"Pendek."
Aku mendongak pelan. Hansol berada di hadapanku, sambil memegang bola sepak miliknya, menatapku. Tatapan yang sangat dingin namun menurutku itu sudah biasa karena ia memang seperti itu. Aku mendengus pelan. "Berhenti mengejekku pendek. Aku tidak suka jika kau berkata seperti itu, Manusia Dingin." Aku beranjak dari bangku dan menatapnya, sambil mengernyitkan keningku. Aku berjalan cepat keluar kelas dan—
Bruk!
Aku terjatuh. Hampir seisi kelas menatapku sambil sesekali mereka menahan tawa. "Ups. Maaf." Hansol berkutik. Aku membersihkan seragamku yang sedikit kotor dan menghela nafas, heran dengan sikap Hansol yang sedikit berbeda dari biasanya. Tempo hari, ia sempat menolongku karena ulahnya yang berlarian dekat koridor kelas, hingga membuatku terjatuh dan basah kuyup terkena ember berisi air yang kubawa saat selesai melakukan piket kelasku. Rupanya ia menjegal kakiku. "Kau baru saja membuatku malu di depan teman-teman." Aku menatapnya, rasanya ingin sekali memukul dan meremas wajahnya yang sangat datar, tanpa menunjukkan rasa bersalah. "Chan, kau tidak apa-apa?" Seseorang memanggilku. Aku mendongak dan menatap Myeongho yang berada di hadapanku. Ia berjongkok dan menatapku dengan khawatir. "Kau tidak apa-apa? Lututmu berdarah. Aku ambilkan plester, ya." Ia beranjak kembali menuju bangkunya dan mengambil sebuah plester lalu kembali menghampiriku. "Kau harus hati-hati, akibatnya terjatuh seperti ini, kan." Ia menempelkan plester itu di lutut kananku dan tersenyum. "Terima kasih…" Aku tersenyum. Myeongho menepuk pundakku dengan lembut. Aku menatap Hansol. Ia membuang muka.
"Hansol, kau harus meminta maaf. Aku melihat kau menjegal kakinya, kan?" Myeongho mengernyit kesal.
"Sori."
"Kau… Kau selalu mengataiku pendek, pendek! Aku sudah bilang padamu bahwa aku tidak suka jika dikatai seperti itu, Hansol! Mengapa kau tidak mencontoh sikap Myeongho?!" Aku berteriak, kedua air mataku mengalir deras. Aku memang seperti anak kecil, mudah menangis. Aku tak peduli pada teman-temanku yang mengatai bahwa aku cengeng, aku hanya ingin Hansol meminta maaf padaku dan tidak bersikap seperti itu lagi padaku.
Hansol menarik lenganku dan mengajakku keluar kelas.
"Chan."
Aku tak menjawab. Aku masih terisak pelan, sesekali menghapus kedua air mataku yang mengalir. Hansol menatapku dan menghela nafas dengan panjang, membelai rambutku dan memelukku dengan erat. "Maafkan aku."
"Kau mengecewakanku…"
"Maafkan aku. Dan jangan menangis." Hansol menatapku dalam-dalam dan menghapus kedua air mataku dengan lembut dan tersenyum. Aku menatapnya. Ia tersenyum ke arahku dan membelai rambutku. "Ayo kita pulang."
Hansol menggenggam tanganku.
Aku melepas genggaman tangan Hansol yang sangat erat dan berbalik. "Tidak."
"Mengapa?"
Hansol menatapku dalam-dalam. Ia masih menggenggam kedua tanganku. Aku menunduk pelan dan terisak. "Karena kau sudah mengecewakanku dan mempermalukanku di depan teman-teman. Kau tidak membayangkan dirimu jika kau menjadi aku? Kau pasti akan merasakan hal yang sama, Hansol. Sudahlah, hari ini aku ingin pulang sendiri saja." Aku membuang muka, tak ingin menatap Hansol yang terdiam di belakangku. Aku berbalik dan berjalan.
