"Ada penyesalan yang tak terucap, dan itu membuat hatinya remuk redam."
...***...
...***...
Ad Infinitum
Mosaik 1 : Inferno
ditulis oleh:
emir
Disklaimer:
Shingeki no Kyojin milik Hajime Isayama.
Tulisan ini hanyalah fiksi belaka. Saya tidak mengambil keuntungan materi sedikit pun dari fanfiksi ini.
Bila terdapat kesamaan tokoh, plot, atau seting, semua karena unsur ketidaksengajaan.
Catatan:
Underworld!AU. Sekuel dari Bintari.
...***...
...***...
Selamat membaca :)
…..
...*...*...
…..
Lembah itu begitu sunyi ketika Eren membuka matanya. Ia tersangkut di batang pohon yang juga tersangkut di pinggir sebuah sungai. Susah payah ia seret tubuhnya untuk menjauhi aliran air itu. Meski tidak berarus deras, air di sungai itu amat dingin hingga menusuk tulang. Jernihnya air sungai itu dapat memantulkan wajah Eren saat ia berinisiatif untuk membasuh wajahnya. Airnya masih sedingin es, tentu saja. Ia mengumpat.
Tanah yang didudukinya terasa kasar, begitu pula dengan ilalang di sekitarnya. Di sekelilingnya tidak jauh berbeda, hanya ada satu dua pohon yang membisu, meranggas. Entah masih bisa disebut tumbuhan atau tidak. Batang dan dahan mereka kurus, dan tak ditumbuhi helai daun satu pun. Kering mersik, menggiriskan. Kontras sekali dengan sungai di belakangnya.
Eren bangkit dari posisinya. Telapak kakinya yang tak memakai alas bersentuhan dengan rumput mati di bawahnya, kasar sekali. Apa di sini sedang musim kemarau? Entahlah, siapa tahu, dan tidak ada seseorang selain Eren di sini.
Ia tercengang memandangi delapan penjuru mata angin, karena tak ada satu pun yang dikenalinya.
Langit di ujung sana dihiasi semburat jingga yang hanya memberi dua kemungkinan, matahari hendak terbit, atau matahari baru saja tenggelam. Ia tidak tahu sekarang memasuki waktu apa. Sementara langit di atasnya terlihat kelam. Barangkali ada satu atau dua sinar katai yang dapat ditangkap matanya untuk dijadikan kompas konvensional. Namun tidak ada satu pun, dan itu sangat tidak membantu.
Ada satu dan dua alasan Eren enggan mengalihkan pandangannya. Sesaat, ia mendongak persis orang dungu, terserap dalam magisnya langit hitam legam.
Embusan angin menerbangkan rumput-rumput kering dan debu yang menyesakkan. Eren memilih mengalihkan pandangan dari langit, kemudian mengikuti arah angin, meski ia tak tahu akan diantar ke mana. Embusan angin itu pula yang membawanya ke arah yang diam-diam ia anggap sebagai timur. Ia tidak tahu apa-apa karena baru saja membuka mata, maka ia anggap semburat jingga itu adalah fajar menyingsing. Cahanya yang menyala-nyala seakan memanggilnya. Biar saja, toh hanya ia yang tahu isi pikirannya. Seenaknya saja ia putuskan destinasi, meski tidak terlihat belantik untuk memvalidkan arah yang ia tuju.
Ia berjalan dengan linglung, berusaha mengingat bagaimana bisa ia sampai di tempat antah berantah itu. Matanya terpejam erat, dan ada rasa sakit yang mendera ulu hatinya dengan tiba-tiba. Namun, ia tidak mendapatkan apa penyebabnya.
Eren berhenti sejenak, mendecih kasar sebelum berujar dengan lirih, "Tidak ada jalan untuk pulang, eh?"
Tentu saja tidak ada jalan untuk kembali, bahkan sesungguhnya ia tidak tahu dari mana ia datang.
...***...
...***...
Ia hanya membutuhkan satu hal; ia ingin tahu tempat macam apa ini. Satu keingintahuan beranak pinak menjadi beberapa pertanyaan. Bagaimana ia bisa sampai di lembah itu? Kenapa ia tidak ingat satu hal pun? Kenapa tidak ada satu pun orang yang bisa ia temukan? Kenapa semburat jingga itu tidak beranjak? Apa bumi lupa berotasi? Kenapa perih yang dirasakannya kembali lagi? Masih banyak hal lain, dan Eren tak sanggup merangkum mereka semua.
Mau ditanyakan kepada siapa pula? Seandainya Eren bisa mengajak bicara pohon sekarat dan rerumputan kering di sekitarnya, sudah ia tumpahkan semua pertanyaannya dari tadi. Sekaligus ia ingin mengorek kenapa mereka kering sekali, tetapi tidak, semua itu tidak dapat dilakukannya. Ia masih satu-satunya manusia, dan sekelilingnya tidak ada hal hidup yang dapat diajak bercengkerama.
Ingat, Eren masih ingin pulang.
Ia mendudukkan diri di bawah pohon yang sepertinya masih ada harapan untuk hidup, masih ada tunas daun yang yang menyembul di antara ranting kering. Ia lelah sekali. Sudah berapa lama ia berjalan? Ia merasa sudah berjam-jam sejak pertama kali ia membuka mata, selama itu pula banyak hal yang berkecamuk di pikirannya. Seolah bersamaan dengan setiap langkah kakinya, muncul pula satu pertanyaan. Namun, berbanding terbalik dengan pertanyaan yang muncul, tidak ada satu pun yang mendapat jawaban.
Eren takluk, rasa sakitnya menjalar ke mana-mana. Ia ingin sekali berteriak, tetapi ia memilih untuk menggigit bibir bawahnya demi menahan nyeri. Rasa sakitnya bukan karena ia memiliki penyakit tertentu, Eren yakin itu, melainkan rasa sakit yang muncul ketika ia melupakan sesuatu, dan sesuatu itu sangat penting baginya. Menyakitinya.
Sekuat tenaga ia mengingat, karena ia ingin sekali ingat.
"Astaga, kepalaku bisa pecah!"
Dadanya sesak, berat sekali mengambil satu tarikan napas. Ia tundukkan kepalanya ke bawah, tanah yang mengering terpantul di matanya.
Tidak dirasakannya udara melewati lubang hidungnya, sekuat apa pun ia mengekspansi dadanya. Hei, apa-apaan ini? Bagaimana ceritanya manusia bisa hidup tanpa udara?
Ia paham satu hal yang krusial mengenai kehidupannya.
Kedua matanya terasa perih, serasa tersulut api. Ada satu anak sungai tercipta di ujung matanya. Air dari sungai itu mengalir diam-diam membuat jalan mereka sendiri, kemudian jatuh menghunjam rumput kering di bawah sana. Satu tetes, dua tetes, dan tetesan lain yang tak perlu dihitung.
Ia tidak dapat menemukan potongan ingatannya. Memorinya terpecah menjadi mosaik kecil.
Lalu apa?
Mosaik kecil ia tangkap, ia dekap kuat-kuat. Ia ingat Mikasa menyelipkan koin di saku kemejanya, entah kapan. Hanya itu, dan matanya masih terasa panas.
Katakanlah ia memiliki satu penyesalan kecil, kenapa ia tak rutin menemui pendeta Nick sesuai janjinya.
Kedua matanya masih berpijar, dan hatinya remuk redam.
...***...
...***...
"Jadi, sekarang maumu apa?"
Eren bergeming, tidak dijawabnya pertanyaan itu. Lamunannya terpotong. Di saku celana kanannya, ia menyimpan koin pemberian Mikasa. Digenggamnya eret-erat, sampai memutih buku-buku jarinya. Ia tidak ingin menyerahkan koin itu kepada siapa pun, terutama pria besar di hadapannya. Namun, tidak, tidak perlu ada seorang pun yang tahu. Eren menyembunyikan pikirannya dari dunia, tentu saja.
"Kuulangi sekali lagi, sialan! Sekarang maumu apa?" suara lantang itu terdengar kembali.
Kali ini, Eren mendongakkan wajahnya. Muka bertemu muka.
Pria itu bernama Reiner, perawakannya besar, mirip prajurit bangsa Spartan. Tubuh besarnya tertutupi jubah hingga menyentuh mata kaki. Wajahnya tertutup bayangan tudung kepala hingga menutupi seluruh muka. Eren hanya bisa melihat dagu berkerut pria itu. Sebenarnya, Eren tidak benar-benar bertemu muka. Ah, suaranya saja sepertinya sudah cukup.
"Apa kau tidak mau menyeberang?"
Bibir Eren bergerak seinci, tatapannya nanar, "Apakah ... harus?"
Si pria berjubah menelengkan kepalanya, tudungnya sedikit tersibak. Biji matanya terlihat, setajam belati, seakan siap menguliti. Pun ia merasa dongkol terhadap dua untaian kata tidak berguna yang didengar telinganya.
Suara makin parau karena terlalu banyak berteriak, "Pasang telinga lambingmu! Sekarang kaupilih menyeberang atau kau akan kutinggalkan hingga membusuk di sini." Pria itu meludah, "Makhluk-makhluk tolol seperti kalian itu yang sangat aku benci! Kalian hanya menghambat pekerjaanku!"
Reiner menghantamkan ujung dayungnya pada bahu Eren, "Kaudengar aku, 'kan, Tuan!"
Eren jatuh tersungkur, ia pandangi pria itu lalu beralih pada orang-orang di belakangnya. Antrean mengular hingga ujung yang tak terlihat. Anak-anak kecil yang tidak dapat menyeberang, berlarian atau duduk, sibuk sendiri membuat menara dari batu seukuran kepalan tangan. Tidak ada yang peduli, padanya atau pada mereka.
Dari posisi Eren, wajah si pria makin terlihat jelas. Matanya berkilat garang di sana.
Kini semua terlihat jelas. Fajar yang ia tuju membuatnya bertemu dengan sungai lain. Sekilas terlihat sama dengan sungai sebelumnya. Namun, sungai yang ia temui memiliki seorang penjaga, Reiner, seorang yang seharusnya menyeberangkan Eren sejak 25 menit yang lalu, mungkin?
Perlahan, mosaik memori Eren mulai tersusun, tersusun tepat pada ceruknya. Nalarnya perlahan mulai bertindak, perlahan, perlahan, hingga mendentingkan lonceng di otaknya. Dentingan kecil itu membawa suara lonceng lain dalam irama konstan. Namun, suara itu makin lama makin banyak, sahut menyahut, riuh tidak terkendali. Ada banyak hal yang ia mengerti dalam satu waktu, dan itu membuat kepalanya mengembang seperti dipompa gas helium.
Hilir sungai yang dijaga pria itu berujung pada kaki langit bersemburat jingga. Satu hal yang Eren tahu, jingga itu bukan merujuk pada terbitnya matahari atau tenggelamnya benda langit yang sama.
Angin kering dan langit jingga itu telah bersekongkol merayunya untuk mendekat.
"Sialan!"
Pantas saja ia tidak merasa ragu untuk menyeret kakinya. Sejak awal harusnya ia tahu, ia tidak akan pernah kembali, dan tidak ada jalan untuk kembali.
Eren bangkit, koin di kantungnya ia genggam erat-erat, masih sampai membuat buku-buku jarinya memucat. Sambil menunduk, ia tarik tangan kanannya, lalu ia julurkan. Terpaksalah ia menyerahkan koin kusam satu-satunya kepada si pria besar meski tidak rela. Ia penuhi syarat utama.
Reiner mempersilakan Eren menaiki perahu kayu ringkihnya. Lentera di haluan berpendar, menyambut Eren datang.
...***...
...***...
Mereka diam, saling tidak peduli lebih tepatnya. Eren duduk di haluan menghadap lentera satu-satunya, meski tatapannya menerawang, menembus barikade lagit kelam. Rekaman salam terakhir penuh kepedihan dari saudarinya kembali terputar.
"Hei, Tuan," panggilnya pada si pendayung.
Reiner hanya mendengus sebagai balasan, acuh tak acuh.
"Pernahkah sekali saja memikirkan bagaimana seandainya Anda tidak lagi punya rumah untuk pulang?"
"Tidak," Reiner berdehem untuk mengurangi suara paraunya. "Rumahku bukan rumah seperti yang ada di pikiran kalian."
Eren mengumam, lalu kembali berujar pendek, "Aku ingin pulang."
"Tidak hanya kau, semua pun begitu."
"Termasuk Anda?"
"Sudah kubilang, tempatku pulang tidak seperti yang kaupikirkan."
"Anda tidak tahu apa yang saya pikirkan loh."
"Peduli setan."
"Hei, Tuan. Tahukah Anda ..., aku masih punya utang yang harus aku lunasi. Sayang sekali, selamanya akan menjadi utang."
Api dalam selubung kaca di haluan bergoyang pelan ikut mendengarkan. Sejurus kemudian, Eren melanjutkan, "Kira-kira, dia marah tidak ya, kalau aku tak menunaikan janjiku?"
"Entahlah. Jangan tanya padaku."
Eren mendelik, sejurus ia tergelak.
"Maaf saja, Tuan. Kali ini, aku sedang berbicara pada diriku sendiri."
Ujung matanya menangkap sosok Reiner tanpa repot-repot memutar leher. Sepertinya perjalanan mereka masih jauh, Eren merasa tidak sejengkal pun ia bertambah dekat dengan si kaki langit jingga. Semua pertanyaan di benak Eren meluruh, karena sebagian telah terjawab, sebagian memiliki jawaban pasti tanpa perlu dicari.
"Huh, bulan berakhiran –ber selalu identik dengan hari hujan, 'kan?"
Reiner mendayung dalam diam, sesekali dayungnya tersangkut pada batang kayu yang tenggelam.
"Sekiranya aku mendapatkan keringanan, sekali saja. Setidaknya aku ingin mengucap terima kasih pada satu orang, pada banyak orang. Selanjutnya aku akan menyerah. Aku sudah terlalu lelah."
Sekarang pahamlah ia, kenapa ada rasa menyakitkan yang tidak mau hilang.
Hanya terdengar suara gelombang air sungai yang menyibak perahu. Selain itu, hening.
"Hei, sekarang aku berbicara pada Anda, Tuan."
Reiner memutar bola matanya bosan, "Ya ..., ya ..., katakan saja semua ocehanmu pada hakim besar nanti."
"Bisakah Anda tidak menyinggung hal itu untuk sementara waktu? Candaan itu tidak lucu, sama sekali tidak, setidaknya untukku."
"Di tanah ini? Kau yang bercanda!"
Reiner kembali bersuara, "Bersyukurlah, kau bisa melewati sungai ini. Kaulihat bocah-bocah yang berkeliaran di hulu tadi? Tidak ada orang yang cukup baik untuk memberikan bekal kepada mereka."
Eren teringat koin yang ia genggam mati-matian tadi.
"Bersyukur pada siapa? Pada Tuh—" Eren terbatuk, lehernya tercekat. Tidak bisa ia ucapkan nama kudus itu.
"Bersyukur kepada siapa pun yang telah mengasihimu, tentu saja."
"Ah, aku pernah mendengar nasihat semacam itu. Terima kasih telah mengingatkanku, tapi aku hanya punya satu orang yang mengasihiku, dan ia adalah saudariku."
"Apa saudarimu yang memberi nasihat itu?"
"Bukan, orang lain. Ia yang telah menyatukan lenganku."
"Maka, jangan membuat orang-orang baik seperti mereka menyesal telah memberikan kasih untukmu."
Keyakinan Eren goyah, ia tidak ingin menyerah, setidaknya untuk sekarang. Ia bangkit. Senyum lembut yang terlihat getir terulas di bibirnya. Sungguh, ia tidak ingin takluk.
"Maafkan aku, untukmu Tuan, dan tolong sampaikan permohonan ampunanku untuk Sang Maha Kudus. Meskipun aku yakin apa yang aku lakukan takkan diampuni-Nya."
"OI—"
Belum sempat Reiner menyahut, Eren telah berbalik menatap dengan sepasang mata nyalang. Sekonyong-konyong, ia merebut dayung yang diganggam Reiner. Perahu kecil itu oleng ke sana-kemari.
Reiner menghempaskan Eren jatuh hinga menghantam pinggiran perahu, kemudian dayung di genggamannya ia arahkan kepada Eren. Sementara Eren menghalaunya dengan kakinya, dayung itu patah menjadi dua bagian.
Serta merta Eren bangkit, menyepak bagian tungkai Reiner tepat pada tendon Achilles—jika memang anatomi itu eksis di sini—dan membuat keseimbangan Reiner goyah. Memanfaatkan momentum, Eren meraih lentera, memecahnya, dan mengarahkan pecahannya pada titik pembuluh darah besar di leher Reiner—sekali lagi, jika anatomi itu eksis di sini—berulang kali. Namun, Reiner masih sempat menusukkan potongan tajam dayung itu pada tungkai kiri Eren.
Si lentera telah khatam riwayatnya, otomatis kegelapan menelan mereka bulat-bulat. Satu-satunya cahaya hanya semburat jingga di ujung sana, tetapi itu masih jauh, sangat jauh.
...***...
...***...
Mosaik 1 : Selesai
…..
...*...*...
…..
'Emir is typing' corner :
Sesuai status FB waktu saya punya ide buat nulis ini, saya gak tahu eksekusinya jadi kayak apa, karena saya sebenarnya pingin banget nulis satir. Daripada cuma publish disclaimer doang sih *apa?*
Satu hal yang pasti saya gak akan bilang Eren sebenarnya ada di mana. Silakan tebak sendiri yak www ....
Terima kasih sudah berkunjung. Sampai jumpa di mosaik 2.… :D
Wkwkwkwk-land, 3 Desember 2017
...***...
Epilog
...***...
Dari kegelapan, pria bertudung muncul beserta perahu ringkihnya menuju hulu. Ia terduduk malas sambil tetap mendayung dengan pelan. Setelah perahu itu ditambatkan pada tiang pancang, pria itu berdiri tertatih, kemudian ia merogoh saku jubahnya. Entah kenapa, tinggi badannya berubah. Dibandingkan sekarang, ia tidak setinggi sebelum ia mengantarkan seorang pria lusuh berambut gondrong tadi. Mungkin karena tungkai kirinya pincang. Lagi pula tidak ada yang peduli dengan perawakannya.
Tanpa mengucap sepatah kata, ia lemparkan koin-koin pada anak-anak yang berkeliaran di pinggiran sungai, entah yang termenung, yang bermain, atau yang sedang menyusun menara dari batu.
"Pasang telinga lambing kalian! Simpan itu baik-baik, kalau tidak, aku takkan sudi menyeberangkan kalian!"
...***...
...***...
