Kelanjutan fanfiksi ini dapat dibaca di Wattpad/AO3 Aratte.
Update! 23/11/2016: Untuk info selengkapnya serta alasan mengapa saya memindahkan dan menghapus sebagian cerita R18 ini dari FFN, saya telah mencantumkan penjelasannya pada profil FFN saya. Bila ada yang berkeberatan dengan keputusan ini, harap langsung mengontak saya secara pribadi via email (info contact ada di profil FFN saya).
Terima kasih.
PS: Di bawah ini adalah sebagian dari fanfiksi Siren Call yang bisa dibaca di sini. Untuk kelanjutannya, silakan dibaca di AO3 dan Wattpad.
.
.
Teluk Shiganshina sunyi mencekam. Berbatasan dengan dinding rendah tinggi enam kaki, bertemu muka dengan samudra, ia adalah distrik pertama yang tertimpa pandemik. Wabah laut tak bernama akibat kutukan seseorang. Pada umumnya membunuh satu dusun kurang dari seminggu, namun Shiganshina tidak semudah itu takhluk.
Penyebaran virus pandemik diketahui setelah menghirup udara pantai, maka mereka bepergian dengan jubah panjang tertutup dan masker dari kain. Gerakan cepat, jalan setengah berlari, napas tertahan. Pintu dan jendela berpaku kayu. Hewan ternak dituntun masuk ke dalam kandang dan digrendel. Siang hari penduduk mengisolasi diri, dan malam hari keluar rumah membeli stok bahanem pangan—memborong habis satu warung bila perlu. Yang sedang sakit meregang nyawa di ranjang masing-masing. Yang bosan hidup berkeliaran di jalanan sambil menenteng konyak dan rum, ditemukan tewas berubah bentuk 12 jam kemudian. Para pesakit berubah bentuk tubuhnya seperti kondisi mayat membusuk tiga hari di bawah tanah. Terkadang ada belatung menggeliat di bawah kulit, atau bernanah dengan totol-totol hitam seperti singa laut berpenyakit. Simtom paling parah adalah perubahan tubuh menyerupai predator laut. Tetangga Kakek Arlert membengkak perutnya seperti ikan gembung, dan kulit mengelupas seperti ikan sekarat. Setelah tiga bulan, angka korban mencapai 65% penduduk.
Jaeger Eren, 14 tahun, anak dokter, adalah satu dari 35% penduduk sehat, dan satu-satunya yang tidak takut wabah penyakit.
Semestinya malam itu cerah. Bulan sedang penuh, naik di atas langit menerpa daratan dengan bayangan putih kelabu, pun tertutupi awan-awan tebal yang berarak mengumpulkan hujan badai. Satu-satunya penerangan jalan adalah warna kuning oranye dari jendela rumah penduduk. Dengan langkah berderap Eren berlari menantang maut. Dia keluar mengandalkan jubah tipis, kaus katun, kain pembungkus kepala, celana cokelat sebetis dengan ikat pinggang penyandang belati, dan tanpa alas kaki.
Di tepi pantai, Eren menyingkap jubah. Kulitnya kecokelatan mengkilap seperti kulit kacang. Wajahnya masih bocah, pipi tembem dengan alis mata tebal yang berkerut penuh emosi.
Perahu mungil tertambat di dermaga didorong menuju lepas pantai. Eren melompat naik dengan dua dayung kayu. Mata zamrud menembus kabut tipis gelap. Di bawah awan yang berarak, kondisi laut mengerikan. Airsedang tidak pasang, tetapi bisa kau lihat garis horizon bergelombang. Kilat plus gelombang tinggi menggulung-gulung. Angin bertiup tidak stabil menandakan cuaca sedang bergemuruh di selatan, laut diaduk-aduk angin badai hingga membentuk lubang menganga. Kau terhisap ke dalam lembahnya dan berputar-putar hingga terbenam ke dasar laut, tulang belulang tak akan pernah ditemukan. Kondisi paling sempurna untuk pelaut cari mati, atau bagi yang ingin bunuh diri. Kematian cepat dan cukup menyakitkan.
Kebetulan Eren dijuluki "Si tukang cari mati" oleh anak-anak kampung.
Armin Arlert berlari sepanjang pantai, tersandung dan meringkuk di atas pasir abu. Dia terbatuk. "Eren! Kau sudah gila!" pekiknya. "Jangan cari mati! Kau hanya akan mati!"
Tidak menggubris Armin yang kepala dan rambutnya sudah membengkak seperti jamur, bajak laut cilik menarik sauh. "Lihat saja Armin! Kau tunggu aku di situ."
Angin kuat datang dari selatan, dari badai tengah laut yang bentuknya meniru kipas raksasa. Jaraknya lebih dari seratus depa, tapi anginnya menekan haluan perahu mungil. Eren tak perlu usaha keras untuk kabur dari bibir pantai. Ombak menghantarkan perahu ke tengah, dengan kecepatan tidak manusiawi, tak terkendali, berputar-putar. Panik, Eren memukulkan dayungnya ke samping saat ombak mengempas lambung kapal. Otot-otot di lengan mencuat karena terlalu kuat mengayuh dayung. Perahu itu hanya berdiam di tempat, kesulitan menentang arus, hampir terbalik jika Eren tidak menjatuhkan berat tubuhnya ke buritan perahu. Kedua dayung terlepas dari tangan, mengambang sebentar dan tahu-tahu sudah terhisap ke dalam lautan. Garis pantai menjauh. Kepala jamur Armin mengecil. Eren menggertakkan gigi dan berdiri di atas perahu yang oleng. Dia hanya anak dokter, bukan pelaut, tapi kau tidak bisa memutarbalikkan determinasi kuat dari seorang bocah pemimpi sepertinya.
Gelap pekat. Cahaya penuh rembulan hanya dapat sedikit memantulkan warna keperakan dari cat putih perahu, selebihnya hitam. Berpegangan pada kedua sisi perahu, Eren menajamkan manik zamrudnya. Pusara air gelap adalah arah yang benar. Dia hanya perlu tahu syarat untuk bertemu kematian. Hanya satu kali kesempatan untuk membuktikan mitos dan cerita para kelasi yang tak pernah pulang dengan selamat.
Kalau dia gagal—itu urusan nanti.
Dia sudah dekat. Pusaran air gelap menghisap apapun yang datang mendekat. Gelombang ombak naik setinggi bukit kecil dusun asalnya. Perahu Eren terbawa naik, naik, naik ke puncak. Tinggi, semakin tinggi, dan siap terjun bebas ke bagian lain ombak yang menjorok turun. Perahu mungil itu kuat, tanpa beban menjatuhkan Eren ke dasar gelombang. Teriakan Eren beradu dengan bunyi petir. Dia selamat tanpa terlempar ke dalam air. Sekujur tubuhnya menggigil diguyur air.
Setelah dia mendarat dengan selamat dan terus terapung menuju pusaran, dia mendengar suara.
Sebelum mati kau bisa mendengarnya—menurut pengakuan kelasi-kelasi selamat itu.
Suaranya sendu, diproduksi oleh pita suara emas tak kasat mata. Tak ada daratan atau pulau, tapi bisa kau lihat ilusi batu-batu karang berkabut. Ekor duyung mengepak keemasan di permukaan air, dan dilihat lebih dekat, berwarna kelabu karena ditimpa purnama. Dia bersurai merah, panjang terurai dan berwajah sangat cantik—tapi menurut kabar, wajah mereka hanya tipuan mata. Mereka makhluk haus darah, bernyanyi untuk menarik pelaut datang. Tubuhmu akan terseret di dasar laut untuk disantap. Siren adalah sebutan mereka.
Kebetulan Eren kebal dengan wanita—maksudnya, karena wanita tak dapat mengalahkan mimpinya menjadi bajak laut. Hipnotis putri duyung tak dapat mendobrak dinding kewarasan—atau keras kepala—milik Eren. Bila perahu mungil itu mendekat, salahkan arus ombaknya. Eren tidak ingin menantang si putri duyung bertarung, tapi senang bukan kepalang ketika dapat bertemu. Karena menurut mitos dan cerita, bila pelaut bertemu sang siren, maka ia sangat dekat dengan kematian.
Karena makhluk cantik berbahaya ini adalah dayang sang kapten penguasa tujuh lautan.
Setelah mengumpulkan udara ke dalam relungnya, Eren berteriak, "KAPTEN LEVI! AKU TAHU KAU DI SINI!"
Jejadian duyung tersentak kaget, berhenti bernyanyi.
Kedua tinju berkepal, Eren mencak-mencak kesetanan di atas perahu. "AKU DATANG MENEMUIMU! AKU DATANG UNTUK—"
Siren menguatkan suara nyanyiannya, ingin menyaingi teriakan histeris si bocah.
Eren memelototi wajah cantik itu, tak mau kalah dia berteriak sampai tenggorokannya sakit. "KAU DENGAR AKU? AKU INGIN MENANTANGMU."
Agaknya sang Siren kecewa dengan mangsanya yang masih bocah (yang tidak menggubrisnya dan sangat ingin mati). Suara nyanyian meredup, perlahan menghilang terabaikan.
Eren terengah, mencari-cari tanda. Perahunya sudah berputar entah empat atau lima kali. Mungkin dua puluh kali putaran lagi sebelum ia terhisap ke dalam lubang, dan dia akan benar-benar mati. Ruhnya tak akan tenang di neraka karena bunuh diri tak membuahkan hasil.
Eren berteriak lagi, "KELUAR SEKARANG ATAU KUANGGAP KAU PENGECUT, KAPTEN LEVI?!"
Yang menjawab gertakannya adalah sang siren. Paras cantik bersandar di bibir perahu kampung. Jarinya dingin menggelitik ujung kaus pudar si bocah ngotot. Suaranya tidak sehalus nyanyiannya. "Bocah. Kau masih bocah," kata makhluk itu. "Apa maumu berteriak-teriak dan membuat kupingku sakit?"
Eren menepis tangan dingin itu. "Jangan ganggu aku, iblis. Aku datang ke mari ingin berurusan dengan Raja Bajak Laut! Aku tidak mungkin jatuh cinta padamu, kau tak bisa mencium dan memakanku. Suaramu juga tak semerdu kata mereka!"
Eren semestinya berhati-hati, karena iblis apapun akan sangat mengerikan ketika marah.
Hanya sedetik, wajah cantik itu berkerut marah menampakkan taring. Tubuh siren terangkat naik oleh bantuan ombak, semakin tinggi melampaui perahu mungil. Siren berbadan separuh manusia dan bagian bawahnya menyerupai ekor duyung. Sirip keemasan itu pecah bersama buih-buih air. Dia mendesis dan menggeram seperti singa. Dia siap melompat dan menangkap tubuh Eren bilahan tajam giginya, tapi tidak dia lakukan. Makhluk itu memilih untuk tenggelam bersama pusaran air.
Mendelik takut, Eren menarik satu-satunya belati di dalam kantong kulitnya. Pupil mata membesar melacak musuh dalam gelap.
Keheningan itu datang setelah langit bergemuruh satu kali. Sejenak angin dan seluruh waktu hidupnya berhenti bersamaan. Menjelang mati, sekujur tubuh Eren tersengat dingin—dingin luar biasa hingga ke dalam tulang sumsum. Dia tidak terlempar ke dalam air atau terbenam dalam lipatan ombak. Dia hanya kaku tak bisa bergerak.
Kapal itu sangat terkenal. Muncul ratusan tahun silam dan menghilang bersama mitos terseram. Anak-anak pelaut yang mendengar ceritanya tak mungkin tidur berhari-hari. Beberapa abad silam, kapal itu bernama Flying Dutchmen, sampai akhirnya karam, terkutuk dan berpindah kepemilikan di dunia lain—neraka—yang tak bisa kau bayangkan. Ia muncul dari dasar laut, dan terbanting keras di atas permukaan air. Oleng sedikit lalu terapung. Ia kapal hantu yang sangat megah, dikendalikan ratusan awak kapal dan kapten paling legendaris. Badannya terbuat dari tulang dan kayu pucat, dengan lunas kapal membusuk berlelehanlumpur dan ampas hewan laut. Layar berkain kanvas lusuh itu mengembang di antara tiang kapal dan tiang layarnya karena melawan badai. Bendera hitam tak terlihat simbolnya berkibar tinggi, menusuk-nusuk awan kelabu ketika berlayar. Siapa yang pernah melihatnya pulang dengan selamat? Tak pernah ada!
Eren menutup mata dan melindungi wajah dari deburan ombak. Kapal itu nyata-nyata meluncurkan ke arahnya, siap meleburkan perahu mungil dan pemiliknya jadi kepingan. Eren menjerit, jatuh berguling terhempas ombak.
Di atas haluan kapal itu, siluet seorang gadis berdiri. Siripnya tumbuh menjadi sepasang kaki. Rambut merah panjangnya menyusut sampai pendek dan diikat dua. Balutan bajunya khas seorang gadis perompak dengan celana setengah lutut, kemeja putih dan rompi oranye. Pedang di tangan. Gadis itu melompat ke atas perahu Eren tepat sebelum perahu itu terbalik.
Tanpa aba-aba dia mernerkam Eren dengan pedangnya, langsung menusuk ke depan. Menjerit, Eren mengayunkan belatinya selebar mungkin. Bunyi logam berbenturan.
Alis si gadis berkedut. "Heh, kau yang berani memanggil abangku secara lantang. Aku bisa mempercepat matimu, bocah alis tebal!" ancam gadis itu. "Tunjukkan kalau benar-benar seorang perompak sejati!"
Perahu kecil oleng tiada henti kini tegang membujur seperti papan. Berat badan Eren di haluan, dan gadis jejadian di buritan. Perahu itu bergetar kedua dua pedang mereka beradu.
"Urusanku hanya dengan Levi!" pekik Eren, menangkis serangan gadis itu di depan dadanya. "Pertemukan aku dengannya!"
"Bocah lancang! Kau berani menyebutnya tanpa embel-embel kapten? Dia adalah penguasa tujuh lautan. Nyawa kalian di atas permukaan air adalah miliknya." Pedang gadis itu berbelok, kemudian menebas ke depan, menangkap serpihan kaus Eren yang terkoyak. "Kau tidak pantas bertemu dengannya. Tahu diri!"
Anak itu mundur ke belakang, nyaris terbanting ke atas air. Dia menekuk satu lututnya dan bertahan. "Apa peduliku jika ia tidak keluar?!" teriak Eren, menengok ke arah kapal yang gelap. "Di mana dia? Tak seharusnya dia mengutus seorang gadis untukku! Rupanya dia tidak jantan!"
Gadis itu memutar hulu pedangnya, kemudian menusuk.
Ujung tajam itu berhenti seinci di depan dada Eren.
Teriakan menggema dari haluan kapal hantu. Siluet berjumlah banyak kali membentuk seperti susunan papan kayu dalam gelap. Dia tidak bisa melihat dengan wajah mendongak. Aura itu terlalu hitam, hanya melirik saja sudah membuat badannya gemetar dari ujung kaki hingga kepala. Saat Eren menoleh kembali, gadis itu sudah raib dari perahu.
Gemetar di kaki Eren datang seolah-olah disihir. Ketakutannya datang terlambat.
Tak perlu bantuan cahaya bulan, seolah-olah kapal hantu itu memiliki lentera penerang seluruh anjungan. Badan awak kapal hantu itu menyerupai mayat hidup, berubah bentuk sedemikian rupa dengan kulit berkerak, melentur dan mengerut. Tubuh mereka berlumur lumpur, ampas-ampas plankton, lumut, berbelit sulur-sulur seperti ganggang tipis berlendir, sebagian tak lagi berbalut daging. Wujud orang-orang sakit di Dusun Shiganshina adalah replika dari bentuk tubuh awak kapal monster itu!
Kontras di antara yang lain, berdiri sosok pria pucat. Dia tampak manusia dari rambut hingga ujung kaki, dengan tinggi badan yang tidak melebihi kru kapal laki-laki lainnya. Berbalut mantel panjang warna hitam, dasi cravat putih, topi pelaut dengan hiasan bulu yang sudah lusuh. Tangan tak terlihat di balik jubahnya mungkin menyimpan belati berbahaya yang akan memutus nyawamu sekali pakaiannya belum cukup mengingatkanmu dengan para bajak laut bangsawan, sekujur tubuhnya berlapis aura mematikan yang hanya melihat saja membuat kakimu lunglai. Saat bicara, suaranya berat dan menggelegar aneh.
"Bocah tengik, dengan cara apa kau ingin mati?"
Ketakutan itu tumbuh dari dasar dada, mendaki naik ke pangkal lidah yang kelu, ke ubun-ubun kepala sampai rambutnya bisa memutih dengan sekejap. Eren menahan diri dengan mengepalkan tangan sekuat mungkin.
"Kapten Levi, apa itu kau?" desis Eren dengan tangan mengepal kuat. "Aku sempat membayangkan perompak berkaki dan bermata satu. Aku tidak menyangka wujudmu seperti ini." Tinjunya mengacung. "Aku datang ke mari untuk berurusan denganmu!"
Alis rata itu tertekuk. "Oh. Burung kecil mulut besar." Dia berbicara dengan rahangnya yang mengeras, dan bibir membentuk garis tipis. Dia tidak perlu membuka mulut lebar-lebar. Nada sinisnya menggaung dalam kepala Eren. "Kau ingin mati membujur seperti papan dayung di atas perahumu sendiri, atau menjadi serpihan sekecil ibu jari kakatua di dalam lambung hiu bertanduk? Demi badai," Dia mengangkat tangan, "Aku tinggal menjentikkan kelingking untuk menggiling jeroanmu di bawah lunas kapalku. Mulai dari kepalamu, atau burung kecilmu. Pilih."
"Aku tidak takut ancaman, Kapten Levi," pekik Eren dengan bola mata menyala-nyala. "Sebelum itu, aku ingin menantangmu bertarung!"
Siluet tubuh di belakang Kapten Levi bergerak-gerak. Tawa mereka berderai lebih kuat dari badai—badai yang bergelung membeku karena kehadiran kapal itu.
"Menantangku bertarung dengan pedang lucu itu."
Eren mengacungkan pedangnya. "Ya dengan pedang lucuku. Aku bisa menusuk jantungmu, membelahnya dan menggenggamnya dengan tanganku. Aku bisa jadi penguasa lautan menggantikanmu!"
Suara tawa para kru berubah menjadi sindiran, cacian, geraman bengis. Wajah Kapten Levi tetap datar, manik hitamnya berkilat.
"Tidak buruk. Bukankah aku butuh hiburan?" gumam sang kapten.
"Kapten, cabik dia jadi kepingan!"
"Potong lehernya dan korek isi perutnya!"
"Makan hidup-hidup di sini sekarang juga!"
"Rebus dagingnya dengan garam dan bagi rata untuk satu kapal!"
"Bodoh kau, mana cukup bila dipotong-potong untuk sekapal? Kau dan aku harus bertanding—"
Tangan Kapten Levi terangkat di udara. Secara serentak, awak kapal bungkam.
"Namamu?" tanya Kapten Levi.
"Namaku tidak penting—" Sedetik setelah Eren mengatakannya, tumor misterius tumbuh di dasar tenggorokannya. Dia tercekat, menjatuhkan pedang dan mencekik lehernya sendiri. "Eren. Eren—Jaeger, sir," desahnya di luar kemauan.
Kapten Levi mengangguk. "Ekspresi jelek apa di wajah itu, nak? Konstipasi. Lihat tanganmu gemetar hebat dan kakimu lunglai seperti ubur-ubur. Memegang pedangmu sendiri saja kau tak bisa apalagi menusukkannya. Dengan cara apa kau ingin membuatku terkesan?"
Eren menarik napas dalam-dalam dan menjerit. "Aku tidak akan kalah darimu, Kapten Levi. jangan sepelekan aku yang masih bocah. Lagipula ternyata kau pendek. Kau lebih pendek dari yang pernah kubayangkan. Ayo kita berdiri sejajar. Kau pasti kalah."
Kapten Levi terdiam. Kedua manik hitam membentuk dua pusara gelap. Udara menjadi berat karenanya. Badai bertiup makin kencang. Perahunya siap terbalik kapan saja.
Bukannya terbalik, perahu itu terangkat dari permukaan air. Dalam gelap, daging-daging itu nampak tebal kecokelatan dan berlendir. Berjumlah belasan hingga puluhan. Tangan-tangan monster gurita raksasa membelit badan perahu dan memerangkap Eren bersamanya. Jeritan Eren menguap dari dalam rongga paru-parunya. Dia mengangkat pedangnya, menebas segala arah. Mata pedangnya hanya menyayat sedikit permukaan daging berlendir, lalu menumpul dalam sekejap. Tubuh Eren terbelit sulur-sulur gendutnya. Mata dan mulutnya ditutup sampai ia tidak bisa bernapas. Dalam keadaan buta, anak itu mengayunkan pedang tak tentu arah. Pedang itu diremuk belitan sulur. Sia-sia.
"Naikkan dia." Suara perintah Kapten Levi menusuk langsung dalam kepala.
Siksaan itu datang dan pergi sekejap mata. Berteriak sekencangnya setelah mulutnya bebas, Eren terjun bebas dan mendarat di atas geladak kayu.
Kapten Levi berdiri menjulang di atasnya. Dia memang pendek—tidak pendek-pendek amat. Wajahnya tampan dan mengingatkannya pada tipikal pelaut matang pengunjung kedai minum, yang duduk di pojok bersama belasan tegas dan mata setajam burung pemangsa, dia sepenuhnya mengemban ciri-ciri penguasa bajak laut. Tak perlu lihat wajah dingin itu, seluruh fiturnya sudah cukup mengintimidasi.
Eren mundur gemetaran sampai hampir tergelincir jatuh dari ujung haluan kapal. Di belakang Levi, awak kapal berwujud monster busuk itu sedang berputar-putar mendorong tuas-tuas dari paksi jangkar. Flying Dutchmen berlayar maju ke arah pusaran air, kemudian menyelam dengan cepat. Berliter-liter air memenuhi dek kapal dan Eren menjerit, panik ingin berlari. Dalam sekejap air laut sudah mencapai ujung tertinggi tiang sekunar dan meleburkan layar kanvas usang. Tubuh Eren mengambang dan waktunya melambat. Hitam dan biru berbaur dalam pandangannya.
Kapten Levi dan awak-awak kapal masih berdiri di sana seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Kemudian berputar kuat.
Laut menjadi langit, dan langit adalah daratan. Bagai tersedot pasir hisap, dia tertarik gravitasi dan menghantam ombak ketika kapal berputar tiga ratus enam puluh derajat. Flying Dutchmen sekali lagi menapak pada permukaan air. Eren sekali lagi terjun bebas ke atas geladak. kali ini benturannya terasa lebih kuat. Dia terhuyung ke belakang mengusap bokongnya yang pedih. Kapten Levi mengawasi gerak-geriknya.
Tangan-tangan busuk mencengkeram, dari kanan-kiri dan bawah. Eren meronta, dipegangi dan dipaksa berlutut di hadapan Kapten Levi. Tentakel mungil itu menyerupai ular siput, bergerak-gerak di bawah kakinya yang telanjang. Menjalar naik, menggodai lutut dan menyenggol pinggulnya seperti sengaja. Rontaan Eren makin keras. "H-Hewan apa ini?! Ada tentakel menyentuhku!"
Salah satu kru, masih bisa dikenali wajah tampannya seperti manusia, mengerang, "Kap'n, bukankah itu tanganmu?"
"Oh, abaikan saja, Farlan. Kau tahu tanganku sulit dikendalikan," tukas Kapten Levi, muka datar. "Hanya sedikit salam perkenalan."
Tentakel itu mundur menghilang di antara barel dan tali tambang, menyusup ke bawah jubah hitam sang kapten. Eren melotot jijik sampai tentakel itu menghilang.
"Selamat datang di kapalku, bocah pantat semok," sapa sang kapten penguasa. "Lepaskan dia."
"Eren Jaeger namaku!" Eren menggeliat lepas. "Ini di mana?"
"Dunia yang mereka sebut neraka," jawab Kapten Levi. "Bukan alam manusia, bukan juga alam kematian—yeah, bisa di bilang dunia di antaranya. Tempat transit untuk orang-orang sial dan bosan hidup."
Tak ada badai dan bulan purnama. Kapal mereka telah berlayar di bawah langit kelam. Sedikit bintang, dan merkusuar berwarna aneh dari kejauhan. Udara ringan dengan bau tar dan garam laut. Bukan lautan seratus depa dari Teluk Shiganshina. Geladak kapal terang benderang dengan lantai kayu yang dipernis bersih mengkilat seolah disikat setiap hari. Mereka berada di tempat lain.
Tinju Eren kembali berkepal. "Aku siap," katanya. "Aku tidak bisa mundur lagi."
"Spesifikan keinginanmu."
"Aku ingin menantangmu, Kapten Levi!" Tangan Eren mengepal makin kuat sampai berdarah. "Secara jantan! Karena walau masih bocah aku pernah melintasi lautan walau baru satu samudera dan aku berjuang untuk menjadi perompak terbaik nantinya!"
Awak kapal membentuk lingkaran dengan tatapan penasaran. Kapten Levi maju ke depan menghalangi pandangan mereka. "Dengan apa kau ingin menantangku?"
"Kudengar ada satu permainan terkenal di antara para perompak, dan yang paling diminati oleh raja bajak laut," kata Eren. "Permainan dadu pembohong. Aku benar 'kan?"
Rangkaian suara menggeram dan apresiasi menjadi satu, sebagian besar melecehkan. Bocah ingusan menantang Kapten Levi bermain dadu pembohong? Tak pernah ada satupun yang berani melawan sang kapten!
"Hoo. Dadu pembohong." Kapten Levi mengangkat alisnya. "Aku punya pemain Dadu Pembohong terbaik di kapal ini untuk kau lawan. Kau tahu cara mainnya?"
Eren menggeleng. "Aku tidak tahu persis, aku pernah bermain satu kali dan kalah tapi aku cepat belajar! Dan aku tidak mau melawan siapapun di atas kapal ini, kecuali kau, Kapten Levi."
Hening, kemudian kuping Eren sakit berdengung karena ledakan gelak tawa.
Satu jari Levi teracung membungkam mulut-mulut itu. Hening lagi.
Kapten Levi maju ke depan. Dia mengangkat lengan dari balik jubahnya. Seperti keseluruhan fiturnya, tangan sang kaptenmempunyai lima jari lengkap seperti manusia, sampai kemudian jari-jari itu bergerak melambai seperti sulur, melar dan melebar. Mereka memanjang serupa tentakel kaki dan tangan gurita, dan bukan hanya jari. Dari balik jubah gelap itu, tentakel berjumlah besar dan kecil bergerak meliar ingin menerjang ke depan. Eren menahan napas, mendelik horor sampai bola matanya hampir keluar. Ujung tangan bertentakel hangat itu membelai dagu Eren, beberapa menyusuri pipi dan leher. Wajah Kapten Levi mendekat. Sepasang mata gelap menusuk Eren seperti jarum-jarum es.
"Apa yang dipertaruhkan?" tanyanya.
Tidak gentar, Eren balas mendelik. "Kalau aku menang, kau harus mencabut kutukan di desaku, Shiganshina. Buat semua yang sakit sembuh seutuhnya dan hilangkan penderitaan mereka!"
"Hmp. Bocah bau kencur ingin diabadikan menjadi pahlawan desa. Patung burung kecilmu belum pantas berdiri di depan rumah kepala desa."
Mengabaikan suara tawa melecehkan dari mereka, Eren menggertak, "Aku adalah lawanmu mulai detik ini, Kapten Levi. Kau harus berhati-hati denganku karena nasibmu pun setelah ini bergantung pada menang atau kalahnya dirimu."
Salah satu dari mereka yang berambut keriting maju. "—bocah bedebah, kau berani menantang dan memerintah Kapten Levi?!"
Kapten Levi mengangkat sebelah tangannya yang tertutup jubah. "Tutup mulut, Oluo. Bocah, aku bisa mengangkat kutukan desamu hanya dengan menepuk tangan satu kali. Tapi apa yang membuatmu pantas mengajukan tantangan? Berapa banyak nyawa manusia untuk kau tumbalkan padaku demi mengimbangi syarat yang kau berikan? Sementara desamu tidak pernah sanggup memberiku tumbal."
Mendengar itu, Eren meneguk ludah. "Aku—aku tidak mungkin menumbalkan—mengorbankan nyawa siapapun terkecuali nyawaku." Eren menepuk dada. "Kalau aku kalah, kau boleh cabut nyawaku."
"Hmp." Mata itu menyipit lambat-lambat. "Keberanianmu impresif dan tidak buruk. Tapi bahkan nyawamu, satu nyawa saja, setara dengan secuil buih garam lautanku, alias tidak lebih berharga dari ampas perut ikan. Tubuhmu jauh lebih berguna. Aku bisa memutus kakimu untuk dijadikan pegangan pel dan badanmu untuk menggosok lantai kabin."
Air muka Eren memucat.
"Abang, biarkan saja si alis tebal ini dan lempar dia ke dasar lautan!" si gadis perompak rambut merah—siren itu—menyela. Seperti Kapten Levi, gadis itu masih menyerupai wujud manusia.
Eren mendelik horor. "Aku—aku—apa nyawaku tidak cukup?!"
"Satu nyawa bocah walau yang semurni dan sesemok tubuh polosmu tetap tidak bisa memuaskanku, bocah."
Panik, mata Eren yang buram mulai berputar-putar. Kain penutup kepalanya melorot jatuh.
"Hitungan mundur sebelum ragamu kukirim bersama ruhmu ke dunia orang mati," bisik Levi dingin, lalu menghitung cepat waktunya. "Tiga dua sa—"
"Satu—satu ratus. Seratus tahun!" jerit Eren, menekan lututnya ke lantai geladak. "Kupersembahkan kepadamu pengabdianku. Seratus tahun pengabdianku sebagai budakmu, Kapten Levi."
"Diterima. Siapkan dua kursi, meja barel dan dua mangkuk dadu."
"K-Kap'n? Kau menyanggupi permintaan bocah ini?"
Eren beranjak dari kebekuannya. Sembari dia mengejar Kapten Levi, majah-wajah monster menghadang di kanan kiri, mengancam dengan parang tajam, pedang, belati, dan laras pendek. Gigi-gigi bertaring mengeluarkan erangan mencaci dan menghardik.
Kru memberi ruang di depan pintu galangan untuk dua buah kursi. Barel besar digulingkan dan ditaruh terbalik dengan bunyi gedebuk keras. Kapten Levi duduk di depannya, dan Eren di seberangnya. Dua mangkuk dadu di atasnya.
Eren sedikit banyak tahu tentang permainan Dadu Pembohong. Satu lawan satu, masing-masing memegang semangkuk dadu berjumlah lima buah. Pemain mengocok dadu dan membanting mangkuknya di atas meja. Intip ke bawah mangkuk (jangan sampai lawanmu tahu) dan lihat berapa angka dadu yang keluar. Pemain bertaruh dengan menebak berapa banyak angka dadu di atas meja, termasuk angka dadu lawannya yang tak diketahui. Kau bisa menebak dan menaikkan jumlah angka taruhan setinggi mungkin. Permainan berakhir bila salah satu dari mereka menyebut lawannya 'pembohong.' Bila benar terbukti berbohong, maka dia kalah, tetapi jika dia dituduh berbohong padahal tebakannya benar, si penuduh yang kalah.
"Kuharap Kapten Levi, si bajak laut penguasa yang terkuat di seluruh masa, bertarung secara jantan dan jujur!"
"Syarat bocah diterima."
Tak ada kata lanjutan. Begitu Kapten Levi menarik mangkuknya, Eren menarik miliknya sendiri.
Suara kocokan dadu itu beradu dengan detak jantungnya yang menggebu, menggempur gendang telinganya sendiri. Berkelontangan dalam lempung. Di hadapannya, Kapten Levi ikut mengocok, cepat dan nyaris tanpa suara. Eren meneguk ludah.
Kapten Levi membanting mangkuk itu terbalik. Eren membanting lebih keras.
Melebarkan mata, Eren mengintip isi mangkuknya. Lima buah dadu menunjukkan angka 2, 4,—
Mata hijau Eren mengerjap, auto-fokus kepada lawan di depan mata.
Kapten Levi mengintip isi mangkuknya sendiri. Lima buah dadunya menunjukkan angka 4-2-2-2-6, yang tersembunyi dari mata penasaran bocah itu.
"Dua Dua," kata Eren, terdengar yakin.
"Hmp. Tiga Dua. Apa yang membuat bocah sepertimu berani menghadapku. Keluargamu terkena penyakit, usia ayahmu tinggal satu jam lagi, atau bokongmu baru saja dicabuli puluhan pelaut mabuk sehingga kau tak punya cukup harga diri untuk hidup." Matanya berpaling kepada Eren, membuat degupan jantung bocah itu meliar.
"Aku bisa menjaga diriku, melindungi nyawa keluargaku, dan mewujudkan impianku apapun pertaruhannya. Aku tidak takut mati selama aku benar. Empat dua—bisakah kau singkirkan tangan monstermu dariku. Kau tak boleh membuat kacau konsentrasiku."
Sesuatu yang licin mengelus kulit lunak di balik lututnya. Eren menggeliat geli. Dia mendelik ke bawah, melihat sepasang tentakel melesat bersembunyi di bawah barel.
"Dedikasi tinggi atau kau yang terlalu naif. Aku sampai tidak tega menyentuh kulit tidak berdosa itu. Lima Dua."
Kemudian, mata Eren menajam binarannya, dia berseru lantang, "Lima empat!
Kru kapal berseru terkejut, saling berbisik. Kapten Levi menaikkan alis matanya, mengamati bocah itu lekat-lekat mendeteksi kebohongan.
Kapten Levi berkata, "Kau bocah tukang tipu."
"Kau menuduhku 'pembohong'?" Dengan sedikit senyum tipis, Eren memperlihatkan isi mangkuknya.
Lima buah dadu Eren berangka 2-4-4-4-4, ditambah dengan milik Levi yang berangka 4-2-2-2-6. Tebakan Eren benar. Ada lima buah empat di atas meja.
Suara-suara terkejut memenuhi geladak. Umpatan khas perompak dan amukan, sebagian mengapresiasi kecerdikan anak itu.
Senyum kemenangan Eren berkembang sempurna. "Kau terlalu meremehkanku, Kapten Levi."
Kapten Levi beranjak dari kursi. "Yeah, tidak buruk. Desamu selamat sentosa. Aku tinggal melempar bokongmu ke daratan ketika kita berlabuh."
Anak itu menggebrak meja. "Aku belum selesai, Kapten Levi. Sekali lagi kita bertarung."
Kapten Levi, si penguasa tujuh samudera dan nyawa pelaut di atas airnya, terhenyak.
"Bocah, kau tak mungkin bisa mengalahkan iblis dua kali."
"Jangan memunggungiku kalau begitu."
Kapten Levi kembali menghadap. Tak ada tatapan menggoda atau melecehkan. Dia serius.
Eren tersenyum. "Akhirnya kau mau kembali menatapku, Kapten Levi. Aku punya satu pertaruhan lagi. Kalau aku menang, kau harus menghilang dari muka bumi. Jangan pernah menampakkan wujudmu dan kapalmu lagi di lautan. Kami para pelaut tidak butuh dewa maut, tidak seharusnya dijatuhi kutukan, mengabdi, menyerahkan tumbal dan menderita karenamu."
Hampir seluruh kru kapal menahan napas.
Levi terlihat tenang. "Apa pertaruhanmu."
Mangkuk itu terangkat di udara dengan cepat, kemudian dibanting kuat di atas barel. Getarannya menghentakkan kepala-kepala kelasi nomor satu. Eren berseru keras, "Aku, Eren Jaeger, mempertaruhkan seluruh kehidupan, jiwa dan tubuhku. Kuberikan pengabdian seumur hidup untuk menjadi budakmu!"
Kapten Levi duduk kembali. "Tidak buruk, nak."
Dua mangkuk dadu dibanting keras di atas barel. Kali ini Eren meremas bubungan mangkuk itu sampainya kukunya memucat. Getaran di tangannya tidak kunjung berhenti, berlawanan dengan keberanian di matanya.
Angka dadunya adalah 6-6-4-4-4
Eren memulai. "Dua enam."
Levi diam, hanya menatap.
"Um, kenapa kau menatapku seperti itu. Berapa angka pertaruhannya."
"Aku ingin mengenal lebih jauh sosok asli bocah yang akan menjadi milikku. Satuempat."
Dahi Eren berkerut. "Tiga Enam. Kau tak perlu mengenal siapa aku dan aku tidak pernah tunduk di bawahmu."
Senyum tipis merekah di wajah kapten. Eren bergidik.
"Kau anak semata wayang di keluargamu," kata Kapten Levi. "Ditentang untuk menjadi perompak dan nekat kabur dari rumah. Suka cari mati. Kau pernah membunuh sekurangnya tiga orang dewasa untuk melindungi diri dan dibebaskan bersyarat dari kurungan karena usia dini. Ibumu tidak bisa bergerak dari ranjang karena ulahmu, dan ayahmu disebut pengkhianat, pergi menghilang seminggu setelah kutukan di dusunmu terjadi. Dua Empat."
Mata Eren membulat dan kepalanya tersentak. "Kau—tidak mungkin kau tahu."
"Pertaruhanmu?"
"Uh, um, tiga Empat." Eren menggigit bibir.
Senyum menghilang di wajah Levi, meninggalkan sejuta kecemasan dalam lubuk Eren.
"Aku sudah hidup terlalu lama untuk tahu. Kalau boleh jujur, aku sudah menelan banyak nyawa dan tubuh manusia dalam waktu ratusan tahun terakhir. Dan kau, berharga lebih baik dari seribu maupun sejuta manusia itu. Tak ada yang lebih lezat dari persembahan dirimu yang paling utuh. Empat Enam."
Eren mengerjap. Fokusnya terkacaukan. "Empat...Empat. Omong kosong, kau bilang nyawaku tidak lebih berharga dari ampas ikan."
"Jadilah milikku, Eren Jaeger. Kau bisa menyembuhkan ibumu, bebas dari tiang gantungan di usia 17, mengalahkan saudarimu dan menjadi panutan, dan sebuah kapal terkukuh untuk kau kuasai. Berdiri di atas permukaan air dan siap berlayar hanya dengan satu kalimat perintah dari Kapten Jaeger. Cari ayahmu hingga ke ujung dunia dan jadilah raja cilik." Tentakel di balik jubah itu menampakkan diri, bergerak-gerak meliuk di atas barel, tapi tak pernah sampai menyentuh tubuh anak itu. "Aku bisa mewujudkan seluruh keinginanmu. Delapan Empat."
Tak mungkin bisa mencapai angka setinggi itu! Eren berdesis, "Bohong," serunya.
Levi mengangkat mangkuknya, memperlihatkan dadu berangka 4-4-4-4-4 sempurna, ditambah angka 6-6-4-4-4 milik Eren, total benar berjumlah delapan buah angka Empat.
Eren menjerit, "Kau curang!"
"Tentu saja aku menang karena curang, anak kucing, karena tidak ada peraturan dilarang curang dalam Dadu Pembohong. Kau bisa memutarbalik keadaan jika memakai kepalamu."
Mengamuk, Eren mencengkeram mangkuk itu kuat-kuat sampai terpental dari tangannya.
Levi bangkit dari kursi. "Selamat datang di kapalku, Eren Jaeger."
