanya sesekali menyapa beberapa orang yang ia kenal.

"Kang Seulgi."

Langkah Seulgi berhenti ketika seorang laki laki menghampiri kami. Perawakannya tinggi, dengan mata tajam dan wajah yang datar.

"Oh ~ halo ~"

Walaupun Seulgi menggunakan nada riang namun suasana terasa begitu berbeda. Rasanya seperti ada aura kelam yang keluar dari dalam tubuh laki laki itu.

"Sudah berapa kali aku peringatkan jangan membolos."

"Ahahaha, aku tidak ingat." Seulgi melirik ke arahku dan menarikku untuk maju, "Perkenalkan si mata lilac ini adalah Byun Baekhyun. Teman sekamarku."

Mata pembunuh, ia menatapku dengan aura hitamnya. Matanya memang indah seperti warna lautan, namun aku memutuskan untuk mengakhiri kontak mata itu dengan membungkuk dengan sopan.

Saat aku mengangkat kembali kepalaku, laki laki itu telah membalikkan badannya. Tidak sopan.

"Pastikan besok dia tidak terlambat, Kang Seulgi."

Laki laki itu berjalan menjauh saat Seulgi berteriak 'ok' dengan kencang. Ia melambaikan tangannya dengan riang walaupun aku yakin laki laki itu tidak akan melihat lambaian tangan Seulgi.

"Siapa dia?" Tanyaku dengan kesal.

"Oh Sehun. Presiden dari dewan siswa di sekolah ini."

"Dewan siswa?"

"Salah satu organisasi aneh disekolah." Seulgi melanjutkan langkahnya yang sempat sempat terhenti. "Ayo kita harus kembali, kau butuh istirahat. Makan malam akan dimulai pukul enam."

.

.

Makan malam telah lama usai, jam semakin larut dan aku masih berdiri di depan telepon bodoh ini. Sudah berkali kali aku mencoba menghubungi rumah tapi tak ada satupun jawaban.

"Sial! Apa mereka membuangku?!" Aku meletakkan gagang telepon itu dengan kesal.

Aku berdehem dan melihat sekeliling. Bukankah gawat jika seseorang mendengar putri tunggal tuan Byun mengumpat dengan kencang? Aku tertawa miris dan pergi meninggalkan koridor lantai dua itu.

Entah apa yang merasukiku namun tanpa sadar aku melangkah menuju lantai paling atas dari gedung asrama itu.

SISWA DILARANG MASUK!

Begitulah tulisan di pintu besi yang ada di depanku. Namun tanpa ragu aku membukanya, aku membutuhkan udara segar. Pikiranku begitu penuh dengan hal-hal yang tidak penting.

Aku menatap langit. Begitu banyak bintang yang bersinar, bahkan terlalu banyak hingga aku tak sanggup menghitungnya. Aku pernah berpikir hari hari dimana aku akan dibuang oleh ayah dan ibu akan terjadi. Namun aku tak pernah berpikir ini akan berlalu secepat itu.

Aku memeluk lenganku sendiri dengan erat. Ini musim panas tapi mengapa anginnya terasa seperti musim dingin saat menyentuh kulitku. Sekali lagi aku merasa kesepian. Sekali lagi aku harus melewati masa masa melelahkan yang disebut dengan adaptasi.

KRAAAK!

Aku membalikkan badanku. Mataku menatap sekeliling namun disni terlalu gelap.

"Siapa disana? Keluarlah!"

Tidak ada balasan. Aku bisa saja melupakan suara tadi dan kembali kedalam asrama. Namun ini terlalu aneh, angin mendadak berhenti dan tidak ada suara apapun. Aku menarik nafas dalam dan menutup mataku.

Tenang..tenang..tenang..

Berkali kali aku berucap didalam hati. Samar samar suara malam kembali terdengar. Tidak. Bukan hanya suara malam. Sesuatu mendekat ke arahku dan ini berasal dari—

TAP!

Berhasil. Sebuah anak panah berhasil aku tangkap, dari sebelah kanan. Aku membuka mata itu dan menatap panah yang aku genggam. Mataku sontak membulat dan melemparkan anak panah itu tepat sebelum benda itu meledak di tanganku.

Anak panah dengan mantra peledak. Sialan. Siapa yang berusaha menyerangku?

"Lumayan juga untuk seorang Gongju."

Sosok itu mendarat dengan lembut beberapa meter di depanku. Jubahnya berwarna merah marun dan hampir menutupi seluruh tubuhnya. Busur yang berada di tangan kirinya terlihat begitu indah dibawah sinar bulan. Aku menduga busur itu terbuat dari sejenis moonstone.

"Siapa kau? Apa maumu?"

Wanita itu menarik tudung jubahnya dan menatapku. Matanya terasa begitu dingin dan menusuk, ia memakai topeng yang menutupi setengah wajahnya. Namun auranya tetap terasa seperti manusia walaupun aku melihat sedikit kilap di matanya.

"Manusia? Aku tidak punya waktu untuk bermain main."

Perkataanku membuat gadis berambut hazel itu tertawa sinis. Tangan kanannya bersiap untuk mengambil anak panah dari belakang punggungnya.

"Aku tidak akan bermain main. Suatu kehormatan bisa membunuh Gongju sepertimu."

Kesal. Kenapa rasanya begitu menyebalkan saat ia menyebutku seperti itu. Anak panahnya bukan apa apa untukku, cukup melompat aku akan terhindar. Ia menatapku dengan datar saat aku berhasil lepas dari serangannya.

"Gongju, aku berpikir kau lah yang bermain main disini."

Suaranya begitu mengintimidasi dan membuatku kesal. Aku menutup mataku untuk beberapa saat dan kembali membukanya. Debaran itu terasa di seluruh tubuhku, warna lilac yang lembut bersinar disekelilingku. Aku ini adalah makhluk cantik yang mengerikan.

"Manusia bukan tandinganku. Lebih baik kau mundur sebelum aku benar benar marah."

Tawa gadis itu kembali terdengar namun dengan volume yang lebih keras. Kali ini anak panah yang ia ambil berbeda. Warnanya merah berkilau, Painite. Batu itu tidak akan langsung membunuhku, namun cukup untuk membuatku terluka.

"Persiapkan dirimu untuk hadiah dariku!"

Aku telah bersiap untuk membuat perisai dan melakukan transformasiku ketika seseorang lebih dulu berdiri di hadapanku dan membuat semuanya gagal. Mataku berhenti bercahaya saat bau anyir darah tercium.

Aku tak bisa melihat gadis yang menyerangku karena laki laki yang berdiri di hadapanku terlalu tinggi. Namun suara gadis itu terdengar begitu marah ketika ia mencabut anak panah yang menancap pada bahunya. Anak panah itu patah ketika ia melemparnya ke atas tanah. Batuan painite itu pecah menjadi berkeping-keping, membuat inderaku merasakan hal yang aneh.

"Aku tidak akan memaafkan orang asing yang membuat keributan di asrama."

Laki laki itu melangkah maju dengan perlahan, membuat sang gadis menjadi awas dan mengarahkan anak panahnya kepada laki laki itu. Namun dengan mengejutkan ia itu melompat dan meninju tubuh sang gadis, membuat tubuhnya terpelanting dan menabrak pagar besi yang membatasi rooftop. Besi itu bengkok. Dengan susah payah gadis itu berdiri, kini aku bisa melihat matanya yang tepat menatap ke arahku. Menatap dengan penuh kebencian.

"Aku akan kembali untuk membunuh gadis itu!"

Aku tidak bergeming saat tudung jubah itu kembali ia kenakan. Badannya dengan ringan melompat dari atas rooftop. Laki laki tadi tak tinggal diam ia berlari menuju pagar dan menatap kebawah.

"Sudah hilang."

Selanjutnya umpatan umpatan laki laki itu tidak begitu jelas di telingaku. Aku merosot dan terduduk di tempatku berdiri. Ada tetesan darah milik laki laki itu disana. Apa dia seorang manusia? Kenapa dia melindungiku?

Tanpa aku sadar sepasang sepatu telah berdiri di hadapanku. Aku mengangkat kepala dan menatap keatas. Sinar bulan dengan sempurna menyinari tubuh laki laki itu dari belakang. Rambutnya yang berwarna perak begitu berkilauan, dan wajahnya. Aku tidak bisa melihat wajahnya, cahaya bulan terasa begitu menyakitkan di mataku.

"Kau baik baik saja?"

Aku berkedip beberapa kali. Tanganku menggenggam ujung rok yang aku pakai dengan erat.

"Bagaimana kau bisa bicara seperti itu saat kau adalah satu satunya yang terluka?"

Aku tidak bisa melihat ekspresi apa yang ia miliki di wajahnya, namun ia mengulurkan tangannya untukku.

"Kedatangan seorang gongju sepertimu membuatku merasa bertanggung jawab. Jadi jangan khawatirkan lukaku."

Aku menundukkan kepalaku. Apa orang ini juga tahu siapa diriku? Mengapa tempat ini terasa membingungkan?

"Oy gongju, sampai kapan kau ingin duduk di tempat dingin seperti ini?"

Aku mengangkat kepalaku, menatap uluran tangannya. Rasanya ingin sekali aku menggapai tangan itu, namun begitu sulit untuk menggerakkan tanganku. Saat kedua tanganku berhasil menggenggam uluran tangannya, kepalaku terasa begitu berat. Tiba tiba aku bisa merasakan bumi yang berotasi degan jelas.

"Namaku Park—hei! Gongju!"

.

.

Aku berjalan sendiri, meneliti satu persatu papan kecil yang berada di atas pintu tiap ruangan. Pagi ini, saat aku membuka mata aku sudah berada di atas tempat tidur. Seulgi bilang semalam dia menemukanku tertidur di depan pintu kamar kami. Aku tak ingat kenapa aku bisa tertidur disana, apa seseorang mengantarku kesana?

Entah karena apa kepalaku rasanya begitu pusing untuk sekedar mengingat ingat kejadian semalam. Aku hanya ingat seorang manusia berambut hazel menyerangku dengan tiba tiba. Lalu apa yang terjadi setelah itu?

"Ruang kelasku..dimana tempat itu."

Aku berhenti berjalan. Menggerutu di dalam hati karena aku tidak dapat menemukan ruang kelasku sendiri. Sialnya Seulgi tidak bisa mengantarku sampai ruang kelas. Aku menghela nafas dan berharap pintu yang berada di ujung koridor adalah ruang kelasku.

STUDENT COUNCIL

"Student council" Aku mengulang tulisan yang tertera di atas pintu ruang itu.

Rasanya aku sudah berjalan mengelilingi lantai dua dan masih saja belum menemukan ruang kelasku. Aku menatap datar pintu yang berada di depanku, dewan murid. Mengingatkanku kepada laki laki arogan yang tempo hari aku temui. Pastikan besok dia tidak terlambat, Kang Seulgi.

"Benar. Kalau begini terus aku akan terlambat."

Aku melihat sekeliling. Harus kah aku menyapa salah satu dari mereka dan bertanya dimana ruangan 2-3? Tidak. Aku membenci manusia dan aku tidak akan berhubungan dengan mereka.

CLEK

Aku sedikit terkejut dan mengambil langkah mundur ketika pintu ruangan dewan murid itu terbuka. Oh Sehun. Dia berdiri dan menatapku –tatapan yang sama persis dengan tempo hari.

"Apa yang kau lakukan disini?" Suara Sehun terdengar begitu datar.

"Hanya berjalan jalan." Aku melempar pandanganku ke sembarang arah. Asal tidak bertemu mata dengan Oh Sehun.

Rasanya laki laki itu tidak berhenti menatapku. Ugh aku benci jika di tatap seperti itu oleh orang lain.

"Biar aku antar." Sehun memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana yang ia pakai. Ia berjalan melewatiku.

"Antar kemana?"

"Ruang 2-3. Pelajaran dimulai sepuluh menit lagi."

Ia membalas perkataanku tanpa menghentikan langkahnya, membuatku harus sedikit berlari agar tidak tertinggal.

"Darimana kamu tahu?" Tanyaku saat aku berhasil mengejarnya.

"Tertulis jelas di wajahmu."

Aku hanya menghela nafas dan menyilangkan tanganku di dada. Laki laki ini sangat menyebalkan. Bahkan setelah ia mengantarku ke kelas ia tak mengatakan apa apa lagi. Saat aku berterimakasih ia malah tersenyum miring dan pergi begitu saja. Manusia memang aneh.

Waktu istirahat. Aku tidak begitu tertarik untuk pergi ke kafetaria ataupun untuk bersosialisasi dengan orang orang di ruangan ini. Beberapa dari mereka menatapku kagum, mereka adalah manusia manusia pintar yang menyadari keindahanku. Dan ada pula rombongan gadis yang menatapku sebagai ancaman untuk mereka. Aku hanya tersenyum, mereka memang bodoh.

"Byun Baekhyun ya?"

Aku mengalihkan pandanganku, seorang laki laki berdiri dan tersenyum ke arahku. Aku memperhatikan orang itu. Seragamnya aneh. Blazernya berwarna hitam, celananya juga berwarna sama. Dan di kerahnya terdapat pin dengan lambang aneh pula.

"Namaku Hong Jisoo."

Aku menatap uluran tangannya dengan datar. Aku tidak tertarik menjadi teman untuk seorang manusia. Tapi ia tidak menyerah, ia menarik kursi dan duduk di sebelahku. Satu tangannya ia letakan di atas meja untuk menjadi tumpuan dagunya.

"Tadi pagi aku melihatmu bersama Sehun."

"Kamu mengenalnya?" Aku mulai tertarik dengan orang ini. Apa dia salah seorang teman dari si tuan arogan.

"Tentu saja, dia adalah orang penting di sekolah ini. Presiden dari dewan murid." Jawabnya dengan senyum.

"Tidak. Maksudku apa kau mengenalnya secara personal?"

"Mungkin bisa disebut seperti itu."

Aku memperhatikan lagi orang itu dengan lekat. Seragamnya, walaupun aneh seragam itu tidak asing. Murid murid di kelas ini seluruhnya mengenakan blazer putih dengan celana maupun rok berwarna merah dengan motif kotak-kotak. Namun blazer hitam dan celana hitam, aku pernah melihatnya.

"Ah! Seragammu!" Aku refleks bangkit dari tempat dudukku dan memukul meja. Jisoo masih tersenyum, sedangkan murid lain memandangku dengan heran.

"S-sama dengan—"

Belum selesai aku bicara Jisoo menarik tanganku, "Lebih baik kita cari tempat yang nyaman untuk bicara."

Jisoo dan aku duduk di bangku taman yang berada di tengah tengah gedung sekolah. Jisoo terlihat santai dan terus meminum jus plum yang ia beli, sedangkan aku hanya menatap kotak jus yang aku pegang dengan diam.

"Maaf untuk barusan. Aku tiba tiba berteriak."

Jisoo melempar kotak jusnya yang telah kosong dan menatapku, "Tidak masalah."

"Ah iya, seragammu—"

"Yap, sama dengan Oh Sehun. Tepat sekali."

Aku menatap Jisoo heran, aku yakin saat di kelas tadi aku belum mengatakan apapun tentang Oh Sehun.

"Ini seragam dewan murid."

Aku hampir tersedak air liurku sendiri. Seragam dewan murid? Mereka mengenakan seragam yang berbeda?

"Apakah kalian begitu spesial sampai harus mengenakan seragam yang berbeda?" Tanyaku sarkastik.

Jisoo tidak terlihat marah, ia malah terlihat kebingungan. Kedua tangannya memegang bahuku erat, ia membuat tubuhku berbalik dan menghadap ke arahnya.

"Kau tidak tahu apa apa? Apa Kang Seulgi bodoh itu diam saja?"

Aku tidak merespon pertanyaannya. Dia terlihat menghela nafas.

"Biasanya gadis pirang itu akan bermulut besar. Dia sangat bersemangat saat memberitahu kami bahwa teman sekamarnya adalah Byun Baekhyun."

"Maaf, kami?"

Jisoo sepertinya mengerti dengan kebingunganku. Ia melepaskan tangannya yang berada di bahuku lalu tertawa pelan.

"Ya, kami. Dewan murid."

"Eh?" Sontak mataku membulat. "Untuk apa Seulgi mem—"

"Sttt." Jisoo meletakkan telunjuknya di depan mulutku. "Dengarkan aku."

Dia menjauhkan jarinya dan membuatku diam, ia tersenyum sambil menatap murid murid yang berlalu lalang dihadapan kami.

"Kamu pikir sekolah ini penuh dengan manusia kan?"

Aku sedikit terkejut dengan perkatannya, namun sebaik mungkin aku menahan ekspresi di wajahku. Pikiran tentang dia yang mengetahui diriku yang sebenarnya menari nari didalam kepalaku.

"Asfaleia berati keselamatan. Sekolah ini dibangun demi keselamatan. Kau tahu keselamatan siapa?"

Aku menggelengkan kepalaku, Jisoo tersenyum dan menunjuk dengan jari telunjuknya tepat di depan wajahku.

"Kaum spesial sepetimu ini."

Aku memalingkan wajahku, "Tsk. Aku hanya seorang monster, tidak ada yang spesial tentang itu."

"Monster itu mengerikkan," Jisoo memberikan jeda sebelum melanjutkan kalimatnya, "Kau terlalu cute untuk disebut monster."

Mendadak pipiku rasanya terbakar. Orang ini sungguh bermulut manis, aku benci dengan orang seperti itu.

"Lalu apa hubungannya sekolah ini dengan dewan murid?" Tanyaku kesal.

"Kenapa kamu tampak kesal?" Jisoo menatapku –lebih tepatnya tatapan mengejek.

"Berisik. Jawab saja pertanyaanku."

"Ya kami ada untuk melindungi kaum bangsawan secara personal. Kami disebut secret service oleh kaum bangsawan."

"Secret service? Apakah kami bisa mengandalkan manusia?" Tanyaku dengan malas.

"Whoops. Kau salah, kami bukan manusia."

Secara tiba tiba Jisoo menarik tanganku membuat jus yang kupegang jatuh ke tanah. Ia menarik tubuhku ke bagian sepi di sekolah ini. Dibelakang gudang kesenian. Jisoo melepas genggamannya dan tersenyum.

"Perkenalkan,"

Angin berhembus kencang, cahaya putih menari nari di sekeliling tubuh Jisoo. Itu semua membuatku terpana. Dan saat ia selesai, pakaiannya berubah. Pakaian adat, mata berwarna abu abu yang tajam. Senyumnya tidak seperti senyum Jisoo yang sebelumnya. Ia memegang kipas tangan berwarna merah di tangan sebelah kiri.

"Perkenalkan, namaku Hong Jisoo. Siluman ular putih, orang orang di dewan memanggilku Joshua."

Aku tergagap. Kuperhatikan Jisoo dari atas kepala hingga ujung kakinya. Ini tidak bisa dipercaya, kenapa ada siluman di tempat manusia belajar?

"A-apa orang orang di dewan juga.."

"Mereka semua siluman. Termasuk Oh Sehun."

Aku diam, kepalaku tertunduk sampai Jisoo kembali bersuara, "Sekolah ini hanya kamuflase. Ini akan memudahkan kami untuk menyembunyikan kalian dari para penjaga."

Cahaya putih itu kembali dan mengelilingi Jisoo. Ia kembali ke bentuk manusianya. Aku terus memperhatikan matanya. Hitam, ini aneh ia bahkan bisa mengubah warna matanya itu.

"Aku mengenakan lensa kontak." Dia tersenyum lebar sambil menggaruk tengkuknya. Aku hanya mengangguk paham.

"Sepertinya aku harus mengenakan yang seperti itu."

"Eh? kenapa? Aku menyukai mata lilac milikmu."

.

.

Aku menghela nafas. Asrama, sekolah dan dewan murid membuatku bingung. Sudah tiga hari aku berada disini tapi aku masih saja tidak mengerti dengan situasiku sekarang.

"Tugas kami sebagai pelindung, atau hewan peliharaan mungkin?"

"Hewan peliharaan?"

"Semua anggota dewan adalah siluman kau ingat? Dan kami memiliki kontrak dengan para keturunan youkai untuk selalu melindungi dan mengikuti perintah mereka. Bukankah itu terdenger seperti hewan peliharaan? Tapi walaupun begitu aku merasa senang, karena aku merasa hidupku sebagai siluman setidaknya berguna."

"Tunggu, tadi kamu bilang kontrak? Bagaimana kontrak itu terjadi?"

"Kontrak itu sudah ditentukan sejak para keturunan lahir. Karena saat keturunan lahir, satu siluman pun lahir. Dan pada akhirnya mereka akan bertemu dengan ajaibnya. Sekolah ini sebagai perantara agar hal itu terjadi dengan secepat mungkin."

"Kamu bertemu dengan uhm—pemilik mu disini?"

"Benar sekali, tuanku bernama Im Nayeon. Dia tinggal di kamar nomor satu. Saat hari pertama kedatangannya aku merasakan debaran aneh dan secara ajaib satu file tentang kontrak dan tuanku tersimpan di atas meja dewan."

"Dan aku, maksudku—"

"Bagaimana ya, sepertinya Secret Service mu belum siap untuk menemui tuannya. Terkadang hal seperti itu terjadi. Tapi tenang, itu tidak akan lama!"

Percakapanku dengan Jisoo tempo hari kembali terulang begitu saja di kepalaku. Aku memeluk lututuku, menatap keluar jendela.

"Jadi dia masih belum siap ya." Aku bermonolog.

"Siapa yang belum siap?"

Secara tiba tiba Seulgi muncul dan duduk di sebelahku. Aku menatap Seulgi, ia masih seperti biasanya. Selalu tersenyum dan itu membuat matanya mengecil.

"Apa menurutmu menyenangkan tinggal disini."

Aku mengangguk, "Setidaknya banyak yang sepertiku disini."

Seulgi tertawa pelan, ia berdiri dan menjatuhkan badannya ke atas ranjang miliknya sendiri.
"Ahh..hari ini begitu menyebalkan, Sehun membuatku terjebak di ruang dewan murid."

Aku mengalihkan pandanganku, menatap Seulgi yang tengah menenggelamkan kepalanya di bantal.

"Apa yang kamu lakukan disana?" Tanyaku penasaran.

"Hukuman. Dia selalu memberikan hukuman karena aku tak sengaja melanggar peraturan sekolah."

"Seulgi, sejak kapan kamu tinggal di asrama ini?"

Pertanyaanku yang tiba tiba membuat Seulgi mengangkat kepalanya.

"Sejak sekolah mengah, tahun kedua."

Aku menganggukkan kepalaku. Lebih baik sekarang aku tidur, sudah terlalu malam untuk bertanya ini dan itu. Aku menarik selimut, dan ketika hendak mematikan lampu tidur Seulgi kembali bersuara.

"Apakah dia sudah menemuimu, Baek?"

.

.

Sebelumnya, maaf karena aku pakai istilah istilah dalam bahasa jepang, karena aku gak menemukan yang 'sreg' kalau pakai istilah dalam bahasa koriya Selama nulis cerita ini aku selalu bayangin rambut magenta Baek panjang sampai pinggang, warna matanya lilac. Ah pasti kawaii maksimal! Hahahaha ~ semoga cerita ini dapet banyak respon positif dari kalian yaaa :3 yosh! Tolong tinggalkan review untuk cerita ini ~

-Lilac : sejenis warna ungu, kurang lebih warna violet muda (pastel).

-Youkai : hantu atau roh atau monster atau sesuatu yang aneh (istilah dalam bahasa jepang).

-Secret Service: sama dengan body guard .