Peri Hujan

Disclaimer : Bleach belong to Tite Kubo-sensei

Story by Day Han

Caution! Cliche, OOC, AU, Mainstream Pairing, Typo

Aroma hujan dan debu jendela memenuhi indra penciumannya. Disana. Gadis berusia dua puluh tahunan sedang menumpahkan pikiran fantasinya ke kanvas putih di hadapannya. Kuasnya menggores indah benda persegi itu, seakan kuas ramping di jemarinya bergerak sendiri untuk menghasilkan karya yang mengagumkan.

Rukia, nama gadis tersebut, selalu menempatkan dirinya yang hendak melukis di tepi jendela bengkel lukisnya. Ruangan tempatnya melukis sekarang tadinya merupakan perpustakaan tua keluarga Kuchiki. Namun, seiring bertambahnya koleksi buku keluarganya, perpustakaan direlokasi ke ruangan yang lebih luas, di bagian barat mansion Kuchiki.

Bengkel lukisnya tidak begitu luas, bahkan tidak lebih luas dari kamar tidurnya yang bergaya tradisional jepang. Beberapa lukisan jadi berjejer di sana. Sebagian tergantung di dinding dan sebagian lagi hanya berdiri tegak di tepi-tepi dinding bercat putih yang tidak pernah direnovasi lagi. Gadis berambut cepak ini selalu melukis dengan gaya fantasi, hampir seluruh lukisannya menggambarkan dongeng fantasi dari beberapa negara. Termasuk yang sedang ia kerjakan, ilustrasi pinokio dari pendongeng asal Italia, Carlo Collidini.

"Kau tidak bekerja hari ini?" Byakuya –kakak ipar Rukia- menginterupsi alam fantasinya. Atmosfir di ruangan bengkelnya berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Bahkan, atmosfir hujan kalah dengan dinginnya karisma kakaknya.

"Libur obon. Kurasa aku beruntung bekerja di perusahaan yang meliburkan karyawannya di perayaan obon." Tanpa melepaskan pandangan intensnya dari lukisan fantasinya, Rukia menjawab dengan beruntun.

"Kau akan berkunjung ke Karakura?" Kakak ipar Rukia tidak berniat untuk menyicipi sofa tua di tengah ruangan atau pun menuang teh hijau buatan adiknya. Ia hanya memandang Rukia yang sedang melukis dari sisi wajahnya.

"Aku berangkat tengah hari nanti. Nii-sama ikutlah denganku." Goresan kuasnya terhenti. Ujung kuas yang tadinya mampu mengalir sendiri sekarang bimbang dalam melukiskan warna yang tepat. Pandangannya terpaku dalam satu titik. Bagian kanvas yang belum tergores warna apapun. Kuasnya seakan menunggu jawaban Byakuya untuk mewarnai kanvas putihnya.

"Kurasa teru-teru bozu milikmu manjur. Sudah kupersiapkan karangan bunga di bawah. Berhati-hatilah di perjalanan."

Yah, seperti yang telah ia (Rukia) duga. Kakak iparnya tidak akan pergi bersamanya mengunjungi pemakaman Hisana, kakak perempuannya. Entah apa yang melatarbelakanginya, ia hanya bisa berspekulasi. Mungkin nii-sama berubah menjadi dingin setelah nee-chan meninggal, atau juga nii-sama terlalu merasa kehilangan sehingga tidak sampai hati mengunjungi makam istrinya sendiri.

Satu yang ia tahu. Jika teru-teru bozu-nya berhasil, maka ia harus segera menyampaikan karangan bunga titipan Byakuya.


Kuchiki Corporation berpusat di Tokyo. Perusahaan milik keluarga Kuchiki ini beroperasi di berbagai bidang. Mempunyai empat buah cabang, yang semuanya meraih gelar perusahaan tersukses di Jepang. Pusat perusahaan di Tokyo mengkhususkan diri sebagai pemasok peralatan kesehatan. Di sanalah Byakuya berada saat ini. Memimpin rapat bulanannya dengan orang-orang bersetelan mahal lainnya.

"Nilai saham di Fukuoka turun drastis. Terlalu banyak produk yang sama saat ini." Seorang pemegang saham, mulai mengutarakan pikirannya.

Byakuya tetap tenang. Etikanya selalu memenangkan berbagai perang argumen, makanya ia dikenal sebagai tangan dingin dalam dunia bisnis. Profil perusahaan ia teliti lagi, termasuk semua data penurunan finansial yang tajam.

"Bagaimana jika kita pangkas saja cabang di Fukuoka. Dengan melakukannya kita dapat menyelamatkan perusahaan cabang yang lainnya." Ada lagi yang mengajukan pendapatnya.

Byakuya masih dalam posisi tanpa ekspresinya, masih memproses keputusan yang akan ia ambil. Jika ia menutup cabang di Fukuoka, sebagian karyawan akan diberhentikan masal walaupun yang beruntung akan terserap oleh cabang lainnya. Tapi itu lebih baik daripada mengorbankan jalannya perusahaan.

"Cabang di Fukuoka tidak begitu produktif akhir-akhir ini. Tutup atau tidak, tak akan berpengaruh pada perusahaan pusat dan cabang lainnya."

Tidak. Tidak benar. Cabang di Fukuoka adalah cabang pertama dari Kuchiki Corporation. Yang membuat Kuchiki Corporation dapat solid seperti ini karena bantuan cabang itu.

"Berikan waktu sebulan. Akan kucari solusi yang terbaik." Menangguhkan masalah bukan kebiasaannya. Namun, waktu memang satu-satunya jalan saat ini. Pikirannya pun tak dapat fokus sejak pagi tadi. Ia rasa teh hijau akan membantunya mengistirahatkan piikirannya sejenak.

Peserta rapat mulai riuh. berbagai sindiran ditunjukkan ke Byakuya. Kepastian tak akan mereka dapatkan pada rapat kali ini. Yang mereka ingat sosok Kuchiki Byakuya adalah pemimpin yang hebat. Hampir tidak pernah menjatuhkan nama perusahaan serta punya komitmen yang tinggi dalam mengembangkan perusahaannya. Mirip dengan generasi Kuchiki terdahulu.

Yang tersisa di ruang rapat tinggal Byakuya dan seorang wanita cantik berambut hitam pendek. Wajahnya terlihat lebih angkuh dari Byakuya. Soi Fong namanya. Wanita berkewarganegaraan China yang telah menetap di Jepang selama sebulan lamanya.

"Bagaimana rasanya dibully?" Sambil memandang kesibukan kota dari ruang rapat, Soifong menggodanya.

Pengusaha flamboyan itu mengikuti arah pandangan Soi Fong. Memandang kota di senja hari. Pijar lampu tidak membantunya lebih baik. Ia bahkan tak dapat menggambarkan solusi yang akan ia ambil untuk masalah rapat hari ini. "Kau akan jatuh ke parit juga jika menjadi diriku."

"Tidak juga. Yang kau butuhkan hanya liburan beberapa hari. Setelah itu kau akan menjadi lebih segar dari sebelumnya." Wanita yang seusia dengan Byakuya itu menampilkan senyum angkuhnya.

"Apa resort milikmu punya kamar kosong?"

Soi Fong melebarkan senyumannya, memandang rekan bisnis yang sangat ia hormati. Ekspresi menyerah Byakukya seperti inilah yang diinginkan semua rival bisnis Kuchiki Corporation. Sayangnya, Byakuya tidak akan pernah meninggalkan kesan naïf di hadapan seluruh pesaingnya. Namun, di hadapan Soi Fong yang telah mengenalnya sejak masa kuliah, peraturan itu tidak berlaku. Pria kesepian itu akan mengeluarkan berbagai keluhannya atau berdiam diri memandang lukisan pohon sakura seperti orang bodoh yang sedang patah hati. "Pesanlah tiket pesawat ke China besok."

"Abarai, pesanlah penerbangan ke China besok." Byakuya telah berada dalam kantornya setelah mengobrol –merenung- selama tiga jam bersama teman kuliahnya. Si rambut merah Renji Abarai ada di sana, menyerahkan laporan-laporan rutinnya.

Kepala departemen pengembangan sekaligus tangan kanan Byakuya itu mempunyai postur yang tinggi, setara dengan Byakuya. Bedanya, Renji mempunyai wajah yang garang dengan tato yang menggores alis di dahinya, layaknya yakuza penagih hutang. Jangan melihat buku dari sampulnya. Peribahasa tersebut tepat untuk sosok Renji. Renji berwajah garang, berbicara sembrono bahkan dengan atasannya tetapi tidak akan ada yang meragukan loyalitasnya terhadap perusahaan dan kemampuannya dalam bekerja. Karena itulah, CEO Kuchiki Corporation mempercayainya untuk menanggung kewajiban yang lebih besar.

"Apa kau ingin liburan sendiri? Wah enak sekali ya jadi CEO, bisa mengambil liburan setiap saat."

"Jatah cutimu masih ada, kau bisa mengambilnya besok", komentar Byakuya. Dingin. Ia bukan tipe orang yang memperpanjang komentar menggoda dari Renji.

Pria berambut merah ini bukannya tidak ingin mengambil jatah cutinya tahun ini, tapi masalah krusial perusahaan benar-benar menghabiskan waktu dan pikirannya. Ditambah lagi masalah yang dibahas di rapat tadi. "Hei, aku dengar Komisaris National TV mengundangmu ke acara perayaan ulang tahun perusahaannya."

"Ya", jawab Byakuya singkat.

"Apa ini cara mereka untuk memamerkan keberhasilan akusisinya dengan All One Entertainment?" Renji mendengus, ia tidak habis pikir mengapa perusahaan yang yang berbeda bidang operasinya dengan Kuchiki Corporation malah jadi rival yang berat dalam harga jual saham. Jika Kuchiki Corporation bekerja di bidang elektronika, National TV menjalankan usahanya di sektor penyiaran. Seharusnya, dengan perbedaan bidang ini, Kuchiki Corporation dan National TV tidak akan mempunyai konflik yang bersimpangan antara keduanya.

"Kau tahu, sebagian dewan direksi telah menyetujui akusisi untuk cabang di Fukuoka. Seluruh perusahaan di Jepang bahkan sudah mempertimbangkan untuk ikut andil dalam tender yang kenyataannya belum kita buka. Kalau pabrik di televisi di Fukuoka jatuh di tangan Yamamoto Genryuusai, harga jual saham kita bisa menurun drastis. Ah, karisma memang berpengaruh besar di dunia bisnis."

"Kau terlalu banyak bicara Abarai."

"Benarkah? Terima kasih atas pujianmu. Ah, dan hati-hatilah dengan kakek tua itu. Ia seperti rubah."

Byakuya hanya terdiam. Ia berada di antara harus memikirkan kelangsungan perusahaan saat ini dan masa depan perusahaan. Benar kata Soi Fong, ia butuh liburan agar tidak menderita depresi akut.


Perjalanan dari Tokyo ke Karakura menghabiskan sebagian tenaganya. Lelah harus duduk di kursi mobil terus-terusan selama dua jam lamanya. Ia paling tidak tahan berdiam diri di suatu tempat kecuali saat dia hendak melukis. Selesai mengambil barangnya dari dalam bagasi mobil. Rukia memberi salam pada supir keluarga Kuchiki. Rukia sempat menolak tawaran dari Paman supir untuk mengantarnya ke Karakura tapi setelah dipikir lagi, tetua keluarga Kuchiki tak akan membiarkannya pergi sendiri tanpa di antar. Dengan senyum yang pasrah ia akhirnya mengiyakan tawaran Paman supir yang telah bekerja dengan keluarganya delapan tahun lamanya.

Papan nama bertuliskan 'Peach Florist' terpampang indah dengan dekorasi aksen bunga dan lampu LED berwarna-warni. Ia menghirup udara dari kampung halamannya sekuat mungkin. Atmosfir di Karakura dan Tokyo memang berbeda. Di kampung halamannya ini masih terdengar bunyi burung yang bertengger di pohon di pusat kota, tidak seperti di Tokyo yang hanya terdengar bisingnya kendaraan.

Setiap berkunjung ke Karakura, Rukia selalu mampir di toko bunga milik temannya ini. Ia akan memesan jenis bunga yang sama, serangkai lily putih.

Triing. Bel kecil di atas pintu masuk berbunyi. Harum berbagai Bungan menggelitik indra penciumannya. Ia dapat mencium harum bunga mawar yang sangat menggoda ataupun wangi lavender yang lembut dan wangi permen lollipop. Ya jangan berpikiran aneh dulu ada setoples lollipop di dalam toko bunga. Toko bunga ini selalu membagikan lollipop di hari Senin seperti sekarang.

"Rukia!"

Rukia tersenyum. Momo tidak berubah, ia masih manis seperti biasanya. Bagaikan lollipop. "Hai, Nyonya Hitsugaya."

Hup. Rukia menangkap lollipop lemparan Momo. Rengut kesal menghiasi wajah manisnya. Jika dipanggil dengan sebutan itu, Momo Hinamori akan menunjukan pipinya yang menggembung dan melempar apa saja yang di dekatnya. Termasuk permen lollipop yang ada di tangannya.

"Jangan memanggilku dengan nama manusia es itu!" Momo berkeluh. Wanita berambut sebahu itu tidak sepenuhnya kesal. Itu hanya sapaan akrab dari temannya sejak SMP. Lagipula ia tidak dapat berkilah dengan perasaannya dengan pria yang bernama belakang Hitsugaya itu.

"Bagaimana kalau kucarikan pria yang lebih keren dan romantis daripada manusia es itu?" Rukia serius. Ia akan mencarikan pria yang lebih menghargai Momo sebagai pasangannya sehingga sahabat perempuannya ini tidak akan merasa ditelantarkan seperti sekarang ini. Sebutan manusia es itu sungguh sesuai dengan tunangan Momo yang hatinya sedingin es di Gunung Fuji.

"Aku mau jika ia sekeren Byakuya-sama", gurau Momo.

"Ide bagus. Kau akan jadi kakak ipar yang baik." Jika kakak iparnya akan menyayangi Momo lebih dari tunangan Momo saat ini, ia akan bekerja keras agar Momo dan kakak iparnya saling jatuh cinta.

"Sudah, cukup menggodaku. Ini bunga pesananmu. Kau cepatlah berangkat." Momo menyodorkan rangkaian bunga lily pada Rukia.

"Hai, hai, hai, Nyonya Hitsugaya."


Pemakaman di kota Karakura sangat sepi. Dilihat dari sudut pandang manapun yang terlintas di benak hanya kesunyian. Gadis yang berniat mengunjungi makam kakaknya di hari Obon terdiam. Ia mulai merasa tidak nyaman dengan angin yang berhembus di sela-sela jemarinya. Tidak mungkin akan hujan kan? Sudah semalaman ia menggantung teru-teru bozu untuk menghalangi hujan yang turun. Tidak masalah kalau yang dilakukannya sama dengan pemikiran anak umur lima tahun di malam piknik sekolah. Rukia meletakkan rangkaian bunga lily miliknya dan milik Byakuya. Ia ingin berceloteh macam-macam di depan nisan kakaknya. Namun, yang keluar hanya helaan nafasnya yang semakin berat.

"Nee-chan, kabarmu baik kan? Pasti baik." Gumpalan awan di langit mulai berkumpul dan menghitam. Entah kenapa setiap kali ia mengunjungi makam kakaknya. Warna kelabu di awan semakin menghitam dan tidak bertahan membendung volume air lagi. "Teru-teru bozu buatanku tidak berhasil nee-chan. Dengar, awannya bergemuruh. Anginnya juga semakin kencang."

Rukia menghela nafas panjang. Tersenyum.

"Jika memang peri hujan ada, aku akan memarahinya karena menurunkan hujan hari ini." Ia menengadah ke arah langit. Menerima buliran hujan yang semakin berat. "Tunggulah nee-chan, lain kali pasti aku akan ke sini saat sakura bermekaran dan tentunya membawa nii-sama bersamaku."

Rukia hendak beranjak dari tempatnya ia berdiri, ia menoleh memperhatikan lagi kesunyian kompleks pemakaman Karakura. Tidak ada yang berubah masih sama dengan terakhir kali ia kemari, kecuali sepuluh langkah dari tempatnya berdiri seseorang dengan hoodie ungu di kepalanya menatap nisan seperti dirinya. Menyimpan emosi yang sama, kediaman yang sama, dan berbagi hujan yang sama.

*-tbc-*

Teru-teru bozu = boneka penagkal hujan yang biasanya dibuat dari kain berwarna putih, diikat menyerupai kepala dan diberi wajah , biasanya digantung di dekat jendela supaya hari cerah.

Fic pertama saya yang dipublish.

Mohon maaf kalau jelek, penuh typo, atau kesalahan-kesalahan lainnya. Mohon berikan masukan dan komentar yang membangun. Terima kasih.