Mulai : 14-April-2014
Selesai :
Disclaimer : Masashi Kishimoto pemilik asli karakter di Komik Naruto.
Saya hanya meminjamnya.
.
Summary : Naruto akan menikah? "Argh…" / "Lihatlah wajahmu…" Apakah ia tak dapat mengurus pernikahannya sendiri. "Naruto-sama" Ah aku tidak akan sanggup kalau seperti ini terus? Malam ini tidak hujan dan bulan dengan bulatnya menerangi malam. Bahkan bintang-bintang liar pun tergoda olehnya. Aku siap . "Jadi…"
.
Perhatian : Alur nglabu. Deskripsi abal. Bahasa pasaran. EYD berantakan. Canon. Mungkin OOC. Roman? Friendship? Typo bersahutan. Macam kata yang tak nyambung. Bikin muntah? Segala kesalahan dalam fic-ini janganlah membenci karakter sebenarnya.
.
Peringatan terakhir: Tidak suka pair, pencet tombol kembali!
.
Uzumaki Naruto x Haruno Sakura
.
Selamat membaca
Permata Merah Muda
Jika malam ini tak hujan
Berarti sang rembulan akan datang
Jika temanku akan datang
Maka sambutlah ia dengan senyuman
Lembutku ungkapkan kata yang lama hadir
Perasaan bimbang janganlah hentikan rasa terdalam
Aku tahu aku bukanlah Raja
Tapi tenanglah karena kamu tetaplah sang permata merah muda
Chapter 1
.
.
.
.
.
Malam telah terlewati. Dinginnya udara mulai sedikit demi sedikit tak terasa lagi. Matahari menyinari tempat-tempat gelap. Tidak ada musik bertalu-talu, tidak ada genderang riuh dari para pemuja suka cita. Yang ada hanya satu. Bunyi jam beker itu yang melantunkan suaranya dengan keras. 'Tut… tut… tut…' dan semakin lama semakin keras 'TUT… TUT… TUT…'. Tapi, telah setengah jam berdendang dengan kerasnya belum juga mampu membangunkan sang pemuja ramen itu. Apa yang ia lakukan? Mendengkur. Ya, mendengkur dengan suara yang tersamarakan. Hah, bagaimana bisa? Tentu saja bisa, karena bersamaan dengan dengkurannya, wajahnya menghilang? Atau lebih tepatnya tertutup oleh buntalan kapas itu.
"Baka Naruto. Banguuun…!" Dan suara menggelegar itu dengan mudahnya membangunkan sang blonde.
"Eh. Sakura-chan, hehehe."
Buagh
"Shannnarooo…"
Klontang
Pagi ini, Hokage yang telah menduduki kursi jabatannya selama dua tahun itu sepertinya harus merelakan beberapa lembar uang dalam dompetnya. Mengganti perabot rumahnya.
Naruto dengan langkah yang lambat melangkah menuju kantor Hokage sambil memegangi kepalanya. Ia tidak sendirian. Lihatlah gadis bersurai merah muda itu. Gadis itu terlihat sedang tersenyum geli, meski mulutnya sedang ditutupnya dengan satu tangan. Ya, salahkan saja Hokage berambut blonde ini yang hampir setiap hari bangun kesiangan. Walau ia akui, enam bulan belakangan ini Naruto sudah agak jarang bangun telat. Tapi selama satu setengah tahun menduduki posisi Hokage. Jangan ditanya? Bukankah menjadi perjuangan Sakura tersendiri? Setiap pagi harus ke rumah Naruto. Membangunkannya. Beruntung ia memiliki kunci apartemen pemuda ini, kalau tidak mungkin bukan hanya sedikit perabotan yang rusak. Tapi juga pintu masuk apartemen itu pasti tandas. Dan pagi ini siapa sangka sang Hokage telat bangun lagi. Lelah mungkin. Kalau dipikir-pikir lagi, ternyata hanya Sakura wanita yang sering datang ke apartemen Hokage ini. Mengingat hal-hal itu membuat Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya. 'Tidak-tidak,' batinnya.
"Sakura-chan. Kau tidak apa-apa? Kenapa menggeleng-gelengkan kepala begitu. Oh ayolah, aku bisa telat nanti." Mendengar suara dari pemuda di sampingnya. Sakura tertegun. Ia menghentikan lamunannya yang tiba-tiba saja muncul.
"Maaf-maaf aku hanya …"
'Eh?'
"Bukannya aku yang harusnya bicara seperti itu Naruto! Kalau saja aku tidak membangunkanmu dulu aku pasti tidak akan telat menuju rumah sakit." Potong gadis itu dengan ucapannya sendiri dan memasang wajah yang pura-pura kesal. "Bukankah sebentar lagi ada rapat dengan Gaara, Ho-ka-ge-sa-ma."
"Hei, jangan mengejekku Sakura-chan. Huh baiklah, aku menyerah. Ayo kita tidak usah banyak berdebat! Kita harus cepat!"
Setelah beberapa kata terlontar itu, Naruto dan Sakura pun melanjutakan perjalanan mereka lagi. Berjalan bersama melewati satu jalan yang sama pula. Karena Sakura memang berniat untuk mampir ke kantor Hokage dulu. Dia ingin mengambil beberapa dokumen yang kemarin ketinggalan di kantor Hokage.
.
-zuuzumakii-
.
Hiruk pikuk. Menjadi bagian dari rutininas penduduk Konoha hari ini. Semua orang tengah bergelayut dengan pekerjaannya masing-masing. Pun demikian dengan mantan Hokage ke-lima itu. Sibuk. Apa yang sedang ia lakukan sebenarnya? Di samping tubuhnya ada satu, dua, empat, bahkan tiga puluh tujuh kardus yang entah berisikan apa. Sementara asistennya yang masih setia menemaninya, meskipun sudah termasuk juga berusia dewasa hanya berekspresi dengan tersenyum kecil. Atau kadang malah memasang cengiran-cengiran terpaksakan.
"Shizune! Menurutmu, apakah semua ini sudah cukup?" tanya wanita itu pada asistennya.
"Ehm… mungkin." jawab Shizune sambil meringis.
"Huh. Si bocah nakal itu sungguh merepotkan saja. Padahal ia sudah jadi Hokage sekarang. Tapi, untuk hal seperti ini saja dia tidak perhatian. Apakah dia tidak memikirkan wanita yang dinikahinya." Dan sekali lagi Shizune hanya tersenyum kecil mengingat untuk siapa semua ini dipersiapkan.
"Yosh. Baiklah sebaiknya kau membantuku memasukkan semua ini ke gudang. Tinggal sepuluh hari lagi, bukan?"
"Baik Tsunade-sama." jawab Shizune.
Enam puluh menit kemudian. Barang-barang tadi masih berserakan kini sukses tertata rapi dalam gudang. Cukup lama juga, bukan? Ya, karena barang-barang itu harus dicek lagi, agar nanti ketika memang sudah waktunya dipersiapkan tidak ada lagi kesalahan.
.
-zuuzumakii-
.
Matahari telah bergerak ke atas selama tujuh jam lebih. Panas di musim semi ini terasa menyenangkan hati karena langit menjadi cerah. Angin sepoi-sepoi bertiup sedang, dengan sesekali menggoyangkan daun-daun pepohonan. Pun juga dengan pohon-pohon yang ada di sekitar rumah sakit itu. Melambai-lambai seakan-akan mengatakan 'kemarilah! duduklah dibawah sini'. Tempat yang tepat untuk menghilangkan lelah. Dengan tidur pastinya. Namun agaknya berbeda dengan dokter muda itu yang sedari awal masuk ke rumah sakit masih saja berkutat dengan banyak dokumen-dokumen.
Tok… tok… tok…
Suara pintu diketok memecahkan konsentrasinya.
"Masuk." katanya keras.
"Forehead!" Dari arah pintu terlihatlah sesosok wanita bermata biru dengan memakai pakaian kerja rumah sakit. Menandakan bahwa ia juga salah satu dari pegawai di sana. Gadis muda itu berjalan mendekat ke arah Kepala rumah sakit yang tengah duduk.
"Eh. Ino." Kepala rumah sakit itu menoleh. Menatap pemilik suara yang memanggilnya.
"Jadi…?" kata Ino itu menggantungkan pertanyaannya.
"Jadi apa Ino pig." Dengan tanpa mengalihkan atensinya pada kertas-kertas yang sebenarnya telah selesai dikerjakannya. Sakura, sang pemilik surai merah muda menjawab dengan tak sabaran.
"Huh. Bukankah tinggal sepuluh hari lagi. Kau tidak siap-siap. Dengan hatimu mungkin." Sakura kini tertegun, ia tidak mungkin lupa bahwa sepuluh hari lagi salah satu sahabatnya akan…
"Heh. Iya, bukankah Naruto…" Sakura tidak melanjutkan perkataannya. Ada sesuatu hal yang sepertinya ingin ia lakukan sekarang.
Dan tanpa mempedulikan Ino, Sakura bangkit dari kursi berjalan menuju pintu, berniat minggalkan ruangan itu. "Tolong sampaikan dokumen itu pada Miyako-chan Ino! Ada sesuatu yang harus aku kerjakan." katanya, menunjuk ke arah meja kerjanya sebelum seluruh tubuhnya menghilang di balik pintu.
"Huh dasar." desah pemilik surai pirang panjang terdengar kemudian pada sahabatnya. "Dimana ya perawat itu sekarang?"
.
-zuuzumakii-
.
Gadis itu berjalan dengan cepatnya. Atau berlari lebih tepatnya. Ia melewati satu, dua, tiga, empat suster yang ada dalam rumah sakit Konoha. Terus dan terus berlari, beruntungnya tidak ada yang tertabrak olehnya. Surai merah mudanya sangat mencolok. Tentu untuk orang yang baru mengenalnya akan berpendapat bahwa gadis itu sungguh manis. Seperti permata. Permata merah muda. Sehingga tanpa menatap secara detail pun banyak orang yang akan tahu siapa dia.
"Sakura-sama!"
"Sakura-san!"
"Sakura…"
"Sakura-chan."
"Ck. Mendokosai."
"Sakura-neechan."
"Sakura. Mau kemana kau?"
"Eh. Sai." Ia tertegun dan kini berhenti melangkah. 'Sebenarnya mau ke mana aku,' pikirnya dalam hati. "T-tidak. Aku hanya ingin ke kedai Ichiraku." sangkalnya kemudian, namun bukan murni sebuah kebohongan. Bagaimanapun juga ia tengah lapar.
Sai hanya manggut-manggut tanda mengerti. "Oh ya, aku juga belum makan siang. Jadi bolehkah aku…?"
"Boleh." sahut Sakura cepat sebelum pemuda pucat itu sempat merampungkan ucapannya. Sakura dan Sai pun berjalan bersama menuju kedai ramen itu. Tak berapa lama mereka pun sampai di tempat tujuan. Sepi, itulah hal pertama yang mereka dapati. Mungkin karena jam makan siang telah lewat. Mereka pun segera masuk dan memesan mie-ramen tentunya. Lima belas menit diisi dengan keheningan masing-masing, belum ada yang mau memulai pembicaraan. Masih berkutat dengan pikiran masing-masing. Namun tiba-tiba pemuda berkulit pucat di sampingnya itu bertanya dengan memasang senyum bekunya. "Jadi apa kau sudah siap Sakura?"
"Maksudmu?" Sakura tersentak mendengar pertanyaan Sai yang tiba-tiba.
"Bukankah Naruto akan..." jawab Sai menggantung.
"Ya. Ya aku tahu Naruto akan menikah." Akhirnya kata itu keluar juga dari bibirnya. Sakura tahu arah pembicaraan ini. Ya, sepuluh hari lagi Naruto akan menikah. Sesuatu yang sangat istimewa. "Siap atau tidak aku harus siap, bukan? Ini sudah menjadi keputusanku."
"Oh. Begitu." respon Sai. Ia kini memasang wajah datar. "Eh. Iya aku punya sebuah buku menarik." lanjutnya dengan mengambil sebuah buku dari dalam saku ninjanya sambil memasang ekspresi aneh. "Kau pasti suka."
Cara-cara Menjadi Wanita yang Lembut
Dan Sakura hanya melongo menatap buku itu.
Cara-cara menjadi wanita yang lembut. Hahaha, Sakura tertawa dalam hati. Dia akui bahwa dia memang bukanlah wanita yang lembut. Meski sesekali ia dapat pula menjadi gadis manis. Walau tidak selembut Hinata, temannya. Karena ia lebih suka menjadi wanita yang kuat. Bahkan ia rela untuk berlatih di bawah bimbingan seorang Tsunade, yang kini berstatus mantan Hokage ke-lima. Ia tidak ingin selalu membebankan segalanya pada sahabat blonde-nya. Yang akan selalu siap sedia seperti seorang panglima ketika sang Raja tengah membutuhkannya. Percaya atau tidak, tiap kali ia tengah dalam keadaan terjepit. Sahabatnya selalu ada untuknya. Bahkan hanya dengan memanggil namanya. Sungguh menakjubkan, bukan? Dan memikirkan itu membuat wajahnya memanas tiba-tiba.
"Ah iya, karena kau kan rekan se-timku, akan kuberi setengah harga."
"Eh…" Gadis itu menoleh ke arah sampingnya lagi. Menatap buku itu untuk ke dua kalinya. Yang kemudian dia hanya meringis, menyadari kebiasaan teman pucatnya ini yang kadang-kadang konyol.
"Bagaimana, Sakura?"
Sakura menatap buku itu lagi. Mendadak pikirannya melayang, membayang tentang Hinata dan Naruto. Naruto yang tengah dalam sikap serius dan Hinata yang lembut dan malu-malu. Apakah ia harus membeli buku itu. 'Ambil saja,' batinnya berteriak. Namun ada sesuatu yang menahannya. Entahlah ia tak tahu. Ia hanya yakin. Ia ingin menjadi dirinya sendiri.
"Tidak-tidak. Terima kasih."
.
-zuuzumakii-
.
Sekarang hari telah sore. Lihatlah betapa indahnya matahari yang menemani hari ini, yang kini tengah menghangatkan perasaan pada dada setiap orang yang melihatnya. Sebuah mega senja menghiasi langit menemani kebersamaan keluarga-keluarga yang tengah berkumpul setelah kesibukan yang masing-masing dilakukan setiap anggotanya.
Sakura, tengah menatap langit sore hari ini pula. Mencoba merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Menetralisir kelelahan yang sejenak menderanya. Untuk sejenak. Ia tengah duduk di bangku taman rumah sakit. Sesekali dapat ia lihat pula senyum beberapa orang pasien yang berada di sekitar taman ditujukan kepadanya. Hangat. Itu yang ia dapatkan. Beruntung, bukan? Sebuah perasaan yang menenangkan bisa ia peroleh dari orang lain. Yang bahkan bukan termasuk keluarganya, temannya, atau orang terkasihnya. Sejenak ia bersyukur dengan pekerjaan yang ia jalani ini.
"Sakura-chan!" Terdengar suara yang memanggil gadis itu. Dari arah samping. Ia pun menoleh empat puluh lima derajat ke kiri. Seorang pemuda seusianya. Dan juga mengenalnya. Menatapnya lembut.
"Naruto." ucap Sakura kemudian.
"He he he." Naruto dengan perlahan mendekat ke bangku itu, dengan cengengesan. Dan memamerkan beberapa giginya.
"Ada apa?" tanya Sakura yang menyadari Naruto sudah berada di dekatnya.
"Ayo bersiap-siap." jawab pemuda itu yang belum melepaskan senyum di wajah tampannya. Yang kemudian tangannya mendekat ke arah belakang kepalanya seperti menggaruk sesuatu. Kikuk.
"Bersiap-siap untuk apa?" Gadis berambut merah muda itu kini tengah menatap lelaki itu bingung. Sebenarnya apa yang ingin dibicarakan lelaki di dekatnya ini.
"Hm, kita harus mewakili Konoha ke Suna untuk memperkuat kerja sama antar desa dan memberikan sedikit bantuan." jawab Naruto. Gugup. Ia tak tahu kenapa ia bisa segugup ini berada di dekat Sakura. Sepertinya suasana sore ini menghipnotisnya. Menularkan perasaan berdebar di dadanya.
Sakura semakin tambah bingung, "Kenapa aku juga harus ikut?"
Mengerti raut tak mengerti dari gadis lawan bicaranya ini Naruto pun menjawab cepat, "Ya. Karena kau kan Kepala rumah sakit. Dan karena di Suna sedang krisis dokter setelah perang. Jadi mereka meminta bantuan Konoha untuk memperbaiki beberapa hal."
"Oh. Lalu bagaimana dengan pernikahan?" tanya Sakura lagi. Ia tidak tahu kenapa ia menanyakan hal itu. Namun rasanya ia harus menanyakannya. Meski sudah tahu jawabannya.
"Tenang saja untuk masalah itu, kita akan kembali setelah enam hari. Dan kita akan berangkat besok. Jadi masih ada tiga hari." jawab Naruto yang kini mulai duduk di sebelah kiri Sakura.
Sakura tidak tahu kenapa jantungnya tiba-tiba berdebar menggila. Yang ia tahu pemuda di sampingnya ini menunggu jawaban atau persetujuannya, dan hanya kata itu yang harus ia ucapkan. "Baiklah Hokage-sama"
Sejenak keheningan tercipta diantara kedua muda-mudi itu. Namun selang beberapa saat kemudian, tawa tak tertahankan pun pecah. Sebagai penutup sore hari ini. Sungguh menyenangkan.
.
-zuuzumakii-
.
Keesokan harinya Naruto dan Sakura pun pergi ke Sunagakure. Mereka tentu tidak sendiri. Bersama dengan rombongan jounin-juonin yang nantinya akan membantu tugas Naruto dan perawat-perawat yang akan membantu Sakura tentunya. Dan dalam waktu dua hari mereka sampai di desa Suna. Sesampainya di sana mereka berdua mendapat sambutan yang hangat dari seluruh rakyat desa. Tentu bukan suatu yang mengherankan. Siapa yang tidak mengenal mereka berdua. Perang yang menyakitkan telah membuat mereka berdua menjadi sosok seorang pahlawan. Semua orang tahu itu. Bahkan setelah diberitahu jika mereka berdua hanya dua hari di desa Suna. Rakyat Suna sangat kecewa.
Kunjungan itu seperti sebuah wisata. Naruto merasakan bagaimana menjadi pusat perhatian. Desa Suna, tidak banyak mengalami kerusakan akibat perang. Dan pastinya tidak merubah ciri khas darinya, berpasir. Tentu bagi orang-orang yang jarang berkunjung ke desa ini akan mudah sekali terserang penyakit. Cuacanya begitu menyengat. Namun, bagi para ninja haruslah dituntut untuk beradaptasi dengan semua kondisi, bukan? Beberapa hal yang Naruto dapat lihat di desa ini. "Desa Suna ternyata cukup indah." Ya, beberapa hal yang cukup menarik dilihatnya. Sebagai Hokage ia kini dapat menilai sesuatu. Bahwa keindahan memiliki cirinya tersendiri untuk setiap tempat.
Hari pertama termasuk hari yang menyenangkan. Para tetua di desa ini begitu memperhatikan bagaimana Hokage muda itu menjelaskan berbagai macam cara Konoha dalam membangun kembali desa setelah perang. Maklumlah, karena sangking banyaknya shinobi yang gugur dalam perang. Membuat desa ini butuh bantuan desa lainnya untuk bangkit kembali. Bahkan sampai sekarang. Yang terpenting adalah kerja sama antar setiap orang, maka desa akan kembali dengan cepat.
Gaara hampir tidak percaya. Ternyata dua tahun menjadi Hokage. Seorang Uzumaki Naruto sanggup menjadi orang yang cerdas. Mampu menggabungkan antara logika dan perasaan. Ia tidak heran, jika ketika rapat banyak kunoichi muda yang mengintip di luar jendela. Ia tahu itu. Mungkin yang ia tidak tahu. Kenapa kunoichi berambut merah muda itu tampak memalingkan mukanya. Kesal. Apakah ada masalah diantara Naruto dan Sakura? Gaara tersenyum tipis. biarlah mereka sendiri yang akan menyelesaikannya.
Tak terasa satu hari berjalan dengan singkat. Pagi telah berganti petang. Jam dinding di ruangan itu telah menunjukkan pukul delapan malam. Ini waktunya sang Hokage itu untuk beristirahat. Ia pun melangkah pergi dari ruangannya selama kunjungan di Suna. Niat awal ia akan ke rumah sakit di Suna, menjemput Sakura tentunya. Namun ada yang menarik atensinya. Ada seseorang yang memanggil namanya
"Uzumaki Naruto!"
.
TBC
.
Huwah. Hancur ya! aku tahu. Sebenarnya ini Oneshot (*Bener gak tulisannya) tapi berhubung telepon genggam saya kurang mau diajak kompromi untuk mem-publish fic ini, jadi saya bagi dua. Itu aja. Waktunya…
.
.
.
Review, please?
