Sunset
Disclaimer: Inazuma Eleven GO: Galaxy belongs to Level-5 inc.
I don't have any right to take an advantage.
Warning: AU, OOC, gaje, alur ngebut, klise, dsb.
Beta-ed By: EcrivainHachan24
Chapter 1 : Fall
"Kau, pemilik permata safir yang telah membuatku jatuh dalam medanmu."
.
.
.
Hari itu matahari telah sepenuhnya menguasai langit. Sinarnya tersebar ke seluruh permukaan bumi yang menghadap ke arahnya tanpa terlewat barang satu titik.
Sebuah jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangan kiri seorang remaja dengan model rambut spiky—Matatagi Hayato—menunjukkan pukul setengah satu siang, waktu di mana seharusnya ia telah berada di tempat tujuannya.
Hayato mengetuk-ngetuk kakinya pada lantai di depan meja kasir sebuah toko buah-buahan, gestur itu biasa ia tunjukkan ketika ia merasa parameter kesabarannya telah mencapai batas maksimal.
"Ano … apa mesin kasirnya rusak lagi?" tanya remaja itu pada kasir wanita di hadapannya.
"I-iya, kalau begitu biar saya hitung manual saja, ya?" ujar si kasir dengan raut wajah bersalah.
Hayato memutar kedua bola matanya, "Baiklah … Kenapa tidak daritadi."
Setelah membiarkan kasir wanita itu menghitung total harga sekeranjang buah yang ia beli, Hayato pun memberikan sejumlah uang dan segera meninggalkan toko itu.
Sekali lagi ia melirik jam tangan putihnya, angka duabelas dan tigapuluh yang tadi menghiasi layar jamnya sekarang telah berganti menjadi angka duabelas dan limapuluh tiga.
"Bagus, aku hanya punya waktu tujuh menit sampai pintu masuknya ditutup," remaja itu menggumam.
Tak berpikir untuk membuang waktu lebih lama, anggota klub atletik SMP Kaiou itu bersiap mengambil ancang-ancang kemudian berlari seperti ketika ia berada di arena.
Sementara itu seorang remaja dengan helaian lavender—Manabe Jinichirou—tampak gelisah. Sudah hampir satu jam ia menunggu kedatangan sahabatnya yang biasa membesuk dirinya.
"Tak biasanya dia terlambat. Apa ini gara-gara jam tangan barunya yang terbuat dari karet itu ya?" gumam Manabe.
Namun segera ia tepiskan hipotesis asal-asalan yang dipikirkannya. Apa pula hubungannya jam tangan karet dengan keterlambatan orang yang ditunggunya itu?
Remaja berkacamata itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu kurang lima menit. Kemudian benaknya merangkai sebuah hipotesis lain.
"Atau mungkin ia tak bisa masuk ke sini karena pintunya sudah ditutup?" Manabe bergumam lagi.
Teringat akan peraturan Rumah Sakit yang melarang adanya kerabat pasien yang membesuk di atas jam satu siang, Manabe semakin yakin bahwa hipotesis keduanya itu benar. Maka ia pun beranjak dari ranjangnya lalu melangkah pelan keluar kamar sembari membawa tiang penyangga infus.
Helaian lavender di kepalanya bergerak ketika ia menoleh ke arah pintu pembatas antara ruang resepsionis dan lorong bangsal pasien. Keheningan sempat menyelubung namun dengan segera terkoyak oleh suara decitan pintu yang dibuka oleh sosok remaja bersurai hitam legam.
Senyuman langsung tersirat pada wajah Manabe saat ia mendapati sahabat baiknya sejak kanak-kanak itu berada dalam jarak pandangnya.
Demikian juga dengan sosok itu. Saat ia mendapati bahwa Manabe tengah berdiri di ambang pintu kamarnya, tanpa dikomando, lisannya langsung meneriakkan nama sahabatnya tersebut.
"Manabe …! Ups …." sebelah tangan remaja bersurai hitam itu pun bergegas membungkam mulutnya ketika ia ingat di mana ia berada saat ini.
"Pfftt … dasar ceroboh. Ini kan Rumah Sakit," ucap Manabe pada sosok itu—Hayato.
Tanpa menunjukkan raut wajah bersalah, Hayato pun memamerkan cengirannya. "Hehe, ini untukmu," katanya kemudian, seraya mengangsurkan sekeranjang buah yang berada di tangannya pada Manabe.
Remaja berkacamata itu menerimanya, "Arigatou. Oh iya, ngomong-ngomong tadi kau kemana dulu? Tidak biasanya terlambat seperti ini."
"Ah, biasalah mesin kasir tokonya rusak lagi. Memangnya kenapa? Kau mengkhawatirkan aku ya? Hehehe …."
Manabe mengerucutkan bibirnya, "Bukan begitu. Aku hanya kasihan kalau kau sampai tidak bisa masuk dan harus menunggu di luar," katanya.
"Hmm sama saja kalau begitu. Ternyata Manabe mengkhawatirkan aku sampai menunggu di luar kamar begini ya? aku terharu …." ujar Hayato, jahil.
"Huu pulang sana, tidak ada yang mengkhawatirkanmu kok!" gerutu remaja berambut lavender itu.
"Ahaha aku hanya bercanda, jangan marah dong. Sudah ayo masuk nanti kau sakit lagi, lho," kata remaja berambut spiky itu seraya membantu sahabatnya membawakan tiang penyangga infus.
"Ngomong-ngomong, pasien yang waktu itu dirawat di sebelahmu ke mana?" tanya Hayato saat mereka melewati bilik kosong di samping ranjang Manabe.
"Oh, paman itu sudah pulang tadi pagi," jawab Manabe.
"Yah, berarti kau sendirian dong malam ini?"
"Bisa jadi …."
"He, berarti aku bisa menginap ya?" ujar remaja bersurai hitam itu sembari terkekeh.
"Hah, mana mungkin boleh."
"Boleh dong. Menjenguk di luar jam besuk saja aku boleh, hahaha …." Hayato tertawa.
Memang sejak beberapa bulan lalu Hayato diizinkan oleh perawat di sana untuk membesuk Manabe di luar jam yang ditentukan dan boleh keluar saat jam besuk berikutnya diberlakukan.
Jam besuk pertama berlaku dari pukul sebelas sampai pukul satu siang. Karena sekolah berakhir pukul dua belas, Hayato baru bisa datang ke Rumah Sakit paling lambat pukul setengah satu. Tentu saja hal tersebut tidak menguntungkannya sebab ia hanya bisa berinteraksi dengan Manabe selama duapuluh lima menit karena lima menit berikutnya ia sudah disuruh keluar dari kamar pasien.
Maka ia diberi keringanan—karena sudah sering datang membesuk—oleh perawat yang menjaga ruang resepsionis. Ketika pembesuk lain keluar pukul satu kurang lima menit, Hayato masuk, lalu ketika pembesuk berikutnya datang pada jam kedua, pukul setengah lima sore, Hayato diizinkan keluar.
Berkat kebaikan hati para perawatnya itulah Hayato menyarankan Manabe agar tidak pindah ke Rumah Sakit lain.
"Hmh. Dasar ngelunjak," ujar Manabe sembari memutar kedua bola matanya.
.
.
.
Pusat tata surya yang tadinya bersinar begitu terik di atas bumi, kini mulai condong ke ufuk barat. Cipratan cahaya jingga kemerahan terlukis di atas kanvas langit, menandakan bahwa hari telah sampai pada penghujungnya.
Seorang remaja berambut lavender tampak mengantarkan sahabatnya ke depan pintu resepsionis. Setelah tiga jam lebih tigapuluh menit bersama-sama, Hayato pamit pulang karena waktu besuknya sudah habis.
"Hati-hati ya," ujar si rambut lavender, Manabe.
"Iya. Jangan lupa minum obat habis makan malam nanti."
"He, kau pikir aku pikun apa? Tentu saja aku tidak akan lupa."
Pemilik iris onyx itu terkekeh, "Baiklah. Aku pulang, jaa …." ujarnya seraya membuka pintu dan melambaikan tangan.
"Jaa. Besok datang lagi, lho!" seru Manabe, yang dibalas dengan anggukan oleh Hayato.
Setelah melewati meja resepsionis dan memberi salam pada perawat yang ada di sana, Hayato pun melangkah menuju elevator yang terletak di ujung lorong.
Jari telunjuknya menekan tombol panah yang menunjuk ke bawah lalu ia menunggu beberapa saat hingga pintu elevatoryang di hadapannya terbuka.
Ting.
"Oh," Hayato sedikit terkejut ketika beberapa orang perawat yang mendorong sebuah ranjang pasien keluar dari elevator. Ia mundur selangkah untuk memberi jalan bagi mereka.
Sempat terlihat olehnya walaupun sekilas, seorang gadis terbaring di atas ranjang tersebut. Iris onyx milik remaja itu menangkap sesuatu yang menarik dari sang gadis ….
… sebuah permata safir yang tertanam pada rongga matanya.
Keesokan harinya, Hayato kembali melakukan rutinitasnya sepulang sekolah—membesuk Manabe. Sambil menggenggam sebuah kantong plastik berisi komik yang masih tersegel rapi, remaja bersurai hitam itu berjalan menuju ruang resepsionis paviliun tempat Manabe dirawat.
Remaja itu sibuk memikirkan sesuatu hingga ia tak menyadari kalau seorang perawat di situ menyapa dirinya.
Yah, semoga saja perawat itu tidak mencabut izinnya yang memperbolehkan Hayato menjenguk di luar jam besuk setelah ini.
.
.
.
"Manabe, aku dat—"
Perkatan Hayato terputus saat ia melihat sahabatnya tengah berbincang dengan seorang gadis bersurai merah muda yang memakai baju khusus pasien wanita.
"Oh, Matatagi, masuklah!" seru Manabe kemudian.
"U-uhn," dengan kikuk, remaja beriris onyx itu menutup pintu lalu menghampiri Manabe dan teman barunya.
"Wah, kau bawa apa?" tanya si kacamata ketika ia melihat kantong plastik yang sedari tadi digenggam Hayato.
"Etto … ini komik favoritmu, kebetulan hari ini edisi selanjutnya terbit, jadi aku membelinya," Hayato menjawab tanpa melepas pandangannya pada gadis bersurai merah muda yang memunggunginya.
"Hehe terima kasih. Oh iya, kau belum kenal dia kan? Dia pasien yang baru dipindahkan kemarin sore ke sini."
"Hah?" Hayato mengerjap lalu menoleh pada Manabe, "Oh, i-iya, aku belum kenal." katanya kemudian.
"Ne, Nozaki-san, ini Matatagi, dia sahabatku sejak kecil. Matatagi, ini Nozaki-san." ucap remaja bersurai lavender itu.
Kepala yang berhias sakura petals itu tergerak untuk menoleh pada Hayato, memperlihatkan raut wajahnya yang saat ini tampak bahagia—juga sepasang iris biru safir yang tertanam di rongga matanya.
"Nozaki Sakura, desu. Yoroshiku." ucapnya lembut.
Hayato merasa organ pemompa darahnya bekerja dua kali lebih cepat saat iris onyx miliknya bertemu dengan permata safir milik gadis bernama Sakura itu.
'Ia memiliki permata safir yang indah ….'
Lalu remaja itu mengulurkan tangan kanannya yang langsung disambut hangat oleh sang gadis.
"Matatagi Hayato, desu. Senang berkenalan denganmu." balasnya kemudian.
—to be continued—
note: hisashiburi da ne, minna~ kembali lagi bersama saya dan fic gaje saya~ *kemudian dilempar sapu*
ehm, jadi ceritanya saya ini lagi suka banget sama trio ini. yah, seems crack but di beberapa episode ada hintsnya (walaupun cuma ngoper bola/kebetulan berdiri sebelahan sih ahaha *dor*)
eh malah curhat jadinya... wkwkwk *digetok*
intinya, saya seneng pake banget bisa ngerusuh di FIEI lagi~ ayee /o/ *salah kalimat*
yosh, silakan sampaikan pesan-pesan anda di kotak review ^^v
Be Positive,
Megumare Hikaru.
