Hay, minna-san!~

Saya kembali muncul dengan fict baru lagi!~ #plak! Yang RM belom apdet!

Ahaha, habis fict yang satu ini memenangkan mood saya belakangan ini, jadi RM tertunda -_-v Tapi saya gak bakal saya discontinued, kok! (mungkin) #plak!

Sudahlah, silahkan dibaca saja jikalau berkenan~


Warning: AU, typo(s) maybe, OoC maybe, OC(s), based on Death Note concept, first Sho-Ai fiction, different plot with Death Note

Disclaimer: Kuroshitsuji Yana Toboso, Death Note concept Tsugumi Ohba & Takashi Obata


Voll Note

by: Kuroschiffer P.

Page 1: Under Pressure

East End street, London, May 2015

BRUAGH

"Akh!" ringis anak berambut kelabu yang barusan didorong jatuh.

"Hahaha! Dasar lemah!" teriak seorang anak laki-laki berambut cokelat.

DUAKK

"Ya, lemah, lemah!" sahut anak laki-laki lainnya sambil menendang anak yang terjatuh itu.

Tes

Air mata jatuh dari mata cerulean deep blue-nya. Namun mimik mukanya masih menunjukkan perlawanan. Ia berusaha meredam rasa sakit akibat pukulan mereka dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Cengeng pula, lebih baik kau pulang dan lapor ke ibumu! Hahahaha!" ejek anak laki-laki yang mendorongnya.

"Dasar kecil! Lemah! Lebih baik kau membantu nenek menjahit sana!" tambah anak berambut hitam lain.

Sekumpulan anak kecil itu masih menendangi anak bertubuh ringkih itu hingga anak itu jatuh terkulai di tanah. Anak berambut kelabu itu meringkukkan tubuhnya serta memegang kepalanya dengan kedua tangannya sambil lutut menekuk.

DUAKK DUAKK BUK DUKK

"Tuh, 'kan? Dia lemah sekali! Baru segini saja sudah tumbang!" umpat salah satu dari anak-anak itu.

"Sudahlah! Cari yang lain saja! Dia memang amat lemah! Dilihat dari tubuhnya juga sudah ketauan 'kan?" ucap anak berambut putih yang sedari tadi hanya melihat.

"Justru karena dia lemah begini 'kan? Ya sudahlah, kita pergi saja! Nanti keburu ada yang lihat!" perintah anak berambut hitam tadi.

Setelah puas menganiaya anak itu, mereka pergi seenak hati dengan raut muka tak bersalah. Mencari korban lain untuk mereka pukuli karena anak berambut kelabu tadi sudah tidak dapat mereka ajak 'bermain' lagi.

Anak bertubuh penuh lebam itu perlahan-lahan bangkit dari tanah. Rasa nyeri bekas pukulan dan tendangan masih terasa jelas di sekujur tubuh ringkihnya. Ya, kalau saja anak berumur 12 tahun itu tidak mengambil jalan pintas―berupa gang sempit―untuk pulang ke rumahnya, ia tidak akan bertemu dengan teman-teman―kalau masih bisa disebut teman―sekelasnya yang memang sangat badung dan bengal.

"Akh! Duh! Sakit sekali! Dasar Robert sialan! Beraninya main keroyokan!" umpat anak itu sambil berjalan tertatih menuju rumahnya. Ia terus menyumpahi kumpulan anak yang tadi mem-bullynya tiba-tiba.

Bukannya anak kecil bertubuh pendek nan ringkih itu tidak melawan sama sekali. Ia jelas sangat berusaha melawan mereka. Tetapi karena kalah jumlah dan dirinyalah yang di serang tiba-tiba dari belakang, alhasil beginilah tubuhnya sekarang.

"Nanti aku harus bilang apa lagi coba sama Bibi?" gerutu anak itu sambil terus berjalan.

Ya, anak berambut kelabu itu memang bukan pertama kali mengalami hal seperti ini. Disebabkan tubuhnya yang kurus kecil serta parasnya yang lebih ke arah cantik seperti perempuan, ia terus menjadi korban penganiayaan serta penghinaan anak-anak badung macam Robert―anak berambut hitam tadi―dan kawan-kawan.

Di London, baik sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, bahkan universitas sekalipun, kejadian seperti ini sudah jadi hal yang sangat tidak asing. Anak-anak sejenis Robert dan kawan-kawan memang sedang merajarela di Inggris Raya. Bahkan beberapa tahun terakhir, jumlah kekerasan meningkat perlahan-lahan seiring berjalannya waktu dan meningkatnya globalisasi.

Anak itu pun sampai ke rumahnya. Ia ragu untuk mengetuk pintu seperti yang biasa ia lakukan saat masuk rumah. Ia takut ditanyai macam-macam oleh bibinya―yang menurutnya cerewet―itu. Akhirnya ia memutuskan untuk masuk diam-diam dan langsung lari ke kamarnya yang terletak di lantai dua.

Namun belum sempat ia mencapai anak tangga pertama, langkahnya terhenti karena suara bibinya.

"Ciel, kau sudah pulang? Kenapa tidak ketuk pintu dulu seperti biasa?" tanya wanita berambut merah yang sedang memakai celemek merah juga.

Anak kecil yang dipanggil Ciel itu menolehkan kepalanya kesamping―ke arah dapur. Aksi menyelinapnya gagal sudah.

"Eh, itu, aku lupa! Aku….err…sudah tidak tahan ke toilet! Ya! Jadi aku langsung lari. Sudah dulu ya, Bi! Aku benar-benar tak tahan!" ucap Ciel agak sedikit terbata di awal dan kemudian langsung melesat ke kamarnya.

"Tumben sekali sih anak itu sampai segitunya ingin ke toilet!" ujar wanita itu—yang bernama Angelina —heran sambil terus memotong wortel yang sedari tadi sedang ia kerjakan.

.

At Ciel's Room

.

"Huft! Untung saja! Bisa makin repot kalau Bibi mulai bertanya yang macam-macam!" gumam Ciel sambil merebahkan tubuhnya ke kasur berukuran single miliknya.

"Auh! Masih nyeri sekali rasanya! Memang dasar anak-anak sialan! Untuk apa coba mereka memukuli tanpa sebab begini? Dasar kurang kerjaan! Mereka tak pernah dididik atau apa?..." Serentetan cacian dan makian terus keluar dari mulut mungil anak itu.

Dia memang sangat kesal dengan kelakuan mereka yang makin lama makin menjadi.

Setelah puas memaki-maki dan beristirahat, Ciel beranjak menuju kamar mandinya untuk membersihkan dirinya dari luka dan kotoran yang menempel di tubuh kecilnya.

Death God's World

Tebing-tebing jingga yang terbias cahaya banyak menjulang tinggi. Tetumbuhan rimbun yang sangat asing banyak dijumpai di kawasan ini. Daun merah muda menyala—seperti daun kelapa namun lebih lebar—adalah yang paling banyak dari serangkaian warna-warni tetumbuhan di sini.

Bunga venus berwarna-warni ukuran raksasa menghiasi sudut-sudut pohon besar berdaun putih―seperti kelopak dandelion. Bedanya semua venus di sini tidak memakan serangga atau apapun. Tanah kawasan yang rimbun itu sangatlah keadaan yang sangat berbanding terbalik.

Di kawasan itu terdapat hewan-hewan seperti di buku dongeng dari yang besar sampai kecil. Sebut saja hydra, warlocks, spider crab, centaur, razormane, mulgore, quilbeast, thunder lizard, dan lain-lain. Siapa sangka dunia unik nan indah macam ini hanya diperuntukkan untuk para death Gods?

Ya, ini adalah para dunia dewa kematian. Dan jangan sangka kalau dewa kematian selalu berwajah tengkorak, berjubah hitam panjang, dan membawa-bawa sabit besar ke mana-mana. Di dunia ini, sosok yang kita kenal seperti itu nyatanya amat berbeda.

Rupa mereka seperti manusia pada umumnya. Namun paras serta wajah mereka lebih tegas dan rupawan. Di balik sosok tegap mereka, bertengger manis sepasang sayap berbulu indah—seperti sayap malaikat namun berwarna hitam kelam berkilat.

Para Death Gods tidaklah membawa senjata besar dan menyeramkan macam sabit pemenggal besar yang biasa dilukiskan di buku-buku dongeng. Mereka menggunakan mantra serta buku bersampul perak yang selalu mereka bawa.

Berbeda dengan manusia, Death Gods lebih senang menyendiri dan jarang berkumpul atau melakukan kegiatan bersama.

Jumlah mereka pun sangat terbatas. Hanya sekitar sembilan puluh tujuh Death Gods yang sekarang berada di Aranchle—dunia Death Gods. Sedangkan tiga Death Gods lainnya sedang berada di dunia manusia. Tersebar di berbagai belahan bumi.

Seperti namanya, Death Gods bertugas untuk mencabut nyawa manusia. Hanya saja caranya berbeda dari yang selama ini kita pikirkan. Death Gods yang berada di dunia manusia adalah Death Gods yang secara tidak sengaja terperangkap di dunia itu untuk sementara waktu.

Kehidupan sehari-hari Death Gods sangatlah teratur dan lurus-lurus saja. Mulai dari mengecek list manusia yang akan dicabut nyawanya, memastikan dan mengatur cara kematian manusia, mengawasi manusia yang akan mati melalui portal penghubung yang berbentuk seperti gua gelap, melaporkan keberhasilan pencabutan nyawa kepada Lord of Death Gods—pimpinan para Death Gods, serta memutuskan jiwa manusia yang tercabut akan dimasukkan ke surga atau neraka.

Di antara semua kesibukan itu, salah seorang Death God bermata crimson berkilat mulai merasa bosan dan muak dengan tugasnya yang tiap hari itu-itu saja. Walaupun kelihatannya sibuk, tetapi para Death Gods lebih sering punya waktu senggang daripada waktu kerja.

Death God bermata merah itu mulai berpikir demikian karena beberapa hari belakangan ini, dirinya lebih sering menganggur daripada bekerja.

Pekerjaan Death Gods diatur oleh Lord of Death Gods yang menerima perintah langsung dari Tuhan. Jumlah nyawa yang dicabut oleh masing-masing Death God tidaklah banyak. Rata-rata setiap harinya mereka mencabut satu nyawa saja. Paling banyak dua nyawa dan hal itu pun sangat jarang terjadi.

Death God bermata scarlet menyala itu duduk di tepian puncak tebing cokelat kejinggaan. Sayap hitamnya terkatup. Iris matanya menatap segala hal di bawah tebing itu.

Seluruh dataran Aranchle terlihat jelas dari tempatnya duduk. Meski wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, siratan matanya jelas memancarkan rasa jenuh yang amat sangat.

Dari semua yang terhampar di atas Aranchle ini, matanya menangkap sesuatu yang mulai membuatnya tertarik. Sesosok Death God berambut merah panjang sedang menjalankan tugas di depan gua kecil gelap yang merupakan portal penghubung Aranchle dan dunia manusia. Bukan Death God merah itu yang menarik perhatian Death God berambut hitam ini, melainkan gua hitam kelam yang kelihatan sangat dalam itu.

Secercah ide terbentuk di benaknya. Seulas seringai terbentuk di wajah pualamnya. Punggungnya menegak serta kedua sayapnya melebar. Segera saja ia terbang menuju portal penghubung itu.

Srak! Tep!

Death God bermata scarlet itu mendaratkan dirinya tidak jauh dari portal mengatupkan sayap hitamnya hingga beberapa helaian bulu indah itu berjatuhan.

Dirinya tidaklah langsung menghampiri Death God berambut merah yang sedang berdiri mengamati manusia yang akan di ambil nyawanya. Ia memilih diam mengawasi serta menjaga kalau-kalau ada Death Gods lain yang akan mengerjakan tugas di portal itu.

Setelah beberapa saat ia menunggu, akhirnya Death God berambut merah panjang itu beranjak dari portal itu hingga tidak ada siapapun di sana.

Ia melangkah perlahan ke hadapan portal itu. Walaupun terlihat gelap dan tak terlihat ujungnya, mata Death Gods dapat melihat ujung portal itu. Di ujung lain portal terdapat dunia manusia―sekitar benua Eropa. Memang masing-masing portal mewakili benua-benua yang ada di dunia manusia. Di Aranchle terdapat 7 portal yang menghubungkan ke masing-masing benua.

Ia teringat akan tiga Death Gods yang sekarang berada di dunia manusia dan tidak bisa kembali ke Aranchle untuk sementara waktu dikarenakan suatu sebab yang hanya Lord of Death Gods dan Death Gods yang bersangkutan saja yang tau.

Dilihatnya keadaan dunia manusia di berbagai Negara di benua Eropa. Mulai dari ujung timur, yakni Rusia, dilanjutkan ke selatan, yaitu Yunani, lalu bagian tengah seperti Jerman, Italia, Prancis, hingga berakhir di ujung barat, yaitu Inggris.

Death God berambut ebony itu mulai merasa dunia manusia itu lebih menarik daripada Aranchle yang menurutnya lurus-lurus saja dan sangat membosankan. Rasanya sudah berkali-kali ia melihat ke dalam portal ini tetapi baru sekarang ia merasakan keinginan untuk ke dunia manusia begitu besar.

Konflik serta peperangan banyak terjadi di dunia manusia. Para petinggi negara yang jujur terlihat sedang mengumbar-umbar janji dan berdiplomasi dengan semangat sedangkan yang melihat hanya diam dan memandang rendah.

Sedangkan orang-orang parlemen serta senator-senator yang sedang rapat di dalam gedung pemerintahan yang nyaman malah sibuk mengobrol atau bahkan tertidur dan ada pula yang sempat-sempatnya menonton video terlarang. Sungguh menggelikan.

Mereka mengaku-ngaku sebagai pegawai pemerintah yang mengurus serta membangun negara beserta isinya ternyata malah sibuk KKN, memanfaatkan status kepegawaian mereka yang tinggi demi kepentingan pribadi.

Ia kembali memperhatikan keadaan di dunia manusia, tepatnya di Inggris. Menurutnya, Inggris adalah Negara paling brutal daripada negara-negara Eropa lainnya yang tadi ia lihat. Dapat dibuktikan dengan merajarelanya kekerasan serta konflik negara yang tak terselesaikan serta makin banyaknya penganut aliran sesat dan semacamnya.

Death God itu kembali melihat lebih dalam di Inggris, tepatnya di London. Mata scarlet-nya menangkap adegan kekerasan yang sedang dilakukan oleh segerombolan anak kecil di sebuah gang sepi. Matanya tetap memperhatikan mereka sedang menendangi seorang anak bertubuh paling kecil dan kurus di antara kerumunan anak.

Baru saja ia akan memalingkan pandangannya ke kawasan lain, anak kecil yang ditendangi tadi mulai berdiri dan membuka matanya perlahan. Kedua orb merah pekat Death God itu terpaku pada kedua orb sebiru lautan milik anak itu yang baru saja terbuka.

Untuk pertama kalinya, sesosok Death God merasa kagum terhadap manusia. Biasanya Death Gods hanya mencemooh para manusia yang memang banyak berdosa terhadap Tuhan. Sungguh, Death God berambut kelam itu merasa konyol atas pemikirannya barusan. Walau demikian, ia tetap mengawasi sosok kecil manusia berambut kelabu itu hingga sesosok Death God lain menepuk bahunya perlahan.

"Sedang mengerjakan tugas, eh?" kata Death God bermata hijau terang berambut kuning kecoklatan yang tadi menepuk bahunya.

"Tidak juga, aku hanya sedikit jenuh hingga datang sendiri mau mengerjakan tugas, Ron?" jawab Death God bermata merah itu sambil kemudian menengok ke arah Death God nyentrik bernama Ronald Knox.

"Tidak, kok! Saat ini aku sedang senggang dan tadi saat aku sedang terbang, aku melihatmu sedang mengamati portal ini, jadi aku menyusulmu, deh!" ucap Ronald riang sambil seantero Aranchle ini, dialah Death God teramah dan paling ceria yang dapat ditemui. Semua Death Gods juga mungkin akrab dengannya karena sifatnya memang berbeda dari kebanyakan Death Gods.

"Ron, apa kau tau sebab tiga Death Gods senior terlempar ke dunia manusia?" tanya Death God bermata scarlet itu kepada kawannya.

"Hm? Maksudmu Osiris, Obelisk, dan R.A.? Aku sendiri juga kurang juga mereka memang ditugaskan untuk sesuatu? Mereka Death Gods periode awal 'kan?" tanya Ronald sambil meletakkan telunjuk dan ibu jarinya di dagu.

"Ya, aku hanya penasaran mengapa mereka belum kembali sampai sekarang." ucap Death God rambut hitam itu.

"Aku juga. Mengapa kau ingin tau, Sebs? Jarang sekali Death Gods menanyakan hal semacam ini." ujar Ronald kepada Death God berambut hitam itu yang dipanggil Sebastian Michaelis.

"Tidak, aku hanya terpikir apa saja yang mereka lakukan di dunia fana itu. Pasti lebih banyak hal menarik di sana dibandingkan di sini, di Aranchle." tutur Sebastian jujur sambil kembali menatap ke dalam portal gelap itu.

"Ha? Ahahahaha!~ Apa yang kau pikirkan, Sebs?" ucap Ronald sambil berusaha menahan tawanya.

"Konyol sekali. Sudah jelas dunia untuk para dewa dan manusia berbeda jauh. Dunia mereka jauh lebih rendah derajatnya daripada kita." lanjutnya sambil mencoba menetralisir rasa gelinya dengan membetulkan letak kacamatanya.

"Aku tau itu, Ron! Aku hanya merasa jenuh beberapa hari ini. Menurutmu siapa yang kira-kira mengetahui lebih detil tentang mereka?" tanya Sebastian mulai kesal dengan Death God periang itu.

"Kenapa tidak kau tanya saja Lord of Death Gods? Beliau 'kan yang paling tau tentang masalah ini?" ucap Ronald lebih sopan karena menyadari nada kesal terselip sedikit di nada bicaranya tadi.

"Kalau itu aku juga sudah tau. Aku malas bertanya kepada dewa tua itu. Apakah Death God biasa tak ada yang mengetahuinya?" ujar Sebastian dengan nada sedikit memaksa.

"Hm, siapa ya?" gumam Ronald sambil menaruh telunjuknya di dagu. "Hmm… Ah, kau bisa tanya malaikat yang datang dua hari sekali itu. Sepertinya ia cukup tua untuk mengetahui hal itu." jawab Ronald sambil menjentikkan jarinya dan tersenyum riang.

"Benar juga katamu. Baiklah, aku akan menanyainya besok. Terima kasih atas saranmu, Ron!" ucap Sebastian sedikit riang sambil merentangkan kedua sayap agungnya dan melesat terbang meninggalkan Death God bermata hijau terang itu sendirian.

"Sebaiknya lupakan saja gagasan konyolmu! Sebab tak akan mudah membuat seorang malaikat membuka mulut dihadapan Death Gods." gumam Ronald sambil menatap langit tempat Sebastian pergi.

4 years later, Monroeville, London, England

.

Pemuda berambut kelabu kebiruan berjalan keluar dari halaman membuka pagar depan rumah sederhana itu dan melangkahkan kakinya di trotoar kecil yang memanjang dan memang melewati rumahnya.

"Hei, Ciel! Tunggu sebentar!" teriak seorang pemuda yang sudah tidak asing bagi Ciel.

Pemuda yang merasa dirinya dipanggil menengokkan kepalanya. Langkah kakinya terhenti dan membalas teriakan tadi. Dilihatnya seorang pemuda berambut hitam pendek acak-acakan berkacamata sedang berlari menuju dirinya sambil melambai-lambai.

"Oi, cepatlah kalau tak mau terlambat lagi." jawab pemuda yang dipanggil Ciel itu sambil membalas lambaian tangan orang itu dengan lambaian kecil dan wajah datar khasnya.

"Ha-ah…hah, sabar sedikit, dong! Lagipula kau selalu saja berangkat duluan meninggalkanku. Aku 'kan sudah jadi tetanggamu selama 3 tahun terakhir ini, Ciel!" protes pemuda bertubuh tak terlalu tinggi itu sambil berusaha mengembalikan napasnya yang sempat hilang.

"Itu karena kau selalu bangun lebih telat daripada aku, tau! Sudah tau aku sendiri juga sering telat bangun." ujar Ciel sambil kembali berjalan menuju sekolahnya bersama teman dekatnya selama 3 tahun terakhir.

"Iya, iya. Maaf deh kalau begitu. Eh, hari ini tidak ada ulangan apapun 'kan?" tanya pemuda acak-acakan itu sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana jeans-nya.

"Tidak ada. Bersyukurlah kau karena kuyakin kau cuma main game semalaman!" tuduh Ciel tepat sasaran dengan nada setengah mengejek sambil terus memperhatikan jalanan.

"Hehe, seperti tidak tau aku saja!" ucap pemuda di samping Ciel itu sambil sedikit cengengesan.

Kentara sekali perbedaan dua pemuda yang sedang berjalan itu. Yang berambut kelabu berwajah stoic, berparas manis layaknya perempuan, bertubuh kurus dan ringkih, serta berpakaian rapi dan sederhana.

Sedang yang berambut hitam berwajah malas, terbilang cukup keren di sekolahnya, bertubuh sedang dan lebih tinggi 5 senti dari kawannya, serta berpakaian agak nyentrik serta acak-acakan dan awut-awutan.

"Ya, beginilah sifat asli Christopher Chaferio yang memang sangat pemalas tetapi kalau di depan orang lain berpura-pura jaim!~ Hahaha…" ejek Ciel sambil tertawa geli sendiri hingga beberapa pejalan kaki berjenis pria menoleh dan terkagum sejenak akan paras manis Ciel.

"Ya, ya! Dan hanya kau yang tau! Awas saja kalau bilang-bilang orang lain! Oh iya, jangan panggil aku dengan nama ribet itu, tuan stoic!" tukas pemuda berambut hitam itu sambil menjitak kepala Ciel pelan karena kesal dirinya ditertawakan di depan umum begitu.

Sepertinya hanya dia yang tidak terpana akan pesona wajah Ciel yang sangat imut itu. Mungkin karena saking bodoh otaknya atau buram matanya hingga ia tidak merasakan ketertarikan seperti yang kebanyakan pemuda lain rasakan terhadap Ciel. Ya, mereka sudah seperti kakak beradik yang sangat akrab sejak 3 tahun lalu.

.

Flash Back

.

Berawal ketika keluarga Chaferio baru pindah dari Italia dan menjadi tetangga Ciel. Pada awalnya Ciel tidak terlalu peduli dengan kedatangan tetangga baru. Ciel pikir tetangga baru itu dan semua anak di sekitarnya sama saja, hanya bisa menjahili dan mem-bully nya.

Pemikiran itu muncul dan disebabkan oleh salah seorang temannya yang dulu cukup dekat dengan Ciel dan merupakan teman lamanya sejak taman kanak-kanak. Namanya Charles Grey. Pemuda berambut putih yang dulu merupakan teman dekat Ciel malah berbalik meninggalkan Ciel dan berpindah kepada Robert dan kawan-kawan.

Hal itu dikarenakan dari dulu hingga sekarang, Robert dan kawan-kawan adalah kelompok yang paling disegani di sekolah Ciel. Dan sialnya Ciel selalu bersekolah di sekolah yang sama dengan mereka.

Grey yang dulu memang masih kecil dan polos memutuskan unuk bergabung dengan Robert dan kawan-kawan. Ia pun meninggalkan Ciel yang memang tidak punya banyak teman sendirian.

Walaupun Grey tidak lagi menjadi teman Ciel, ia tidak pernah ikut mem-bully dan menyakiti Ciel. Tiap Robert dan kawan-kawan beraksi menyakiti Ciel, ia selalu berdiam diri dan menonton saja. Mungkin ada rasa ketidak tegaan terhadap Ciel yang dulu merupakan teman dekatnya.

Grey tidak berani memprotes Robert jika tindakannya terhadap Ciel sudah keterlaluan. Alhasil ia hanya mengeluarkan kata-kata sindiran dan menyakitkan serta meyakinkan Robert kalau Ciel sudah tidak bisa mereka ajak 'bermain'.

Ciel sadar akan sikap Grey yang memang berbeda dengan tiap kali ia mem-bully Ciel dengan mem-bully anak lainnya. Diusianya yang saat itu masih belum matang, Ciel merasa dirinya sangat lemah dan tidak berguna hingga teman satu-satunya yang pernah ia miliki berpaling darinya.

Ia juga merasa kesal, marah, jengkel karena dikhianati teman lamanya. Namun, sekesal apapun Ciel dengan Grey, tetap saja iatidak bisa membenci teman lamanya itu. Di ujung dalam hatinya, ia merasa sedih dan kehilangan, serta kesepian.

Hingga dua tahun berlalu dan Christopher datang dan mulai menjadi teman baru sekaligus teman dekat Ciel. Awal mula mereka berteman baik amatlah sederhana.

Di hari kedatangan keluarga Chaferio, Christopher dan ibunya datang ke rumah Bibi Ciel untuk memberi salam perkenalan. Ciel juga dikenalkan dengan Chistopher muda. Ciel yang memang berpikir negatif duluan tentang Christopher hanya membalas jabat tangan dengan wajah stoic dan langsung kembali ke kamarnya tanpa bilang apa-apa.

Bibi Angelina sendiri terkejut dengan sikap tidak sopan Ciel dan hanya meminta maaf dan melanjutkan mengobrol dengan dua orang anggota Chaferio. Christopher sendiri bingung dan berpikir kalau anak tadi alias Ciel takut dengan dirinya.

Esoknya, saat Chistopher berjalan pulang dari sekolah di hari pertamanya, ia melihat Ciel sedang di pukuli oleh beberapa orang yang baru dikenalnya di ujung gang sempit yang merupakan jalan pintas menuju rumahnya. Memang ia sudah diperingati oleh teman-teman barunya di sekolah untuk tidak terlibat urusan dengan kelompok-kelompok perusuh apalagi Robert dan kawan-kawan.

Christopher sendiri sedikit ragu untuk bergerak menolong Ciel karena dirinya sendiri saat itu masih sama ukuran tubuhnya dengan Ciel. Tetapi ia juga tak tega melihat teman sekaligus tetangga barunya disakiti seperti itu.

Akhirnya ia memutuskan untuk berlari menuju kelompok yang sedang beraksi itu dan menyeruduk mereka. Memang awalnya mereka terjatuh dan mengaduh pelan, tetapi tak lama kemudian mereka langsung berdiri dan balas memukuli Ciel dan Christopher.

Christopher berdiri di depan tubuh Ciel yang sudah jatuh meringkuk untuk melindunginya. Sebisa mungkin ia balas memukul mereka dengan sisa tenaganya. Namun apa daya, tubuhnya yang sudah melemah dan kalah jumlah akhirnya tumbang juga. Walau tumbang, Christopher tetap berusaha melindungi tubuh ringkih Ciel yang sudah dipenuhi lebam yang sangat kentara di kulit pucatnya.

Setelah puas menyakiti kedua anak tak berdaya itu, segerombolan anak-anak itu pergi. Christopher yang cukup cerdas dengan berpura-pura pingsan hingga mereka pergi, berdiri perlahan sambil menahan nyeri sekujur tubuhnya.

Ia kemudian menoleh ke arah Ciel yang perlahan membuka mata biru sedalam lautannya yang indah. Dilihatnya, sosok yang sepantaran dengannya juga merasakan rasa sakit yang sama. Ciel berusaha bangkit dari tanah namun rasa nyeri yang menusuk menghalanginya untuk melaksanakan niatnya.

"Pelan-pelan. Lukamu pastilah sangat sakit hingga kau sangat kesulitan untuk bangun!" ucap Christopher sambil membantu Ciel untuk bangun.

"Ugh, akh, terima kasih banyak, Chaferio!" ujar Ciel sedikit terbata sembari menahan ringisan yang akan keluar dari mulut kecilnya.

"Tidak apa, Phantomhive! Malah seharusnya aku minta maaf karena tidak langsung menolongmu waktu aku melihatmu begini." sesal Christopher sambil memungut kacamatnya yang sudah hancur tak berbentuk.

"Ah, tidak! Aku yang seharusnya minta maaf padamu karena bersikap tidak baik kemarin dan membuatmu ikut babak belur seperti ini, Chaferio! Aku benar-benar menyesal melibatkanmu!" ucap Ciel lirih sambil menundukkan kepala.

"Tidak apa-apa, kok! Ini bukan salahmu, tapi mereka yang seenaknya melakukan hal begini. Apa mereka tidak pernah dididik apa? Seperti bukan anak sekolah saja!..." Chaferio terus saja menggerutu panjang lebar tentang Robert dan kawan-kawan. Sedangkan Ciel yang mendengarkan hanya mengiyakan dan sesekali tertawa mendengar gerutuan aneh yang keluar dari mulut Christopher.

"Kenapa kau tidak lapor ke orang lain saja kalau dirimu sering dibeginikan?" tanya Christopher heran.

"Soalnya kalau ketauan mengadu, mereka bakal membalas lebih kejam dari yang mereka selama ini lakukan. Aku pernah mengadukan hal itu sekali, dan hasilnya aku jadi 'buruan' tiap minggu mereka." tutur Ciel dengan nada kesal dan marah terselip di tiap kata-katanya.

"Sekejam itukah? Inggris ternyata berbeda sekali, ya?" ucap Chaferio sambil terus memandangi trotoar jalanan menuju rumahnya dan Ciel.

"Oh, iya! Aku lupa kalau kau imigran dari negara lain. Ya, beginilah Inggris tahun 2016 kalau kau mau tau." ujar Ciel sambil menepuk dahinya pelan dan menoleh ke arah Christopher.

"Sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan Italia, sih. Hanya saja di Italia lebih jarang terjadi dan kelompok seperti mereka lebih banyak remaja berumur 16-an ke atas!" jelas Christopher sambil balas menengok ke arah Ciel.

"Begitukah? Enak sekali! Setidaknya tidak separah di sini." ungkap Ciel.

Mereka pun bercerita banyak hal terhadap satu sama lain. Ciel mulai menerima keberadaan Christopher dan menganggapnya sebagai teman baik sekaligus saudara angkatnya. Christopher sendiri tidak keberatan menjadi teman baik Ciel meski dampaknya ia ikut terkena pem-bullyan oleh Robert dan sampai sekarang mereka masih berteman baik, malah tambah akrab.

.

End of Flash Back

.

"Adaw, santai, bro! Oke-oke, Kurofer! Puas?" ucap Ciel dengan nada setengah meledek sambil memegangi kepalanya yang tadi dijitak pelan oleh temannya yang satu ini.

"Jangan begitu dong, Ciel!Kau sendiri juga cuma pura-pura stoic di depan yang lain! Padahal sih kau ngeselin banget!" protes Kurofer sambil kembali menjitak pelan kepala Ciel.

"Tidak juga, memang aku seperti ini apa adanya, kok!Kalau mau jaim jangan ngajak-ngajak, ya!" balas Ciel kembali memgangi kepalanya sambil terkikik pelan.

"Benar-benar, ya kau ini sekarang! Makin batu saja kepalmu! Hahaha…" Kini giliran Kurofer balas mengejek.

"Huft! Biar saja!" gerutu Ciel sambil menggembungkan pipinya sedikit dan berjalan duluan meninggalkan Kurofer dengan maksud berpura-pura ngambek.

Kurofer menyadari maksud Ciel dan memang ia bermaksud mendiamkan saja. Tetapi, Ciel tetap berjalan meninggalkan Kurofer di belakang. Setelah jarak antara Ciel dan Kurofer cukup jauh, Kurofer berlari hendak menyusul Ciel.

"Hoi, Ciel! Jangan ngambek beneran, dong!" teriak Kurofer dari belakang.

Ciel yang mendengar itu berhenti lalu menoleh dan hanya memeletkan -tiba raut wajah Kurofer mendadak berubah menjadi tegang.

"E―ekh! CIEL! A―"

CKIIIIIITT! BRAAKK

Kata-kata Christopher yang terpotong bunyi kendaraan yang direm itulah kalimat terakhir yang dapat didengar Ciel dari mulut tetangga serta teman terbaiknya hingga saat ini.

To Be Continued to the Next Page


A.N: Hehe, saya muncul sebagai figuran di sini gak apa-apa, dong?#Plak! Yah, sebenarnya saya cuma pengen liat diri saya jadi sedikit keren jadi saya masukkin jadi temen Ciel!~ #Jdakk! Wits! Jangan pada nodongin pistol ke saya, dong! Nanti kegantengan saya hilang!~ #Jderr! Saya juga sudah mati kok di sini... -_-

Semua teori tentang Death Gods dan aturannya adalah murni karangan saya! Semua teori tentang keadaan Inggris juga sangatlah fiksi! Lihat tahunnya? Tahun 2015 ke atas, kawan! Mana tau saya tentang kondisi masa depan. Jadi, intinya ini sangat fiksi dan jangan dianggap serius, ya!~ Setting tempat Death Gods dapat dilihat dalam game online Warcraft "Frozen Throne" yang bagian additionalnya~

Readers: Siapa juga yang mau ambil pusing sama fict abalmu ini?

Oke, yang penting saya sudah memberikan peringatan. Dan terima kasih kepada my lovely baka otouto yang telah memberikan sumber inspirasi dalam fict ini!~

Sekali lagi, mind to review? Biar saya semangat untuk melanjutkan ini~

.

The Laziest Author,

.

Kuroschiffer P.