Hiii!

Kmbali lg brsama Cyaaz d slh stu Fic pling geje!

:v

Cyaaz akhir2 ini lg sk mikirin AsuCaga, smangat lg berapi2!

Maka trciptalah Fic bertemakan Canon ini...

Hehe.

Readers tenang aja, kli ini canon-nya g kyk Her Voice kok...

Fic ini jg sklian mnebus Fic Her Voice yg bikin klian kesel wktu itu...

Hehe.

Tp ttp aja geje ala Cyaaz!

:v

Oke lah, lngsung saja dinikmati...

:D


Warning: OOC, typo, alay, nglantur, gak jelas dan sebagainya.

Disclaimer: Syang skali GS/D bukan punya Cyaaz...


Promise; Beside You


Cosmic Era 75, hampir setahun semenjak perang di antara Natural dan Coordinator berakhir. Seluruh dunia masih menjalani proses re-build mereka, baik dalam artian pembangunan secara fisik maupun penyembuhan mental masyarakatnya.

Mayoritas negara di penjuru bumi sudah mulai lepas dari luka masa lalu mereka, perlahan menerima dan menyambut baik datangnya perdamaian dengan para Coordinator. Sebaliknya pun begitu, PLANT dengan lapang dada ikut serta mendukung perdamaian dan membantu semua pihak dalam membangun kembali kehidupan mereka yang sempat hancur direnggut peperangan.

Terima kasih kepada Cagalli Yula Athha dan Lacus Clyne, berkat kedua pimpinan tertinggi dunia ini lah kedamaian yang sesungguhnya dapat diraih. Dengan Cagalli sebagai ketua tertinggi di bumi yang berpusat di ORB dan Lacus yang menjadi ketua keadilan di antara bumi dan PLANT, bukan hal yang mustahil jika dunia yang aman dan damai seutuhnya akan tercipta dalam waktu yang relatif singkat.

"Cagalli-sama?" seorang pria dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap sedang berdiri di depan pintu ruangan.

Cagalli Yula Athha - The Princess of ORB - mengangkat wajahnya, lalu ia menggumamkan kata "Masuk" untuk mempersilahkan tamunya.

"Saya ingin menyampaikan jadwal pertemuan yang akan anda hadiri hari ini," ucap pria itu sambil membawa beberapa lembar kertas di tangannya. "Juga beberapa agenda penting minggu ini."

Cagalli mengangguk, namun ia tetap melekatkan pandangan mata amber-nya pada secarik surat kontrak di mejanya.

"Jam delapan nanti, anda harus menghadiri rapat tertutup bersama..." suara Kisaka terus terdengar, memaparkan segala kegiatan yang tercantum dalam jadwal sang representative.

Cagalli mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan padanya, berusaha mengingat dan memahami semuanya di dalam kepalanya. Rapat dengan para anggota dewan, pertemuan dengan waklil dari PLANT... Agenda-agenda yang sering ia temui dalam setahun terakhir, bertemu dengan orang-orang penting dan membicarakan tentang kondisi terkini beserta perkembangan pembangunan seluruh dunia.

Tentu saja tidak mudah, berusaha menangani semua permasalahan dan memberikan solusi pada setiap kendala. Jika memimpin sebuah negara saja sudah sangat sulit, lalu bagaimana dengan memimpin seluruh negara di bumi? Kau harus sanggup membuka mata lebar-lebar, mengamati dan mengayomi setiap sudut belahan dunia bahkan yang terpencil dan kecil sekalipun.

"Lalu, setelah istirahat makan siang anda dijadwalkan pergi ke..." rentetan kegiatan yang dijadwalkan Kisaka bahkan belum mencapai setengahnya. "Kemudian penandatanganan perjanjian perdagangan dengan..."

Hhh... Cagalli hanya bisa mendesah pelan, ini lah yang harus ia hadapi di setiap harinya sebagai orang nomor satu di bumi. Ia sudah tidak punya waktu untuk dirinya sendiri, hanya waktu untuk makan, mandi dan tidur lah yang tersisa.

"Makan malam bersama akan diselenggarakan di..."

"Kisaka," akhirnya Cagalli memotong pemaparan jadwal yang seakan tidak berujung dari Kisaka. "Bisakah aku minta waktu istirahat sebentar untuk hari ini?" tanyanya. "Mungkin sejam atau dua jam?"

Kisaka menaikkan alisnya. "Tapi Cagalli-sama, semua agenda hari ini sangat-."

"Aku ingin mengunjunginya," potong Cagalli lagi. "Sebentar saja, aku sudah lama tidak berkunjung ke sana..."

"..." melihat tatapan mata amber Cagalli yang sayu dan lelah, Kisaka pun melembutkan tatapan matanya. "Setelah makan siang, anda punya waktu sampai jam dua."

Cagalli tersenyum mendengar jawaban Kisaka, ia tahu bahwa pria yang sudah lama mengabdi pada keluarganya itu akan mengerti. "Terima kasih, Kisaka."


~ Cagalli ~ Yula ~ Athha ~


"Demikian," seorang pria muda merapikan dokumen penting di mejanya. "ORB dan bumi sangat berharap akan keberhasilan kerjasama yang akan kita jalin ini."

"Begitu juga dengan kami," seorang pria lain yang duduk di seberang meja tersenyum. "PLANT sangat menyambut baik tawaran yang diberikan, kami akan mendukung setiap program yang telah disusun dan direncanakan."

Rapat antara perwakilan dari PLANT dan ORB baru saja usai, hasil yang diperoleh dari pertemuan ini pun tidak mengecewakan. Terima kasih pada kedua wakil negara yang dapat mengatasi segala masalah dengan baik dan juga dapat saling memahami maksud masing-masing negara.

"Hey, Athrun?" seorang pria berseragam ZAFT terlihat sedang menghampiri salah satu admiral ORB. "Langsung melanjutkan pekerjaan?"

Sang admiral - Athrun Zala - menghentikan langkahnya dan menoleh. "Ya, kurasa begitu," jawabnya. "Tapi sebaiknya aku melaporkan hasil pertemuan kita tadi pada Kisaka-san terlebih dulu."

"Hmm, kau selalu sibuk ya di sini?" pria yang menjadi wakil PLANT dalam pertemuan tadi akhirnya tiba di samping Athrun. "Tapi, kenapa kau yang datang menemuiku?" tanyanya. "Kukira representative sendiri yang akan datang."

Athrun mengedikkan bahunya. "Entahlah, Dearka," jawabnya. "Aku juga baru mendapat permintaan untuk menggantikannya tadi pagi."

"Apa ada pertemuan atau rapat urgent?" Dearka menyangga dagunya.

"Mungkin..." gumam Athrun.

Pria bermata emerald itu tanpa sadar mengepalkan tangan kanannya, memikirkan sang representative. Jika memang ada sesuatu yang urgent, Kisaka dan yang lainnya pasti sudah ramai membicarakannya. Apalagi jika ia sampai jatuh sakit atau mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, semua orang pasti akan panik dan ramai membahasnya. Namun tidak hari ini, Kisaka hanya berkata bahwa gadis berambut pirang itu sedang ada urusan lain.

Setidaknya tidak terjadi hal buruk padanya, itu lah yang dipikirkan Athrun. Pemikiran yang sederhana itu berhasil sedikit menenangkan batinnya. Mungkin ia bisa mencari tahu detail tentang Cagalli nanti, saat ia datang ke kediaman keluarga Athha dan bertanya langsung pada orang-orang di sana.

"Hey, Ath," suara Dearka membuat Athrun tersadar dari lamunannya. "Jangan terlalu serius begitu," ucapnya. "Kau bisa cepat tua, bahkan lebih cepat dari Yzak."

Athrun tertawa kecil. "Maaf, ada sesuatu yang sedang kupikirkan."

"Sesuatu atau seseorang?" Dearka tersenyum penuh arti.

Athrun mendesah. "Bisakah kau jauhi kehidupan pribadiku?"

Dearka tertawa. "Kenapa?" tanyanya. "Bukankah kita ini teman lama?" ia merangkul bahu Athrun.

"Kalau begitu..." Athrun memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya untuk menatap Dearka. "Kenapa kau tidak menemui Haww?" ucapnya. "Kudengar dia masih berada di sekitar sini," ucapan Athrun membuat Dearka tersentak. "Selagi kau di sini, kenapa kau tidak..."

"Baik, baik..." Dearka melepaskan rangkulannya, lalu mengangkat tangannya ke udara. "Aku menyerah, tidak akan memasuki kehidupan pribadi Athrun Zala lagi."

Athrun tertawa kecil, lalu memggelengkan kepalanya perlahan. "Aku serius, kau tidak ingin menemuinya?"

"Setelah semua urusan politik ini selesai," ucap Dearka. "Aku memang berencana untuk menemuinya nanti."

Athrun tersenyum. "Semoga beruntung."

"Kau juga, Kawan," Dearka menepuk bahu sahabatnya. "Semoga berhasil meraih kembali apa yang sudah kau tinggalkan."

"..." Athrun tak dapat menemukan respon yang tepat, kalimat itu benar-benar tepat sasaran. Ia tahu bahwa Dearka sama sekali tidak bermaksud buruk, namun sindiran itu memang merupakan fakta yang terjadi.

Meraih kembali apa yang telah ditinggalkan, mendapatkan kembali apa yang telah ia sia-siakan...

Ya, mungkin memang itu lah yang sedang Athrun lakukan saat ini. Ia berusaha meraih kembali apa yang pernah ia tinggalkan, seseorang yang... Telah ia sakiti hatinya.

Hati kecil Athrun tahu, itu tidak akan mudah dan butuh waktu lama, namun ia memutuskan untuk tetap tegar dan bertahan. Ini semua disebabkan olehnya, sudah sepantasnya jika ia menerima hukuman atas kesalahannya.

Bukan hanya dirinya lah yang menanggung rasa sakit ini, orang-orang di sekitarnya pun merasakannya. Kira, Lacus dan juga Cagalli... Mereka pun ikut merasakan kepedihan yang diakibatkan oleh perbuatannya.

Namun itu semua sudah berlalu, semua sudah terjadi dan Athrun tidak kuasa mengubah apa pun di masa lalu. Karena itu lah sekarang ia berusaha menebusnya, memperbaiki semuanya dengan segala yang ia bisa. Meski perlahan dan sulit, meski dihantui rasa sakit dan perih.

"Baiklah kalau begitu," lagi-lagi Dearka menyadarkannya. "Aku harus pergi sekarang," ucapnya sambil kembali menepuk bahu Athrun. "Jaga diri baik-baik."

"Kau juga," jawab Athrun. "Sampaikan salamku untuk semuanya."

Dengan itu, Athrun dan Dearka memulai langkah mereka ke arah yang berbeda. Keduanya melangkah tegap, di atas bumi yang sama dan di bawah satu langit yang juga mereka bagi bersama.


~ Athrun ~ Zala ~


Ia meletakkan sebuah karangan bunga yang indah di hadapan tugu peringatan, sebuah pengingat akan duka dan kepedihan yang diakibatkan oleh peperangan di masa lalu. Beberapa nama korban tertera di sana, termasuk nama seorang tokoh penting dunia yang rela mengorbankan dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang bijaksana dan berwibawa, seorang pahlawan yang gugur demi tercapainya perdamaian, seorang pria yang tangguh dan kuat layaknya singa, seorang ayah yang luar biasa dan tidak tergantikan.

"Aku datang, Ayah," ucap Cagalli setelah ia berdiri dengan tegap. "Maaf, aku jadi semakin jarang berkunjung," ia menatap ukiran nama sang ayah. "Kau tahu, Kisaka memberiku segudang pekerjaan setiap hari..."

Angin berhembus sejuk siang ini, langit pun terlihat bersahabat. Awan-awan cantik menggulung di beberapa tempat, namun tetap membiarkan sang mentari memandikan bumi dengan cahayanya yang hangat.

Cagalli menengadahkan kepalanya, memandangi butiran-butiran cahaya - PLANTs - yang menghiasi langit. Senyum tipis terukir di wajahnya, pandangannya terus melekat pada langit biru.

"Ayah tahu?" Cagalli mulai bicara. "Ayah pasti akan senang jika ayah masih berada di sini," ucapnya. "Lacus benar-benar sosok pemimpin yang hebat, dia berhasil meyakinkan banyak pihak untuk mendukung terciptanya dunia yang damai, aman dan nyaman untuk ditinggali seluruh umat manusia."

Cagalli kembali menunduk untuk menatap tugu peringatan di hadapannya. "Tanpa memandang apakah kita ini Natural ataupun Coordinator... Menghapus segala perbedaan yang memisahkan kita semua..." Cagalli mengepalkan tangannya. "Dia benar-benar luar biasa..."

Entah sejak kapan, sepertinya Cagalli sedikit kehilangan rasa percaya dirinya sebagai aeorang pemimpin. Ia terkadang merasa dirinya tidak cukup pantas, tidak cukup mampu untuk mengemban tanggung jawab sebesar ini.

Tidak ada yang bisa menyalahkan dirinya, kepergian sang ayah yang begitu mendadak membuatnya mau tidak mau harus mengambil tugas berat ini. Ia harus mampu menggantikan sang ayah, memimpin dan menjadi panutan seluruh masyarakat ORB.

Pada mulanya tentu ia ketakutan, bimbang dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia yang selama ini hanya memperhatikan ayahnya dari sisi luar dunia politik, kini harus terjun langsung dan mengemban tugas-tugas mulia sang ayah.

Semuanya tentu berantakan di awal, seolah tidak ada harapan baginya untuk dapat menggantikan sang ayah. Tuntutan serta tanggung jawab yang begitu banyak juga senpat membuatnya depresi serta kehilangan arah. Beruntunglah banyak orang-orang di sekitarnya yang setia di sisinya, mendukung dan menopangnya di kala badai menerpa.

"Aku kembali," tiba-tiba suara pria itu terdengar di telinga Cagalli. "Aku sudah memutuskan untuk kembali dan berada di sisimu."

Cagalli menundukkan wajahnya, menatap sepasang sepatu yang ia kenakan. Sosok pria dengan rambut biru gelapnya itu pun muncul di benaknya, beserta dengan semua kenangan bersama di masa lalu.

"Aku tidak akan bertanya atau meminta apa pun," ucap pria itu saat pertama kali ia datang seusai pertempuran terakhir. "Cukup izinkanlah aku untuk tetap berada di sini, di rumahku, di sisimu..."

Rumah... Cagalli memikirkan setiap kata yang diucapkan pria itu. Sejak kapan ORB menjadi rumah baginya? Bukankah selama ini rumah dan kampung halamannya adalah PLANT?

"Aku akan melindungimu..."

Cagalli tersenyum ketika ia mengenang kembali saat pertama Athrun mencuri ciuman darinya, ia pun tidak mengerti kenapa ia selalu tersenyum saat mengenang kejadian itu sampai sekarang. Apakah ia merasa senang karena Athrun telah berjanji untuk melindunginya? Apa ini artinya ia memiliki perasaan yang sama dengannya? Dan apakah... Sampai sekarang ia pun masih menyimpan perasaan itu?

Cagalli menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir segala pemikiran panjangnya. Saat ini ia adalah seorang kepala negara, pemimpin tertinggi di bumi. Tidak ada ruang baginya untuk memikirkan hal-hal seperti itu, tidak ada kebahagiaan yang dapat ia tawarkan padanya.

Ya, seandainya Cagalli mengakui perasaannya pun... Ia tak memiliki apa pun untuk ditawarkan pada Athrun, kecuali segunung pekerjaan dan tanggung jawab yang menantinya di setiap pagi. Permasalahan-permasalahan politik serta tuntutan masyarakat yang menghantui di setiap malam. Kebahagiaan apa yang dapat ia berikan kepada Athrun jika ia menerima pria itu kembali?

Tik, tik, tik...

Cagalli tiba-tiba tersentak, rintik hujan baru saja membasahi dirinya. Entah sejak kapan langit sudah berubah menjadi lautan awan perak yang menjatuhkan tetesan air hujan ke bumi.

"Sial," umpat Cagalli sambil bergegas menjauhi tugu peringatan, berlari kecil menuju mobilnya terparkir.


~ Cagalli ~ Yula ~ Athha ~


Athrun menikmati perjalanannya ke kediaman keluarga Athha dengan memandangi pergerakan awan-awan di langit, sekaligus juga menikmati birunya hamparan laut luas yang tersaji di sepanjang jalan. Ia mulai memikirkan banyak hal, dimulai dari betapa damainya suasana kota hingga bagaimana langkah yang harus ia ambil terkait permasalahan ekonomi dan politik di beberapa daerah.

Beberapa lembar kertas dokumen pun akhirnya ia keluarkan dari tas, sekedar ingin me-review kembali apa yang telah ia hasilkan hari ini. Beberapa lembar kertas mencantumkan nama dan lambang pemerintahan negara tempatnya berada, mengingatkannya pada sosok sang pemimpin.

Cagalli, nama itu berulang-ulang ia ucapkan dalam hati. Sebuah nama yang familiar, dekat namun juga jauh di saat yang bersamaan. Ia memang sering menjumpai nama itu setiap saat, bertemu dengan sang representative di setiap harinya. Namun di situlah letak kejanggalannya, yang selalu ia lihat dan temui adalah Cagalli Yula Athha sang pemimpin tertinggi bumi yang begitu disegani dan dihormati. Bukan Cagalli Yula Athha, seorang gadis muda berjiwa bebas yang dipenuhi semangat dan kehangatan yang dirindukan Athrun.

Benar, entah sejak kapan... Cagalli yang ia kenal mulai berubah. Ia mungkin Cagalli yang sama, namun juga beebeda. Ia masih tetap Cagalli yang peduli akan orang lain dan selalu mementingkan kepentingan bersama, namun ia bukan lagi Cagalli yang memancarkan kobaran api semangat di matanya.

Gadis itu mungkin telah tumbuh dewasa, ia telah menjadi sosok pemimpin yang bijak dan tegas. Ia mampu membawa dan menjaga idealisme ORB dengan baik dan mewujudkan dunia yang damai. Namun bersamaan dengan itu ia pun kehilangan warna lain dalam dirinya, seolah kebebasan dan kehidupannya mulai pudar dikarenakan oleh tanggung jawab yang besar.

Tanggung jawab menipiskan keegoisan seseorang, namun tanpa keegoisan itu sendiri... Seseorang mungkin akan kehilangan jati dirinya, bahkan mungkin kebebasan dan semangat hidupnya akan tertelan oleh kepentingan banyak orang.

Athrun sedikit meremas kertas-kertas di tangannya, memikirkan sosok Cagalli yang sebenarnya akan lenyap membuatnya gelisah. Cagalli memang begitu tidak egois, apa pun akan ia korbankan demi kepentingan umum dan perdamaian dunia.

Apakah tidak ada cara untuk mengembalikan sosok Cagalli yang dulu? Sosok Cagalli yang begitu menarik, bebas, penuh senyuman, tawa, ekspresi tidak terduga dan aura kehidupan yang bersinar terang?

Tik, tik, tik...

Athrun mengalihkan pandangannya ke luar jendela, hujan baru saja turun membasahi bumi. Aneh, padahal perkiraan cuaca mengatakan hari ini akan cerah hingga sore. Sepertinya Haumea berkehendak lain.

"..." mata emerald Athrun menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya di sisi jalan. "Pak, tolong berhenti."

Tanpa berkata apa-apa, Athrun bergegas turun dari mobil dan melangkah pergi. Tak lupa dengan sebuah payung berwarna abu-abu berukuran sedang di tangan kanannya.


~ Cagalli & Athrun ~


Cagalli berusaha secepatnya menghampiri tempat di mana mobilnya terparkir, sebelum dirinya benar-benar basah kuyup. Sepertinya alam sedang mengerjainya hari ini, hujan turun begitu mendadak dan tanpa peringatan. Sang representative pun hanya bisa menggerutu dalam hati, memarahi diri sendiri juga karena tidak membawa payung bersamanya.

"Cagalli," seseorang tiba-tiba muncul dengan payung yang langsung melindungi tubuh Cagalli dari guyuran hujan.

Cagalli mengenali suara itu, diangkatnya wajah dan didapatinya seorang admiral-nya yang setia. "Athrun?" ia menghentikan langkahnya, menatap sepasang mata emerald Athrun. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Athrun tersenyum. "Aku baru selesai menghadiri pertemuan dengan Dearka dan bermaksud untuk pergi ke kediaman keluarga Athha," jawabnya. "Lalu aku melihatmu."

"Oh..." Cagalli pun tersenyum, lalu kembali melangkahkan kakinya bersama Athrun.

"Kau sendirian?" tanya Athrun. "Kenapa kau tidak bersama para pengawalmu?"

"Aku datang untuk mengunjungi ayah, tidak nyaman rasanya jika ada banyak orang yang memperhatikan," jawab Cagalli.

"Tapi demi keamananmu, Cagalli," Athrun menghirup nafas dalam. "Seharusnya kau membawa beberapa orang bersamamu."

"Aku cukup mampu untuk menjaga diriku sendiri, Athrun," Cagalli masih keras kepala. "Lagipula sesekali aku ingin tidak dikelilingi orang asing."

"Kisaka-san bukan orang asing, kenapa kau tidak mengajaknya?"

"Kisaka sedang sibuk meng-handle semua saat aku pergi."

"Lalu bagaimana denganku?" pertanyaan Athrun membuat Cagalli berhenti melangkah dan melirik padanya. "Apa aku ini orang asing?"

"..." Cagalli mengalihkan pandangannya, sebisa mungkin ia ingin menghindari pembicaraan seperti ini dengan Athrun. "Sebaiknya kau segera kembali pada tugasmu," ucapnya saat ia dan Athrun sudah berada di samping mobil Cagalli.

"Cagalli..."

"Terima kasih banyak, Admiral Zala," potong Cagalli sambil tersenyum, lalu ia masuk ke dalam mobilnya.

"..." Athrun membeku di tempatnya, betapa ia merasa tidak nyaman ketika Cagalli memanggilnya seperti itu di saat mereka hanya berdua. Cagalli seolah-olah membuat jarak di antara mereka, jarak yang jauh dan sulit ditempuh oleh Athrun.

Pria bermarga Zala itu terpaku menatap kepergian sang representative, sinar matanya memancarkan kesedihan dan kebimbangan yang melanda hatinya

Apa yang harus ia lakukan? Sepertinya Cagalli benar-benar menutup diri darinya, tidak memberi celah baginya untuk masuk dan kembali. Padahal yang diinginkan Athrun hanya lah membuat gadis itu bahagia, selalu berada di sisinya dan menjaganya dengan sepenuh hati.

"Admiral?" Athrun tersentak dan menoleh, supirnya saat ini sedang menunggunya dengan heran.

"Ah, maaf," Athrun masuk ke dalam mobilnya. "Ayo jalan."


~ Athrun ~ Zala ~


"Malam, Admiral Zala," Athrun mendengar suara sekretarisnya dari pintu ruangannya. "Jangan bekerja sampai terlalu larut."

"Trima kasih, Anna," jawab Athrun, lalu ia melihat sekretarisnya pulang.

Sudah jam delapan malam waktu setempat, kediaman keluarga Athha sudah sepi dari aktivitas-aktivitasnya. Kebanyakan para pegawai dan staff telah meninggalkan tempat ini, hanya beberapa petugas keamanan dan orang-orang yang memilih untuk lembur seperti Athrun lah yang tersisa.

Athrun kembali meneruskan pekerjaannya, memeriksa setiap dokumen yang ada di mejanya. Baginya bekerja lembur bukan lah hal yang tidak biasa, ia memang sengaja pulang larut malam untuk memastikan sesuatu sebelum ia pergi.

Setiap malam ia selalu pulang paling akhir, membiarkan semua orang mendahuluinya pergi. Selalu ia memilih jalan keluar yang sedikit memutar, melewati ruang utama di gedung tersebut. Sesekali ia mendapati lampu di ruangan itu sudah mati, membuatnya merasa tenang dan bisa langsung pulang.

Namun jika ia mendapati lampu ruangan itu masih menyala, ia akan masuk dan memeriksa keadaan di dalamnya. Sesekali ia mendapati si pemilik ruangan masih asyik dengan pekerjaannya, membuatnya merasa kesal dan meminta agar gadis itu segera beristirahat. Sesekali ia memergoki sang representative telah tertidur di mejanya, membuatnya dengan sukarela membawa dan menidurkan gadis itu di kamarnya.

Ada kalanya juga, Athrun tidak mendapati sang pemimpin ORB di ruangannya. Hal itu membuatnya berjalan mengelilingi kediaman keluarga Athha untuk mencarinya. Terkadang ia akan menemukannya di dapur, memergoki gadis itu sedang membuat kopi. Terkadang ia akan mendapatinya sedang melamun di salah satu teras, memandangi langit malam sambil menjernihkan pikiran.

Athrun tersenyum tipis mengenang apa yang menjadi rutinitas favoritnya di sini, berbincang-bincang ringan bersama Cagalli di tengah malam. Walau hanya sejenak dan ringan, Athrun sangat menghargai dan menikmatinya. Tiap detik yang ia lalui bersama Cagalli sangatlah berarti.

Athrun melirik pada jam tangan yang ia kenakan, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh. Ia tersentak dan segera merapikan mejanya, tidak terasa waktu sudah berjalan begitu cepat.

Athrun segera meninggalkan ruangannya, menelusuri lorong yang akan membawanya ke ruangan Cagalli. Lampu di dalam ruangan tersebut masih menyala, membuat Athrun mempercepat langkahnya untuk meneriksa ke dalam ruangan.

Athrun tersentak dan terheran-heran saat ia memasuki ruang berukuran besar tersebut, ia tak dapat menemukan sosok Cagalli di mana pun. Dilihatnya meja sang representative masih berantakan dan kursinya masih hangat, menandakan bahwa ia belum lama meninggalkan ruangan.

Dapur, Athrun segera pergi mencari Cagalli ke sana, namun hasilnya nihil. Kemudian ia mencari ke seluruh teras, namun tetap tidak menemukan sosok sang pemimpin ORB.

Ke mana Cagalli pergi? Ia tidak mungkin sudah kembali ke kamarnya sendiri karena ruangan tersebut masih gelap gulita. Cagalli selalu menyalakan sebuah lampu tidur, jadi Athrun tahu apakah Cagalli sudah kembali ke kamarnya atau belum.

Athrun akhirnya memutuskan untuk mengelilingi dan mencari Cagalli ke setiap sudut bangunan, satu per satu bagian ia telusuri dengan teliti. Hingga ia tiba di sebuah ruangan tua dengan pintu kayu ukiran yang besar, sebuah perpustakaan tua milik keluarga Athha.

Athrun sedikit menaruh kecurigaan pada ruang perpustakaan tersebut, lampu ruangan masih menyala dan sepertinya ada seseorang di dalamnya. Ia pun masuk dan berusaha mencari tahu apakah orang yang ia cari ada di dalam.

"Cagalli?" Athrun bergegas menghampiri sosok Cagalli yang sedang duduk di lantai sambil memeluk erat lututnya di salah satu sudut ruangan. "Cagalli, kau kenapa?"

Cagalli terkejut saat mengetahui keberadaan Athrun di dekatnya, segera ia menggosok wajahnya dengan lengan baju dan mengangkat wajah untuk menatap pria itu. "Athrun?" ia berusaha terlihat seolah tidak terjadi apa-apa.

"Cagalli..." Athrun berjongkok di depannya, meraih kedua sisi wajah Cagalli. "Kau menangis?" tanyanya setelah memperhatikan jejak air mata di wajah Cagalli.

"Eh?" Cagalli menggeleng. "Tidak, aku hanya..." ia memalingkan wajahnya. "Kurasa ini karena aku kurang tidur," ucapnya sambil menggosok matanya dengan ujung jari, berusaha menyingkirkan air mata yang masih tersisa.

"Cagalli, kau tidak pandai berbohong," Athrun menatapnya serius. "Kita berdua tahu jelas hal itu."

"..." Cagalli memalingkan wajahnya dari Athrun.

Karena tidak mendapat respon, Athrun pun akhirnya menghela nafas pasrah dan duduk di samping Cagalli. "Tempat ini..." ia mulai bicara setelah beberapa saat terdiam. "Tempat ini dibuat sama persis seperti sebelum itu terjadi ya?" Cagalli hanya mengangguk kecil untuk merespon. "Bagaimana dengan isinya?" lanjutnya. "Buku-buku serta dokumen yang ada di sini...?"

"..." awalnya Cagalli enggan untuk bicara, namun akhirnya ia menjawab. "Kebanyakan buku dan dokumen di sini adalah hasil duplikasi dari yang asli," ujarnya. "Kau tahu, hanya sedikit yang bisa diselamatkan setelah kejadian itu..."

Athrun memperhatikan Cagalli yang meremas celana di bagian lututnya, jelas pembahasan mengenai tragedi yang merenggut nyawa ayahnya itu akan membuat gadis ini merasa sedih. Athrun menundukkan wajahnya, lalu meraih tangan Cagalli yang ternyata bergetar.

"Cagalli..." Athrun kembali bicara. "Kau tahu, aku pernah bilang bahwa aku memutuskan untuk tetap tinggal bersamamu..." ucapnya. "Itu artinya aku akan setia mendampingimu, mendukungmu dan selalu berada di sisimu..." Cagalli menoleh padanya, mempertemukan pandangan mereka. "Tidak bisa kah kau mempercayaiku, memberiku satu kesempatan lagi?"

"Athrun, aku..." Cagalli mencoba menjawab. "Aku bukannya..."

"Aku tidak mengharapkan apa pun lagi," potong Athrun. "Yang kuinginkan hanya melihatmu bahagia..."

"Athrun..."

"Kau pernah bilang bahwa ada hamster di kepalaku 'kan?" lanjut Athrun. "Tapi kini, nyatanya kau lah yang menyimpan segalanya sendiri..." Athrun mengusap punggung tangan Cagalli. "Kau memendam semua beban dan permasalahanmu sendirian, tidak mengizinkan orang lain termasuk aku untuk membantumu..."

"Tapi aku tidak apa-apa."

"Melihatmu yang seperti ini sungguh membuatku sedih, Cagalli..." Athrun menatap Cagalli lekat-lekat. "Ke mana Cagalli Yula Athha yang kukenal dulu? Cagalli yang bebas, penuh semangat dan aura kehidupan?"

Cagalli mengalihkan wajahnya. "Aku sudah menjadi seorang representative, Athrun..." ujarnya. "Aku sudah tidak bisa menjadi diriku yang seperti itu lagi."

Tatapan Athrun berubah, betapa ia sangat sedih mendengar jawaban Cagalli. Setelah beberapa saat berpikir, ia bertumpu pada satu lututnya dan membawa Cagalli dalam pelukannya.

"A-Athrun?" Cagalli terkejut dengan apa yang dilakukan Athrun.

"Shh..." Athrun mengeratkan pelukannya, membelai lembut rambut Cagalli. "Di sini hanya ada kita berdua, Cagalli..." bisiknya. "Tidak akan ada orang yang melihatmu sebagai seorang representative, hanya ada aku yang melihatmu sebagai Cagalli..."

Kedua mata Cagalli terbuka lebar, tubuhnya sedikit bergetar mendengar ucapan Athrun.

"Percayalah padaku..." Athrun melanjutkan kalimatnya. "Kau tidak sendirian, kau bisa membagi segala bebanmu denganku..." Athrun merasakan tubuh Cagalli semakin bergetar. "Gunakanlah pundakku ini, letakan segala lara dan gundahmu di sini..."

Beberapa saat kemudian Athrun mendengar isakan tangis Cagalli, membuatnya semakin mempererat pelukannya. Kemudian ia merasakan tangan-tangan Cagalli mulai bergerak untuk membalas pelukannya. "Athrun, aku... Aku..."

"Shh..." Athrun berusaha menenangkan Cagalli. "Menangislah, keluarkan semuanya..." ucap Athrun sambil menghapus air mata Cagalli dengan ibu jarinya. "Semua akan baik-baik saja, aku selalu bersamamu."

Cagalli pun tak dapat menahan dirinya lagi, ia langsung memeluk leher Athrun lagi dan menangis sejadi-jadinya. Gadis itu berusaha meluapkan semuanya, seluruh kepedihan, amarah, keresahan dan ketakutan yang selama ini ia pendam sendiri. Athrun pun hanya dapat membelai lembut rambut pirang Cagalli sambil membisikkan kata-kata yang sekiranya dapat membantu menenangkan perasaan gadis itu.


~ Cagalli ~ Yula ~ Athha ~


"Dulu ayahku sering ke sini saat sedang banyak pikiran," Cagalli berbicara dengan suaranya yang hampir habis karena menangis. "Tadi aku sempat tertidur di meja kerja dan..."

"Kau memimpikan beliau?" potomg Athrun. Saat ini mereka berdua sedang duduk di sebuah sofa dalam perpustakaan, Cagalli menyandarkan kepalanya pada pundak Athrun.

Cagalli mengangguk. "Aku melihatnya sedang membaca, sepertinya itu dokumen penting," lanjut Cagalli. "Lalu ayah menyadari kedatanganku dan menatapku..." Cagalli mengalihkan wajahnya. "Aku merasa ayah tidak senang saat melihatku..." gumamnya. "Apa aku... Belum cukup baik untuk..."

"Omong kosong," Athrun kembali memotong Cagalli, membuat gadis itu melirik padanya. "Kau dan Lacus adalah sosok pemimpin terbaik yang kutahu, aku yakin Uzumi-sama juga berpendapat begitu."

Cagalli mengangkat kepalanya dan menatap Athrun. "Tapi Athrun, aku..."

"Pernah kah kau memikirkannya dari sudut pandang yang berbeda?" tanya Athrun. "Bagaimana jika Uzumi-sama merasa tidak senang bukan karena kau tidak bisa menjalankan tugasmu sebagai pemimpin dengan baik?" tanyanya. "Bagaimana jika beliau merasa tidak senang karena hal lain?"

Cagalli terlihat bingung dengan pertanyaan Athrun. "Maksudmu?" tanyanya. "Memangnya ada alasan lain?"

Athrun menghela nafas panjang. "Cagalli, pernah kah kau memperhatikan dirimu sendiri akhir-akhir ini?" Athrun meraih pipi Cagalli. "Kau terlalu memperhatikan ORB dan juga orang lain, sampai-sampai kau menelantarkan dirimu sendiri..."

"Tapi Athrun, kepentingan umum memang seharusnya didahulukan dan..."

"Dan bukan berarti kau melupakan kepentinganmu sendiri..." potong Athrun. "Lihat dirimu, kau sudah bukan dirimu lagi..."

"Athrun..."

"Aku sebagai orang yang peduli padamu, aku merasa sangat sedih melihatmu seperti ini..." ucap Athrun. "Aku yakin, Uzumi-sama sebagai ayahmujuga merasakan hal yang sama denganku."

"..." Cagalli tidak menjawab, ia hanya menunduk sambil memikirkan perkataan Athrun.

"Jadi lah dirimu sendiri, percaya lah akan kemampuanmu..." ujar Athrun. "Percaya lah, kau sudah lebih dari pantas dan mampu untuk memimpin kami..." lanjutnya. "Jangan biarkan beban, tanggung jawab dan tuntutan dari orang-orang itu merenggut siapa dirimu yang sebenarnya..."

"Athrun..." Cagalli menoleh dan menatap Athrun lekat-lekat.

Athrun membalas tatapan Cagalli, lalu ia mendekatkan wajahnya dan akhirnya mencium gadis itu. Sudah berapa lama semenjak ia terakhir melakukan ini? Hanya Haumea yang tahu betapa ia merindukan moment-monent seperti ini bersama Cagalli.

"Kau akan baik-baik saja, aku akan selalu menjagamu, berada dekat di sisimu," ucap Athrun setelah ia mengakhiri ciumannya. "Aku janji dan tidak akan kuingkari janjiku ini..." lanjutnya sambil memeluk erat sosok Cagalli.

Sang representative pun tak sanggup berbicara apa-apa lagi, ia hanya mengangguk sambil balas memeluk Athrun. Ini lah yang ia inginkan dan ia pendam selama ini, kehadiran sosok Athrun yang akan setia mendampingi dan mendukungnya.

Dengan adanya Athrun di sisinya, Cagalli tak perlu lagi merasa cemas ataupun ragu. Ia sekarang bebas menjadi dirinya sendiri walau hanya di depan Athrun. Perlahan tapi pasti, Cagalli akhirnya mulai bisa membuka dirinya kembali. Gadis bermata amber ini mulai membiarkan orang-orang masuk ke dalam dunianya, membantu dan mendukungnya dalam menghadapi berbagai masalah.


~ Athrun ~ Zala ~


"Jadi..." Athrun menghirup wangi rambut Cagalli seraya ia memeluk gadis itu dari belakang. "Katakan, apa kau masih menyimpannya?"

"Hm?" Cagalli melirik pada sang kekasih. Beberapa bulan sudah berlalu sejak pembicaraan serius di perpustakaan dan kini mereka sudah mulai membuka hubungan di antara keduanya pada publik. "Menyimpan apa?"

"Kau tahu..." Athrun meletakkan dagunya di puncak kepala Cagalli. "Cincin yang waktu itu..."

Cagalli mengedipkan matanya beberapa kali. "Maksudmu, cincin yang kau berikan padaku dengan cara yang sembarangan itu?"

"Ck," Athrun terlihat sedikit kesal. "Haruskah aku membelikan yang baru dan memberikannya secara baik dan benar padamu?" tanyanya. "Sesuai aturan dan perundang-undangan yang berlaku, Representative Athha?"

Cagalli tertawa kecil. "Usulan yang bagus, Admiral Zala," jawab Cagalli. "Sebaiknya aku segera menyusun undang-undang tentang itu."

Keduanya pun tertawa secara bersamaan, menikmati sejuknya udara di sekitar kediaman keluarga Athha sore itu.

"Sungguh, jika kau menginginkannya maka aku akan mencarikan cincin yang baru untukmu," ucap Athrun.

"Tidak perlu, aku masih menyimpannya dengan baik," ujar Cagalli. "Hanya saja kau harus memberikannya padaku dengan benar kali ini."

Athrun tertawa kecil. "Keinginanmu adalah perintah bagiku, Representative..."

Kemudian keduanya melanjutkan waktu berkualitas mereka bersama di teras dengan berbincang-bincang dan bersendagurau. Kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah mereka, menyiratkan perasaan saling menyayangi di antara mereka.

Kini ORB dan pemimpin mereka telah menjadi lebih baik dari sebelumnya, perkembangan pembangunan di seluruh dunia pun berjalan semakin cepat. Berkat kerjasama yang baik di antara semua pihak lah ini dapat terjadi, dunia yang nyaman untuk ditinggali akhirnya tercipta.

Kabar gembira terus berdatangan dari berbagai penjuru dunia, termasuk juga kabar tentang akan diselenggarakannya pernikahan Lacus Clyne dengan Kira Yamato beberapa minggu lagi.

Tentu seluruh dunia gempar membicarakannya, kabar ini mempengaruhi banyak pihak. Athrun adalah salah satunya, ia merasa sedikit kesal karena merasa tersaingi oleh sang sahabat lama dan mantan tunangannya. Namun apa lah daya jika sang representative memintanya untuk bersabar, gadis bermata amber itu merasa bahwa dirinya belum siap untuk menghadapi pernikahan dan kehidupan berumah tangga.

Yah, Athrun tidak ingin berdebat soal itu. Ia sudah merasa sangat bahagia dengan keadaannya saat ini bersama Cagalli. Ia tidak ingin menuntut apa-apa lagi, sepenuhnya memberi kebebasan pada sang pimpinan ORB.

It's fine for now.

We don't need to rush.

We have the same dream.


~ The ~ End ~


Oke, Readers sekalian...

Mohon maaf yg sbesar2nya kalau Fic ini OOC, nglantur, tdk ssuai hrapan dan sbagainya...

Cyaaz mnulis Fic ini brdsarkn pndangan Cyaaz mngenai prasaan Cagalli dan Athrun, bgaimn klau Cyaaz ada d posisi mreka...

Hehe.

Cyaaz menyadari, Cagalli di GS dan di GSD memang berbeda, Cyaaz juga sempat bertanya pada beberapa orang teman dan mereka berpendapat hampir sama dengan Cyaaz.

Cagalli di GSD memang tegar dan dewasa, tapi jadi nggak sebebas yang di GS.

Penyebabnya... Kalau menurut Cyaaz dan teman2 yang diwawancarai sih, krn tanggung jwb yg bsar...

Apalg memang diserahkan pada Cagalli-nya scara mndadak, stelah kmatian Uzumi di GS.

Yah, begitu sih kalau menurut Cyaaz...

Kalau menurut Readers gimana?

Trims krn udah bc Fic ini ya, silahkn review ssuka hti...

:D