Kau mendongakkan kepala saat berliter-liter air hangat membasahi tubuh kekar-polosmu. Uap panas yang ditimbulkan oleh liquid bening itu menambah kesan dramatis atas perasaan hampa yang menderamu beberapa hari belakangan ini. Matamu terpejam, menikmati aliran hangat yang mengalir dari ujung rambut raven hingga jari-jari kakimu.

Tapi tetap saja … seberapa pun hangatnya air itu … hatimu masih terasa sangat dingin. Karena dia—wanita itu—tidak ada di sisimu. Iya, 'kan, Uchiha Sasuke?

.

Naruto © Masashi Kishimoto

OOC, Typo(s), Semi-Canon, Second POV, etc.

A Collaboration Fiction by. Voila Sophie and Air Mata Bebek

~oOo~

Kau duduk di kasur yang biasa kalian tiduri dan mengambil posisi dekat dengan jendela. Kaki kananmu menekuk untuk kaujadikan sandaran tangan kanan sementara kaki kirimu berselonjor ria. Sesekali kau menggoyangkan kaki kiri untuk sekedar menghilangkan kejenuhan.

Apa kau merasa bosan dengan kesunyian ini, eh? Bukankah seharusnya kau menyukainya—kesendirian ini? Biasanya begitu, 'kan? Atau jangan-jangan … karena sudah terbiasa dengan kebisingan wanitamu, kau menjadi benci suasana ini?

Ah! Terlalu banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalamu. Kau adalah seorang Uchiha, Bodoh! Bagaimana mungkin kau memikirkan hal sepele macam itu?

"Sakura…." Kau menggumamkan nama itu, nama yang selalu kausebut saat dia di sampingmu. Nama yang selalu kaupanggil agar dia mendekat untuk kemudian menjadi sandaran atas kegelisahanmu. Entah itu urusan profesi anbu-mu atau semacamnya.

"Cih!" Bagaimana rasanya menunggu, Uchiha? Menyebalkan, bukan?

Kau menggerakkan kepalamu untuk menoleh ke samping kanan, menatap berjuta-juta tetesan hujan dari angkasa malam yang terjun membasahi bumi. Lagi-lagi, alam tidak mendukung. Hujan itu hanya menambah kedinginan dan kehampaan yang kaurasakan, seakan menyindirmu.

Bibirmu tertarik, membentuk seulas senyum. Bukan senyum tulus, ataupun seringai yang biasanya kautunjukkan. Tapi kau tersenyum miris atas hal menyedihkan yang menimpamu saat ini.

Suatu ingatan terlintas di kepalamu. Tiga malam lalu saat keadaan cuaca yang sama dengan malam ini, wanita merah mudamu duduk di meja berkaki rendah—berseberangan denganmu. Bibir tipisnya tidak berhenti mengoceh, menceritakan kegiatan yang dia lakukan selama di rumah sakit. Teh yang masih mengeluarkan kepulan asap terhidang di hadapan kalian, menambah kehangatan yang tercipta di malam itu.

Dan kau sendiri … tersenyum dalam diam saat memandangnya bercerita. Entah kausadari atau tidak, kau menatapnya dengan tatapan memuja meskipun kau menampilkan wajah datar. Apalagi saat dia merona karena menyadari tatapanmu terus tertuju pada manik hijaunya. Rona itu … begitu indah di matamu. Gila!

Seharusnya suasana seperti itu selalu terjadi di setiap malammu. Seharusnya begitu.

Salah wanita itu juga! Kenapa dia memiliki otak yang cerdas dan kemampuan belajar sangat cepat sehingga ninjutsu medisnya hampir melampaui Tsunade? Karena talenta itulah dia harus terjun ke lapangan untuk membantu Negara Suna.

Kau bertekad dalam hati. Setelah ini, setelah Uchiha 'baru'mu pulang dari misi menyebalkan ini, kau tidak akan mengizinkan dia lagi untuk menerima misi apa pun selain bekerja di rumah sakit. Awas saja sahabat durianmu itu! Mentang-mentang sudah menjadi hokage, seenaknya saja memerintah istrimu dan kaulah yang harus menerima penderitaan ini.

Kondisinya yang sedang hamil dua bulan bisa kaugunakan sebagai alasan untuk tidak menerima misi istrimu lagi. Hamil? Oh, Tuhan…. Kau bahkan baru ingat bahwa Sakura tengah mengandung benih yang kau buat.

Lihat! Kau tengah merona tipis mengingat itu.

.

.

.

"Sasuke-kun, kau sedang apa?" Kau tersenyum simpul saat mendengar empat kata itu terucap dari bibir wanita yang kaucintai. Meskipun tidak terlalu jelas karena jarak kalian yang terlampau jauh, tapi tetap saja … suaranya selalu terdengar indah.

"Hn. Memandangi hujan di malam hari. Bagaimana kabarmu di Suna?"

"Sedang hujan ternyata. Aku baik-baik saja. Kau sendiri?"

Kau terdiam mendengar pertanyaan Sakura-mu. Bingung, eh? Ya. Kau bingung. Ada dua jawaban atas pertanyaan dari wanitamu; keadaan fisikmu baik-baik saja, tidak ada yang salah. Kenyataannya kau memang sedang sehat dan tidak ada satu goresan kecil pun yang melekat di tubuh atletismu.

Tapi … ada jawaban lain yang lebih mendominasimu, sekarang; keadaan psikismu. Hatimu tidak baik-baik saja, otak—pikiranmu pun begitu. Pikiranmu tertuju pada wanita cherry itu. Kau menghawatirkannya, lebih dari itu … kau merindukannya. Sangat.

Untung saja kemajuan teknologi di dunia ninja yang kauhidupi sedikit membantu. Kau sedikit-banyak beruntung menjadi seorang shinobi yang sering ditugaskan untuk menjalani misi di daerah yang jauh sehingga kau memiliki benda itu; alat komunikasi jarak jauh yang lebih mutakhir dan canggih. Tidak heran kau bisa berbicara dengannya.

Itu pun karena kau berhasil memaksa Dobe-mu. Alat berbentuk headset itu hanya boleh digunakan ketika sedang menjalankan misi dan disimpan di kantor hokage selama kau berada di rumah. Tapi karena Sakura; wanitamu … kau mau—dan rela mendapat sedikit amukan dari anbu lain—menarik kerah kemeja bagian depan sahabatmu agar memberikan alat milikmu tersebut, siang tadi.

Oh, tetap saja. Kau merasakan kehampaan yang sangat, bukan? Itu tercetak sempurna pada bola mata gelapmu.

"Sasuke-kun? Apa suaraku tidak terdengar jelas?" Kau tersentak ketika suaranya terdengar di antara lamunanmu.

"Hn. Kadang terasa buruk mengingat kau ditugasi ke Suna untuk beberapa hari. Terlebih ada Si Kepala Merah Kazekage di sana. Cih!"

"Hihihi…." Dia terkikik mendengar jawaban panjangmu.

'Apa yang salah?' gumammu dalam hati. Mempertanyakan penyebab istrimu terkikik geli di seberang sana. Yang benar saja, Uchiha! Mengungkapkan perasaan dengan sangat frontal adalah suatu kesalahan besar bagi seorang Uchiha sepertimu. Kau. Baru. Saja. Mengungkapkan. Kecemburuanmu.

Hah! Otakmu sudah rusak.

"Itu bukan jawaban yang kuinginkan, Sasu. Aku jadi gemas ingin melihat wajah cemburumu." Suaranya yang masih diselingi kikikan kembali memasuki gendang telingamu. Dan kalimat terakhir wanita itu, berhasil membuat rahangmu mengeras. "Kau cemburu, bukan?" tanyanya.

"A-apa?" Entah kausadari atau tidak, kau tergagap saat merespon pertanyaan Sakura. Terlebih lagi kau merasakan wajahmu memanas. Jelas sekali…, "Cih! Tentu saja tidak!" Kau tengah berbohong dan berusaha menutupi perasaanmu.

"Ayolaaahkau tidak perlu malu pada istrimu, Sasu-chan. Aku tahu kau sedang merona. Hn?" goda istrimu. Selalu saja…. Selalu saja dia menggodamu. Itu karena kau terlalu gengsi, Uchiha. Seandainya kau jujur tentang perasaanmu padanya, kau tidak akan salah dalam bertingkah, seperti sekarang ini.

Saking tidak pernah jujurnya tentang perasaanmu, bahkan kau tidak melamarnya saat kalian akan menikah, dulu. Dengan susah payah karena berusaha menyembunyikan rona merah di pipimu, kau menyuruh gadis Haruno itu untuk membantumu membangun klan Uchiha. Kau ingat itu, hn? Kau. Menyuruhnya. Dan bukan. Melamarnya.

"Sudahlah…," katamu menyerah. Kau menghela napas untuk percakapan selanjutnya. Memejamkan mata, kau yang sudah benar-benar menginginkan dia berada di sisimu kembali bersuara lirih. "Kapan kau akan pulang?" Ada nada kegetiran yang amat sangat dalam kalimat tanya itu.

Sungguh…. Kau sungguh membutuhkannya. Kau sudah sangat ingin berada di dekat wanita itu. Memeluknya dalam kehangatan serta membelai helaian rambut merah jambunya, juga menghirup dalam-dalam aroma khas cherry yang menguar alami dari tubuhnya. Perasaanmu … tidak bisa dilukiskan oleh apa pun.

Bagaimana rasanya kehilangan, Uchiha Sasuke? Sakit? Ah! Bahkan kau tidak pernah mau mengakuinya selain pada keluargamu, dulu. Gengsi saja yang kauutamakan.

"Aku tidak tahu." Terdengar helaan napas dari seberang sana sebelum Sakura melanjutkan. "Jika pekerjaanku lancar, sekitar lima hari lagi aku akan pulang." Kau meneguk saliva kekecewaan saat mendengarnya. Yang benar saja? Kau bisa mati karena itu.

"Hn … semoga kau cepat pulang dan beristirahat mengingat kandunganmu baru dua bulan. Aku tidak mau kau kelelahan." Sedikit perkembangan. Kau mau menunjukkan rasa kekhawatiranmu padanya meskipun lagi-lagi … kau belum mengakui bahwa kau sangat merindukannya. Ah! Kapan kau bisa berubah?

"Tentu!" Dia berseru senang. Merasa lega karena kau perhatian padanya. "Ummoh ya, Sasuke-kun…."

"Hn?"

"Akudan bayiku…." Dia berkata ragu. Sementara itu kau memejamkan mata, membayangkan wanitamu sedang mengelus perutnya yang belum membuncit. "Sangat merindukanmu." Kau tersentak dalam diam. Perasaan yang hangat menjalar di rongga dadamu hingga menyelimuti hati. Dengar? Betapa dia juga sangat merindukanmu. Akhirnya kau merasa menjadi manusia paling bodoh di muka bumi ini. Seharusnya kaulah yang mengucapkan kalimat itu, bukannya malah mempertahankan harga diri! Toh dia juga sudah menjadi istrimu; bagian terpenting dalam hidupmu.

Kau terdiam beberapa detik. Hingga kau merasa tidak sanggup lagi untuk menahan perasaan yang sudah sangat membuncah, kau pun menjawab, "Aku juga." Senyum tipis terkembang di wajahmu. Kau merasa sangat lega karena sudah mengatakannya.

Sebenarnya … jika boleh, jika berkenan, jika diizinkan, kau tidak ingin menyudahi obrolan ringan ini. Kau masih ingin mendengar suara merdunya, juga ocehan riangnya. Tapi mengingat dia tidak dalam keadaan memungkinkan—karena sedang mengandung benihmu, kali ini kau mengalahkan ego. "Sudah malam. Lebih baik kau tidur cepat," titahmu pelan.

"Ha'i!" serunya dengan suara yang sangat kausukai; riang. Kau kembali tersenyum tipis. Menyenangkan sekali ketika berbicara dengannya. Kemudian kau mematikan alat komunikasi jarak jauh tersebut.

Setidaknya, meskipun kau tidak bisa melihat manik viridian meneduhkan juga wajah ayunya, kau sedikit merasa lega. Suara riangnya berhasil menenangkan pikiran dan hatimu.

Apa kau merasa beruntung telah memilikinya, Uchiha Sasuke?

"Setelah ini … aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tidak akan," gumammu seraya menerawang ke langit-langit kamar. Detik berikutnya, kau merebahkan diri sambil memeluk bantal istrimu, berharap bisa menghirup sisa-sisa aroma yang dia tinggalkan.

End, or To be Continued?

Author's Note: Haaai…! Voila Sophie di sini…! (^o^)/ Awalnya nih, awalnya nih, awalnya niiih…, aku dan Bebek iseng-isengan bikin dialog SasuSaku di wall FB. Bebek jadi Sasuke dan aku jadi Sakura. Hahahaaa…! Terus kata Bebek dibikin fiction ajaaaa~ Dan jadilah seperti sekarang ini! ~(^o^~)(~^o^)~ *nari hula*

Berhubung ini bikinnya kemaren sabtu pas hari tenang, jadi jangan ada yang nge-gosip kalo kita ga belajar padahal udah kelas tiga ya? (padahal emang ga belajar—Voila maksudnya) ._.v

Oke. Mungkin readers bingung canon kok ada alat komunikasinya? Nah, itu kita berinisiatif headset yang biasa buat misi itu dijadiin alat komunikasi jarak jauh mereka. Toh, Naruto The Movie 1 juga agak modern, 'kan? Udah ada gedung bioskop dan kamera buat maen pilm. Hihihiii….

Oke! Sekian bacotan nggak bermutu dariku, juga dari Bebek yang udah mau jadi sasUKE-ku. *dihajar* Review and Concrete, please?

PS: Chap depan Insya Allah Air Mata Bebek yang buat. :)

Sankyuu vo Riding. ^^