"Maaf Ciel, aku senang tapi.. dibanding seorang pria aku lebih menganggapmu seperti adikku sendiri."
"Begitu ya, aku mengerti. Terimakasih sudah mau mendengarkanku, tenang saja aku juga tidak keberatan hahaha."
.
.
Fanfiction
Love Full Speed belongs to Satsuki Mikiko + anclyne
Kuroshitsuji belongs to Yana Toboso
Pair : Sebastian X Ciel [SebaCiel]
Genre : Romance
Warning Maybe OOC, Sho-ai, typo(?) .
Happy Reading
.
Ciel Phantomhive 17 tahun, pemuda bersurai kelabu dengan manik sapphier itu untuk pertama kalinya. Mengumpulkan keberanian untuk menembak sang gadis pujaan—Elizabeth Middleford, gadis bersurai curly blonde yang lebih tua satu tahun darinya itu sukses membuat hati Ciel terkoyak. Bagaimana tidak, walaupun Ciel berkata dengan riangnya 'ia tidak keberatan'—sejujurnya tetap saja menyakitkan.
Apanya yang 'seperti adik' ? bahkan ciel lebih tinggi tujuh centi dari gadis itu.
BUAGH!
Begitu kesalnya hingga tangan pucat itu meninju tembok tak bersalah disampingnya. Ah, rasa nyeri ditangannya bahkan tak separah hatinya saat ini.
Menyedihkan!
Seperti orang bodoh saja, berpura-pura tidak keberatan tapi hatinya begitu sakit. Yang namanya patah hati, tetap saja menyakitkan. Biarpun ia kejar, cinta itu pasti akan hancur dalam sekejap!
Ia menghela napas kecewa, membiarkan tubuhnya merosot bersandar pada dinding. Matanya begitu perih menahan air mata yang ingin mengalir keluar, namun sayang harga dirinya sebagai laki-laki tidak membiarkannya menjatuhkan setetespun air mata.
"Heh.."
DEG
Jantung Ciel hampir saja lepas saat mendengar suara familiar yang menyebalkan.
"Kejadian ini, enaknya disebut apa ya ? Setan juga bisa kacau atau setan juga bisa terpukul?"
Ciel menoleh ke asal suara si brengsek itu, dan benar—
"Kau.."
"AH! aku tau, setan juga bisa patah hati~"
Sebastian Michaelis, pemuda bersurai raven kuncir sebahu bermanik Ruby. Rival bebuyutan Ciel sekaligus teman sekelasnya—Kini memamerkan seringai yang paling ingin Ciel lenyapkan dari muka bumi ini.
"Semuanya salah Sebastian, coba kau buka kamusmu! Lebih baik kau ulangi pelajaranmu dari SD ." Ciel menatap nyalang pemuda didepannya.
"My my, seperti biasanya.. kau tidak pernah mengerti candaanku ya."
"Tidak ada aturan jika aku harus mengerti semua omong kosongmu. Lagi pula disituasi seperti ini seharusnya kau pura-pura tidak melihat, sialan!"
"Hahh..? kenapa aku harus mengabaikan pemandangan langka ini? Biarpun melakukan itu, kenyataan yang terjadi tidak bisa terhapus. Selain itu, hal ini tidak bisa aku hindari." Sebastian menaikkan sudut bibirnya sedikit.
"Brengsek, kemari kau akan ku hajar mukamu—"
"—Kau juga, kalau melihat orang yang disukai.. matamu tak bisa lepas darinya, kan?"
"Eh ?"
Sebastian melangkah mendekati Ciel, tangan kanannya terulur menggapai tangan pucat Ciel. Namun reflek ditepis, biarpun begitu Sebastian tetap menggapai tangan ciel dan menggengamnya hingga Ciel tak bisa lagi menepis.
"Ini semua Karena, aku suka denganmu." Sebastian menyeringai lebar.
"…"
"…"
"…"
"…"
"—A-apa ?!"
"Kau boleh jawab kapan saja." Ujar pemuda raven itu, meninggalkan Ciel yang masih terpaku ditempat sambil bersiul-siul gembira.
'HAAHH?!'
.
.
.
Esoknya Ciel berangkat sekolah dengan langkah gontai, penolakan yang terjadi kemarin membuatnya frustasi, ditambah pernyataan tidak terduga Sebastian membuatnya terjaga semalaman. Ia baru saja patah hati, untuk apa memikirkan hal konyol begitu.
'Cih payah! Memangnya aku akan terjebak oleh lelucon seperti itu. Bodoh sekali!'
"Selamat pagi, Ciel."
Dahi ciel berdenyut kesal begitu mendengar suara yang paling tidak ingin ia temui.
Sebastian tersenyum sumringah, seraya melingkarkan tangannya ke leher pemuda yang lebih pendek darinya—yang sontak saja ditepis Ciel dengan cepat, dengan tambahan dorongan kuat yang membuat Sebastian seketika terjatuh.
"Ciel, aku tau kau malu—ukh!" belum selesai Sebastian berkicau, sepatu Ciel telah mendarat ke atas dada Sebastian yang tadi jatuh terduduk seraya menginjak-injaknya. Sepertinya Ciel benar-benar gondok setengah mati.
"—ya ampun. Kau ini pagi-pagi sudah mesra Ciel!." Sebastian masih bertahan dengan senyuman lebarnya.
"Diam kau brengsek! Berhenti main-main." Ciel memaki keki,
"Aku tidak main-main, walaupun diinjak dan ditendang, jika Ciel yang melakukannya akan ku anggap itu sebagai ungkapan kasih sayang."
"—kau.. masokis?" tanya Ciel dengan tatapan horror.
Sebastian tergelak, "sebenarnya aku ini S , tapi jika kau yang meminta aku akan senang hati menjadi M. "
"Menjijikan, menjauh kau dariku!"
"Nanti siang kita makan bersama ya."
"Hei kau dengar kau?!"
"Hm.. enaknya dikelas atau di kantin?"
CTAK
Satu urat kesabaran Ciel putus, begitu pemuda yang menjadi rival nya itu tidak menggubrisnya. kepalanya serasa ingin meledak sekarang juga.
"DENGAR YA, AKU PALING BENCI DENGAN LAKI-LAKI SEPERTIMU YANG RAMBUTNYA PANJANG SEPERTI HOST!"
Manik ruby Sebastian membola.
Napas Ciel terengah setelah berteriak meledakkan kekesalannya. Merasa tak mendengar sepatah katapun dari rivalnya, Ciel menyadari sepertinya ia telah mengatakan sesuatu yang salah.
"B-bukan hal sepele begitu yang ingin ku kataka.. —eh? Kemana dia?"
Sebastian mendadak hilang dari hadapan Ciel.
"Sial, dia benar-benar mempermainkanku—"
KYAAAA!
Ciel menoleh ke asal suara jeritan barusan. Jeritan perempuan yang berasal dari ruangan PKK , tak jauh dari tempatnya berdiri.
"A-apa yang terjadi—" manik sapphier Ciel membola, mulutnya ternganga melihat aksi pangkas rambut Sebastian. Rambut pemuda itu yang semula sepanjang bahu, kini terpangkas pendek.
"Ah, Ciel. Bagaimana? Cocok tidak, apa masih kurang pendek? Aku pinjam gunting mereka." Cengir Sebastian sedangkan Ciel masih membatu.
"E-eh a-apa?! Tidak perlu, itu sudah cocok!" pekik Ciel panik, seraya menarik Sebastian keluar—takut jika pemuda itu akan melakukan hal aneh lainnya. "Jangan lakukan lebih dari ini, kau mengerti?!"
"Hmm.. tapi kalau tidak melakukan itu, kau tidak akan percaya kalau aku serius, kan?" Sudut bibir Sebastian naik seinci.
Wajah ciel mendadak panas, darahnya serasa berdesir dan jantungnya berdegup kencang.
'Apa-apan dia ini.. Jadi dia sedang tidak bercanda?'
.
.
"Ciel kau baik-baik saja ?" tanya seorang pemuda bersurai blonde dengan nada khawatir—Alois Trancy.
"Hah..Mungkin." dengusnya lelah.
"Hebat juga, aku sudah dengar loh dari anak-anak kelas PKK soal aksi pangkas rambut itu. Kelihatannya kau akan kerepotan lagi." Ujar pemuda blonde itu sambil menepuk-nepuk bahu Ciel.
"Ha ha ha, terimakasih pendapatnya." Ciel tertawa garing.
"Tapi kau kan sudah punya orang yang disukai, semua orang juga pasti sepertimu."
"Aku sudah ditolak."
"APA? SEJAK KAPAN?" jerit pemuda blonde itu shock. Sedangkan Ciel menenggelamkan wajahnya pada meja.
"—Baiklah, aku mengerti.." Alois menghela napas keras. " kalau begitu kenapa kau tidak coba terima Sebastian saja?"
"Apa kau mulai gila hah?" Ciel mencibir kesal. Sama sekali tidak percaya jika kalimat itu akan keluar dari mulut sahabatnya.
"Pria yang hanya menyukai wanita itu berharga loh, sebaikanya kau simpan saja dulu." Alois tersenyum jahil.
"AKU BUKAN WANITA, SIALAN!" jerit Ciel emosi.
"Tapi sama saja kan?"
"TIDAK SAMA, KU HAJAR KAU SINI!"
Ciel benar-benar lelah, bahkan sahabatnya sendiri pun membuatnya hilang kesabaran.
Selagi Ciel mengamuk, dikubu seberang—tepatnya Sebastian, sibuk tidur ayam dimejanya. Hingga seorang bersurai mencolok—Greill Satcliffe mengusik aktivitasnya.
"Hey, Sebby. Memang apa bagusnya si kurus phantomhive itu, dia sama sekali tidak ada bagus-bagusnya!"
Sebastian menyahut pelan pada teman wanita—setengah pria disebelahnya seraya mengangkat buku yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Ia menumpukan wajahnya dengan tangan lalu menatap sejenak wanita—setengah pria bergigi runcing bersurai merah panjang itu.
"Aku tidak sebaik itu memberitahu, orang yang tidak bisa melihatnya seperti kau."
"Ehh, kenapa begi—AW! Itu sakit sebby." Pekiknya berlebik ketika Sebastian menarik pipinya dengan keras.
"Itu hukuman karena menjelek-jelakan Ciel-ku."
.
"Oh iya Ciel, lebih baik kita putuskan tempat yang akan kita kunjungi di kegiatan kelompok ke taman dekat pantai nanti. Hari ini sudah harus ditetapkan, kan?" Alois berujar mengingatkan.
"Hm, kau benar."
"Kalau aku kemana saja oke, asalkan bersamamu."
Telinga Ciel kembali panas begitu sosok yang tidak diinginkan dengan seenaknya muncul.
"Kelompokmu itu beda, bodoh! Pergi sana!" Ciel mengambil ancang-ancang menendang, namun berhasil dihindari Sebastian dengan mudah.
"Ah~ itu tidak masalah kok, yang penting ayo kita kencan."
"MATI SAJA KAU, BRENGSEK!"
'Payah sekali, sebenarnya apa yang si brengsek ini mau sih?! Apa-apaan sikapnya itu.' Batin Ciel kesal.
.
.
.
Esoknya, hari kegiatan kelompok yang dijanjikan pun dimulai. Ciel telah lebih dulu datang bersama Alois dan kelompok lainnya. Dan syukurlah, ia bisa bernafas lega karena sampai detik ini ia sama sekali belum melihat batang hidung Sebastian.
'sepertinya dia tidak datang, ah mungkin dia sakit. Cih masa bodoh, itu bukan urusanku! Lebih baik aku cepat meminta semuanya memulai sebelum si brengsek itu mun—'
"Kau pikir bisa kabur dariku ? Ci~el.."
'—cul , sial!"
"Huh, aku pikir kau tertabrak mobil dan koma." serapah Ciel pada pemuda yang sedari membuatnya was-was.
"Aku tersanjung ternyata kau mengkhawatirkan ku." Senyum Sebastian sumringah.
Ciel mendecih pelan, "ayo kita pergi sekarang." Ajaknya dan Alois hanya mengangguk tanpa menghiraukan Sebastian. Sejujurnya ia sudah cukup lelah menghadapi ocehan pemuda itu.
"Ciel berhenti!" pekik Sebastian tiba-tiba, namun Ciel tetap berjalan mengabaikan panggilan sang rival.
"Hei berhenti atau kau akan—"
"AHH!"
"—Menginjak kotoran anjing…."
Ciel mengerang frustasi saat menyadari sepatunya telah menginjak kotoran anjing.
"Kenapa kau tidak bilang lebih cepat, bodoh!" maki nya kesal pada Sebastian.
"Kan aku sudah memperingatkanmu, tapi kau malah mangabaikanku~" ujarnya sambil memasang ekspresi tak bersalah.
"Ukh.."
Jika sudah seperti ini mau tidak mau, ciel harus membersihkan sepetunya terlebih dahulu. Ia pun meminta Alois untuk pergi bersama kelompok lainnya tanpa menunggu dirinya. Setelah mencari toilet untuk membersihkan sepatu, sekarang tinggallah dia dan Sebastian .
Mereka berdua hanya diam, duduk disebuah bangku panjang tanpa ada yang membuka suara—walau sunyi, tetap saja Ciel merasa risih jika pemuda yang duduk disebelahnya ini terus menatap dirinya tanpa mengalihkan pandangan sedetikpun.
"Berhenti memandangiku brengsek, atau ku cungkil bola matamu."
"Itu permintaan yang mustahil." Lagi-lagi Sebastian memasang senyum jahil.
"Hahh..Pergi bersama kelompokmu sana, aku akan menunggu yang lain disini." Ucap Ciel pasrah.
"Mana bisa aku meninggalkan Ciel yang semanis ini, bisa-bisa kau di goda orang lain~"
"Berhenti memperlakukanku seperti wanita!" Ciel menatap nyalang.
"Baiklah, tapi.. kau tau? Duduk berdua seperti ini saja sudah seperti kencan." Sebastian menyeringai menggoda.
Ciel terdiam, lagi-lagi wajahnya terasa panas. Jantungnya berdegup kecang, beruntunglah keadaan sekitar sangat ramai karena ia khawatir Sebastian akan mendengar dengup jantungnya.
"Terserahmu lah, bodoh!"
"Bodoh juga tak apa." Balasanya terkekeh senang.
.
.
Ciel tidak habis pikir kenapa Sebastian akan sampai seperti ini, waktu yang ia habiskan seharian bersama Sebastian benar-benar melelahkan. Setiap mulutnya terbuka, yang keluar hanya rayuan dan keluhan. Ciel tidak terbiasa dengan kata-kata manis seperti itu, apalagi dari seorang pemuda sama seperti dirinya. Bagaimana mungkin Sebastian bisa sejujur itu, bagaimana ia dibesarkan hingga menjadi sekeras kepala begitu?
Ciel menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang empuk miliknya, menghela napas lelah. Semua yang terjadi hari ini membuat kepalanya pusing. Begitu kelopak matanya akan menutup, telinganya menangkap suara dering ponsel yang bergetar. Ia pun meraih ponsel layar sentuh miliknya, dan seperti yang ia duga. Satu email dari Sebastian, sudah sering kali Ciel mendapat email yang isi pesannya sangat penjang dan penuh ocehan tidak penting. Dengan malas ia pun membuka email tersebut,
From : Michaelis
Subject : -
"Selamat tidur dan sampai besok, Ciel."
"Kenapa pendek.."
'Hah?! Apa yang barusan aku katakan? Kenapa apanya, biar pendek pun bukan urusanku!'
Seharusnya ia lega karena itu bukan ocehan panjang, namun entah mengapa perasaannya menjadi aneh. Benar-benar aneh, sesuatu yang begitu mengganjal hatinya tapi.. ia tau perasaan ini.
Hanya karena hal kecil, perasaannya naik turun. Merasa bahagia kemudian marah.. juga sedih. Cinta itu, hanya akan hancur dalam sekejap saja.. sama seperti saat ia bertepuk sebelah tangan. Karena itulah ..
.
.
.
"Ciel."
Sebastian mengahampiri Ciel yang akan masuk kedalam kelas. Raut wajahnya terlihat serius dan berbeda dari biasanya.
"…ada perlu denganku?"
"Iya."
"Tapi aku tidak ada perlu denganmu, kau menghalangiku. Aku mau masuk, minggir sana!"
Ciel benar-benar sedang tidak berminat meladeni pemuda didepannya.
"Tidak Boleh."' Manik Sebastian menatap Ciel intens.
"..Huh, baiklah aku lewat sendi—"
BRAKKK
Hentakan kaki Sebastian pada daun pintu yang keras membuat Ciel berjengit kaget.
"Aku bilang tidak boleh." Ucapnya mutlak, sambil tersenyum memaksa. "Kenapa? Balasan email ku semalam hanya pesan kosong darimu? Kalau hanya seperti itu, aku tidak mengerti." Senyuman dari wajahnya memudar. Sedangkan Ciel hanya menunduk dalam.
"..Karena, maksudnya memang itu. Kalau sudah selesai urusanmu, jangan pedulikan aku lagi."
BLUKH
'Eh?'
Kedua manik Ciel membola begitu merasakan kakinya tak lagi berpijak tanah, tubuhnya melayang terangkat saat lengan Sebastian meletakkan tubuhnya dibahu. Tepatnya—Sebastian menggendong Ciel.
"GWAAAAAAAA!" teriakan Ciel menggema.
"Kau ternyata ringan ya."
"Apa yang kau lakukan brengsek?! Turunkan aku sekarang!" Ciel mengamuk protes sambil memukul-mukul punggung Sebastian. Namun sayang, bukannya menuruti Sebastian malah mengeratkan tubuh Ciel dan berjalan menjauh dari kelas.
"Lepaskan aku! Cepat turunkan aku brengsek!" Ciel terus meronta.
"Apanya yang jangan pedulikan? Wajahmu itu penuh keraguan, sudah pasti kau sedang berbohong! Kau pikir aku kan menyerah begitu saja ?!" Ciel merasakan emosi yang tersirat dalam ucapan Sebastian. Ia sangat marah juga malu, kenapa Sebastian bisa tau jika ia sedang berbohong dan merasa ragu. Ia sudah tidak tahan lagi.
BLETAK
"Wuakh!" dengan satu serangan, siku Ciel berhasil menghantam kepala Sebastian. Yang reflek melepaskan tubuh Ciel dari bahunya. "sial, aku lengah."
"Kau ini sangat bodoh. Padahal, jika kau memilih berpacaran dengan gadis manis akan lebih mudah kan? Kenapa harus aku?!"
"Karena aku suka padamu. Hal sesederhana begini, kau masih tidak mengerti ?"
Wajah Ciel merona sempurna,
"Apa tidak cukup hanya dengan kata-kata? Lalu aku harus bagaimana?" Sebastian melangkan mendekati Ciel, mengulurkan kedua tangannya untuk menangkup wajah lawan bicaranya. "Beri tahu aku.."
Tatapan mata Sebastian berubah teduh, seolah kehilangan arah dan meminta simpati.
"..S-soal itu.. aku.."
'ketika sadar bahwa aku jatuh cinta padanya, aku langsung melarikan diri, aku takut merasakan cinta lagi. Walaupun begitu, Si brengsek ini terus saja mengejarku.'
"Aku rasa kalau tidak dimanjakan kau tidak akan mengerti."
"Di-dimanjakan? apa.. maksudnya?" Ciel benar-benar tidak mengerti, yang jelas ia merasa itu bukan hal yang baik karena Sebastian baru saja memamerkan seringai dan mulai mendekatkan wajahnya, mengeliminasi jarak diantara mereka.
Ciel terkejut, namun mulai terbuai oleh pangutan lembut bibir Sebastian. Menutup matanya dan pasrah saat benda basah itu menerobos masuk—kedua tangan Sebastian yang tadi menangkup wajah Ciel kini berpindah memeluk tubuh kurus itu. Begitu pula kedua tangan Ciel yang mulai melingkar dileher Sebastian untuk memperdalam ciuman. Hingga saatnya udara dalam paru-paru menipis dan terpaksa mengakhiri pangutan mereka.
"Hahh..hahh.." Ciel masih terengah, berusaha mengatur napas. Wajahnya merah padam, dan Sebastian menyukainya.
"Kau sudah mengerti sekarang ? atau kau mau yang leb—"
"—Dalam mimpimu, tuan perfert!" cibir Ciel menahan malu, lalu pergi meninggalkan Sebastian.
"Ah.. ya ampun. Dasar pemalu."
Setidaknya Sebastian berhasil mendapatkan hati pujaan hatinya kali ini, walaupun sepertinya jalan kisah mereka masih sangat sangat panjang.
.
.
Fin
