16
.
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
.
Enam belas surat, enam belas bahasa dan enam belas hari hanyalah awal dari hubungan manis yang terjalin setelahnya.
.
1.
Selembar handuk biru kini menyapa rambut hitam seorang Kasamatsu Yukio dengan lembut, membuat sang pemilik surai sewarna arang itu menoleh untuk menemukan sang pelaku.
Moriyama Yoshitaka kini tersenyum ke arahnya seraya mengusap-ngusap lembut rambut sang Kapten yang masih terselimuti bulir-bulir air dengan handuk biru di kepala Kasamatsu. "Habis mandi, eh?!" shooting guard dari tim Blue Elites itu tertawa dengan tangan kiri masih mengusap-ngusap kepala Kaptennya. "Biasakan untuk selalu mengeringkan rambutmu terlebih dahulu."
Kasamatsu mendelik bosan sebelum menginjak kuat kaki kanan si playboy dari Kaijo tersebut. "Kau bukan ibuku, Moriyama," ujar pemilik iris warna silver aqua hanya menghela nafas ketika mendapati teman satu timnya kini meloncat-loncat sambil memegangi kaki kanannya yang telah menjadi korban penyiksaan kapten sendiri. "Singkirkan tanganmu dari kepalaku sebelum aku menendang perutmu, Moriyama Yoshitaka."
"Maaf deh, maaf," Moriyama berhenti mengusap-ngusap kepala sang kapten, diiringi dengan cengiran lebar. "Ngomong-ngomong, kau mau pulang kapan?! Bareng yuk, Kobori sudah pulang lebih awal."
"Kalau pulang bersama denganku, itu sudah sepaket dengan pulang bersama Kise," jawab Kasamatsu, merogoh saku celana training-nya. "Bocah itu lama sekali dalam urusan mandi. Ngomong-ngomong, kunci lokerku mana ya?!"
Pemuda berambut legam dengan poni disisir ke kanan itu mengangkat alisnya sambil menyandarkan tubuhnya ke pintu loker Kasamatsu yang kini terasa dingin. "Namanya juga model," desah Moriyama dengan kedua tangan terlipat di dadanya. "Kau menaruhnya di mana? Tumben kau teledor."
Bunyi denting logam terdengar, membuat Kasamatsu menghela nafas lega. "Masih ada di saku celanaku rupanya. Untung tidak terjatuh saat kita maraton satu kilometer tadi." Gumam Kapten dari Kaijo High itu, mengeluarkan sebuah kunci kecil yang diketahui sebagai kunci lokernya. Tiga detik kemudian Kasamatsu pun membuka loker miliknya.
Segalanya masih tersimpan rapi di loker Kasamatsu. Handuk kecil, tas sekolah, beberapa buku catatan, papan jalan yang menjepit kertas-kertas penuh urusan basket, sebuah folder berisi data-data permainan basket Kaijo, dua botol air mineral, seragam basket bernomer empat miliknya, jas abu-abu Kaijo yang terlipat rapi, poster tim Blue Elites yang menempel di balik pintu loker,…
Tapi Kasamatsu tidak ingat dia pernah meletakan sepucuk amplop berwarna merah cerah di dekat handuk putih miliknya. Kasamatsu meraihnya secara hati-hati, menatapnya dengan penasaran.
"Wah," suara Moriyama berhasil membuat Kasamatsu lepas dari rasa penasarannya. "Surat tuh. Dari penggemar ya?! Enak sekali kau dapat penggemar. Segera buka!"
Enggan, Kasamatsu membolak-balikan amplop itu. Hanya ada tulisan 'Yukio Kasamatsu' di bagian belakang amplop misterius tersebut. "Kalau dari Organisasi Kesiswaan bagaimana?!" Kasamatsu mengerjapkan matanya kosong. "Aku tidak merasa melakukan pelanggaran apapun."
"Buka saja. Organisasi Kesiswaan tidak pernah memberikan surat tanpa keterangan lebih jelas seperti itu. Dan mana mungkin mereka kehabisan amplop putih dan menggantinya dengan amplop merah seperti ini."
Kasamatsu mengakui Moriyama benar kali ini. "Tapi aku tidak pernah memiliki penggemar selama ini. Perhatian semua gadis di sekolah ini telah terpaku pada Kise Ryouta," tutur Kasamatsu, mengerutkan keningnya. Moriyama hanya mengangkat bahu. "Haruskah aku membukanya?"
"Tentu saja," Moriyama kembali berdiri tegak. Dia menaruh dagunya di bahu kiri Kasamatsu, ikut melihat sepucuk surat itu dengan penasaran. "Buka saja. Aku sudah penasaran nih."
"Tck." Decih Kasamatsu—entah karena paksaan untuk membuka surat itu atau beban di bahu kirinya yang bertambah belasan kali lipat. Perlahan, Kasamatsu mulai merobek kertas amplop merah cerah di tangannya untuk membaca isi surat di dalamnya.
Ich liebe dich.
Hanya itu yang tertulis di suratnya. Satu kalimat itu berhasil membuat Kasamatsu dan Moriyama bertukar pandang karena bingung.
"Ini bahasa apa?"
.:.
2.
Apa-apaan dengan kelas tambahan Tata Boga untuk murid kelas tiga di Kaijo High—terlebih-lebih dilaksanakan untuk murid pria. Guru-guru sepertinya telah mengadopsi pemikiran bahwa tidak bisa selamanya wanita yang memasak di rumah. Segelintir murid menduga terdapatnya motif balas dendam di balik semua ini.
Iris biru keperakan Kasamatsu Yukio menatap datar cairan kental sup di pancinya. Wangi harumnya telah menyebar ke sepenjuru kelas Tata Boga, menandakan dirinyalah yang paling cepat menyelesaikan ujian membuat soup cream di kelasnya. Kobori Kōji menatapnya sengit dari pojok kelas, isi pancinya mengeluarkan bunyi yang seharusnya tidak dikeluarkan pada umumnya.
Seorang sensei berambut merah marun sepinggang menghampirinya, menjulurkan kepalanya untuk menengok isi panci Kasamatsu. "Kau Kasamatsu Yukio, bukan?" sang guru tersenyum lembut ke arah Kasamatsu sedangkan sang murid hanya mengangguk kaku. "Secara penampilan, supmu terlihat lezat. Mari kucicipi untuk menilai citarasanya." Dengan gerakan canggung, Kasamatsu menyodorkan sebuah sendok ke gurunya. Sensei itu menerimanya lalu menyendokkan cairan sup itu ke mulutnya.
"Enak sekali," mata sensei-nya itu kini dipenuhi binar-binar imajiner. Senyum tipis tercipta di bibir Kasamatsu. "Kau bagus dalam memasak. Mungkin masa depanmu cerah sebagai chef, Kasamatsu-san."
Dengan sopan, Kasamatsu membungkuk sembilan puluh derajat sambil tersenyum—sama sopannya seperti sikapnya. "Arigatou gozaimasu, sensei. Usulan sensei yang mengatakan aku memiliki masa depan cerah sebagai chef itu lumayan menarik," sekali lagi Kasamatsu membungkuk. "Tetapi kurasa dunia basket akan menjadi prioritasku di masa depan."
Sensei-nya kembali tersenyum. "Kau boleh kembali ke kelasmu sekarang sembari menunggu temanmu selesai," sang guru menepuk pelan bahu Kasamatsu. "Anak muda sepertimu sangat menarik."
Setelah membungkuk untuk terakhir kalinya di kelas itu, Kasamatsu segera melesat menuju kelasnya yang terletak di lantai empat. Beberapa kali ia bertegur sapa dengan anak seangkatannya dan beberapa anggota Klub Basket lainnya. Menebarkan senyum tipis kepada siapa saja yang dia kenal, dan membungkuk sopan ketika melewati guru yang kebetulan berada di lorong sekolah.
Ketika Kasamatsu membuka membuka pintu kelasnya, dia tidak menemukan siapa pun berada di sana. Kasamatsu langsung teringat bahwa murid-murid perempuan di kelasnya tengah mengikuti pelajaran olahraga tambahan yang mungkin masih berlangsung. Kapten dari tim Blue Elites itu melangkah menuju mejanya, bermaksud meraih tasnya dan menuju ke perpustakaan untuk menyelesaikan beberapa tugasnya. Menjadi siswa kelas tiga memang merepotkan.
Kasamatsu bergeming ketika menemukan selembar amplop berwarna biru langit berada di atas mejanya. Tertulis 'Yukio Kasamatsu' dengan tinta biru gelap bercampur glitter yang terkesan feminim di atas permukaan amplop itu. Dahi Kasamatsu berkerut. Apa lagi nih?!
Ragu, Kasamatsu merobek suratnya dengan hati-hati. Dia masih menghargai pemberian orang lain, toh kali saja amplop itu bisa digunakan kembali untuk hal-hal yang lebih berguna.
Kening Kasamatsu kembali berlipit ketika menemukan secarik kertas kecil di dalam amplop itu. Seuntai kalimat tertulis di atasnya dalam huruf alphabet dan ditumpahkan dengan tinta biru feminim yang sama seperti sebelumnya.
Jag gillar verkligen dig.
Rasanya Kasamatsu langsung menderita sakit kepala saat membacanya. Semuanya terasa asing di otak Kasamatsu, ia bahkan tidak mengerti satu pun kata dari kalimat tersebut. Dia membutuhkan seseorang yang memahami ragam bahasa sekarang.
.:.
3.
"Nice pass, Captain!"
Secepat kilat sang Kapten langsung mendelik. "Rasanya semakin lama kau mirip dengan Hayakawa, Nakamura. Bisakah kau diam saat berlatih dan mencapai fokus yang sebenarnya?!" tegur Kasamatsu, menunduk untuk membenarkan kaus kakinya yang melorot sampai ke betis. "Aku tidak sungkan menendangmu untuk pertama kalinya jika kau masih meneriakkan sesuatu yang sebenarnya tidak harus diteriakan lagi."
Nakamura Shinya menyeringai kecil lalu membenarkan letak kacamatanya. "Gomen gomen. Aku tidak ingin mencemari punggungku dengan tendanganmu itu, senpai," pemuda berambut pirang dengan kedudukan sebagai shooting guard itu mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi. "Yosh! Mari kita mulai lagi latihannya!"
Kobori berdecak pelan di belakang punggung Kasamatsu. "Dia terlalu sering bermain dengan Hayakawa sepertinya. Sifat berisik bocah itu telah menular sepenuhnya kepada Nakamura."
"Eh, masa-ssu?!" Kise ikut nimbrung secara tiba-tiba dengan sebuah bola basket di tangannya. "Menurutku Hayakawa senpai jauh lebih berisik daripada Nakamura senpai. Menurutku sih, tapi sepertinya mereka berdua sama-sama berisik-ssu."
Mau tak mau Kasamatsu memutar bola matanya. "Kau juga sebenarnya berisik kok, Kise."
Setelahnya Kise hanya pundung di pojok lapangan sedangkan Kobori berdecak-decak menyiratkan ironi yang mendalam. Kasamatsu hanya mengangkat bahu tidak peduli.
"Kasamatsu senpai!" seorang anak kelas satu yang ikut bergabung dengan Klub Basket—Yamoto Hidari—meneriakkan nama Kasamatsu dari ambang pintu ruang basket. Kasamatsu langsung menoleh, memberi sinyal bahwa ia mendengarkan. "Jasmu ketinggalan di toilet pria. Sudah kulipat dan kuletakkan di dekat wastafel."
"Ah, aku ingat sekarang. Aku meninggalkannya di gantungan pakaian tadi," Kasamatsu tersenyum cerah. "Kau melipatnya?! Wah, arigatou Yamoto. Kau repot-repot sekali merapikannya," dia menepuk bahu juniornya sebagai tanda terima kasih. "Kalian latihan dulu sendiri! Diskusikan kepada Moriyama mengenai mini-game untuk kelas satu dan pendalaman teknik untuk kelas dua!"
Kasamatsu segera melesat menuju toilet pria yang terletak tidak terlalu jauh dari lapangan basket Kaijo High. Lorong sekolah terasa sepi hanya diisi dengan langkah kaki Kasamatsu dan beberapa suara murid-murid kelas dua yang mengikuti pelajaran tambahan di lantai dua. Kasamatsu menambah kecepatan tempo langkah kakinya, rasanya malas kalau harus berlama-lama di lorong yang sepi sendirian.
Pelan-pelan, Kasamatsu membuka pintu toilet pria. Matanya segera menjamah ruangan besar berbalut keramik biru cerah itu, berusaha menemukan sebuah lipatan jas di setiap sudut ruangan itu. Dia menghela nafas lega ketika menemukan sebuah jas terlipat rapi di dekat wastafel terpojok di toilet pria. Kasamatsu yakin sekali itu jasnya, ia tidak bisa menyembunyikan senyum yang mengembang di wajahnya. Dia tidak tahu bagaimana nasibnya jika jas itu benar-benar tertinggal di sini dan hilang—orangtuanya belum tentu mau untuk membelikannya lagi.
Senyumnya terhapus ketika mendapati sepucuk surat terselip di saku atas jasnya. Surat lagi?! Ada masalah apa sih dengan Kasamatsu sampai dia mendapat surat dari pengirim tidak dikenal dalam tiga hari berturut-turut. Kasamatsu sudah tidak berminat dengan bahasa-bahasa aneh yang selalu tercantum di isi surat itu. Apa sang pengirim tidak tahu bahwa dia orang Jepang?!
Eu amo o jeito que você sorri.
Bahasa apa lagi ini?! Sorri?! Apa ini surat permintaan maaf?! Kasamatsu menatap dengan teliti isi surat itu. Sepertinya ini bahasa Spanyol, ada kata amo di sana. Tapi Kasamatsu sendiri tidak bisa memastikannya, terlalu sulit ditebak.
"Wah, surat dari penggemar lagi. Sedang ada yang naksir Yukio-chan nih."
Kasamatsu nyaris saja menendang perut Moriyama dengan sekuat tenaga sambil berteriak histeris—saking kagetnya. Untung shooting guard berambut hitam itu memiliki refleks yang bagus untuk menghindari tendangan maut sang Kapten.
"BAKA! JANGAN MUNCUL SECARA TIBA-TIBA SEPERTI ITU! DAN APA-APAAN DENGAN NAMA PANGGILAN YANG TADI?!"
.:.
4.
Piket memang terasa menyebalkan, bagaimana pun juga. Apalagi Kasamatsu menjalankan piket itu sendirian karena sedari tadi Hayakawa terasa bagaikan parasit baginya, terus-terusan menunjukan beberapa data mengenai sebuah SMA di Hiroshima yang katanya memiliki tim Basket berkekuatan super yang berpotensi besar memiliki masa depan cemerlang di Inter High berikutnya. Peduli amat dengan Inter High berikutnya, toh Kasamatsu sudah tidak bisa mengikuti kejuaraan itu lagi.
Hal tersebut membuat Kasamatsu merasa sedih, sedikit.
Jadi untuk melampiaskan rasa sedih dan kecewanya, Kasamatsu menyapu seisi kelasnya dengan semangat membara. Membayangkan dirinya tengah menghadang lawan yang besar, Kasamatsu memasang posisi defense saat menyapu kolong meja guru yang ternyata menyimpan banyak debu. Ia rasa jadwal piket bergilir telah menjadi debu di kelasnya. Hanya ada segelintir anak yang masih menyadari pentingnya piket, dan Kasamatsu bisa dikatakan termasuk ke dalamnya.
"Aku boleh membantumu?"
Kasamatsu segera menoleh. Dia menemukan Kobori tengah tersenyum tipis kepadanya sambil membawa seember air dan dua tongkat pel. "Aku tidak tega melihatmu harus membersihkan kelas kita sendirian. Toh hitung-hitung olahraga sore." Senyuman Kobori menyiratkan bahwa ia dengan senang hati membantu Kasamatsu, membuat Kasamatsu mau tak mau merilekskan seluruh otot wajahnya.
"Aku merasa terlalu banyak dibantu kali ini," ujar Kasamatsu, melepas headset yang sudah sejak sejam lalu bertengger di telinganya. "Aku sangat menghargai bala bantuan ini."
Kobori menggulung kemejanya hingga sesiku lalu mencelupkan salah satu tongkat pel ke seember air dan memerasnya dengan kuat. "Tidak perlu sungkan. Kita adalah teman sekaligus rekan," tanggap sang center dengan santai. "Kise Ryouta tidak menunggumu?"
"Dia ada tugas kelompok, jadi aku menyuruhnya pulang terlebih dahulu. Lagipula piket sendirian akan memakan waktu yang lama."
"Tapi kini kau sudah piket berdua denganku, sekalipun aku sebenarnya piket hari Senin," kata Kobori. Dia menoleh sejenak ke Kasamatsu. "Lain kali jika kau piket sendirian lagi, kau bisa menghubungi aku. Pekerjaanmu akan jauh lebih ringan bila dikerjakan bersama-sama denganku."
"Ha'i. Lain kali akan kucoba untuk meminta bantuanmu saat aku sedang piket."
Secara tiba-tiba, Kobori menatap lekat Kasamatsu. Sangat lekat, membuat Kasamatsu merasa bahwa tatapan itu telah menjadi magnet yang membuat kaki Kobori melangkah ke dirinya. Kasamatsu benci ditatap secara intens seperti itu. Kobori seolah sedang menelanjangi pikirannya, itu mengganggu. Jadi Kasamatsu mengambil dua langkah mundur.
"Yukio-chan,"
"Jangan panggil aku dengan nama menjijikan itu."
"Kau sedang dikejar-kejar seseorang ya?!" Kobori mulai mengepel, membuat Kasamatsu menarik nafas lega.
"Ah, benarkah?! Aku tidak merasa seperti itu…"
"Aku menemukan sebuah surat menempel di depan kelas kita sebelum aku masuk dan menemukanmu sedang asyik menyapu tadi. Tertulis nama 'Yukio Kasamatsu' di surat itu," Kobori merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah surat dengan amplop berwarna merah muda. "Merah muda identik dengan hati dan cinta. Siapa pun orangnya, pasti ini adalah surat tentang ungkapan perasaan."
Ini palingan surat yang sama seperti yang kemarin. Penuh dengan kata-kata aneh yang tidak mungkin diartikan oleh Kasamatsu sendiri.
"Kau terlalu percaya diri. Ini bukan surat tentang pernyataan cinta. Bisa dibilang, jauh dari semua yang berbau cinta," Kasamatsu membuka amplop itu dengan sedikit tidak sabaran. "Aku tidak tahu surat ini bisa digolongkan sebagai surat terror atau apa…"
Je t'aime.
"Setahuku," Kobori menginterupsi keheningan yang melanda Kasamatsu setelah membaca dua patah kata yang tertulis di surat aneh itu lagi. "Itu artinya 'aku cinta padamu' di bahasa Perancis."
Sang center langsung menatap garang Kasamatsu. "Dan tadi kau bilang ini tidak ada urusannya dengan cinta-cintaan?! Jelas ada! Ini surat pernyataan cinta, Kasamatsu!"
"Aku mana tahu itu surat tentang pernyataan cinta konyol semacam itu."
"Kau bilang ini konyol?!"
Iris biru keperakan Kasamatsu berbinar suram setelah menatap mata Kobori. "Kau harus ingat bahwa aku tidak bisa berdiri terlalu lama di depan wanita. Aku bukanlah Moriyama yang bisa saja meloncat kesenangan kalau menerima surat seperti itu."
Kobori terkikik kecil. "Jangan membandingkan sesuatu yang buruk dengan Moriyama—hasilnya akan membuat sesuatu yang buruk itu bahkan jauh terlihat lebih baik ketimbang Moriyama. Duh, untung bocah itu sudah pulang sedari awal bel pulang berbunyi dengan indahnya."
Kapten Blue Elites itu berdecak. "Aku tidak ikut-ikutan."
.:.
5.
Lantunan lagu 'Good Luck My Way' kini terdengar di telinga Kasamatsu yang sedari tadi tersumbat dengan sepasang headset yang sudah bagaikan sahabat karibnya. Jemari-jemarinya ikut menari di atas meja, mengikuti irama musik yang energik. Mulutnya membuka-menutup mengikuti pola lirik lagu sambil sesekali melirik ponselnya yang terus bergeming sejak lima menit lalu.
Hari Jum'at bisa dibilang merupakan hari yang menyenangkan di antara hari-hari lainnya. Kasamatsu bisa datang pagi-pagi ke sekolah, mendengarkan lagu melalui headset di mejanya sambil menikmati pemandangan pagi Kanagawa yang tidak terlalu sering dilihatnya. Tiap pagi seorang Kasamatsu Yukio harus ikut membantu kakak laki-lakinya membersihkan motor keluarga Kasamatsu. Tetapi hal itu absen dalam rutinitas di hari Jum'at. Maka dari itu Kaasamatsu mencintai hari Jum'at.
Buku Geografi terbuka lebar di hadapan Kasamatsu. Bukan, bukan berarti Kasamatsu sedang mengerjakan PR atau melakukan sistem 'kebut-kebutan' untuk menghadapi ulangan harian. Kasamatsu hanya sedang me-review ulang pelajarannya—contoh siswa baik yang berusaha memperbagus nilai sebelum ujian akhir. Sekali pun sebenarnya masa depan Kasamatsu terjamin dengan bakat bermain basketnya yang langka.
"Kasamatsu-kun." Seorang gadis berkuncir dua muncul di ambang pintu kelasnya, menjulurkan kepalanya ke dalam kelas Kasamatsu. Kasamatsu tidak mengenalnya, tetapi ia tahu bahwa gadis itu adalah siswi seangkatan dengannya.
Kasamatsu pun beranjak dari kursinya, berjalan menuju si gadis dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanyanya sambil melepas salah satu headset-nya. Kasamatsu berusaha mengabaikan kakinya yang mulai bergetar dan reaksinya yang mulai gugup—kelemahan terbesarnya adalah ia tidak bisa berhadapan langsung dengan gadis-gadis, sekali pun hanya untuk berbicara sepatah-dua kata.
Si gadis menyodorkan dua buku catatan ke arah Kasamatsu. "Salah satu di antaranya milik Kasamatsu-kun dan satu lagi milik Kobori-kun. Sepertinya tertinggal di perpustakaan," setelah Kasamatsu menerima buku itu, si gadis membungkuk sopan. "Kalau begitu, aku permisi dulu Kasamatsu-kun. Ohayou gozaimasu." Gadis itu langsung mengambil langkah seribu menuju kelasnya sendiri.
Diperkirakan Kobori akan datang sejam lagi, sehingga Kasamatsu membawa kedua buku itu bersamanya. Dia menghempaskan buku itu di mejanya sebelum ikut menghempaskan dirinya kembali ke kursinya. Kedua headset-nya telah terpasang di telinga, melantunkan lagu barat yang disukainya.
"Hhh… Kenapa yang lain lama sekali datangnya," Kasamatsu menatap datar ke luar jendela. "Matahari sudah terbit sedari tadi."
Galau, Kasamatsu meraih buku catatan bersampul perak yang ia duga milik Kobori. Ternyata buku Ekonomi milik Kobori-lah yang tertinggal. Tulisan Kobori yang tidak terlalu rapi terasa familiar di mata Kasamatsu. Hanya Kobori yang menuliskan O dengan titik di atasnya. Apa maksudnya coba?!
Tangan Kasamatsu beralih untuk meraih buku bersampul biru yang ia kenali sebagai miliknya sendiri. Sebenarnya Kasamatsu tidak ingat pernah meninggalkan buku catatannya di perpustakaan. Tapi ketika dia menemukan sebuah tulisan 'Kasamatsu Yukio. English Book' di sampul buku itu, Kasamatsu tidak bisa membantah bawa dia sedikit teledor dalam meletakkan benda ini. Untung saja gadis itu menemukannya, kalau tidak ia bisa mati pegal karena menyalin ulang seluruh catatan Bahasa Inggris dalam setahun ini.
"Eh?!"
Jarinya menyentuh hal yang tidak lazim di balik bukunya. Kasamatsu membalik buku itu dan hanya menarik nafas pasrah ketika menemukan sebuah surat berbalut amplop hitam tertempel di balik bukunya. Entah siapa pelakunya, Kasamatsu tidak bisa menduga-duga karena siapapun bisa melakukan ini.
Dengan tidak terlalu antusias, Kasamatsu membuka amplop hitam itu. Mengapa amplop itu harus berwarna hitam?! Jadi membuat suram pagi hari di dunia Kasamatsu.
Tu sonrisa es como una flor, me echanta.
Ada kemajuan. Ada tanda baca baru, yaitu koma.
Tapi ada satu hal yang tidak maju-maju dari beberapa hari yang lalu.
Kasamatsu masih tidak mengerti apa arti dari kalimat itu. Dan sekarang…. Ini bahasa apa lagi sih?
.:.
6.
Mata biru anak perempuan manis itu mengedip-ngedip penuh permohonan. "Ayolah, nii-san. Aku butuh enam orang untuk meramaikan acara sekolahku ini. Nii-san bisa mengajak rekan-rekan tim nii-san ke acara ini. Semuanya gratis, malah nii-san akan mendapat plus makanan ringan."
Sesosok wanita paruh baya pun tertawa kecil dari dapur. "Kapan lagi kau bisa membahagiakan adikmu, Yukio," ujar wanita itu. Terdengar langkah-langkah kecil dari dapur. "Ajaklah teman-temanmu ke sana. Bukankah keluarga Moriyama mempunyai satu anak laki-laki lagi yang seumuran dengan Yazura?! Yukio bisa ikut mengajak Yoshitaka-kun dan adiknya ke acara itu."
"Usul bagus!" sang gadis kecil bernama Kasamatsu Yazura memekik riang sambil bergelantungan di lengan sang kakak.
"Eh, memangnya Mor—maksudku Yoshitaka, mau ikut dalam acara seperti itu?!" Kasamatsu Yukio meletakkan penanya di tempat pensilnya dan membereskan kertas-kertas yang bertebaran di meja belajarnya. "Dia pasti sedang memikirkan cara untuk mendapatkan pacar saat akhir pekan. Kalau Kobori dan Hayakawa bisa kupastikan lenggang. Sedangan Kise…"
"Teman nii-san yang model itu kalau bisa dibawa! Pasti akan menaikkan pamor sekolahku!" Yazura mengedip-ngedip usil. "Akan ada yang meliput acara di sekolahku. Dan aku akan terkenal."
Pletak! Yukio menjitak lembut kepala sang adik. "Kalimat yang terakhir itu sedikit mengganggu, jujur," cibir Yukio, mengabaikan adiknya yang meringis sambil mengusap-ngusap kepalanya yang telah menjadi korban jitakan kakaknya. "Aku akan menghubunginya nanti. Memang acara sekolahmu itu kapan sih?!"
"Acaranya di akhir pekan kok, tenang saja. Tepatnya besok. Hari minggu."
"BILANG DONG KALAU ACARANYA BESOK! KALAU SEPERTI ITU AKU MANA BISA MENGAJAK SEMUA TEMAN SETIMKU UNTUK MENGHADIRI ACARA KONYOLMU TERSEBUT!"
Mengapa lama-lama Yukio jadi lebih mirip Hayakawa Mitsuhiro yang hobi berteriak?!
"Yukio, ibu tidak pernah mengajarkanmu untuk berteriak!" suara wanita paruh baya itu kembali terdengar. "Ibu tahu sebagai Kapten kau memang harus meneriakkan perintah-perintah kepada kawan-kawanmu saat bertanding, Tapi Ibu tidak mengizinkanmu berteriak di rumah, apalagi di depan adikmu."
Iris biru keperakan Yukio menatap Yazura dengan tatapan meminta maaf. "Ha'i ha'i. Gomennasai, kaa-san," dia mengelus lembut rambut Yazura yang memiliki warna sama dengan dirinya. "Gomen ne, Yazura-chan."
Yazura menatap Yukio dengan sebal. "Nii-san ambil koran sana di depan!"
Sebenarnya jengkel juga sih disuruh-suruh adik sendiri. Tapi hitung-hitung tanda minta maaf karena telah membentak adiknya tadi, Yukio hanya menghela nafas—menyeret kakinya dengan berat hati untuk menuju kotak pos rumahnya.
"Mengapa ia begitu malas untuk mengambil koran sih," gerutu Yukio, memutar bola matanya. "Dan sejak kapan Yazura ingin membaca koran?! Palingan juga Yoshiyo nii-san yang membacanya. Atau otou-san, jika dia ingat."
Dengan muka tertekuk, Yukio membuka pintu rumahnya dan menghirup dalam-dalam udara segar khas pagi hari yang menyapa Kanagawa. Senangnya bisa mendapat libur akhir pekan kembali. Seluruh anggota keluarga Kasamatsu bisa berkumpul bersama, sekalipun pada hari ini sang kepala keluarga dan anak tertua masih harus bekerja sampai tengah hari.
Yukio membuka kotak posnya. Ada koran hari ini, sebuah majalah wanita—ini pasti milik ibunya, kertas tagihan listrik (Yukio mengabaikannya) dan…
Sepucuk surat berwarna monokrom dengan kalimat 'YUKIO KASAMATSU' tertulis tebal dengan pena merah. Alis Yukio terangkat.
Wah, si maniak-pengirim-surat itu telah mengetahui alamat rumahnya… Gila. Rasanya Yukio memiliki stalker yang setia mengikutinya sekarang. Memijit kepalanya, Yukio pun terpaksa mendahulukan surat untuknya—toh ia tidak bisa memungkiri rasa penasaran terhadap isi surat untuknya itu.
Sei cosí carino cosí ho davvero vuole abbracciarti.
Tepukan halus mendarat di bahu Yukio. Yukio menoleh dan menemukan sesosok pemuda dengan tubuh setinggi seratus delapan puluh sentimeter dan iris berwarna biru yang sama dengannya berdiri di belakangnya, mencuri pandang ke kertas di tangan Yukio.
"Surat apa tuh?!" Kasamatsu Yoshiyo mengerutkan alisnya dengan sedikit penasaran. "Bahasanya aneh banget. Surat cinta ya?! Wah Yukio-chan sudah tidak takut pada cewek lagi sekarang."
Sedetik kemudian sebuah tendangan maut melayang ke kaki Yoshiyo, membuat anak tertua di keluarga Kasamatsu itu meraung seketika. Wajah Yukio memerah padam, malu atas perkataan sang kakak.
"Nii-san berisik ah!"
.:.
7.
Selembar kertas berwarna oranye, dua pemuda berambut hitam dengan gaya yang berlainan, satu gadis kecil berambut sepunggung dan tiga ponsel warna hitam-biru-silver yang berjajar di dekat telepon rumah. Tatapan dari ketiga pasang iris biru keperakan itu menyorot kepada selembar kertas oranye di tengah-tengah mereka, seolah sorotan tatapan mereka bisa membakar kertas itu dalam sekejap.
"Jadi," suara manis khas anak perempuan mengakhiri keheningan panjang nan bodoh mereka. "Ini bahasa apa, Yoshiyo nii-san?"
Yoshiyo—yang kini telah mengenakan kacamatanya—mengelus-ngelus dagunya tanda sedang berpikir. "Bahasa Islandia sepertinya. Ini huruf-huruf yang wajar ditemukan pada kosakata Icelandic," dia menunjuk sebuah huruf aneh yang menyerupai huruf 'P' dalam alphabet biasa. "Ini bacanya 'h' kalau tidak salah."
Yukio menghela nafasnya tanda ia bosan. "Ini surat untukku. Tapi mengapa kalian yang ambil pusing. Merusak hari Minggu saja."
Tatapan tajam yang tadinya menyorot ke selembar kertas tak berdosa itu kini malah berbalik ke arah ke anak tengah keluarga Kasamatsu. "Jangan mengatakan itu, nii-san," Yazura menarik nafasnya dengan hati-hati seolah mereka tengah berada dalam lab kimia penuh radiasi merkuri. "Ini adalah kepingan dari misteri yang tidak terpecahkan. Sang pengirim berusaha mengatakan sesuatu dengan bahasa lain."
"Sudah berapa kali kau mendapatkan benda sejenis ini, Yukio?" tanya Yoshiyo sambil menunjuk-nunjuk surat di atas meja yang sedari tadi mereka pelototin. "Ini bisa saja menjadi teror yang akan mengancam Yukio-chan."
"Berhenti memanggil namaku dengan embel-embel aneh," decih Yukio. "Aku sudah mendapatkan surat ini sejak hari Senin lalu. Ini surat ketujuh." Jawab Yukio tenang. Dia mulai merasa kedua saudaranya memiliki otak yang telah sepenuhnya teracuni oleh novel-novel fiktif ataupun film-film misteri.
"Mana surat-surat itu?"
"Aku simpan di loker. Kata Moriyama Yoshitaka, itu merupakan benda berharga pemberian penggemarku. Semuanya harus disimpan dan dikenang."
"Dikenang," jengit ngeri Yazura. "Benda seperti ini tidak layak dikenang oleh nii-san yang baik."
Pandangan Yukio kembali melayang ke kertas surat oranye itu. Sebuah kalimat kembali tertulis di atas sana. Kalimat yang tidak bisa dimengerti Yukio karena bahasanya. Jika si pengirim menggunakan bahasa Inggris, Yukio masih bisa mengerti. Tetapi bahasa Islandia?!
Ayolah, Islandia hanyalah negara kecil yang terletak di Eropa Utara. Siapa juga orang Jepang yang akan peduli dengan bahasanya?!
Mér finnst þér.
"Tunggu," Yoshiyo beranjak bangkit, meraih ponsel hitam yang diketahui adalah miliknya. "Kita bisa menggunakan kamus online untuk memecahkan masalah ini."
Jeder… Kenapa itu tidak terpikirkan oleh Yukio sendiri?!
"Benar. Kamus online," desis Yazura, membuat ruang tamu keluarga Kasamatsu terasa angker. Mata biru keperakannya berkedip-kedip pelan, menimbulkan kesan (sok) mistis. "Kita membutuhkan benda itu sekarang. Di mana kita bisa mendapatkannya?"
Tak ada satupun yang menyangka putri bungsu keluarga Kasamatsu sangatlah kurang update sampai-sampai tidak mengetahui definisi sebenarnya dari kamus online.
"Dia masih bocah, dia masih bocah…," bisik Yukio kepada dirinya sendiri.
Jari-jemari Yoshiyo dengan lincah mengetik di keypad ponselnya. "Untung sekali ada keyboard virtual di layanan kamus online ini. Aku tidak perlu memeras otak untuk mengetik ulang kalimat aneh ini."
"Ya ya, cepatlah nii-san," tanggap Yukio, kini sudah digandrungi rasa penasaran akan arti dari isi surat ketujuh yang diterimanya. Yukio memeluk lututnya sendiri sambil memajukan bibirnya, sebenarnya sudah tidak sabar sih. Tiba-tiba ponsel berwarna silver berbunyi, membuat Yukio mendesah tertahan. "Ah, siapa lagi sih yang menelepon."
Yukio segera menyambar ponselnya. Tertulis nama 'Kise Ryouta' di layar ponselnya dan nada dering lagu barat kesukaannya. Menghela nafas, Yukio segera menyambar ponselnya. "Bocah ini merepotkan," gumam Kasamatsu lalu beranjak berdiri. "Sabar sebentar, aku harus mengangkat telepon dari Kise. Kalian lanjutkan saja penelitiannya, aku akan menyusul nanti." Dan dia segera melesat menuju ke kamarnya dan mengangkat telepon dari Kise.
"Astaga…"
"Apa?! Apa?!" Yazura meloncat-loncat penuh semangat di balik punggung Yoshiyo. "Kau menemukan apa, nii-san?!"
"Arti dari surat ini ekstrim, Yazu-chan…,"
"Memangnya artinya apa?"
Mata Yoshiyo berkilat di balik frame kacamatanya. "Artinya, aku menyukaimu."
Telah diputuskan telak. Surat itu merupakan surat cinta untuk Kasamatsu Yukio dari seseorang yang mengaguminya.
.
To be continue
.
A.N : Hari kedelapan dan seterusnya masih in-progress yuhu! Kobori nista banget ya ;; Terus Hints dari MoriKasa-nya gak nahan doh, awas entar Mas Ryouta ngamuk lho/?
Saya juga bingung ini mau jadi pairing apa, saya berdoa semoga jadi KiKasa karena memang tujuan awal FF ini adalah KiKasa. Tapi kalau MoriKasa atau KoboKasa dan yang paling parah AoKasa(?) saya juga gak tau deh /.\ yang bikin cerita siapa sih nih /bakamodeon/
Ngomong-ngomong, 16 itu adalah tanggal ulang tahun saya yang jatuh tempo pada hari ini ;; otanjoubi omedetou to me #abaikan
Mind to RnR, minna?
