Disclaimer. Sorachi Hideaki
[gasp]
Kagura tidak begitu ingat kapan dan kenapa ia bisa jatuh cinta pada Gintoki. Umur mereka yang terpaut jauh dan sifat mereka yang sama-sama keras kepala membuat kehidupan rumah tangga mereka penuh dengan keributan, pertikaian, bahkan nyaris diambang perceraian.
Agak berlebihan memang, tapi pernah suatu hari mereka bertengkar hebat sampai Kagura kabur dua minggu dari rumah. Hebat sekali.
Kagura sendiri tidak habis pikir kenapa ia mau-maunya menghabiskan hampir seluruh hidupnya bersama pria bangkotan itu. Ya, walaupun secara secara finansial, Gintoki sudah cukup mapan untuk berkeluarga. Pria itu memiliki pekerjaan yang stabil dan gaji yang cukup banyak untuk menghidupi dua orang. Tapi terkadangKagura menyesal kenapa dia tidak menikahi Shun Oguri saja.
Kagura juga sebenarnya merasa bersyukur telah menikahi Gintoki. Memang, secara garis besar sifat mereka selalu bergesekan satu sama lain, tapi Kagura yakin tidak ada laki-laki lain yang dapat memahaminya sebaik Gintoki.
Jika banyak pria yang bersikap baik agar membuatnya nyaman, Gintoki malah melakukan kebalikannya. Pria itu selalu jujur dan apa adanya, bersikap seenak dengkulnya, dan selalu membuat Kagura marah dan kesal. Tapi, Gintoki akan menjadi orang pertama yang menyadari perubahan perasaan Kagura.
Selain itu, ada beberapa bagian dari Gintoki yang membuat Kagura nyaman. Sifat mereka yang sama-sama cuek, tidak suka sesuatu yang merepotkan, dan memiliki pandangan dan pola pikir yang sama, membuat Kagura kadang berpikir Gintoki itu duplikatnya.
Bahkan dalam memilih aktivitas yang akan dilakukan di akhir pekan pun mereka selalu sepakat untuk tidak pergi kemana pun selain ruangan-ruangan di rumah mereka. Tidak melakukan apapun kecuali bermalas-malasan di atas sofa, menonton film di televisi kabel, sambil mengunyah snack kesukaan masing-masing. Membiarkan rumah mereka berantakan sedangkan keduanya tidur bergelung selimut sambil berpelukan satu sama lain.
Kagura sih tidak masalah. Semenjak ia menikah dengan Gintoki ia menjadi ibu rumah tangga, tidak kemanapun kecuali ke luar rumah untuk membeli bahan makanan dan beberapa urusan penting. Lagipula menghabiskan waktu di rumah menyenangkan. Kagura bisa melakukan apapun tanpa perlu takut diganggu dengan orang lain.
Termasuk diam-diam meremas bagian bawah Gintoki saat pria itu tidur.
[breath]
Gintoki tahu kalau istrinya—Sakata Kagura—itu nakal. Oke, mungkin karena bawaan sifat bocahnya yang terlalu mengakar dalam diri sehingga—kadang—Kagura itu nakalnya kelewatan. Kalau diibaratkan, kenakalan perempuan itu lebih nakal dari Phineas dan Verb.
Gintoki tahu kebiasaan jelek Kagura. Perempuan itu akan meremas selangkangannya setiap kali Gintoki tidur dan ketika Gintoki terbangun karena rangsangan itu, Kagura akan pura-pura tidur sok tidak tahu.
Gintoki tahu itu. Sangat tahu. Ayolah, laki-laki mana yang tidak kaget kalau diremas seperti itu. Gintoki tidak impoten; dia juga bukan gay. Merasakan remasan dari tangan kecil Kagura jelas membuatnya berdiri tegak minta dilemaskan.
Tapi, Gintoki selalu pura-pura tidak tahu. Ia akan terus membiarkan Kagura melakukan hal itu sampai miliknya benar-benar menegang sempurna dan ketika Gintoki sudah di ambang batas kesabarannya, ia akan mencekal tangan kagura cepat, menahannya dimana saja agar tidak memberontak, lalu langsung memasukkan miliknya ke dalam Kagura dalam sekali hentakan.
Rasanya selalu sama. Sempit, ketat, dan hangat. Gintoki tidak akan pernah bosan sekalipun ia sudah melakukannya berkali-kali bersama kagura.
"Gin-chan—"
Gintoki menyeringai tipis. Kagura posisinya tengkurap, pinggulnya menungging, terangkat sedikit untuk memberikan akses bagi Gintoki. Wajah Kagura perlahan memerah; napasnya terengah kekurangan oksigen. Gintoki yang berada di atas menekan Kagura sedikit, memenuhi seluruh bagian Kagura dengan miliknya yang keras.
"Bukannya ini yang kau inginkan?" desis Gintoki tepat di daun telinga Kagura "Aku yang memenuhimu dengan milikku?"
Kagura menghela napas; Gintoki mulai menggerakkan pinggulnya dengan tempo progresif. Tidak terburu namun penuh penekanan. Memenuhi Kagura sampai menyentuh titik terdalamnya, membuat Kagura harus menahan desahannya agar tidak terdengar keras.
Ibu jari Gintoki mendadak masuk ke dalam mulut Kagura, memaksanya untuk mengulum tiap ruasnya, bahkan menyuruh Kagura terang-terangan untuk menghisapnya. Kagura terengah sesekali mendesah. Gerak Gintoki yang masih dalam tempo itu membuat Kagura nyaris gila untuk meminta lebih.
"Gin-chan—tolong—"
Gintoki terkekeh ia mendorong miliknya sekali, melepaskan cairannya di dalam Kagura tanpa mengeluarkan batangnya sekalipun. Membalik tubuh Kagura agar menghadap dirinya tanpa melepaskan kontak yang menyatukan kedua tubuh mereka.
"Bagaimana, Kagura? Dipermainkan oleh permainanmu sendiri? Menyenangkan?"
[window]
Kagura sebenarnya suka dengan gaya permainan yang kasar dan memaksa. Entahlah, mungkin dia sudah ketularan sifat masokisnya Sacchan, tetangga depan rumah mereka yang selalu mengejar Gintoki. Tapi, terlepas dari tertular atau tidak, terkadang Kagura sendiri heran kenapa ia tidak pernah menolak disiksa oleh Gintoki. Bahkan sekalipun Gintoki terasa kelewatan, Kagura langsung melupakannya begitu saja.
Mereka sama-sama mau, sama-sama suka. Consent ada bukan untuk diperdebatkan.
Tapi jauh di dalam lubuk hati Kagura, terkadang ia sangat ingin menghajar Gintoki dengan kedua bogem mentahnya. Setiap kali sesi permainan kejam mereka usai, Kagura selalu merasa kesakitan. Terutama di bagian selangkangannya, rasanya perih dan ngilu. Benar-benar tidak enak.
Kagura ingat ia pernah hampir tidak bisa berjalan seharian setelah Gintoki mencoba beberapa gaya baru yang ia temukan di buku karangan dokter Boyke (Kagura tidak kenal siapa dia—dokter Boyke—tapi katanya dokter itu memang ahli ahli kandungan). Rasanya sakit sekali setiap kali Kagura menggerakkan pergelangannya. Ia bahkan sampai mengompres selangkangannya dengan air hangat agar terasa lebih baik.
Sebenarnya Kagura tidak mau munafik kalau ia—jauh di dalam lubuk hatinya—menikmati setiap detik sesi yang ia lakukan dengan Gintoki. Bagaimana Gintoki menghentakkan pinggulnya; bagaimana pria itu mengeram setiap kali melepas cairannya. Tapi sikap cuek dan tidak bertanggung jawab yang pria itu miliki membuat Kagura sakit hati dan ingin marah.
Setidaknya bilang terima kasih 'kek.
"Kenapa? Kau ingin lagi?"
Kagura menyipit sinis. Suara serak Gintoki memang terdengar seksi tapi itu tidak cukup membuat emosinya redam.
"Diam, aku masih marah dengamu—"
"—Astaga, kau masih mau membahas itu lagi? Thomas and friend—"
"—bisa kau tutup mulutmu? Kau membuat oksigen di rumah ini habis!"
Gintoki terkekeh singkat. Mulutnya nyengir karena menyadari sikap sengak Kagura yang muncul setiap kali mereka habis bermain. "Kenapa? Bukannya kita tinggal membuka jendela kalau oksigennya habis?"
Kagura memutar bola matanya malas. "Kau saja yang membuka jendelanya, aku malas," balas Kagura dengan ketus, "Lagipula aku tidak bisa berjalan—ini semua salahmu—kau harus tanggung jawab!"
Gintoki terkekeh lagi. Rasanya lucu melihat Kagura dengan mode merajuknya. "Baiklah, aku akan membuka jendela," Gintoki menyeringai tipis, ia menarik kedua kaki Kagura untuk mendekatinya, "Tapi jangan protes padaku kalau kau tidak suka," ucapnya lagi sambil menekuk lutut Kagura.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Kagura heran. Gintoki sedang menekuk lututnya, membuka selangkangannya lebar-lebar sampai memperlihatkan seluruh isinya, membuat Kagura malu karena posisinya yang seakan menawarkan kewanitaannya pada Gintoki.
"Apa yang aku lakukan? membuka jendela," desis Gintoki pelan tepat di depan selangkangan Kagura.
"Gin-chan—" Kagura melengguh pelan ketika Gintoki mulai menjilati bagian tersensitifnya tanpa aba-aba. Pria itu bahkan langsung memasukkan lidahnya yang panas ke dalam lubang Kagura yang sempit, menyesap bagian tersensitifnya, sampai menghisap isinya tidak terkecuali.
Kagura mendesah sesekali memekik pelan. Gintoki yang sedang berkutat pada lubang Kagura menghentikan aktifitasnya, melirik wajah perempuan itu yang sudah semerah kepiting rebus.
"Kenapa? Kau tidak suka? Bukannya kau yang menyuruhku untuk membuka jendela?"
"Bukan—itu bukan jendela—" Kagura menahan napas ketika Gintoki memulai kembali aktifitasnya. "Jendela yang kumaksud ada di sana, bukan di situ."
Gintoki tidak membalas ucapan Kagura. Ia terlalu sibuk dengan apa yang ia lakukan sekarang, menghisapi inti Kagura dengan bibir dan lidahnya.
Kagura sendiri tidak masalah dengan sikap diam Gintoki. Ia menahan rapat-rapat mulutnya agar tidak mengumbar desahan. Namun ketika Gintoki melakukan penekanan sedikit pada intinya, Kagura mendesah tanpa sengaja.
"Gin-chan—ah," gerakan mulut Gintoki yang pelan dan dalam membuat Kagura hilang kendali, membuat rasa perih yang radi Kagura rasakan berubah jadi panas seperti sebelumnya. "Kau—berengsek—"
Suara kekehan terdengar dari mulut Gintoki. Ia menggigit pelan setiap lipatan yang ada di sana. "Kau menyebut suamimu sendiri berengsek? Kejamnya—"
"—Tidak, bukan begitu maksudku," Kagura melengguh lagi. Dadanya membusung setiap kali Gintoki menghisapnya. Bahkan puncak dadanya yang polos tak terlindung itu ikut menegang walaupun tidak dirangsang oleh apapun, "Kau—menyebalkan, aku membencimu—"
Gintoki tidak menjawab, ia terlalu sibuk dengan aktifitasnya sekarang. Kedua tangannya masih menekan kaki Kagura, menahan setiap gerakan Kagura yang menendang-nendang.
Setiap bibir yang ada di sana membengkak, warnanya yang gelap menjadi terang. Sebuah tonjolan kecil yang ada di sana membesar. Gintoki menghisapnya lama sampai lubang sempit yang tadi ia masuki itu berkedut pelan lalu mengeluarkan cairannya.
Gintoki menghisapnya, menelan semua cairan Kagura tanpa terkecuali.
Kagura terengah setelah pelepasan itu. Dadanya yang telanjang naik turun seirama dengan napasnya yang pendek.
Segaris seringaian muncul di bibir Gintoki. Dua buah jemarinya yang panjang dan kekar itu masuk ke dalam lubang kagura, menekuk dan menggunting bagian dalamnya dengan tempo pelan. Kagura berjengit, napasnya kembali tertarik. Derunya pendek-pendek, setiap kali kedua jemari Gintoki bergerak di dalamnya.
"Bagaimana? Apa rasanya lebih baik?"
Kagura menggigit bibirnya. Wajahnya memerah antara malu dan nafsu. Ia pun menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mulai berbicara dengan suara yang sangat pelan.
"… lakukan lagi …"
[Body]
Kagura itu kurus. Sangat kurus. Gintoki masih ingat bagaimana tubuh Kagura saat mereka pertama kali bertemu.
Lengannya kecil, pahanya kecil, pinggangnya kecil. Perutnya rata, serata dada dan bokongnya. Tidak punya lekukan; tidak ada daya tariknya. Kadang Gintoki berpikir Kagura ini laki-laki apa perempuan kok tidak membuat keras bagian bawahnya.
Tapi beberapa tahun kemudian—setelah Kagura masuk SMA—Gintoki sadar kalau Kagura itu perempuan. Benar-benar seperti perempuan pada umumnya, memiliki lekukan dan gumpalan di dada dan bokongnya.
"Gin-chan, jangan pegang-pegang!"
"Siapa juga yang pegang-pegang?"
Kagura menggerutu pelan. Ia mencengkram tangan Gintoki yang sedang meremas sebelah dadanya, menarik paksa telapak kekar itu, lalu menaruhnya tepat di bawah dadanya, bersama sebelah tangany yang lain.
"Meremas itu termasuk memegang. Jangan buat aku melemparmu keluar sofa."
Gintoki nyengir sekilas. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh kecil Kagura, melingkarkan kedua lengannya untuk semakin merapatkan kedua tubuh polos mereka. Membiarkannya saling membagi kalor atau mungkin saling menggesek satu sama lain agar tetap hangat.
"Ayolah, harusnya kau berterima kasih padaku, bukannya tubuhmu bisa bagus begini karena aku yang selalu memijatnya?"
"Memijat?! Jangan bercanda! Aku tidak pernah ingat kau pernah memijat tubuhku!" ada jeda, "Kau itu selalu meremasnya sampai rasanya sakit!"
"Astaga, itu lagi? Kenapa sih kau selalu mempermasalahkan hal yang tidak penting?"
"Tidak penting?! Apa katamu?! Tidak penting?! Kau mau kugigit?"
"Tergantung, di bagian mana dulu—iya, iya, aduh! Sakit!" Gintoki mengaduh ketika Kagura tiba-tiba menggeplaknya keras. "Baiklah-baiklah, kau ingin apa? Kupijat?"
Kagura bergumam sebenrar. Tawaran Gintoki terdengar menggiurkan terlebih untuk badannya yang sekarang pegal-pegal. Terlebih, beban di dadanya terasa lebih berat akhir-akhir ini.
"Memangnya kau bisa?"
Gintoki menyeringai tipis, "Kau tidak tahu ya? Aku ini ahli pijat di antara yang paling ahli," ada jeda sejenak, "Aku akan membuat tubuhmu terasa lebih enak."
"Kau hanya membuat tubuhku semakin sakit," tawa Kagura, "Bercanda juga ada batasnya, Gin-chan."
"Ayolah, apa salahnya mencoba dulu?" kilah Gintoki setengah merengek, "Kalau memang sakit aku akan berhenti memijatmu—termasuk meremas atau apalah itu—"
"—Bagaimana, mau coba?"
Kagura terdiam sejenak; ia bergidik ngeri. Gintoki yang menawarkan ini itu biasanya berkedok ganda. Ada tujuan khususnya, dan biasanya ada hubungannya dengan sifat sadis dan dominannya.
Namun seakan tidak memberikan waktu untuk membuat pilihan, Gintoki keburu menggerakkan tangan ke kedua dada Kagura, meremasnya pelan dan memijatnya di setiap bagian yang menggumpal.
"Bagaimana rasanya? Ceritakan padaku."
Kagura menahan napas. Posisi Gintoki yang berada di belakangnya membuat pria itu dengan mudah mengurung tubuhnya. Tubuh mereka yang polos dan saling berhimpitan secara tidak langsung membuat bagian bawah Gintoki menggesek belahan pantatnya.
"Gin-chan—" Kagura mendesah pelan. Dadanya mulai membusung dan pinggulnya sedikit terangkat. Gintoki sedang meremas dada Kagura lalu memilin puncaknya hingga menegang. Kesepuluh jarinya memijat dada Kagura dengan pelan lalu mengurutnya rapi sesuai aliran serat otot yang menjalin dada Kagura.
"Kenapa? Apa rasanya sakit?"desau rendah Gintoki "Aku bisa memelankan pijatannya.
Kagura hanya melengguh. Wajahnya terbenam malu karena ia tidak bisa membalas ucapan Gintoki tadi.
Bagaimana tangan kekar itu meremasnya, bagaimana tubuhnya bereaksi, dan bagaimana setiap gesekan itu terasa. Semuanya membuat Kagura terdiam karena sibuk menahan napasnya, mendesah pelan, sambil mencengkram sofa yang menjadi alas tidurnya.
Hingga sampai di suatu titik dimana Kagura nyaris mencapai puncak, Gintoki malah memasukkan batangnnya ke dalam Kagura tanpa mengubah posisi mereka. Menghentakkan kedua pinggul mereka, mendorong kejantanannya sampai menyentuh titik terdalam Kagura.
"Gin—chan—"
"Kagura—"Gintoki mengeram pelan "Sebentar saja—" lanjutnya lagi.
Gintoki yang berada di belakang; Kagura yang berada di dalam pelukannya. Posisi mereka yang tidur menyamping itu menambah sensasi ketat dan rapat pada bagian bawah Gintoki.
"Kagura—" panggil Gintoki pelan "Sial, kenapa kau selalu sempit?" gerutunya. Ia pun menggerakkan pinggulnya pelan, menggesekkan miliknya yang perlahan membesar itu ke dalam Kagura yang dindingnya mengetat.
Sebelah tangannya berada di pinggul Kagura sedangkan sebelah yang lain masih tetap berada di dada Kagura. Memilin puncaknya agar semakin menegang. Bibirnya sudah berada di bahu Kagura, menggesek kulit yang ada, merangsang setiap reseptor yang mengakar, meninggalkan satu buah tanda kemerahan.
Kagura mendesah rendah, mengeluarkan napasnya yang hangat ke tubuhnya yang memanas. Setiap gerakan Gintoki membuat tubuhnya melengkung, memberikan akses yang lebih banyak bagi Gintoki untuk menjajahi tubuhnya.
Degup jantungnya berpacu dua kali lipat. Miliknya yang berkedut bersenggama dengan milik Gintoki yang keras. Sensasinya aneh, menjalar langsung dari dada sampai perutnya.
Gintoki mencapai puncaknya, bersamaan dengan Kagura yang sudah dua kali pelepasan. Cairan hangat itu keluar saling membasahi satu sama lain. Gintoki yang memenuhi bagian dalam Kagura dan Kagura yang membasahi bagian luar Gintoki.
Kalau memang Gintoki sehebat ini dalam hal memijat, kenapa dia tidak melakukannya dari dulu? Kagura kesal.
[misionary]
Suara lembut rintik hujan terdengar sayup-sayup dari luar sana. Tidak banyak suara yang terdengar selain rintik hujan itu. Namun, Kagura tidak cukup tuli untuk tidak menyadari deru halus napas Gintoki di belakangnya.
Rumahnya gelap. Jam dinding yang ada di atas TV plasma itu menunjukkan pukul enam sore kurang sedikit. Matahari hampir terbenam tapi cahayanya sudah hilang entah sejak kapan. Hanya cahaya lembut langit mendung dan lampu jalan yang bisa Kagura terima dari tempatnya sekarang.
Kagura berdeham pelan. Tenggorokannya kering; ia ingin mengambil air minum. Namun, ketika ia berusaha menggerakkan tubuhnya, kedua tangan kekar Gintoki sedang mengurungnya erat.
Kagura mendesah pelan. Ia tidak ingin membangunkan Gintoki karena ia tahu kalau ia membangunkan Gintoki, mereka akan mengulangi apa yang sudah mereka lakukan selama empat jam belakangan ini. Kagura pun memilih untuk membalikkan tubuhnya saja, menghadap Gintoki yang masih tertidur pulas.
Wajahnya keras; rahangnya tegas. Hidungnya yang mancung menambah sisi maskulin yang pria itu miliki. Kelopak matanya yang agak menghitam dan kantung matanya yang sedikit menebal. Terlihat jelas kalau pria itu kurang tidur belakangan ini.
Segaris senyuman muncul di bibir Kagura. Melihat Gintoki tertidur pulas seperti ini membuatnya bahagia tanpa alasan. Agak konyol memang, tapi sebuah kesempatan bagus bisa melihat wajah polos Gintoki dari dekat.
Kagura pun menyatukan kedua bibir mereka. Ia melumat pelan bibir Gintoki dengan miliknya yang lembab, membuka setiap bilah yang pria itu miliki, memasukkan lidahnya untuk membelit lidah Gintoki yang ada di dalamnya. Sesekali melengguh pelan, sesekali menghisap dalam. Kagura mencium bibir Gintoki lama sampai pria itu terbangun dari tidurnya.
Kedua kelopak Gintoki mengerjap pelan. Keduanya terbuka menampilkan dua bola mata merah yang agak sayu. "Kenapa? Kau ingin melakukannya lagi?"
Kagura tersenyum tipis, "Mungkin."
"Mungkin?" Gintoki mengernyitkan dahinya agak bingung. Ia tidak begitu ingat apa yang barusan terjadi tapi apa ia tidak salah dengar? Biasanya Kagura jual mahal ke dirinya. "Apa kepalamu terbentur?"
"Tidak," Kagura menggeleng pelan, "Bukannya dari tadi aku berada di sini bersamamu? Kau lupa?"
Gintoki terdiam sejenak. Otaknya yang baru bangun itu agak sulit memproses kata-kata Kagura barusan.
Secara naluri dia tidak masalah melakukannya lagi bersama Kagura. Namun kesadarannya yang belum pulih membuatnya mengantuk dan ingin tidur saja.
"Ya, ya, ya, terserah," Gintoki mengusap kasar rambutnya, "Lakukan sesukamu—"
Ucapan Gintoki terputus seketika Kagura mencium bibirnya tanpa menunggu jeda. Bibir Kagura yang berisi itu sedang melumatnya habis dengan gaya pelan, memasukkan lidahnya tidak tahu malu, mengisap setiap bagian dari bibir Gintoki.
Gintoki terkesiap. Ia kaget dengan gerak Kagura yang tiba-tiba. Kagura bukan tipe perempuan yang agresif dan memaksa. Kagura selalu menekan dirinya agar tidak terlalu menjual dirinya setiap kali mereka bermain.
Namun, dari cara perempuan itu menciumnya, Gintoki bisa merasakan hasrat dan nafsu dari Kagura. Bagaimana bibir tebal itu menciumnya, bagaimana lidah lunak itu membelitnya, dan bagaimana hisapan itu mengambil salivanya.
Suara lengguhan terdengar; desah rendah napas mereka juga terdengar. Gintoki membalas ciuman Kagura dengan sama dalamnya. Kedua tangannya bergerak pelan untuk menarik tubuh Kagura ke dalam pelukannya, melingkarkan sebelah tangannya ke punggung Kagura sedangkan yang satunya menekan tengkuk Kagura untuk memperdalam ciuman mereka.
Gintoki menarik sebelah kaki Kagura, menumpangkan salah satu rangka itu di atas kakinya, bermaksud mendekatkan kedua inti mereka yang panas dan lembab, membuat mereka saling bergesekan satu sama lain.
Batang keras Gintoki menyentuh bagian bibir Kagura yang membengkak, menekan pembukaan Kagura yang belum sempurna. Gintoki menarik ke atas Kaki Kagura yang menumpanginya, memperbesar celah yang akan menerima miliknya itu, lalu menggoda pembukaanya yang berkedut pelan.
Setiap gerak yang mereka berdua lakukan membuat Kagura mendesah. Dadanya yang telanjang menggesek dada Gintoki yang lengket. Selangkangannya yang terbuka lebar kembali dimasuki oleh Gintoki dalam sekali dorongan.
Keduanya melengguh keras. Gintoki menghentikan ciumannya; Kagura tidak lagi mencium Gintoki. Keduanya menempelkan dahi mereka satu sama lain, meresapi setiap tarikan yang terjadi di bawah mereka.
Satu buah gesekan terjadi ketika Gintoki mengubah posisi tubuhnya. Kagura mendesah pelan. Kedua tangannya mencakar punggung Gintoki tanpa sengaja. Bagian tubuh bawahnya yang ketat, dipaksa melebarkan ototnya oleh bagian Gintoki yang keras dan panjang.
Suara decap bibir mereka kembali terdengar. Kedua pinggul mereka yang menyatu dan kedua bibir mereka yang saling mencumbu. Gintoki mengeram setiap kali dinding Kagura menghisapnya, memaksanya untuk bergerak, atau bahkan menghentakkan dirinya sendiri.
Namun Gintoki tidak melakukannya. Ia hanya mencium bibir Kagura dan membiarkan pinggul mereka menyatu tanpa gerakan besar. Setiap gesekan yang tidak sengaja terjadi mereka nikmati dalam diam. Bibir mereka yang saling mencumbu adalah satu-satunya gerakan yang mereka lakukan selama ini.
Hingga keduanya kehabisan napas, mereka pun berhenti. Gintoki tidak mencium bibir Kagura dan Kagura tidak lagi membelitkan lidahnya. Keduanya menempelkan dahi mereka untuk merasakan napas satu sama lain.
"Aku sudah melakukannya."
Gintoki terdiam. Otaknya terasa beku. Milik Kagura yang ketat membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih.
"Melakukan apa?" tanya Gintoki dengan suara serak.
Dinding Kagura yang panas, ototnya yang mengetat membuat Gintoki semakin tidak tahan untuk tidak menggesekkan batang kerasnya. Ia pun menggerakkan pinggulnya pelan sesuai irama napasnya, menghentakkan keduanya agar saling bertubrukan, melengguh sesekali setiap kali kulit mereka berdecap satu sama lain.
Kagura terengah-engah. Kesepuluh jarinya mencakar pelan punggung Gintoki, melampiaskan emosi yang ia rasakan setiap kali Gintoki menyetubuhinya.
"Melakukan itu—"
"Itu apa?" Gintoki menambah tekanannya. Sedikit mempercepat geraknya sekalipun posisi mereka sama-sama berbaring, menyamping menghadap satu sama lain.
Kagura menutup matanya. Bibir Gintoki mulai menyusur lehernya yang lengket. Sepuluh kali gerakan itu terhitung. Lima kali gerakan itu terasa lebih cepat. Kagura mendesah pelan, ia bicara di sela-sela aktifitasnya.
"Menciummu."
.
.
[x0x]
.
.
AN/
Oh, ya, berhubung udah ga puasa aku balik lagi. HAHHAHAHAHAHAHAHAHAHA.
Anw, ini drabble tentang kesehariannya Ginkagu. Ngga ada plot yang jelas, cuma drabble ngalor-ngidul. Settingnya AU, abad 21. Lagi bosen bikin yang canon-canon di Edo dan ada yorozuya. Lagi bosen juga bikin Gintoki mlarat gapunya duit terus. Lagi males juga bikin mereka in-character lawak terus.
Intinya mereka disini kaya pasangan pada umumnya. Hidup berkecukupan dan Gintoki ngga rese males-malesan. Doi kerja banting tulang agar menjadi suami yang baik /sip.
Ini juga mungkin bakalan multichapter. Cuma ya, biasa, updatenya nggak rutin dan ga janji juga buat nambah chapter. Dan buat guity pleasure, kayanya udah aku sudahi chapter 3 aja deh. Extra chapnya gausa. Wkwk. Walopun aku udah ngetik 4k words dan mau aku simpen sendiri. HAHA
Last, bagian mana yang kamu suka?
