Judul: To Tempt The Devil (1/?)

Penulis: Amariys

Jumlah kata: 3210kata

Fandom/Characters: Kuroko no Basket/Akashi Seijuurou, Midorima Shintarou, Takao Kazunari, Kise Ryouta.

Pairing(s): Past AkaMido, past AkaMidoTaka, AkaKise.

Disclaimer: Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi.

Rating: M (To be safe)

Warning(s): Older!Akashi, (Future) Sugardaddy!Akashi, BDSM, S/M relationship, masochist!Kise, violence, dysfunctional-and-unhealthy relationship. More warnings to be added in future chapter(s).

Summary: Berawal dari pertemuan singkat yang meninggalkan kesan, sebuah pertaruhan diajukan. Saat perasaan dan masa depan dipermainkan, siapa yang akhirnya akan menang? AkaKise. Multichapter.


Ruang Merak di hotel The Imperial Palace Tokyo terlihat sibuk. Kapasitas maksimal ruangan dimanfaatkan untuk menampung ribuan perempuan dan laki-laki dalam balutan busana terbaik mereka yang datang ke sana untuk memenuhi undangan perayaan ulang tahun ke-30 dari Akashi Seijuurou, CEO Akashi Corp., salah satu perusahaan yang memimpin dunia bisnis Jepang saat ini. Karangan bunga yang mengucapkan selamat dari berbagai perusahaan dan orang-orang berpengaruh berjajar menghiasi tangga hingga koridor yang menuju ke ruang dansa.

Interior ruangan sengaja dibuat untuk menjaga nuansa tradisional Jepang yang kental, walaupun tetap ada lampu-lampu gantung mewah dari berlian yang terlihat hampir berkilauan karena refraksi cahaya. Meja-meja buffet ditata di tengah ruangan dengan menu makanan Perancis dan masakan Jepang yang sengaja dipisah ke dalam dua sisi. Meja-meja kecil yang lain menyajikan kudapan finger foods seperti croissant, fruit pie, sushi, dan berbagai jenis kue-kue cokelat. Pelayan dalam balutan jas hitam dan kemeja putih berjalan hilir-mudik di antara para tamu, menyediakan gelas-gelas berisi sampanye yang membuat percakapan dapat mengalir dengan lebih lancar.

Di bagian depan ruangan sebuah podium kecil didirikan. Seorang MC berbicara dengan antusias di sana, menyambut setiap tamu yang datang, memastikan untuk menyebut nama-nama mereka yang disediakan tempat duduk khusus di bagian VIP. Nama Akashi Seijuurou disebut tidak hanya sekali—semua diikuti dengan prestasi-prestasi yang pernah diraih oleh si jenius dari keluarga Akashi itu. Lampu sorot berkali-kali berhenti pada sosok berambut merah yang duduk di tengah-tengah lingkaran VIP dan setiap kali hal itu terjadi, Akashi Seijuurou akan memulas senyum tipis demi kesopanan dan mengangguk hormat.

Namun saat lampu sorot berpindah fokus, senyum di wajahnya meluruh lalu ekspresinya berubah dingin seolah garis-garis wajahnya terukir dari batu es. Melihat perubahan ekspresi Akashi, seorang pria berambut hijau yang duduk di sebelahnya mendesah dan membenarkan letak kacamatanya.

"Terlihatlah sedikit lebih menikmati acara ini, Sei. Lagipula, ayahmu dengan sengaja menyiapkan semuanya hanya untuk merayakan ulangtahunmu."

"Siapa yang sedang kaubohongi, Shintarou? Kita berdua tahu apa arti acara ini sebetulnya. Aku sudah terlalu tua untuk pesta ulang tahun."

Midorima Shintarou, dokter spesialis bedah saraf sekaligus teman lama Akashi, menelan satu lagi desahan. Memang, ia pun tahu acara ini hanyalah kamuflase. Sebuah pertemuan bisnis yang diparodikan sebagai sebuah perayaan hanya karena ada kesempatan. Bahkan ayah Akashi sendiri—Akashi Masaomi—yang seharusnya merupakan penyelenggara utama acara ini, tidak hadir di tempat. Beliau terlalu sibuk menghadiri pertemuan dengan kantor cabang mereka di London.

Midorima mengambil gelas di sisinya dan meneguk sampanye yang ada di dalamnya untuk menumpulkan nyeri kepala yang bisa ia rasakan. Ia tidak pernah menyukai suasana pesta yang hingar-bingar seperti ini. Satu-satunya alasan Midorima berada di sana sekarang adalah keberadaan Akashi—sang bintang utama. Kalau bukan karena kedekatan mereka, Midorima pasti telah undur diri setelah basa-basi singkat.

"Ayahmu tidak pernah berubah. Beliau masih sering menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak berguna."

Akashi mengulum senyum. Seorang Midorima Shintarou menyindir orang lain bukanlah hal yang sering terjadi dan Akashi selalu merasa terhibur saat ia melihatnya. "Kami memiliki lebih banyak uang dari yang bisa kami habiskan dan hanya ada begitu banyak acara amal yang bisa kami bantu selama satu tahun. Aku tidak terlalu terkejut Ayah mengalihkan perhatiannya kepada pesta-pesta seperti ini."

Pria berambut hitam di sisi kiri Midorima terkekeh. Ia menyandarkan punggung dengan malas, kepala ditolehkan ke arah Akashi dengan senyum yang terlihat mengejek tergambar jelas di wajahnya. "Perkataanmu itu membuatku benar-benar iri, Sei. Tidak banyak orang yang bisa menghamburkan uang seperti keluargamu, kau tahu."

"Kau mau bertukar tempat denganku, Kazunari? Aku tidak akan keberatan mundur dari posisi CEO."

"Hah! Jangan bercanda hal yang mengerikan seperti itu!" Takao Kazunari tergelak tanpa memedulikan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia menautkan jemari di belakang kepalanya—Akashi tidak akan terlalu terkejut kalau Takao akan menaikkan kaki di atas meja jika saja acara ini tidak terlalu formal—memancing lebih banyak tatapan tidak suka ke arahnya. "Kecuali kalau kau berniat membunuhku dan mendorong para pasienku untuk bunuh diri."

"Aku tersinggung, Kazunari," ujar Akashi dengan seringai kecil. "aku tidak mungkin membiarkanmu mati. Lagipula, kau lebih berguna bagiku saat kau hidup. Di mana lagi aku bisa mendapatkan budak sepertimu?"

"Aww, aku tidak tahu kau menganggapku begitu berharga~"

Di tengah-tengah mereka, Midorima menghela napas lelah. Ia menyilangkan tangan di dadanya. "Get a room, you two."

Takao bertukar pandang dengan Akashi. Alisnya terangkat geli, yang dibalas dengan kekehan pelan dari si rambut merah. Sambil menyengir, Takao membenarkan posisi duduknya dan menelengkan kepala menatap Midorima. Ia menunggu hingga pandangan Midorima bergulir ke arahnya sebelum senyumnya berubah menjadi lebih menggoda, memancing semburat merah samar di kedua pipi pria yang berkacamata.

"Shin-chan, kau benar-benar terlihat menggairahkan saat kau cemburu seperti itu," balas Takao. Ia menurunkan volume suaranya hingga hanya Midorima yang bisa mendengarnya, hanya karena Takao tahu Midorima benci bersikap tidak sopan di hadapan publik seperti ini—suatu kontras dengan Takao, sebetulnya, tapi ia bisa menahan diri jika itu demi Midorima—walaupun tetap saja perkataannya sudah cukup untuk membuat semburat merah di pipi Midorima bertambah gelap dan mata pria itu sedikit membulat. Cengiran di wajah Takao merekah. "Tenang saja, aku dan Sei pasti akan mengajakmu jika kami memutuskan untuk masuk ke kamar."

"T-T-Takao! Itu bukan hal yang pantas kaubicarakan di tempat seperti ini!"

"Ah, Shintarou, tolong jangan larang Kazunari soal itu. Lagipula, saat ini hanya percakapan inilah yang bisa menghiburku dari pesta membosankan ini."

"Akashi, kau terlalu memanjakan Takao."

"Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin aku membiarkannya memilikimu? Aku tidak terlalu senang saat kau memutuskan untuk mengakhiri perjanjian kita."

Midorima mendorong kursinya mundur secara tiba-tiba. Kalau saja lantai ruangan tidak dilapisi oleh karpet tebal, suara gesekan kayu dengan lantai keramik pasti telah menyapa telinga mereka. Akashi dan Takao memberikan Midorima tatapan bertanya yang hampir identik—lengkap dengan alis yang terangkat tinggi—lalu secara kompak juga mereka menyeringai, karena rona merah di wajah Midorima kini tidak mungkin lagi disembunyikan.

"Aku butuh udara segar." Midorima berkata pendek dan sedikit ketus. Ia tidak menunggu balasan dari Akashi ataupun Takao sebelum berjalan menjauh dari meja mereka, walaupun langkahnya sedikit diperlambat saat panggilan Akashi mencapai telinganya.

"Sebentar lagi aku akan berpidato, Shin," ujar Akashi walaupun Midorima sama sekali tidak menoleh ke arahnya. "kuharap kau tidak melewatkannya."

"Hmph," adalah satu-satunya balasan yang Midorima berikan sebelum ia berjalan semakin jauh menuju salah satu meja buffet.

Takao mengikuti pergerakan kekasihnya dengan lekat hingga akhirnya kerumunan orang-orang di luar wilayah VIP menelan Midorima dalam lautan warna. Ia menggeleng pelan; bibirnya masih melengkungkan seringai yang menunjukkan kegembiraan. "Mou, Shin-chan terlalu serius menanggapi segala hal. Padahal dulu aku kira usia akan membuatnya sedikit lebih rileks."

"Ah, tapi kurasa itu sisi yang paling menarik dari Shintarou. Setidaknya, hal itu membuat kepuasan yang kita dapatkan saat berhasil membuatnya lepas kendali jauh lebih besar. Dulu aku sering menghitung berapa lama waktu yang kubutuhkan hingga akhirnya Shintarou memohon."

"Sei, itu bukan kata-kata yang seharusnya kauucapkan kepadaku. Untung saja aku telah mengenal kalian berdua dengan sangat baik hingga aku tidak perlu merasa cemburu," Takao terkekeh. "Omong-omong, kau masih belum menemukan pengganti Shin-chan hingga sekarang?"

Akashi tidak langsung menjawab. Ia mengulurkan tangan, jemarinya menelusuri bibir gelas tinggi berisi sampanye miliknya, matanya terpejam demi menangkap melodi samar yang dihasilkan dari getaran kristal gelas itu. Satu putaran penuh, lalu jemari Akashi bergerak turun hingga ia dapat menggenggam tangkai gelas. Perlahan ia membawa gelas itu mendekat, pandangannya terfokus pada cairan yang seolah berkilau di dalam wadah itu.

"Tidak semua orang dapat memenuhi keinginanku, Kazunari. Tentu kau bisa mengerti."

"Aku yakin bukan karena tidak ada yang mencoba," senyum di wajah Takao berubah sedikit getir. "Kau sudah memiliki segala hal yang mungkin ada di dunia. Apalagi yang kauinginkan, Sei?"

"Aku hanya menginginkan satu hal: mainan yang tidak akan pernah rusak. Aku hanya tidak menyangka akan sangat sulit untuk mendapatkannya."

"Itu permintaan yang hampir mustahil untukmu," Takao mendengus pelan. "tapi, yah, siapa tahu. Mungkin di pesta ini kau akhirnya akan mendapatkan keinginanmu."

Akashi mengulum senyum. "Semoga saja begitu."


Saat MC memanggil Akashi naik ke atas podium, ia melakukannya hanya karena kewajiban. Sejujurnya, Akashi sudah bosan berbicara di depan orang banyak—ia sudah seringkali melakukan itu di pekerjaannya—namun ia tahu menolak kesempatan ini sekarang hanya akan menyinggung sebagian besar tamu yang hadir (walau sebetulnya Akashi tidak membutuhkan mereka sebesar mereka membutuhkannya), hingga ia hanya memasang senyum saat mengambil tempat.

Hening dengan segera hadir di ruangan. Seluruh pasang mata tertuju kepada Akashi Seijuurou dan Akashi membalas tiap-tiap pandangan yang mampu menatapnya langsung. Sudut bibir Akashi berkedut naik saat sebagian besar orang dengan segera menurunkan pandangan saat bertemu iris merahnya—kecuali Takao yang justru memberikannya kedipan nakal.

Akashi sedikit mengangkat wajah, mengizinkan pandangannya menyapu ruangan sekali lagi. Ia bisa melihat Midorima berdiri di tengah kerumunan orang, si rambut hijau mudah ditemukan karena tinggi badannya. Sorot mata Akashi sedikit melembut sebelum pandangannya kembali bergulir, kali ini memindai wajah-wajah familier rekan-rekan bisnisnya—dan saat itulah Akashi menemukannya.

Akashi baru saja membuka pidatonya saat pandangannya bersirobok dengan sepasang emas yang seolah telah menantinya. Kontak mata yang awalnya terjadi secara tidak sengaja sudah cukup untuk membuat rasa ingin tahu Akashi muncul. Ia memfokuskan perhatian pada pemilik iris emas itu, menangkap sosok seorang pemuda dengan helaian rambut pirang yang terlihat jauh lebih muda darinya dalam balutan setelan jas putih yang membuatnya cukup mencolok di antara tamu-tamu lain.

Pidato Akashi sama sekali tidak berjeda bahkan saat bibir tipis si pemuda pirang melengkung membentuk senyum yang sedikit mengejek. Gelas sampanye yang ada di tangan si pemuda terangkat ke arah Akashi seolah untuk memberikannya penghormatan. Akashi berkedip. Sedetik kemudian si pirang telah berbalik dan berjalan menuju pintu keluar.

Sebuah undangan sekaligus tantangan. Menarik. Sudah lama sekali sejak ada yang berani menantang Akashi.

Tiba-tiba, waktu yang ia habiskan untuk pidato—yang sebetulnya sudah relatif singkat—terasa begitu panjang. Akashi merasa tidak sabar, suatu hal yang hampir tidak pernah terjadi semenjak ia menginjak pertengahan duapuluhan, terutama saat kepala pirang targetnya telah menghilang di balik pintu yang ditutup rapat. Akashi mengambil jeda dalam pidatonya untuk menarik napas dalam, mengontrol dorongan dalam dirinya untuk mengikuti si pemuda pirang saat itu juga, lalu menyelesaikan pidato tanpa memperpendek apapun.

Suara tepuk tangan yang meriah mengiringi langkah Akashi saat turun dari podium, tapi saat ini pikiran Akashi sudah tidak berada dalam ruang pesta. Ia bahkan tidak kembali ke tempat duduknya, mengabaikan tatapan bertanya dari Takao dan hanya menanggapi beberapa tamu yang menyapanya dengan jawaban-jawaban singkat. Langkah-langkah pasti Akashi membawanya ke depan pintu, dua orang pelayan dengan sigap membukakan pintu untuknya saat ia mendekat, dan tak lama kemudian hingar-bingar pesta pun terputus bersamaan dengan suara pintu yang menutup.

Akashi tidak punya waktu menyesuaikan diri dengan suasana koridor yang hampir sunyi, karena tepat di hadapannya, si pemuda pirang telah menunggu masih dengan seulas senyum yang membuat jemari Akashi gatal untuk mengoyaknya. Tentu saja, Akashi menjaga ekspresinya tetap netral, memastikan pikirannya yang mulai dipenuhi oleh keinginan untuk merusak pemuda cantik yang ada di hadapannya tidak terlihat jelas, bahkan saat ia mengambil langkah maju mendekati targetnya.

"Kau tahu, tidak seharusnya bintang utama meninggalkan pesta yang diselenggarakan untuknya. Bayangkan apa yang tengah orang-orang bicarakan di balik pintu itu sekarang."

Suara si pemuda pirang melengkapi gambaran dirinya dengan sempurna: ringan dengan suatu keceriaan implisit yang terdengar plastik. Gestur tubuh si pemuda terlihat santai, dengan punggung yang disandarkan ke dinding, kaki yang menyilang di pergelangan dan kedua tangan yang disilangkan di dada. Kepalanya sedikit dimiringkan sehingga ia dapat menatap Akashi dari balik helaian poni pirangnya. Bibirnya melengkung dalam senyum yang sedikit merekah, sesekali lidahnya terlihat menyapu di atas daging kembar merah itu.

Suatu perwujudan seduksi yang sempurna. Akashi memicingkan mata saat hasrat mulai muncul di dalam dirinya. Pemuda yang ada di hadapannya saat ini terlihat sempurna—secara fisik—dan ia memahami dengan baik cara untuk memanfaatkan kelebihan fisiknya demi mencapai keinginannya. Akashi betul-betul ingin membuatnya menangis sekarang.

"Aku hanya menerima undangan yang jauh lebih menarik. Kurasa aku tidak bisa disalahkan saat yang memanggilku seorang siren sepertimu."

"Oh? Ternyata seorang Akashi Seijuurou jauh lebih dermawan dengan kata-katanya dari apa yang orang-orang bilang. Aku tersanjung dengan pujian Anda."

"Siapa namamu?" Akashi kembali melangkah maju, walaupun ia memastikan ada cukup jarak di antara mereka hingga ia tidak perlu mendongak menatap si pemuda.

"Ryouta, Kise Ryouta."

Satu alis merah menyentuh garis rambut Akashi. "Aku tidak tahu keluarga Kise punya anak laki-laki."

"Yah, tidak terlalu aneh. Ayah memang tidak terlalu suka membicarakan tentangku."

Kise berusaha untuk tersenyum saat mengatakan itu, tapi yang terlihat di mata Akashi adalah sebuah ringisan dan pantulan kesedihan di dalam mata Kise sebelum ia dapat menyembunyikannya. Akashi melihat itu semua, tapi ia memutuskan untuk mengabaikannya. Setidaknya, untuk saat ini.

"Kise Ryouta," ia mengulang nama itu, seolah untuk menguji cara tiap silabel terbentuk dan memutuskan ia cukup menyukainya. "Ryouta, kalau begitu. Lalu? Untuk apa kau sengaja memanggilku ke sini? Kuharap aku tidak membuang waktuku dengan memutuskan untuk mengejarmu."

"Oh, tenang saja, aku tidak akan mengecewakan Anda, Akashi-sama. Sebetulnya, aku punya proposal untuk Anda."

"Proposal," kali ini, nada suara Akashi terdengar bosan. "sayang sekali aku tidak tertarik membicarakan bisnis. Apalagi dengan bocah yang masih berusaha mengenal dunia sepertimu. Nampaknya aku telah salah menilaimu, Kise Ryouta. Mungkin kau bukan seorang siren. Mungkin sebetulnya kau hanyalah lintah yang sama sekali tidak berharga."

Akashi menatap Kise dingin, menangkap cara kedua mata si pemuda membulat dan ekspresi terluka yang terbentuk di wajahnya—dan saat itu darah Akashi terasa mengalir lebih deras karena hasrat yang meningkat. Kise Ryouta memiliki wajah terluka yang sangat manis—tapi ia tidak menunggu lebih lama lagi sebelum berbalik. Akashi harus mengakui ia sedikit kecewa. Awalnya ia kira Kise akan memberikannya tantangan baru, suatu perubahan yang Akashi butuhkan untuk membuat hidupnya kembali menarik, tapi rupanya ia keliru. Ia tidak membutuhkan mainan yang hanya akan menurutinya karena iming-iming hadiah; Akashi menginginkan seseorang yang mampu menyeimbanginya karena mereka memang mendambakan sensasi yang akan ia berikan.

"T-Tunggu!"

Seruan panik Kise tertangkap oleh telinga Akashi, tapi tidak cukup untuk membuatnya berhenti berjalan. Ia dapat mendengar suara langkah Kise yang berusaha menyusulnya, kemudian tubuh Akashi sedikit terlonjak ke belakang saat tangan Kise menangkap pergelangan tangannya dan menarik pelan.

Tubuh Akashi bergerak secara refleks setelahnya. Dalam beberapa gerakan cepat ia telah melepaskan genggaman Kise di pergelangannya, berbalik untuk menghadap si pirang, kakinya bergerak cepat menendang kaki Kise hingga pijakannya goyah, lalu dengan menggunakan momentum gravitasi ia telah membanting tubuh Kise ke atas karpet koridor, membuat napas Kise terlepas dalam embusan cepat yang menyakitkan.

Akashi berlutut di sisi tubuh Kise. Pandangannya yang sama sekali tidak melembut melekat pada kedua mata Kise yang masih membulat. Tanpa senyum di garis bibirnya, Akashi mendekatkan wajah ke telinga Kise, sedikit menikmati saat tubuh di bawahnya gemetar pelan tiap kali napas Akashi jatuh mengenai kulit putih yang seolah memohon untuk dinodai, lantas berbisik dalam nada rendah yang berbahaya:

"Akan kuberikan kau tiga peraturan, Bocah. Pertama, jangan pernah meninggikan suaramu kepadaku. Kedua, jangan menyentuhku selain saat aku mengizinkannya dan ketiga, jangan pernah memandangku dari tempat yang lebih tinggi." Akashi menarik diri saat jakun Kise bergerak untuk menelan ludah. Sorot ketakutan dan keraguan yang memenuhi pandangan Kise membuatnya terlihat begitu muda, mengoyak topeng kedewasaan yang sebelumnya ia kenakan. Melihat itu, Akashi bertanya sejauh mana ia bisa membuat Kise Ryouta kehilangan akalnya, hingga ia tidak sanggup lagi berpura-pura, hingga yang akan Akashi dapatkan hanyalah sosok dirinya yang begitu murni.

Akashi melepaskan napas perlahan-lahan, karena pemikirannya saat ini terlalu berbahaya untuk diteruskan, walaupun ia tidak sanggup menahan godaan untuk meletakkan hidungnya di perpotongan leher dan pundak Kise, menghirup aroma parfum yang dikenakan olehnya dan aroma alami Kise yang samar tercium di balik itu. Kise menarik napas dalam, Akashi merasakan tubuh si pemuda yang menegang lalu berusaha menggeliat menjauh dan ia menggigit kulit di bawahnya sebagai peringatan.

Tubuh Kise berhenti bergerak sepenuhnya saat rasa sakit samar gigitan Akashi sampai ke otaknya. Ia mengeluarkan suara yang seperti rintihan, dadanya bergerak naik-turun tidak beraturan dengan tiap embusan napas pendek dan cepat yang ia keluarkan. Akashi melepaskan gigitannya dan tersenyum puas saat melihat memar merah di tempat ia menekankan giginya. Ia menjilat area itu, separuh karena ingin menggoda Kise lebih jauh dan separuh karena ia tidak ingin kehilangan kesempatan mencicipi si pirang, sebelum benar-benar melepaskannya.

Akashi bangkit berdiri dengan ekspresi datar seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka, sementara Kise masih tetap pada posisinya. Ia tersenyum dengan sedikit lebih tulus melihat semburat merah gelap yang kini hadir menghiasi wajah Kise ataupun kedua matanya yang berkaca-kaca saat menatap Akashi. Bibir merah Kise sedikit terbuka dan bagian bawahnya bergetar seolah untuk menahan tangis; Akashi harus mengingatkan diri bahwa koridor hotel bukanlah tempat yang tepat untuk melumat setiap inci pemuda pirang itu.

Secara impulsif Akashi membungkuk, hanya cukup hingga ia dapat mengelus puncak kepala Kise dengan lembut. Kise Ryouta menatapnya dengan ketakutan yang berperang dengan pengharapan dan saat itu Akashi membuat keputusan.

"Pesta berakhir tepat tengah malam. Setelahnya, datanglah ke presidential suite, bilang kepada penjaga kalau krisan merah yang memanggilmu. Akan kupertimbangkan proposalmu di sana."


"Ah, selamat datang kembali, Sei~" Takao menyambut riang saat Akashi kembali mengambil tempat duduk di sisi Midorima. Ia sedikit mendongak dari piring makanannya untuk memberikan Akashi perhatian penuh. Ada senyum licik yang terbias di wajahnya. "Apa kau menemukan mainan baru di luar sana? Aku dan Shin-chan cukup terkejut saat kau tiba-tiba berjalan keluar ruangan."

"Aku menemukan mainan potensial, tapi bahkan aku pun belum tahu apakah ia akan setuju bermain denganku atau tidak. Bukan tidak mungkin ia akan mundur setelah mendengar persyaratan dariku."

"Kurasa kemungkinan itu kecil. Kau dan… hobimu cukup terkenal. Jika dia berani memanggil perhatianmu, seharusnya dia telah memahami konsekuensinya."

"Shin, kau berkata seperti itu seolah aku ini benar-benar mengerikan."

"Bukan seolah, memang kenyataannya seperti itu," Midorima membenarkan letak kacamatanya. "Jadi? Siapa nama calon korbanmu sekarang?"

"Kise Ryouta," jawab Akashi dengan sepenuhnya mengabaikan ejekan Midorima. "Kau mengenalnya?"

"Aku tahu tentang keluarga Kise, tapi aku tidak ingat ada yang bernama Ryouta di sana," Midorima sedikit merengutkan alis. Ia memang mengenal nama Kise, sebuah keluarga yang memiliki usaha di dunia entertainment yang juga rekan bisnis perusahaan Akashi. Midorima dan Akashi sudah pernah bertemu dengan kepala keluarga Kise beberapa kali, tapi ini pertama kalinya ia mendengar nama Kise Ryouta—yang justru membuat Midorima semakin curiga. "Kau yakin dia tidak berusaha untuk memanfaatkanmu, Akashi?"

Akashi tersenyum. "Yah, dia memang mengatakan sesuatu tentang proposal, tapi kau tidak perlu khawatir. Aku tidak sebodoh itu hingga dapat dimanfaatkan oleh orang lain."

"Hmph, tidak ada salahnya berhati-hati."

"Mou, Shin-chan, kau terlalu khawatir!" Takao terkekeh. "Bukankah justru menarik kalau Kise Ryouta ini bisa memanfaatkan Sei? Setidaknya, itu akan membuktikan bahwa seorang Akashi Seijuurou tidak selamanya benar. Aku justru sangat ingin melihat itu."

"Takao, kau tidak seharusnya berkata seperti itu tepat di depan Akashi."

"Pfftt, Sei tidak akan keberatan. Betul, kan?"

"Tentu saja. Justru karena Kazunari selalu berkata jujur seperti itu aku jadi menyukainya. Sebetulnya, perkataan Kazunari memberikanku ide yang bagus."

"Hmm? Apa idemu, Sei?"

"Aku ingin kita membuat taruhan. Premisnya sederhana: apakah Kise Ryouta dapat memanfaatkanku untuk mendapatkan keinginannya, atau dia akan terlebih dahulu menyerah dan memutuskan untuk keluar dari permainan."

"Dan apa hadiah untuk pemenangnya?"

"Apa pun yang mereka inginkan," Akashi perlahan tersenyum, "Tujuan utama taruhan ini hanya untuk membuat keadaan semakin menarik. Lagipula, uang tidak pernah menjadi masalah bagi kita."

"Hahahaha, aku setuju! Baiklah, kalau begitu aku dan Shin-chan akan ikut dalam taruhan itu! Nee, Shin-chan?"

"Bertaruh dengan Akashi itu konyol," rengutan di antara alis Midorima semakin dalam, tapi kemudian ia mengesah berat. "tapi baiklah. Aku setuju. Setidaknya, dengan ini rutinitas yang terlalu monoton akan menjadi sedikit berbeda."

"Kalau begitu sudah diputuskan!" Takao berseru riang. Ia mengangkat gelas sampanye-nya tinggi ke arah Midorima dan Takao. "Semoga pertaruhan ini akan menjadi menyenangkan!"

.

.

.

End of Part 01


A/N: Menerbitkan cerita seperti ini sehari setelah lebaran mungkin terhitung sebagai penambahan dosa, tapi saya harap para pembaca tetap dapat menikmatinya. Cerita ini adalah multichapter AkaKise pertama saya – yang berarti cerita ini mungkin akan memakan waktu yang cukup lama hingga selesai saya tulis. Update akan bersifat sporadik – seperti biasa – namun saya akan mengusahakan untuk tidak mengulur waktu penerbitan chapter berikutnya hingga lebih dari satu bulan.

Terima kasih telah membaca. Selamat hari raya Idul Fitri bagi yang merayakan, dan semoga Anda berkenan meninggalkan jejak. :)